Friday, August 1, 2025

PENDIDIKAN ERA DIGITAL

0 comments

 PENDIDIKAN ERA DIGITAL


Tidak begitu banyak akademisi yang tetap mampu produktif dalam menulis walaupun sudah menjadi pejabat, apalagi jabatan tertinggi kampus sebagai seorang Rektor. Tidak begitu banyak juga akademisi yang mampu melakukan upaya-upaya kreaktif, terobosan, dan inovasi terhadap kampus yang dipimpinnya ketika menjadi Rektor sekaligus menuliskan terobosan-terobosan yang telah diciptakannya. Kebanyakan akademisi yang menduduki posisi sebagai Rektor biasanya terperangkap dalam kesibukan-kesibukan teknis-administratif yang bersifat rutinitas semata. Business as usual.


Tapi hal itu tidak berlaku pada Prof. Dr. Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari, Banjarmasin. Prof. Mujib, panggilan akrab beliau, tetap aktif menulis walaupun sudah menjabat sebagai Rektor. Hampir setiap minggu, tulisan ringan beliau tampil di media massa Banjarmasin Post. Selama menjabat sebagai Rektor, buku-bukunya juga bermunculan, seperti Sihir Gawai: Renungnan Filosofis-Sufistik Era Digital; Glokalisasi: Islam Banjar, Nusantara dan Dunia; Jalan Tengah; Tasawuf: Merintis Kajian Interdisiplin; Sains, Agama, dan Kebijakan Publik, dan Era Pendidikan Era Digital. Begitu pula dengan berbagai tulisan artikel akademik di jurnal scopus internasional.


Ada yang sangat menarik di buku terbarunya: Pendidikan Era Digital: Ikhtiar Dan Harapan Di UIN Antasari. Buku ini melukiskan kegelisahan akademik sang Rektor terhadap kondisi pendidikan tinggi di kalangan dosen dan mahasiswa. Secara global, buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, buku ini menguraikan kegelisahan akademik sang penulis terhadap kondisi pendidikan tinggi, termasuk dosen dan mahasiswa. Sedangkan pada bagian kedua, menayangkan sejumlah solusi mengenai keterampilan teknis dalam dunia akademis. Dalam detil-detilnya, buku ini juga memotret sejumlah terobosan dan inovasi yang dilakukan Mujiburrahman selama menjadi Rektor UIN Antarsari, seperti hal-hal yang berhubungan dengan keterampilan mahasiswa, etos kerja dosen, kesejahteraan dosen, persoalan administrasi, dan idealisme-idealisme lain dalam rangka memajukan dan mengembangkan UIN Antasari.


Dalam resensi ini, saya hanya ingin menayangkan dua contoh gagasan besar yang sangat menarik dalam bagian pertama yang berisi kegelisahan intelektual sang Rektor tapi juga menyajikan solusinya yakni Tiga Tantangan Global Terhadap Universitas Islam dan Dosen PTKI: Antara Akademisi dan Da’i Pada Era Digital. Dua tulisan ini, bagi saya isinya sangat inspiring and enlightening. Di sini, saya akan menurunkan gagasan-gagasan Mujiburrahman apa adanya, agar pembaca bisa merasakan ide-ide bernas dari tangan pertama secara langsung. 

                                      *    *    *

Tiga Tantangan Global Terhadap Universitas Islam


Menurut Mujiburrahman, tiga tantangan global yang kini dihadapi universitas adalah disrupsi digital, kuasa kuantitas, dan perubahan iklim. Berhubungan dengan disrupsi, Rhenald Kasali menyebut disrupsi sebagai sesuatu yang mengganggu kita, berupa perubahan yang cepat dan dahsyat, yang sebelumnya tidak pernah kita prediksi. Berkat internet, komputer hingga ponsel pintar, manusia dapat terhubung satu sama lain dengan cepat, mudah dan murah, dan dapat menyerap, memproduksi dan menyerbarluaskan informasi nyaris tanpa batas.


Kemajuan teknologi informasi tentu sangat berpengaruh kepada dunia pendidikan, lebih-lebih bagi universitas. Berkat teknologi informasi ini, kita bisa lebih mudah menyimpan bahan-bahan pembelajaran dan penelitian berupa manuskrip, majalah, koran, foto, video, jurnal, buku dan lain-lain dalam bentuk digital. Kita tidak perlu ruang yang luas untuk menempatkannya, dan tidak berat untuk di bawa ke mana-mana, cukup disimpan di disk, laptop, ponsel atau cloud. Kita pun mudah sekali mengakses sumber-sumber itu, hanya dengan sekadar klik, di mana pun kita berada, tidak mesti harus berada di perpustakaan.


Boleh dikata, kita sekarang bukannya kekurangan informasi, melainkan kelebihan informasi. Kita mengalami tsunami informasi. Persoalan kita saat ini bukan lagi sekadar mencari-cari informasi, melainkan memilih dan memverifikasi informasi. Seperti halnya tsunami, air yang menggulung itu tidaklah hanya air belaka, melainkan juga lumpur dan sampah. Informasi yang sampai kepada kita melalui teknologi komunikasi itu tidak semuanya valid, bahkan cukup banyak yang palsu, hoax. Hal ini terjadi terutama karena keberadaan media sosial, yang membuat setiap orang mendadak menjadi wartawan. Lebih-lebih ketika terjadi pertarungan politik dalam pemilu. Orang-orang yang bekerja sebagai pendengung (buzzer) konon sengaja merekayasa informasi dan menyebarluaskannya bukan demi kebenaran, tetapi demi kemenangan. Yang mereka buat bukan informasi yang netral, tetapi propaganda politik. 


Dalam perspektif Mujiburrahman, situasi inilah antara lain yang membuat istilah 'post-truth' menjadi populer, sehingga Oxford Dictionary menjadikannya sebagai 'word of the year' pada 2016 silam. Sederhananya, post-truth adalah ketika sesuatu dianggap benar semata-mata karena sesuai dengan selera dan pandangan subjektif kita. 


Dalam analisis Mujiburrahman, tsunami informasi juga menimbulkan fragmentasi otoritas budaya, termasuk di dalamnya adalah otoritas keilmuan dan keagamaan. Di dunia maya, kita bisa bertemu segala macam informasi dari segala macam orang, dan kita bisa memilih apa yang kita anggap benar. Di bidang keagamaan misalnya, kita bisa menemukan segala macam aliran dalam satu agama, baik yang konservatif, progresif, liberal, radikal hingga teroris. Dalam bidang sosial, kita bisa menemukan aneka kecenderungan, dari kiri hingga ke kanan, dari kapitalis-neoliberal hingga sosialis-universalis-khilafah. Bahkan dalam hal yang terkait dengan sains seperti sains kesehatan, ada saja berbagai tawaran, dari penggunaan obat 'Barat' hingga ramuan herbal 'Timur', dari yang percaya pada vaksin Covid-19 hingga yang menganggapnya sekadar konspirasi.


Sumber informasi yang beragam bahkan bertentangan satu sama lain tersebut, oleh sosiolog Peter Berger disebut 'cognitive dissonance', semacam kegalauan dan kebingungan pikiran. Orang menjadi bingung, mana yang sebaiknya dipilih. Tom Nichols menyebutnya dalam ungkapan yang keras: ‘The Death of Expertise'. Yang mati sebenarnya bukan kepakaran, tetapi kepercayaan orang kepada kepakaran mulai terganggu, jika bukannya berkurang. 


Situasi ini bagi Mujiburrahman, dapat mendorong orang ke jurang ekstrem: menjadi relativis atau absolutis. Dua-duanya berbahaya. Seorang relativis pada akhirnya akan kehilangan pegangan, menjadi nihilis, sedangkan seorang absolutis akan memutlakkan dirinya, atau menuhankan pendapatnya, tanpa mau mendengarkan lagi pendapat lain.


Kecenderungan negatif lainnya, yang ditimbulkan oleh fasilitas teknologi informasi digital saat ini adalah budaya instan dan kecanduan. Karena informasi tumpah ruah sekaligus mudah didapatkan, orang cenderung ingin serba cepat dan ringkas. Orang mulai malas membaca informasi yang panjang, dalam dan rinci, dengan analisis yang tajam. Orang lebih suka informasi sekilas tanpa perlu banyak waktu untuk menyerap dan memikirkannya. Akibatnya, banyak orang sekarang, termasuk para mahasiswa, yang malas sekali membaca artikel jurnal yang panjang, apalagi buku. Mereka sibuk dengan media sosial yang serba pendek, instan dan impressionistik. 


Dalam konteks ini, Mujiburrahman menawarkan tiga solusi bagi tantangan disrupsi digital. Pertama, mewujudkan literasi digital bagi seluruh civitas akademika, khususnya bagi para mahasiswa dan dosen. Yang dimaksud di sini adalah mengenali manfaat dan mudarat teknologi informasi. Memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi untuk pendidikan khususnya dan kemasalahatan manusia pada umumnya, dan meminimalkan dampak-dampak negatifnya. Termasuk dalam kaitan ini adalah kontrol dan pendisiplinan yang layak bagi dunia akademik: kapan boleh menggunakan ponsel dan internet di kelas, kapan tidak. Bagaimana agar kejujuran ilmiah dan orisinalitas tetap menjadi norma yang harus dipegang. Mahasiswa juga harus diajarkan mengenai strategi menghindari keterjerumusan ke jurang hoax dengan menerapkan pola pikir ilmiah: menimbang dengan rasio, mencari bukti empiris, membandingkan dengan informasi lain. 


Kedua, universitas sebagai lembaga yang tidak hanya mentransfer tetapi juga mengembangkan dan memproduksi ilmu, maka tugasnya adalah melaksanakan penelitian dan inovasi di bidang teknologi informasi ini. Para dosen dan mahasiswa yang spesialis mempelajari teknologi informasi tersebut hendaknya melakukan berbagai penelitian dan pengembangan untuk memproduksi teknologi baru yang bermanfaat dan aman bagi manusia. Peluang ini tentu sangat terbuka, dan Mujiburrahman percaya bahwa para pakar di universitas-universitas Islam akan mampu melakukannya, agar dunia ini tidak terus-menerus timpang, yang satu selalu menjadi produsen, sedang yang lain menjadi konsumen belaka. 


Ketiga, salah satu yang harus kita lakukan juga adalah menciptakan sumber-sumber informasi digital yang bermanfaat, termasuk konten yang ditayangkan di media sosial. Selama ini banyak universitas sudah berhasil membangun data digital untuk perpustakaan, sesuatu yang sangat membanggakan. Namun tampaknya masih kurang sekali informasi akademik-ilmiah seperti kuliah umum, wawancara dengan seorang pakar tentang tema tertentu hingga dakwah agama oleh seorang ulama terkemuka, yang ditayangkan di media sosial. 


Tantangan kedua adalah kuasa kuantitas. Istilah ini Mujiburrahman ambil dari istilah yang dijadikan judul buku René Guénon, The Reign of Quantity and the Signs of the Times. Menurut Guenon, modernitas sangat mengandalkan kuantitas sehingga kualitas seringkali ditentukan oleh kuantitas. Hal ini juga berlaku di era teknologi informasi digital saat ini. Apa yang dianggap baik bahkan benar adalah yang viral, dan viral ditunjukkan oleh kuantitas: berapa banyak yang membaca, menonton, mengomentari dan membagi. 


Padahal, jika kita menggunakan ukuran kualitas, maka tidak semua yang kuantitasnya tinggi berarti baik, apalagi benar. Kuasa kuantitas tampaknya juga sejalan dengan materialisme, karena materi lebih mudah dihitung dan diukur. Adapun yang bukan materi, lambat laun diupayakan melalui berbagai cara untuk dapat diukur pula. Akhirnya, hampir sermua aspek kehidupan diukur dan dihitung, sehingga Jerry Z. Mulder menggambarkan keadaan ini dalam buku yang diberinya judul: The Tyranny of Metrics.


Kuasa kuantitas tak ayal lagi juga menimpa dunia pendidikan, termasuk universitas. Tujuan dasarnya adalah mulia, yakni untuk mengetahui kemajuan yang dicapai oleh universitas. Dengan adanya pengukuran ini, maka universitas akan bergerak maju, terarah kepada tujuan yang dicanangkannya, dengan target-target yang jelas, dan waktu yang ditentukan. Manajemen universitas menjadi lebih terukur dan mudah dievaluasi. Di sisi lain, dengan adanya ukuran-ukuran itu, sebagian universitas yang selama ini berjalan alamiah seadanya, mau tidak mau dipaksa dan dibuat sadar oleh ukuran-ukuran itu. 


Untuk universitas, ada yang disebut webometrics, university rankings hingga akreditasi. Jelas bahwa akreditasi merupakan pengukuran yang paling masyhur, baik pada tingkat nasional ataupun internasional. Akreditasi berfungsi untuk mengontrol tanggungjawab universitas kepada publik, agar layanan yang diberikannya bermutu, tidak sembarangan. Akreditasi juga berfungsi memberikan legitimasi bagi universitas tentang kelayakan satu program studi yang dijalankannya. Akreditasi juga diharapkan mampu memicu perguruan tinggi untuk terus meningkatkan kualitas tata kelola, kerjasama, pembelajaran, penelitian, publikasi dan seterusnya. Pendek kata, saat ini boleh dikatakan, akreditasi adalah hidup-matinya program studi dan universitas.


Unsur-unsur yang termasuk dalam ukuran akreditasi, pada akhirnya tidak dapat menghindari kuantifikasi. Berapa jumlah calon mahasiswa yang mendaftar dan berapa yang diluluskan? Berapa jumlah rasio dosen-mahasiswa dalam setiap prodi? Berapa jumlah profesor dan lektor kepala? Berapa jumlah yang bergelar doktor, dan berapa yang baru magister? Berapa jumlah artikel yang diterbitkan oleh dosen dan mahasiswa di jurnal nasional dan internasional? Berapa jumlah jurnal yang diterbitkan program studi, fakultas atau pusat studi yang terakreditasi nasional dan internasional.


Namun dalam tilikan Mujiburrahman, sayangnya obsesi terhadap kuantitas ini kadangkala mendorong orang kepada berbagai perilaku yang bertentangan dengan integritas akademik dan nilai-nilai pendidikan. Hasrat untuk memperbanyak guru besar misalnya, mendorong sebagian universitas melakukan program yang disebut akselerasi guru besar. Jika yang dilakukan sekadar memberikan fasilitas dana penelitian atau penerbitan yang sah, maka tidak masalah. Namun kadangkala yang terjadi adalah demi mendapatkan jabatan guru besar, orang menghalalkan segala cara seperti membayar orang lain menuliskan dan menerbitkan artikel di jurnal internasional. 


Seringkali pula, orang-orang semacam ini terperangkap dalam permainan jurnal-jurnal predator, yang meminta bayaran mahal, tetapi melanggar prinsip-prinsip akademik. Meskipun skandal demi skandal muncul ke permukaan, orang tetap saja kurang peduli karena jumlah guru besar yang dimiliki universitas akan menentukan ukuran kinerjanya. Adapun kepentingan orang per-orang. Jabatan guru besar terutama akan menaikkan gaji, dan dalam kasus tertentu dapat digunakan sebagai tiket untuk menduduki jabatan struktural di universitas.


Masalah menjadi lebih serius lagi ketika orang lebih sibuk membicarakan berapa jumlah artikel yang diterbitkan di jurnal internasional terindeks scopus ketimbang apa sumbangan artikel-artikel itu bagi perkembangan ilmu. Begitu pula, ketika seorang akademisi mengumumkan bahwa artikelnya telah terbit di jurnal bereputasi tinggi, orang ramai mengucapkan selamat di media sosial, tetapi umumnya tidak tertarik untuk membacanya. Memang pengelola metrik seperti Google Scholar mencoba mengukur pengaruh sebuah artikel secara kuantitatif, seperti menghitung jumlah kutipan. Namun, kita pun maklum, jumlah kutipan dapat disiasati pula, misalnya dengan membuat konspirasi sesama ilmuwan atau dengan mahasiswa, untuk saling mengutip. Singkat kalimat, sebagian di antara kita akhirnya terperangkap dalam formalitas kosong atau permainan manipulatif. 


Efek samping lainnya dari pengukuran seperti akreditasi adalah kesibukan administratif, yakni mengumpulkan dokumen-dokumen yang dituntut, dan membuat dokumen-dokumen yang belum ada. Tenaga administratif semakin diperlukan, sementara banyak universitas kesulitan untuk menambah tenaga tersebut, baik karena alasan biaya ataupun alasan regulasi yang menghambat. Akibatnya, tenaga administrasi dan pengelola jaminan mutu hingga ketua dan sekretaris program studi sangat sibuk mengurus dokumen-dokumen itu. 


Bagi Mujiburrahman, pandangan kritis terhadap dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh kuasa kuantitas di atas terhadap universitas tidak berarti bahwa semua data kuantitatif tidak berguna. Tidak pula berarti bahwa akreditasi atau pengukuran apapun tidak bermanfaat. Yang kita persoalkan di sini adalah obsesi yang begitu besar terhadap segala ukuran kuantitatif sehingga pada akhirnya menjerumuskan kita pada perangkap yang merusak kualitas akademik itu sendiri. Karena itu, setiap pengukuran harus benar-benar dipertimbangkan manfaat dan mudaratnya. Selain itu, jangan sampai pengukuran menimbulkan homogenisasi akibat standardisasi yang tunggal untuk universitas yang beragam dengan misi yang beragam. Kita harus ingat bahwa tujuan universitas bukanlah gagah-gagahan menduduki ranking teratas, melainkan memberikan ilmu, teknologi, keterampilan dan kebijaksanaan hidup yang bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat secara luas.


Selain itu, seringkali pula dalam pengukuran yang berlaku selama ini, yang utama diperhatikan adalah hasil material yang diperoleh seseorang setelah tamat dari universitas. Benar bahwa salah satu manfaat penting dari belajar, termasuk di universitas, adalah agar seseorang mampu hidup mandiri, menghidupi diri sendiri, tidak tergantung pada orang lain. Artinya, dia mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak. Namun, hidup tentu tidak hanya soal penghasilan. Karena itu, pendidikan tidak sekadar membekali orang dengan kemampuan untuk menghidupi dirinya, tetapi juga membekalinya dengan kemampuan untuk memaknai hidup: Apa tujuan hidup ini? Apa yang harus dilakukan di dunia ini? Bagaimana bersikap terhadap sesama manusia, alam dan lingkungan? Bagi kaum beragama, bagaimana menjalani hidup sesuai nilai-nilai agama? Universitas juga adalah ladang pencarian dan pembentukan pandangan hidup ini.


Tantangan global yang ketiga adalah perubahan iklim. Sebenarnya sejak beberapa dasawarsa yang lalu para ilmuwan sudah mengingatkan bahwa kita mengalami krisis llingkungan akibat deforestrasi dan emisi karbon yang terus meningkat. Suhu bumi semakin panas, antara lain sebagai dampak rumah kaca. Gletser di kutub meleleh dan air laut semakin naik. Mesin-mesin yang diciptakan manusia sejak era industri hingga era informasi ini telah mengakumulasi perusakan lingkungan yang luar biasa. Keserakahan telah mendorong manusia untuk mengeksploitasi alam secara membabi buta: bumi digali, gunung dipangkas, hutan dibabat, laut dicemari. Sampah-sampah mengggunung, termasuk sampah plastik yang sulit hancur. Akibat yang kini terasa adalah, di musim hujan terjadi banjir di mana-mana, dan di musim panas terjadi kekeringan luar biasa. Kita juga mengalami anomali musim. Di musim hujan malah panas, di musim panas malah hujan. 


UNESCO berharap bahwa pendidikan, lebih-lebih pengembangan sains dan teknologi yang dilakukan oleh universitas, hendaknya memerhatikan masalah perubahan iklim ini dengan serius. Berbagai gerakan untuk menjaga kelestarian alam dan pembangunan yang berkesinambungan, hendaknya menjadi prioritas arah pendidikan kita. Pengembangan teknologi yang ramah lingkungan, energi terbarukan dan penghijauan, merupakan wujud tanggungjawab universitas terhadap bumi yang kita diami ini. 


Bagi kita di universitas Islam, sudah seharusnya kesadaran tentang masalah ini dikembangkan dalam kajian-kajian keislaman. Banyak sekali ayat-ayat Alqur'an tentang alam dan tanggungjawab manusia terhadapnya, serta maknanya bagi manusia. Para ulama juga mengembangkan kajian tentang fiqh lingkungan dan tasawuf lingkungan. Filsafat Islam dan tasawuf senantiasa mengingatkan bahwa objek pengetahuan manusia ada tiga: manusia, alam semesta dan kitab suci, dan ketiganya disebut ayat, yakni tanda-tanda kehadiran Tuhan. Sebagaimana kita wajib menghormati manusia dan kitab suci, begitu pula kita wajib menghormati alam. 


Dosen PTKI: Antara Akademisi dan Da’i Pada Era Digital


Mujiburrahman mengawali tulisannya dengan sebuah pertanyaan reflektif: Apakah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) itu lembaga akademis ataukah lembaga dakwah? Jika lembaga akademis, maka dosen dan mahasiswa di PTKI harus mencerminkan budaya akademis seperti cinta ilmu, rajin mengkaji, meneliti dan memproduksi ilmu pengetahuan. Sikap ilmiah dalam menyikapi berbagai persoalan harus tampak dalam perilaku seluruh warga kampus. Sikap ilmiah itu tercermin dalam sikap terbuka kepada saran dan kritik, rasional, objektif dan empiris. 


Sebagai lembaga akademis, PTKI bukan sekadar lembaga penyebar ilmu tetapi juga pengembang ilmu melalui berbagai penelitian dan publikasi. Seorang dosen tidak cukup hanya mengajar seperti guru, melainkan juga harus meneliti dan menulis, menerbitkan karya-karya ilmiah dalam bentuk artikel jurnal dan buku. Dengan menulis dan menerbitkan karya-karya ilmiah itu, dia memberikan kontribusi kepada dunia keilmuan di bidangnya sehingga ilmu terus terdokumentasi, tersebar dan berkembang.


Namun, dalam budaya perguruan tinggi di Indonesia, lebih-lebih di lingkungan PTKI, tugas insan kampus tidak hanya mengajar dan meneliti, melainkan juga mengabdi kepada masyarakat. Dari sudut pandang Islam, pengabdian kepada masyarakat ini dapat disebut 'dakwah', yakni mengajak kepada jalan kebaikan yang diajarkan agama. Sebagai orang yang mengkaji ilmu-ilmu keislaman, dosen PTKI adalah, atau paling kurang dianggap oleh masyarakat sebagai, ulama. Tentu akan memalukan jika seorang dosen PTKI tidak lancar membaca Alqur'an atau tidak bisa memimpin doa. 


Ekspektasi masyarakat kepada seorang dosen PTKI bahkan lebih dari itu, yakni mampu menyampaikan pesan-pesan agama yang mencerahkan hati manusia. Ekspektasi tersebut wajar karena selama ini memang demikian adanya. Para dosen PTKI banyak yang berdakwah di masjid, musalla, majelis taklim, televisi, radio hingga ke kampung-kampung di pedalaman. Para mahasiswa PTKI yang melaksanakan KKN di desa-desa, juga banyak yang menimbulkan kesan mendalam bagi masyarakat antara lain karena peran mereka dalam membimbing hidup keagamaan.


Kedua orientasi di atas, akademis dan dakwah tentu tidak bertentangan, tetapi dalam kenyataan di lapangan, banyak dosen yang gagal memadukan keduanya. Bagaimanapun, menjadi peneliti dan penulis yang serius akan menuntut ketekunan, kesabaran, waktu dan energi yang besar. Begitu pula menjadi seorang da'i dan tokoh agama di masyarakat akan sangat menyita waktu dan energi, terutama ketika permintaan masyarakat makin banyak. 


Karena itu, alih-alih memadukan keduanya, tak sedikit dosen PTKI akhirnya hanya mampu melaksanakan salah satunya. Jika dia seorang yang lebih produktif secara akademis, maka dia berdakwah seadanya saja, jika bukan tidak sama sekali. Jika dia seorang yang aktif sebagai tokoh agama di masyarakat, maka dia biasanya jarang meneliti dan menulis, bahkan yang lebih parah, jarang membaca atau menambah wawasan pengetahuan. Kita seperti dihadapkan kepada sebuah dilema, yaitu dua pilihan yang sama-sama tidak memuaskan. Memilih salah satunya akan merugikan yang lain.


Akhirnya, bagi seseorang yang memilih karier akademis, menapaki jabatan fungsional dari asisten ahli hingga guru besar, maka dia akan memilih untuk konsentrasi mengajar, meneliti dan menulis ketimbang sibuk berceramah di masyarakat. Sebaliknya, bagi yang ingin lebih berperan di masyarakat akar rumput, maka dia akan mengutamakan kegiatan-kegiatan layanan dakwah ketimbang kegiatan-kegiatan akademik.


Tentu saja, ada orang yang berhasil keluar dari dilema ini dan sukses menggabungkan keduanya. Dia mengajar, menulis, meneliti dan juga berdakwah di masyarakat. Dia berdakwah tidak hanya dengan tulisan, melainkan juga dengan lisan dan tindakan. Inilah potret ideal seorang dosen PTKI ang kita harapkan. 


Seorang tokoh agama yang memiliki kompetensi akademis yang tinggi tentu berbeda dengan seorang mubalig biasa, penyampai pesan saja. Seorang akademisi tidak hanya peneliti dan penulis, tetapi juga pemikir. Bahkan mungkin bisa kita sebut sebagai salah seorang mujtahid. Sebagai seorang pemikir, dia mampu menerjemahkan pesan-pesan keagamaan dalam konteks masyarakat kekinian. Sebagai seorang peneliti, dia mampu membedah tradisi keilmuan Islam yang ada, memetakan berbagai kecenderungan yang ada dan mengambil unsur-unsur terbaik di dalamnya. 


Jika dia memiliki latar belakang ilmu-ilmu sosial, maka dia juga mampu membaca perubahan sosial, menjelaskan dan meramalkan apa yang bakal terjadi serta menawarkan langkah-langkah antisipatif untuk menghadapinya. Di tangan seorang tokoh yang demikian, agama akan menjadi hidup, tidak menggantung di langit cita-cita atau terbenam di lumpur sejarah; tidak pula sekadar penghibur di alam mimpi, melainkan dalam pergumulan hidup yang nyata.


Bagaimanapun beratnya menjadi sosok semacam itu, tiap zaman selalu ada orangnya. Seperti kata orang bijak: setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Kita berharap, di setiap PTKI minimal ada beberapa tokoh semacam itu, yang dapat menjadi rujukan kalangan akademisi sekaligus masyarakat luas. Di dunia akademis, di kalangan ilmuwan, pendapatnya diperhatikan, dan tulisan-tulisannya dibaca dan dikutip. Di kalangan masyarakat, ceramah dan tulisannya yang populer, juga digemari. Inilah yang diharapkan di PTKI. 


Jika kita bercermin ke berbagai universitas kelas dunia saat ini, maka kita akan temukan bahwa tokoh-tokoh yang terkenal di kampus-kampus itu bukanlah dekan atau rektor, melainkan para guru besarnya. Para guru besar itu terkenal karena temuan-temuan ilmiah dan gagasan-gagasan mereka, yang berpengaruh di dunia ilmiah sekaligus di masyarakat. Mereka adalah kebanggaan kampus. Kampus akhirnya benar-benar menjadi civitas akademika, warga akademis yang penuh gairah dan cinta pada ilmu, bukan civitas politika, warga politik yang selalu berambisi menggebu ingin mendapatkan jabatan atau kekuasaan di kampus. 


Di negeri kita, orientasi akademis ini masih lemah, termasuk di kalangan guru besar. Kita masih sangat jarang menemukan guru besar yang konsisten di dunia akademis, meneliti, menulis dan menerbitkan karya yang bermutu. Yang banyak kita temukan, mereka suka ribut berebut jabatan, tidak jauh berbeda dengan para politisi. Akibatnya, muncullah cemooh sinis: GBHN, Guru Besar Hanya Nama! 


Selanjutnya, peran dosen sebagai akademisi dan tokoh agama/dakwah di atas memiliki dimensi lain yang sangat penting di zaman ini. Kini kita hidup di era disrupsi, ketika perubahan sulit diprediksi. Dalam era tsunami informasi ini, manusia terhuyung-huyung di tengah arus informasi itu. Ia bingung dan galau, manakah yang dia pilih dan pegangi? Adakah tokoh yang patut dipercaya? Ada banyak tokoh yang menjadi idola, menjadi selebriti di dunia maya, entah itu Youtuber ataupun Selebgram. Orang bilang, kini kepakaran atau keahlian terancam mati (the death of expertise). Kepakaran itu sebenarnya tidak mati, tetapi kepercayan orang kepadanya mulai meredup atau goyah.


Ada banyak orang yang tampil sebagai tokoh agama dari berbagai aliran dan penjuru dunia. Fatwa MUI, NU dan Muhammadiyah sudah disampaikan kepada umat, tetapi umat belum tentu akan mengikuti dan mendengarkannya. Kadangkala fatwa ustadz populer di media sosial lebih didengar ketimbang fatwa MUI atau ormas keagamaan. Kadangkala seorang yang pandai berpidato lebih disukai dan diikuti ketimbang ulama yang berilmu luas. Kontestasi paham keagamaan memang sulit dihindari sejak dulu kala, tetapi kini kontestasi itu semakin intens. Akibat kontestasi itu, otoritas keagamaan semakin mengalami fragmentasi, keterpecahan.


Menghadapi tantangan ini, dosen akademisi cum da'i di perguruan tinggi adalah salah satu harapan kita. Kita harus kembalikan kepercayaan masyarakat kepada keahlian atau kepakaran. Jika bicara soal virus, kita harus mendengarkan ahli virologi yang telah mempelajarinya bertahun-tahun lamanya. Jika berbicara tentang penyakit dan pengobatannya, kita harus mendengarkan dokter. Begitu pula dengan ilmu-ilmu keislaman. Kita harus tegakkan otoritas keilmuan para ahli di bidangnya seperti ahli fiqh, tafsir, hadis, tauhid, tasawuf, serta ilmu-ilmu sosial humaniora sebagai penunjang seperti sosiologi, antropologi, pendidikan, politik, psikologi, sejarah dan lain-lain. 


PTKI adalah tempat di mana kepakaran itu disemai, ditumbuhkembangkan dan ditegakkan. Jika PTKI tidak bermutu, tidak berorientasi keilmuan, maka sulit kiranya otoritas kepakaran itu ditegakkan. Bagaimana masyarakat akan percaya jika alumni PTKI hanya banyak bilangannya tetapi tidak terbilang? Adanya sama dengan tidak adanya. Apalagi jika yang tidak bermutu itu adalah dosen-dosennya! 


Menurut Mujiburrahman, selain menegakkan otoritas keilmuan, moral dan spiritual, orang PTKI juga harus turut serta hadir di ruang publik dunia maya, tidak hanya dunia nyata. Pertama, kita harus memiliki literasi media, yakni memahami cara menggunakan media untuk kebaikan, dan mampu menghindari dampak-dampak negatifnya. Kita tidak saja harus paham cara mengirim pesan, tetapi juga menyeleksi pesan-pesan yang kita terima sehingga tidak mudah terjebak oleh berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian. 


Kedua, kita harus melaksanakan penelitian ilmiah terhadap fenomena keagamaan di media sosial, dan mengkaji pengembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan memiliki kajian ilmiah, kita akan dapat menjelaskan, meramalkan dan dalam batas tertentu, mengendalikan keadaan. Ketiga, kita harus menciptakan konten-konten yang bermanfaat, yang menebarkan pesan-pesan yang mencerahkan hati dan mendamaikan masyarakat. Kita tidak boleh hanya mengeluh bahwa dunia maya dipenuhi dengan paham radikal sementara kita berdiam diri saja. Kita harus berusaha menghadirkan pesan-pesan bermutu sekaligus menarik.


Demikianlah kiranya peran ideal dosen PTKI, yakni perpaduan antara peran akademis dan dakwah. Kita berharap peran sebagai ilmuwan yang mengajar, meneliti, menulis dan menerbitkan karya-karya ilmiah dibarengi dengan keterlibatan dalam upaya menanggulangi persoalan-persoalan nyata di masyarakat. Kita tidak ingin dunia akademis berada di menara gading, sibuk dengan dirinya sendiri, dan berdialog dan berdiskusi hanya dengan sesama akademisi. Kita ingin ilmu yang dikembangkan harus bermanfaat, yakni mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. 


Di sisi lain, kita juga tidak ingin para dosen yang menjadi pendakwah sekadar mengulang-ulang hapalannya, tidak memiliki wawasan keilmuan karena malas membaca, meneliti dan menulis. Sebagaimana agama mengajarkan, menuntut ilmu itu wajib dari buaian sampai ke liang lahat. Belajar dan terus belajar adalah kewajiban. Guru dan dosen yang tidak mau belajar, mungkin tidak pantas lagi mengajar. Apalagi di era tsunami informasi ini, ketika serbaneka masalah bisa ditanyakan ke Google. Jika kita malas belajar dan tidak kreatif, maka kita akan kehilangan otoritas. Padahal otoritas keagamaan itu sangat penting sebagai pegangan hidup bagi kaum beriman.


Tentu saja, jika kita tidak bisa memadukan kedua-duanya, minimal kita tidak mengabaikan salah satunya. Kita boleh lebih memerhatikan dunia akademis, namun jangan sampai pula sepenuhnya melupakan dakwah, minimal melalui tulisan populer atau tampil di media elektronik. Begitu pula, kita boleh lebih mengutamakan dakwah di akar rumput, terjun ke masyarakat, namun jangan sampai kita melupakan sama sekali upaya-upaya untuk menambah ilmu, membuka wawasan melalui membaca, meneliti dan menulis. Seperti kata sebuah kaidah, mà là yudraku kulluh, là yutraku kulluh (apa yang tak dapat diraih semuanya, jangan dibuang semuanya).

                  *       *       *

Itulah dua gagasan bernas di antara berbagai gagasan lain yang terdapat dalam buku Pendidikan Era Digital. Masih banyak gagasan-gagasan cemerlang lainnya yang tersaji dalam buku ini. Misalnya tentang keterampilan membaca dan menulis, penguasaan bahasa Arab dan Inggris yang dinarasikan menurut pengalaman sang Rektor secara langsung. Jadi tulisannya benar-benar hidup, ekspresif dan impresif. Ada juga topik tentang cara menulis penelitian tokoh dan literatur dengan langkah-langkah praktis yang sangat praktis untuk diterapkan.


Membaca buku dan tulisan Mujiburrahman itu sangat mengasyikan. Saya menikmati sebagian besar karya tulisnya, sejak buku Mengindonesiakan Islam hingga buku yang terbaru ini. Hanya buku Sains, Agama & Kebijakan Publik yang belum sempat saya miliki. Salah satu kelebihan Mujiburrahman dalam pembacaan saya adalah beliau mampu mengurai persoalan-persoalan rumit dengan bahasa sederhana dan ringan yang mengalir tanpa kehilangan bobot akademisnya. Rektor kita ini juga sangat fasih membingkai tulisan-tulisannya dengan teori-teori sosial, sejarah, politik, pendidikan, maupun keagamaan.


Ketika berbicara tentang wacana-wacana sosial. Mujiburrahman membungkus analisisnya dengan menggunakan teori-teori sosial dari ilmuwan sosial. Tatkala membincangkan persoalan-persoalan pendidikan, beliau menampilkan pandangan dari pakar pendidikan yang relevan. Sewaktu mendiskusikan masalah-masalah politik, beliau menayangkan perspektif para teoritikus politik. Dan saat membahas problematika-problematika keagamaan, beliau sangat mahir membungkus analisisnya dari para ulama, teolog atau mufakkir kontemporer yang relevan.


Jadi meskipun tulisannya menggunakan bahasa yang ringan mengalir, namun kita sebagai akademisi tetap sangat menikmati dan mendapatkan pencerahan intelektual. Bahkan opini-opini populernya yang publish setiap hari Senin di media massa Banjarmasin Post senantiasa dibingkai dengan puspa ragam teori dari para ilmuwan sosial, politik, sejarah, sains, pendidikan, maupun agama. Di sini, kita bisa melihat bahwa Rektor kita ini memang seorang akademisi yang amat senang membaca sekaligus luas bacaan dan kaya referensi pengetahuannya.


Tapi bukan hanya itu. Sejauh pengamatan saya, Mujiburrahman bukan hanya seorang akademisi yang pandai menulis tapi juga seorang orator inteletual yang fasih berorasi dan presentasi. Saya berkesempatan menyimak presetasinya secara langsung sebanyak dua kali. Pertama, kalau tidak salah pada tahun 2008 dalam seminar internasional di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat itu, saya sedang studi doktoral di UIN. Seminar ini diisi oleh sebagian dosen-dosen muda lulusan Barat dan Eropa. Saat itu, Mujiburrahman presentasi dengan menggunakan bahasa Inggris dengan fasih dan lancar menjelaskan beragam konsep akademik dengan sangat memukau. Beliau presentasi dengan bahasa Inggris seperti bahasa Indonesia saja karena begitu lancarnya.


Kedua, ketika acara AICIS di Bangka Belitung pada tahun 2011. Mujiburrahman presentasi tentang pemikiran Gus Dur. Kebetulan saya jadi moderatornya. Lagi-lagi presentasinya amat inspiratif. Beliau begitu piawai menyajikan keistimewaan pemikiran Gus Dur dengan sangat impresif. Begitu juga presentasi-presentasi dalam forum-forum akademik maupun forum-forum di ruang publik secara luas.


Sehingga Mujiburrahman merupakan sosok akademisi yang lengkap. Tulisan dan presentasinya sama-sama bagus. Beliau bisa menulis dengan inspiratif se-inspiratif orasinya. Beliau juga begitu fasih ber-orasi sefasih narasi tulisannya. Barangkali kita bisa menyebut Mujiburrahman sebagai seorang akademisi-intelektual cum da’i profesional sekaligus da’i profesional cum akademisi-intelektual. 


Akhirnya, buku Pendidikan Era Digital ini, perlu dibaca oleh para pejabat kampus, baik itu Rektor, Wakil Rektor, para Dekan, Kaprodi dan Sekprodi, Ketua dan Kepala Lembaga kampus, maupun para akademisi dan mahasiswa. Harapannya paling tidak buku ini bisa menyuntikkan sekelumit inspirasi terhadap terobosan, inovasi, dan kontribusi di kampus masing-masing yang berbeda. Sebagai pamungkas, buku Pendidikan Era Digital ini, sangat tepat bila dibaca dan dilengkapi dengan buku Era Disrupsi, Peluang & Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia. Jika buku yang terakhir mungkin lebih banyak berbicara secara konseptual, maka buku Pendidikan Era Digital kiranya dapat melengkapi implementasinya secara praktis-faktual di UIN Antasari.


Refleksi oleh Dr. Zaprulkhan

Read more...

Wednesday, May 1, 2024

Menulis

0 comments

 Jadwal Menulis


Beberapa teman sempat bertanya, apakah saya punya waktu khusus untuk menulis? Apakah ada jadwal yang dikhususkan untuk menulis?


Jawabannya tidak ada waktu khusus, tetapi menulis itu buat saya ibarat makan. Kalau laper ya makan. Begitu jamnya laper ya makan. Dan ketika saya laper mau menulis, ya sudah saya pun menulis.


Atau kalau kebetulan ada makanan enak tersedia, ya makan walaupun tidak laper. Makan di luar jam laper itu saya sebut ngemil. 


Walapun sedang tidak ingin menulis, kalau kebetulan ada bahan yang enak untuk dijadikan tulisan, saya tulis saja. Takut keburu lewat bahan itu.


Nah itulah masalahnya, kata teman saya. Dia bilang, dirinya tidak pernah merasa lapar untuk menulis. Lagian juga tidak pernah punya bahan makanan yang mau ditulis. Jadi dia tidak nulis-nulis juga. 


Saya bilang sebenarnya setiap kita pasti bisa menulis. Apalagi teman saya itu sama-sama sudah Lc, artinya kampus sudah mengakui dirinya sudah lulus kuliah selama 8 semester. 


Logikanya, tidak mungkin ada mahasiswa diluluskan kecuali dia pernah kuliah, dan pernah duduk di ruang ujian menjawab soal. Seingat saya, yang namanya menjawab soal ujian itu intinya menuliskan jawaban, yaitu materi yang pernah kita pelajari selama jadi mahasiswa. 


Di kampus kami menjawab soal ujian itu memang mirip dengan menulis makalah. Jumlah soalnya seabreg-abreg, sehingga lembar jawaban pun sampai harus beranak pinak. 


Dan kerennya, nyaris tidak ada tersisa ruang kosong yang tidak tertulis jawaban. Semua terisi penuh hanya dengan modal ingatan dan hafalan sistem kebut semalam. 


Coba seandainya semua kertas jawaban ujian itu dikumpulkan dari semester satu sampai semester delapan, pastilah sudah jadi beberapa jiid buku. 


Sayangnya, baik pihak kampus atau pun para dosen, sama sekali tidak terpikir untuk mewajibkan para mahasiswa mengumpulkan lembar-lembaran jawaban soal ujian, lalu dijiid menjadi satu buku. 


Pada dasarnya semua sarjana itu bisa menulis, hanya saja kita sendiri yang tidak percaya.

Read more...

Sunday, July 30, 2023

Tafsir Muqatil

0 comments

 “Tafsir Muqatil”

Oleh: Prof. Mun'im Sirry


Kali ini saya ingin memperkenalkan tafsir Muqatil bin Sulaiman. Dalam berbagai kesempatan diskusi tentang tafsir, saya kerap mengatakan bahwa Muqatil merupakan mufasir paling awal yang karya utuhnya terpelihara hingga sekarang. Kita tak punya karya tafsir lebih awal darinya.


Namun, biasanya saya tak menambahkan apa yang menjadi ciri-khas tafsir ini dan kenapa tidak dikenal di dunia Muslim saat ini, termasuk di Indonesia. Nah, saya akan menjawab dua pertanyaan apa dan kenapa tersebut, dan berharap status ini mendorong kita menjadi pembaca yang baik.


Muqatil hidup pada paruh pertama abad ke-2 H. Dia meninggal tahun 150 H/767 M, persis tahun yang sama dgn meninggalnya Ibnu Ishaq. Jika Ibnu Ishaq merupakan penulis sirah (biografi Nabi) paling awal yang karyanya sampai kepada kita sekarang, prestasi yang sama dipegang Muqail dalam bidang tafsir.


Bedanya, sirah Ibnu Ishaq berhasil menjadi riwayat hidup Nabi yang standar, bahkan bisa dikatakan resmi (official), dan mempengaruhi narasi hidup Nabi di kalangan Muslim hingga saat ini. Sebaliknya, tafsir Muqatil justru ditinggalkan dan diabaikan, kendati banyak hal yang sebenarnya dapat kita pelajari darinya.


Sebelum dilanjutkan dengan pertanyaan “kenapa,” baiknya diketahui apa yang unik dari tafsir Muqatil ini. Fakta bahwa ini adalah tafsir paling awal seharusnya sudah cukup untuk mendorong kita mempelajarinya secara serius.

Tafsir ini ditulis sebelum muncul mazhab-mazhab fikih dan sekte-sekte teologi resmi atau, lebih tepatnya, ketika berbagai mazhab dan sekte itu masih dalam periode formasi/pembentukan. Menarik untuk dilihat apa yang dikatakan seorang Muslim sebelum adanya (perdebatan) mazhab-mazhab teologis yang sengit dan/atau sebelum sekat-sekat identitas keberagamaan begitu meruncing.


Ketika suatu saat saya menulis soal siapa anak Nabi Ibrahim yang hendak disembelih, tafsir pertama yang saya lihat ialah Muqatil. (Silakan google tulisan saya tentang itu.) Menarik dicatat, ternyata Muqatil mengatakan secara eksplisit: Ishaq. Kalau kita tanya umat Muslim sejagad saat ini, pasti jawabannya ialah Isma’il.


Dari segi bentuk, tafsir Muqatil ini bisa dilihat sebagai model tafsir yang masih “primitif.” Tak ada penjelasan panjang-lebar. Yang dilakukan Muqatil hanya berupa “glossing” atau memberikan padanan kata. Dalam bahasa akademisnya disebut “paraphrastic exegesis,” yakni tafsir yang memberikan makna dalam bentuk kata lain.


Ada dua keunikan lain dari tafsir Muqatil. Pertama, jika kita membaca tafsir ini dalam bentuk manuskrip yang belum diedit, maka sulit untuk membedakan antara teks al-Quran dan tafsirnya. (Kalau dalam kitab yang sudah diedit kan diberi tanda utk membedakan antara ayat dan tafsirnya.) Muqatil punya keahlian merangkai kata sehingga teks al-Quran dan tafsirnya tampak mengalir seolah menjadi satu cerita yang berkesinambungan. Ciri unik ini pertama kali diobservasi oleh John Wansbrough dan disebutnya sebagai “haggadic,” yakni one continuous story.


Keunikan kedua ialah kebiasaan Muqatil mengomentari semua hal dalam al-Quran. Hampir tak ada yg luput dari perhatiannya. Ketika al-Quran mengatakan “wa-qala al-kafiruna” (orang2 kafir berkata), Muqatil akan menyebutkan nama-nama orang kafir yang dimaksud. Atau, “qala al-yahud” (orang2 Yahudi berkata), Muqatil menyebut nama-nama orang Yahudi dimaksud.


Bahkan, dia menyebut nama anjing yang tinggal di gua bersama para pemuda yang tertidur ratusan tahun dalam surat al-Kahfi. Ayat 18: “dan anjing mereka” (dikomentari Muqatil) namanya Qimthir.


Dari mana Muqatil tahu bahwa nama anjing itu “Qimthir”? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, Muqatil dituduh oleh lawan-lawannya sebagai pembohong. Dia suka mengatakan apa saja tanpa dasar.


Disebutkan oleh lawan-lawannya: suatu saat, ada orang datang kepadanya mengatakan bahwa dia ditanya orang tentang warna anjing yang menemani para pemuda di gua. Muqatil malah mengajarinya supaya bohong: “Kalau lo bilang “kuning” atau “putih,” kan ndak ada yang bisa membantah. Wong gak ada yang tahu juga.”


Dalam artikel “Muqatil b. Muqatil and anthropomorphism” yang terbit beberapa tahun lalu di Studia Islamica (jurnal ini terbit di Jerman, bukan “Studia Islamika” PPIM UIN-Jakarta), saya mendiskusikan banyak contoh tuduhan yang dilemparkan lawan-lawan Muqatil, terutama kalangan muhaddits yang hidup beberapa generasi setelah masa Muqatil.


Dia dituduh hendak memfabrikasi hadits-hadits untuk kepentingan penguasa, baik Umayyah maupun Abbasiyah. Tak dapat disangkal, Muqatil memang punya kedekatan dengan para penguasa, baik ketika masih di Kharasan pada masa dinasti Umayyah atau ketika pindah ke Basrah saat pemerintahan Abbasiyah.


Yang menjadi masalah ialah banyak ulama Muslim, termasuk di zaman modern, hanya bersandar pada apa yang dikatakan lawan-lawan Muqatil, dan tidak mempelajari karya-karya Muqatil sendiri. Padahal, dalam iklim sektarian yang panas, berbagai tuduhan dilemparkan untuk mendiskreditkan musuh/lawan. Dan kita tak tahu apakah tuduhan itu punya dasar.


Tak heran jika Muqatil begitu dibenci. Coba baca apa yang dikatakan “ahli tafsir” modern seperti Husain al-Dzahabi. Katanya, karya-karya Muqatil, termasuk tafsirnya, penuh dengan kemungkaran. Ini dikatakan oleh Dzahabi yang bukunya “al-tafsir wa’l-mufassirun” dijadikan diktat di Universitas al-Azhar!


Hingga saat ini kaum Muslim (termasuk di Indonesia) masih menjadi korban tuduhan-tuduhan terhadap Muqatil, yang sebenarnya dilancarkan oleh lawan-lawannya dalam iklim polemik dahulu, tanpa memahami konteksnya. Dalam suasana panas, seperti dapat dibayangkan, masing-masing kelompok gencar menuduh kelompok lain.


Sikap menjauhi tafsir Muqatil sungguh tidak masuk akal. Jika pun benar Muqatil pernah berbohong dalam suatu periwayatan, tidak berarti seluruh karyanya adalah sampah belaka. Yang saya tahu, ulama-ulama kita dahulu lebih fair dan adil dalam bersikap ketimbang kebanyakan ulama zaman modern.


Coba dengarkan pernyataan imam Ahmad bin Hanbal. Ketika ditanya tentang Muqatil, dia menjawab: “Beberapa karyanya dipersoalkan, namun saya sendiri melihat dia punya pengetahuan yang mendalam tentang al-Quran.” Dengarkan juga pujian imam Syafi’i: “Barangsiapa yang hendak belajar tafsir, dia perlu mengkaji Muqatil.” Syafi’i membandingkan pengetahuan tafsir Muqatil dengan pemahaman fikihnya Abu Hanifah.


Apakah imam Ahmad dan imam Syafi’i memuji tafsir Muqati tanpa membacanya? Pasti tidak! Keduanya membaca dgn lensa keilmuan untuk memahami. Bukan dengan semangat untuk menyebarkan kebencian. Jangan menjadi pembaca dgn katamata kebencian karena itu adalah ciri manusia berpikiran kerdil!

Read more...

Saturday, July 29, 2023

Versi Sejarah al-Quran yang Terlupakan

0 comments

 “Versi Sejarah al-Quran yang Terlupakan”

Review buku oleh Mun'im Sirry


Berikut review singkat buku “Jam’ul Quran: Bayna isykaliyyat al-nash wa-ru’yat al-istisyraq” (Pengumpulan al-Quran: Antara problem teks dan perspektif orientalisme) karya Dr. Abdul Jabbar Naji. Dibagi dalam 8 bab, buku ini menyorot tiga persoalan penting (1) problem sejarah teks al-Quran yang dinarasikan sumber-sumber Sunni; (2) keberadaan mushaf Ali sebelum proyek mushaf Abu Bakar dan Utsman, and (3) diversifikasi pandangan orientalis.

Jika ketiga persoalan itu diperas intinya mengarah pada pertanyaan: Kenapa para pengkaji al-Quran di Barat mengabaikan sejarah al-Quran versi Syi’ah, padahal sumber-sumber Sunni tidak menyajikan riwayat yang koheren tentang asal-muasal mushaf al-Quran?


Bagi saya, ini pertanyaan menarik dan menghentak karena para peneliti sejarah al-Quran, baik di Barat maupun di dunia Muslim, telah begitu lama mengabaikan kekayaan literatur Syi’ah. Terkecuali diskusi singkat yang dilakukan Friedrich Schwally, sarjana-sarjana Barat mendiskusikan sejarah al-Quran dengan sepenuhnya bersandar pada perspektif dan sumber-sumber Sunni.


Di dunia Muslim, karena diskusi sejarah al-Quran telah dianggap selesai, para penulis Muslim (Sunni) tidak lagi tertarik menelaah kompleksitas riwayat-riwayat seputar pengumpulan dan formasi mushaf al-Quran yang disajikan dalam sumber-sumber Sunni. Asumsi umum yang berkembang ialah bahwa riwayat pengumpulan al-Quran itu direkam dalam sumber-sumber otentik, seperti Shahih Bukhari.


Buku Abdul Jabbar ini perlu dibaca karena akan menyadarkan kita bahwa sejarah al-Quran “jauh dari selesai.” Tentu saja, seperti diduga, buku ini ditulis dari perspektif Syi’ah dan hendak menegaskan superioritas mushaf Ali dibanding mushaf-mushaf lain, termasuk yang dikenal dengan mushaf Utsmani. Sampai pada batas tertentu, Abdul Jabbar berhasil mendemonstrasikan bahwa sejarah al-Quran versi Sunni yang dimuat dalam sumber-sumber otoritatif, seperti shahih Bukhari, tidak sedemikian koheren sebagaimana umumnya diduga.


Seperti terlihat dalam SS, versi Bukhari sendiri sebenarnya tidaklah tunggal, melainkan beragam dan kontradiktif. Riwayat yang umum diketahui, ketika Zaid mulai menghimpun al-Quran, dia mengaku kehilangan 2 ayat di akhir surat al-Ahzab dan akhirnya menemukan (hanya) pada Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari. Ternyata Bukhari meriwayatkan kisah ini dengan berbagai versi. Abdul Jabbar mengidentifikasi enam versi dalam Bukhari.


Bahkan, tentang siapakah sahabat yang bernama “Khuzaiman” itu sulit ditemukan identitasnya di kalangan sahabat. Satu riwayat Bukhari menyebutkan namanya sebagai “Abu Khuzaimah,” bukan Khumaimah. Dalam versi lain, yang ditemukan itu satu ayat, bukan dua. Ada riwayat lain lagi memperlihatkan karaguan Zaid untuk mengambilnya atau tidak.


Ini baru tentang Khumaimah dalam satu kitab yang dianggap otoritatif! Bagaimana jika dibandingkan dengan sumber-sumber lain? Bagaimana juga dengan tugas besar yang dibebankan pada seorang anak muda, bernama Zaid bin Tsabit? Dia mengaku “kehilangan” ayat dan menemukan pada Khumaimah? Kehilangan? Kehilangan itu maksudnya kelupaan.


Bagaimana mungkin Zaid bersandar pada Khumaimah seorang diri, dan tidak dikuatkan dengan saksi-saksi lain? Memang, kemudian disebutkan suatu riwayat bahwa kesaksian seorang Khumaimah bernilai 2 orang. Pertanyaan yang diajukan Abdul Jabbar ialah: Kenapa Zaid tidak berkonsultasi dengan sahabat-sahabat senior yang dikenal memiliki mushaf sendiri, seperti Ubay, Ibn Mas’ud, atau imam Ali sendiri, tapi malah menerima transmisi seorang Khuzaimah?


(Juga kenyataan bahwa Zaid menemukan 2 ayat hanya pada satu orang (Khuzaimah) memunculkan pertanyaan serius soal klaim “seluruh al-Quran ditransmisikan secara mutawatir.” Bagaimana mungkin bisa dikatakan mutawatir jika hanya diriwayatkan oleh satu orang? Saya pernah bicara 3 pertemuan terkait “al-Quran bersifat mutawatir” itu. Kayaknya masing2 pertemuan berdurasi 2 jam. Jadi, bicara tema itu selama 6 jam, haha. Yang ikut acara itu, silakan ngacung tangan!)


Ini baru satu contoh. Episode-episode lain dalam sejarah pengumpulan al-Quran, baik pada masa Abu Bakar maupun Ustman bin Affan, sama sekali tidak steril dari pertanyaan kritis Abdul Jabbar. Jika dalam contoh di atas dikesankan peran sentral dari seorang Zaid, dalam riwayat Bukhari yang lain dikesankan sebagai kerja tim.

Disebutkan oleh Bukhari, Utsman memerintahkan Zaid untuk menuliskan apa yang didektikan oleh Sa’id bin al-Ash dan dihadiri oleh Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin al-Harits (baca buku Abdul Jabbar hal. 41 dan seterusnya). Melalui pengamatan yang jeli, Abdul Jabbar mempersoalkan akurasi riwayat ini karena mereka semua masih sangat muda. Sa’id bin al-Ash itu lahir pada tahun hijrah, artinya dia berumur 10 tahun ketika Nabi wafat. Demikian juga Abdurrahman yang berumur belasan tahun saat Nabi meninggal.


Pertanyaan retorisnya: Masak iya tugas maha besar menghimpun dan mengumpulkan al-Quran dibebankan kepada bocah-bocah, padahal banyak sahabat lain yang lama hidup bersama baginda Nabi dan lebih mengetahui seluk-beluk turunnya ayat-ayat al-Quran?


Ada sejumlah poin lain dalam buku ini yang perlu direnungkan serius. Misalnya, soal alasan Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Quran. Yakni, karena sejumlah sahabat penghafal al-Quran gugur pada perang Yamamah. Pertanyaan Abdul Jabbar, jika memang itu motivasinya, lalu di mana peran para penghafal al-Quran itu (mereka yang tidak gugur di Yamamah) dalam narasi pengumpulan al-Quran? Mereka tak disebutkan dalam riwayat pengumpulan al-Quran.


Terus terang, saya suka dengan sikap kritis Abdul Jabar, termasuk kritiknya terhadap kajian orang-orang Barat, yang disebutnya orientalis. Diakui atau tidak, para pengkaji al-Quran di Barat terlalu bersandar pada sumber-sumber Sunni, dan mengabaikan sumber Syi’ah. Dengan nada sedikit meledek, Abdul Jabbar berkata: “Pantesan kajian orientalis sampai pada kesimpulan beragam, karena mereka bersandar pada sumber-sumber yang penuh kontradiksi!”


Sayangnya, sikap kritis Abdul Jabbar tidak tampak ketika dia mendiskusikan sumber-sumber Syi’ah terkait superioritas mushaf Ali. Memang benar sumber-sumber Sunni pun sebenarnya menyebut mushaf Ali. Namun demikian, jika dia bersikap kritis pada koherensi sumber-sumber Sunni, seharusnya dia memperlihatkan sikap yang sama terhadap sumber-sumber Syi’ah.


Saya setuju bahwa sumber-sumber Syi’ah perlu mendapatkan tempat dalam kajian akademis. Sudah saatnya sejarah versi Syi’ah didiskusikan secara serius, bukan dilupakan. Saya juga setuju bahwa sumber-sumber Sunni perlu dilihat dengan kacamata kritis. Tapi, sangat disayangkan jika kritisisme Abdul Jabbar pada narasi Sunni semata dimotifasi oleh semangat sektarianisme, sehingga dia tak kuasa untuk bersikap kritis pada sumber Syi’ah.

Kenyataannya, problem-problem yang dihadapi sumber Sunni, sebagaimana saya tulis dalam “Rekonstruksi Islam Historis” dan “Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis”, juga ditemukan dalam sumber Syi’ah. Itu sebabnya penulis-penulis Syi’ah modern yang bersandar pada sumber-sumber Syi’ah, seperti al-Khu’i dan Hadi Ma’rifat, sampai kesimpulan berbeda soal sejarah al-Quran. Coba pelajari pandangan keduanya terkait apakah sudah ada kitab al-Quran pada zaman Nabi. Khu’i mengatakan ada, sementara Ma’rifat menolaknya.


Ala kulli hal, kajian akademis mensyaratkan sikap kritis tanpa memandang apakah itu terkait iman kita sendiri atau pihak lain. Jika hanya mau ngritik pihak lain sementara mengagung-agungkan keimanan sendiri sebagai satu-satunya kebenaran, jangan bermimpi jadi sarjana yang serius. Ada profesi lain yang lebih pas. Misalnya, da’i atau khatib. Syukur-syukur bisa masuk daftar penda’i yang dulu pernah diinisiasi Kemenag untuk diberikan sertifikat.

Semua profesi itu mulia. Cuma masing-masing punya karakteristik dan persyaratannya sendiri. Iyo orak? Eh ternyata review ini tidak singkat.

Read more...

Thursday, July 27, 2023

Mushaf 'Ali bin Abi Thalib

0 comments

 “Mushaf ‘Ali bin Abi Thalib”

Oleh: Prof. Mun’im Sirry


Ketika melihat beberapa komentar yang menanyakan tentang keberadaan mushaf ‘Ali bin Abi Thalib dan apakah Syi’ah mempunyai al-Quran berbeda, saya menulis status hendak menulis overview tentang mushaf imam ‘Ali. Namun, sebelum saya betul2 menulis overview itu, sudah ada yang menuduh saya akan menyebarkan keraguan terhadap mushafnya kaum Muslimin. Komentar itu saya hapus dari wall Fb karena orang seperti ini tidak bertujuan berdiskusi. Ya hanya suka nuduh!


Selama terlibat dalam berbagai kontroversi, saya melihat pola yang sama: Orang yang tak bisa berargumen secara solid biasanya suka melemparkan tuduhan, menyesat-sesatkan, bahkan menggunakan bahasa preman untuk menyebarkan kebencian. Reaksi pertama saya melihat tuduhan seperti komentar tadi ialah kenapa imannya begitu rapuh terancam dengan pembahasan tentang mushaf ‘Ali. Sebegitu lemahkah imannya sehingga merasa terancam bahkan sebelum saya menulis apapun?


Pola lain yang saya pelajari dari berbagai kontroversi ialah, biasanya, orang yang cepat merasa terancam ini berasal dari golongan yang merasa pemahaman Islamnya paling benar sendiri. Karena merasa memiliki kebenaran, maka mereka menyalahkan dan menyesatkan siapapun yang berbeda. Jangankan orang seperti saya, mereka yang merasa paling benar akan menyesatkan senior seperti Prof. Quraish Shihab atau Kiai Said Agil. Ini memang ironi! Merasa paling benar, tapi takut pada pandangan yang berbeda dengannya. Kalau betul merasa paling benar, ngapain takut.


Ketakutan atau merasa terancam dgn pembincangan tentang mushaf imam ‘Ali memperlihatkan miskinnya bacaan. Sebab, mushaf ini sudah dibicarakan oleh banyak ulama Muslim hingga sekarang. (Orang yang sinis, biasanya, juga bilang bahwa apa yang saya tulis tidak baru. Emang, siapa yang bilang baru?) Hampir bisa dipastikan, para ulama Muslim yang menulis tentang sejarah al-Quran atau mushaf akan menyinggung soal mushaf imam ‘Ali ini.

Prof. Abdul Shabur Syahin dalam bukunya “Tarikh al-Quran,” misalnya, merasa perlu berbicara panjang lebar tentang mushaf imam ‘Ali dibandingkan mushaf2 lain, seperti mushaf Ibnu Mas’ud atau Ubay bin Ka’ab. Prof. Syahin merupakan seorang ulama konservatif di Mesir, yang berkontribusi menggiring opini publik melawan pemikiran almarhum Nasr Hamid Abu Zayd, hingga yang disebut terakhir dibawa ke pengadilan.


Syahin menghabiskan 18 halaman membicarakan mushaf ‘Ali. Seperti diduga, yang dilakukannya ialah hendak meminimalkan signifikansi mushaf ini dan menegaskan keunggulan mushaf ‘Utsman. Saya akan kembali soal ini di bagian akhir nanti. Yakni, bagaimana pengaruh sektarianisme dalam wacana superioritas mushaf, terutama di kalangan Sunni dan Syi’ah.

Yang ingin ditegaskan di sini ialah bagaimana mushaf imam ‘Ali disebutkan dalam sumber-sumber Muslim, baik Syi’ah maupun Sunni. Riwayat-riwayat yang menyebutkan ‘Ali menulis mushaf setelah baginda Rasulullah wafat itu direkam dalam sumber Syi’ah dan Sunni dengan berbagai versi. Sekadar untuk menyebut beberapa: “Ushul al-Kafi” oleh Kulaini, “tafsir al-Qummi,” “Majma’ al-bayan” oleh Tabarsi (Syi’ah); “Kitab al-mashahif” oleh Ibn Abi Dawud, “al-Burhan” oleh Zarkasyi, “al-Iqthan” oleh Suyuti (Sunni). Riwayat paling detail dapat ditemukan dalam “Tarikh al-Ya’qubi.”


Dikisahkan, ketika Rasulullah meninggal, ‘Ali tidak terlibat dalam percekcokan soal kepemimpinan pasca-Nabi, yang akhirnya berakhir dengan pengangkatan Abu Bakar. ‘Ali sibuk mengurus jenazah Nabi, dan setelah itu fokus mengumpulkan al-Quran. Ada beragam riwayat tentang inisiatif ‘Ali mengumpulkan al-Quran ini, baik riwayat yang dituturkan sendiri atau dinarasikan orang lain.


Yang dituturkan sendiri, misalnya, ‘Ali mengatakan tidak akan melepaskan jubahnya hingga dia mengumpulkan al-Quran dalam sampul. Riwayat lain melibatkan Abu Bakar yang, karena tidak melihat ‘Ali, menyuruh orang supaya ‘Ali menghadap kepadanya. Abu Bakar menanyakan kenapa ‘Ali tidak memberikan bai’at. “Kamu tidak suka dengan kepeminpinan saya ya?” ‘Ali menceritakan bahwa dia disibukkan oleh aktivitas menghimpun al-Quran di rumah Nabi.

Dalam berbagai riwayatkan disebutkan, mushaf yang dihimpun oleh ‘Ali didasarkan pada urutan turunnya surat-surat al-Quran. Riwayat ini disebutkan oleh banyak ulama, seperti Ibn Sa’ad, Ibn Jizzi, atau Suyuti. Namun, melihat susunan mushaf ‘Ali yang dirangkum oleh Ya’qubi tidak tampak bahwa mushaf imam ‘Ali disusun berdasarkan urutan waktu.


Dicatat dalam Tarikh Ya’qubi, mushaf ‘Ali dibagi dalam 7 bagian dan masing-masing bagian terdiri beberapa surat. Misalnya, bagian pertama terdiri dari surat al-Baqarah, Yusuf, al-‘Ankabut,al- Rum, Luqman, dan seterusnya; bagian kedua terdiri dari Ali Imran, Hud, al-Hijr, al-Ahzab, dan seterusnya; bagian ketiga terdiri dari surat al-Nisa’, al-nahl, al-mu’minun, Yasin, dan seterusnya dan seterusnya.


Mereka yang mempelajari mushaf-mushaf non-Utsmani tidak akan kaget dengan ini. Sebab, urutan surat-surat dalam berbagai mushaf memang berbeda. Misalnya, dalam mushaf Ibnu Mas’ud tidak terdapat surat al-Fatihah dan 2 surat terakhir. Juga, urutan surat-suratnya berbeda dengan apa yang dikenal dgn “rasm ‘Utsmani.”


Reaksi para ulama pra-modern terhadap mushaf Ibn Mas’ud cukup beragam. Ada yang merangkainya dalam lingkup perbedaan pendapat apakah susunan surat dalam al-Quran itu berdasarkan ketentuan Ilahi atau hasil ijtihad. Ada juga yang bersikap dismisif. Misalnya, al-Razi mengatakan tak mungkin mushaf Ibn Mas’ud tidak mencakup surat al-Fatihah dan dua surat terakhir. Riwayat yang menyatakan demikian pasti batil (naqlun bathilun).

Terlepas dari semua itu, keberadaan mushaf ‘Ali juga menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ulama-ulama Sunni umumnya menganggap tidak ada karena ‘Ali sendiri mengakui mushaf ‘Utsman. Riwayat yang beredar luas di kalangan ulama Sunni ialah bahwa ‘Ali pernah meng-copy mushaf ‘Utsman ketika ia berada di pucuk pimpinan (menggantikan ‘Utsman yang terbunuh).


Yang menarik ialah kesaksian Ibnu Nadim, seorang bibliografer, yang mengaku pernah melihat penggalan mushaf imam ‘Ali. Dalam kitabnya, al-Fihrist, ia mengatakan melihatnya di kediaman Abu Ya’la Hamzah al-Hasani dengan tulisan tangan imam ‘Ali sendiri. Katanya, “Banu Hasan mewarisi penggalan mushaf ‘Ali tersebut.” Namun demikian, pengakuan Ibnu Nadim ini sulit diverifikasi karena dia hidup lebih dari dua abad setelah ‘Ali.


Perlu juga dicatat, di sebagian kalangan ulama Syi’ah ada keyakinan bahwa naskah imam ‘Ali, yang biasanya disebut “jami’ah,” masih tersimpun. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan imam Ja’far al-Shadiq yang direkam dalam berbagai sumber Syi’ah. “Jami’ah” (dan juga “Jifr”) diriwayatkan ditulis di atas kulit binatang paling bagus. Ini keyakinan yang faktanya tak ada orang yang bisa menunjukkan di mana keberadaannya sekarang. Buktinya, kaum Syi’ah sepanjang masa menggunakan mushaf ‘Utsmani.


Keyakinan umum lain di kalangan Syi’ah ialah bahwa mushaf imam ‘Ali ini bukan hanya mushaf pertama yang ditulis setelah Nabi wafat, melainkan juga memiliki sejumlah keunggulan. Misalnya, mushaf itu disertai catatan tentang “asbab nuzul” (sebab turunnya wahyu) dan penjelasan “nasikh mansukh” (ayat-ayat yang diabrogasi). Disebutkan pula, mushaf imam ‘Ali didasarkan pada bacaan asal yang diturunkan pada Nabi. Makanya, kata ulama-ulama Syi’ah, seandainya yang diterima adalah mushaf ‘Ali, niscaya tidak akan ada perbedaan bacaan. Perlu diketahui, ulama-ulama Syi’ah umumnya menolak perbedaan qira’at (bacaan) yang diakomodasi oleh kalangan Sunni.


Pertanyaan yang menarik dimunculkan ialah: Kenapa mushaf ‘Ali atau peran ‘Ali dalam pengumpulan al-Quran lenyap dalam narasi kaum Sunni? Walaupun, tentu saja, pertanyaan ini dapat dijawab dari berbagai perspektif (termasuk soal konflik kepemimpinan di awal sejarah Islam), salah satu jawabannya terkait dgn kepentingan ideologis atau sektarianisme. Sementara kalangan Syi’ah mengagung-agungkan mushaf imam ‘Ali, kalangan Sunni berusaha meminimalkannya.


Ini mengingatkan saya pada kontroversi besar di Mesir yang melibatkan penulis Sunni yang mempertanyakan kenapa nama ‘Ali tak terdengar dalam sejarah pengumpulan al-Quran pada masa Abu Bakar dan ‘Utsman. Penulis itu bernama Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya yang sangat kontroversial karena mempersoalkan hadits mutawatir (katanya, “ndak ada itu hadits mutawatir!), berjudul “Adhwa’ ‘ala al-sunnah al-muhammadiyah.” Menarik dicatat, buku ini diberi kata pengantar oleh Thaha Husain, yang juga tak sepi dari kontroversi (ide memang tak lepas dari kontroversi!).


Seperti terlihat dalam SS, Abu Rayyah mengaku gagal paham bagaimana mungkin peran imam ‘Ali tak terlihat dalam sumber-sumber Muslim awal. Justeru yang disebut-sebut ialah orang-orang yang derajat pengetahuannya di bawah level ‘Ali. Apa gerangan yang menyebabkan ‘Ali disingkirkan dari proses pengumpulan al-Quran? Padahal, ‘Ali merupakan penulis wahyu yang memiliki kedekatan khusus dengan Nabi.


Reaksi terhadap karya Abu Ruyyah luar biasa negatif. Sejumlah buku ditulis untuk mengutuknya. Serangan terhadapnya bersifat personal. Musthafa Siba’i, misalnya, menuduh Abu Rayyah dengan segala sifat tercela yang tak pantas dilancarkan oleh seorang ulama. Dia merasa tak cukup dengan membalas karya Abu Rayyah dengan karya tandingan, melainkan menghakiminya dengan berbagai cercaan. Anehnya, ternyata reaksi bergaya preman dicontoh banyak orang. Padahal, jika tidak setuju, ya cukup tunjukkan kelemahan pandangan Abu Rayyah secara argumentatif.


Saat menulis status ini, saya coba cari di Google tulisan tentang Abu Rayyah oleh kawan-kawan di Indonesia, ternyata saya temukan beberapa artikel yang menelitinya cukup serius. Sebagian besar menyorot soal pandangannya tentang hadits, termasuk peran Abu Harairah. Saya cukup gembira sebagian penulis di Indonesia melihat kontroversi Abu Rayyah secara tenang dan konstruktif. Sayang tak ada yang menyentuh pandangannya tentang wahyu dan pengumpulan al-Quran.


Hemat saya, pertanyaan Abu Rayyah soal tersembunyinya peran ‘Ali dlm proyek mushaf al-Quran layak direnungkan. Kita boleh tidak setuju dengan jawabannya. Merenungkan pertanyaan tak akan mengerus iman kita. Sebaliknya, saya yakin, mencari jawaban atas pertanyaan tersebut akan menyadarkan kita betapa persoalan2 ideologis dan sektarian tak bisa dinafikan untuk menjelaskan kenapa satu versi sejarah keluar sebagai pemenang di kemudian hari (won the day)! Kawan-kawan yang sudah membaca “Rekonstruksi Islam Historis” tak akan merasa asing dengan pernyataan ini. Insya Allah, poin ini saya elaborasi dalam status lain.


Nah, sekarang, apakah setelah membaca status ini iman Anda menjadi lemah? I don’t think so.

Read more...

Surah Quraisy

0 comments

 Surah Quraisy

Oleh: Prof. Dr. Abad Badruzaman


Sekurangnya ada tiga term yang bagi saya cukup manarik dalam surah Quraisy: ilaf, ju', dan khauf. Kata ilaf yang ada di awal surah ini biasa diterjemahkan "kebiasaan." Saya penasaran, apa iya "ilaf" cuma berarti "kebiasaan". Yang saya inginkan arti yang "lebih jauh", bukan sekadar arti kata perkata secara harfiah. Saya buka tafsir Ma'arij al-Tafakkur wa Daqa`iq al-Tadabbur karya Abdurrahman Hasan al-Midani. Tentang karya Tafsir ini, saya pernah sedikit mengulasnya di Fb ini pada 16 Mei 2022 dengan judul "Tadabbur pun Ada Kaidahnya." Tafsir ini, seperti Tafsir Bayan al-Ma'ani karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy, al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad 'Izzat Darwazah, dan Fahm al-Qur`an al-Hakim karya 'Abid al-Jabiri, adalah tafsir yang disajikan tidak dengan mengikuti urutan surah dalam mushaf melainkan sesuai dengan urutan kronologis turunnya surah.


Menurut al-Midani, ilaf merupakan term yang berlaku dalam dunia perdagangan di kalangan Arab kala itu. Para pemimpin mereka mengadakan perjanjian untuk memberi jaminan keamanan bagi keluar-masuknya barang-barang dagangan serta para pembawanya di sejumlah kawasan di mana mereka biasa melakukan aktifitas perdagangan.


Para pedagang Quraisy memiliki perjanjian dalam sekup yang luas dengan raja-raja Romawi, Persia, Habasyah dan Himyar di Yaman. Tuhan telah mengkaruniakan kepada kaum Quraisy perjanjian ini dan menggerakkan para raja itu untuk menyepakatinya. Karunia ini sebagai salah satu bentuk "penghormatan" Tuhan bagi Tanah Haram dan Rumah-Nya yang Suci serta pengabulan atas doa Nabi Ibrahim untuk menjadikan negeri ini (Mekkah) aman, penduduknya berlimpah buah-buahan (kemudahan rezeki).


Para pemimpin Quraisy yang membuat perjanjian itu adalah empat tokoh dari Bani Manaf: Hasyim, Abd Syams, Muthalib, dan Naufal. Para pedagang Quraisy, seperti telah dikatakan, biasa melakukan perjalanan dagang ke berbagai negeri dengan jaminan keamanan dari penguasa negeri-negeri itu. Mereka aman dari aneka gangguan.

Al-Midani mengatakan, memaknai kata "ilaf" yang ada di awal surah Quraisy dengan apa yang baru saja dipaparkan, jauh lebih menggambarkan apa yang benar-benar terjadi kala itu, dalam pada itu keterkaitan dengan makna harfiahnya tetap terpelihara. Sekaitan dengan ini, Ibnu Abbas pernah berkata, "Orang-orang Quraisy tahu bahwa yang pertama kali membuat perjanjian bagi mereka adalah Hasyim. Ilaf adalah perjanjian dan jaminan. Hasyim bin Abd Manaf membuat perjanjian dengan para raja untuk orang-orang Quraisy."


Menegaskan apa yang sudah cukup terang, bagi orang-orang Quraisy pra-Islam, ilaf merupakan "nomenklatur" tentang perjanjian dan jaminan keamanan bagi ekspedisi dagang mereka yang dengannya mereka beroleh keuntungan dan rezeki yang banyak. Mereka merasa tenang di perjalanan; keluar-masuk sebuah negeri, datang dan pergi, musim panas dan musim dingin. Ke selatan mereka sampai di Yaman, salah satu wilayah Habasyah; ke utara, timur, dan barat; ke Syam, Irak, Persia dan Mesir, dalam sebuah perjalanan dagang yang luas, bahkan terkadang mereka sampai ke India.


Ini menunjukkan bahwa penduduk Mekkah dulunya adalah para pedagang yang sudah terbiasa melakukan perjalanan ke banyak penjuru dengan aman. Mereka telah berhubungan dengan banyak negeri yang sudah maju kala itu. Kepada para pemimpin negeri yang didatangi, para pedagang Quraisy biasa mempersembahkan hadiah seraya menjalin perjanjian keamanan serta kesepakatan bisnis, antara lain terkait aktifitas ekspor dan impor. Mekkah waktu itu merupakan pusat perdagangan yang sibuk. Pasar-pasar Mekkah dipenuhi dengan para pedagang yang datang dari berbagai negeri dan kabilah-kabilah Arab.


Dalam pandangan al-Midani, keunggulan orang-orang Quraisy dalam dunia perdagangan kala itu dibanding suku-suku Arab lainnya, tak lepas dari kenyataan bahwa mereka adalah penduduk Tanah Haram di mana Baitullah berada di dalamnya. Tentang hal ini orang-orang Quraisy berkata, "Kami adalah keluarga Allah, anak-cucu Ibrahim, para penguasa Bait al-Haram, penduduk dan penghuni Tanah Haram-Nya. Tidak ada seorang pun memiliki hak seperti kami, tidak ada seorang pun memiliki kedudukan seperti kami. Bangsa Arab tidak pernah mengenal suku mana pun seperti yang kami miliki."


*^*

Surah ini mengandung taklif atau perintah yang merupakan inti yang hendak disampaikan. Surah dimulai dengan terlebih dahulu mengemukakan 'illat (alasan) bagi ditetapkannya taklif itu. Kata para ahli, model begini ini termasuk gaya bahasa yang indah. Tidak langsung memberi taklif, tapi dikemukakan dulu 'illat-nya agar lebih mengena. Disebutkan pula sebelum penetapan taklif itu pihak yang akan dikenai taklif dalam bentuk ghaib (pihak ketiga): mereka (orang-orang Quraisy).


Kalau dinarasikan, kurang-lebih seperti ini: "Karena kebiasaan berdagang orang Quraisy yang dilindungi dengan perjanjian dan jaminan keamanan dari pihak-pihak yang telah disebutkan, serta kemudahan yang Allah karuniakan kepada mereka demi kemuliaan Rumah-Nya dan Tanah Haram-Nya; sehingga mereka bisa melakukan perjalanan dagang di musim dingin dan musim panas, ke utara, selatan, timur dan barat, yang dengannya mereka meraup banyak rezeki dalam keadaan aman-damai, maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik Rumah ini seraya bersyukur atas semua karunia-Nya. Dia-lah yang telah membebaskan mereka dari lapar dan melindungi mereka dari rasa takut."


Dengan demikian, ayat 1 dan ayat 2 merupakan "alasan bagi terbitnya perintah", sedang ayat 3 merupakan "materi perintah"-nya. Seperti telah disinggung, di sini terlihat bahwa Tuhan mendahulukan penyebutan "alasan" bagi sebuah perintah, baru kemudian menyebutkan "perintah"-Nya. Ayat 4 kemudian menguatkan posisi perintah dengan menyebutkan "siapa" yang menerbitkan perintah, dan "apa" saja kebaikan yang telah dikaruniakan-Nya kepada pihak yang diperintah.


*^*

Dari surah ini dapat dipetik beberapa poin, antara lain:

Pertama: Al-Quran memanglah bukan kitab sejarah. Namun begitu, ia dapat dijadikan "pemandu awal" bagi para pembacanya tentang beberapa peristiwa penting yang terjadi di kawasan di mana ia turun, terutama yang terkait dengan Arab pra-Islam, turunnya Islam, dan kenabian Muhammad Saw. Penyebutan beberapa tempat dan peristiwa dalam al-Quran, selain karena tuntutan konteks dalam rangka menegaskan sebuah pesan, sebaiknya memantik kita untuk menelusur lebih jauh mengenai tempat dan peristiwa yang "di-mention" oleh al-Quran itu. Dari sana diharapkan kita menjadi paham mengapa al-Quran menyebutkannya, ada hal penting apa saja yang terdapat di dalamnya, dan pelajaran apa saja yang kiranya relevan dengan sejarah Islam dan kenabian Muhammad Saw. Pada hemat saya, surah Quraisy ada dalam frame pembicaraan ini. Yakni salah satu petunjuk atau gambaran awal dari al-Quran tentang masyarakat Quraisy waktu itu.


Kedua: Khusus terkait surah Quraisy ini, saya rasa amat relevan apabila ia dijadikan pelajaran atau pun pedoman oleh para pemimpin atau mereka yang memiliki kekuasaan atas masyarakat. Yaitu, hendaknya mereka meneladani Tuhan ketika Dia memerintahkan manusia untuk menyembah-Nya. Dalam surah ini, seperti telah disitir, Tuhan mendahulukan penyebutan alasan turunnya perintah ketimbang mendahulukan penyebutan perintah-Nya itu sendiri. Ada "rasionalisasi" yang jelas mengapa ada perintah. Kemudian, setelah menyebutkan perintah-Nya pun, Dia mengukuhkannya dengan menyebut beberapa kebaikan yang telah Dia karuniakan kepada pihak yang diperintah. Pelajarannya: seorang pemimpin atau penguasa jangan hanya fasih menyuruh "ini-itu" kepada bawahan atau rakyatnya. Penuhi dulu hak-hak dasar mereka, baru setelah itu tuntut kewajiban mereka. Belajarlah dari Tuhan: Dia menyuruh orang-orang Quraisy untuk menyembah-Nya setelah dia memenuhi hak mereka atas kecukupan pangan dan rasa aman.

Read more...

Tuesday, July 25, 2023

NABI PEREMPUAN

0 comments

 Cara Kerja Para Peneliti


Penafsiran al-Qurtubi tentang Nabi Perempuan: Potret Bagaimana Kalangan ‘Alim dan Akademisi Berpikir dan Bekerja

Nabi perempuan? Memangnya ada? Bukankah 25 nabi yang diajarkan kepada kita sejak kecil semuanya adalah laki-laki?


Pandangan tentang sosok nabi perempuan barangkali terdengar asing dan aneh di telinga kita hari ini. Tetapi, 8 abad yang lalu, beberapa ulama besar Andalusia mendiskusikan kemungkinan adanya nabi dari kaum hawa. Imam al-Qurtubi (w. 1273), seorang penulis tafsir al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, berpendapat bahwa Maryam adalah seorang nabi dalam penafsirannya atas surah Ali Imran ayat 42. 


Ayat tersebut menginformasikan, lanjut al-Qurthubi, bahwa Allah memberikan wahyu kepada Maryam melalui perantara malaikat Jibril sebagaimana Allah menurunkan wahyu kepada para nabi sebelumnya.

Al-Qurthubi juga mengutip hadis yang menyebutkan bahwa Maryam adalah satu di antara empat perempuan yang mencapai ‘kesempurnaan’, dan kesempurnaan tertinggi bagi manusia adalah derajat kenabian. Bahkan, al-Qurthubi cenderung berpandangan bahwa Maryam lebih tinggi derajatnya daripada nabi Zakariya karena yang disebut terakhir ini meminta tanda (ayat) kepada Allah atas kabar gembira yang diberitakan kepadanya, sedangkan Maryam tidak memintanya. 


***

Saya akan menggunakan kasus penafsiran di atas untuk mendeskripsikan cara kerja seorang peneliti atau akademisi. Agar lebih mudah memahaminya, saya akan mengkontraskan cara berpikir dan bekerja seorang peneliti dengan cara seorang tokoh agama merespon tafsiran tersebut.


Saat di Qatar, saya menghadirkan tafsir al-Qurtubi yang tidak lazim tersebut kepada seorang ‘alim yang juga berprofesi sebagai dosen. Sebagai tokoh agama – yang memikul kewajiban menjaga aqidah umat, ia pun berusaha menjelaskan bahwa kata “nabi” yang dimaksud oleh al-Qurthubi adalah nabi dalam pengertian lughowi (etimologi), artinya orang yang mendapat kabar (naba’), bukan dalam pengertian isthilahi (terminologi). 

Begitu juga dengan kata “wahyu” dalam ayat tersebut, yang menurutnya, harus dipahami secara lughowi bukan isthilahi, sebagaimana dalam surah al-Nahl ayat 68 tentang Allah ‘mewahyukan’ kepada lebah. 


Menurut keyakinannya – dan ia juga ingin jamaah meyakininya – tidak ada nabi perempuan. Pendapat adanya nabi perempuan adalah pendapat keliru yang harus ditolak. Cara kerja seperti ini menghiasi karya-karya para mufassir kita. Sebagai contoh, untuk menolak argumen kenabian perempuan. para mufassir sering mengutip surah Yusuf ayat 109 “dan Kami tidak mengutus (wa mā arsalnā) sebelummu (Muhammad) melainkan laki-laki yang Kami berikan wahyu.” 


Singkat kata, para tokoh agama (dai, ustadz, syaikh, ‘alim) berpikir dan bekerja untuk ‘meyakinkan umat untuk mengikuti pandangan keagamaan yang ia yakini benar’ dan memang seperti itu peran yang mereka mainkan dari dahulu hingga sekarang.


Lalu, bagaimana cara berpikir dan bekerja seorang peneliti? Bagaimana ia menyikapi tafsiran al-Qurthubi di atas? 

Seorang peneliti tidak di-training untuk masuk ke wilayah pemberian ‘judgment’ untuk menilai mana tafsiran yang benar dan yang salah. Ia tidak berkepentingan untuk masuk ke wilayah teologis tersebut dan mungkin memang tidak punya otoritas untuk itu.


Cara kerja peneliti lebih didorong oleh ‘rasa keingin tahuannya’ (curiosity) terhadap fenomena yang ia kaji. Terhadap kasus tafsiran al-Qurthubi di atas, ia akan mencari tahu mengapa tafsiran tersebut bisa muncul? Dari mana al-Qurthubi mengambil pendapat tersebut? Dalam konteks sosial-budaya-politik-intelektual seperti apa pandangan ini bisa muncul di Andalusia? Siapa saja yang mendukung dan menentang? Lalu mengapa pandangan ini, meski dikampanyekan oleh tokoh sebesar al-Qurthubi, bisa meredup dan akhirnya menghilang dari ingatan umat Muslim hari ini? serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa dikembangkan.


Beberapa peneliti (Mirza, Fierro, Abboud, dll) telah menunjukkan bahwa al-Qurthubi bukan satu-satunya ulama yang berpandangan demikian. Dua abad sebelumnya di Andalusia, Ibn Hazm (w. 1064) lebih dahulu mendukung pendapat kenabian Maryam dan beberapa perempuan lainnya. 


Ia menuliskan tema ini secara khusus dalam bab nubuwwah al-nisā’ (kenabian perempuan) dalam kitabnya al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Di dalam bab ini, Ibn Hazm menceritakan bahwa para ulama Kordoba di abad ke-11 M terpecah menjadi tiga kelompok besar: yang mendukung kenabian perempuan, yang menolak, dan yang memilih tawaqquf. 


Bahkan, Ibn Hazm menolak penggunaan surah Yusuf ayat 109 di atas sebagai dalil tidak adanya nabi perempuan karena, menurut Ibn Hazm, ayat tersebut berbicara tentang risalah (kerasulan) bukan nubuwwah (kenabian).

Lalu, kenapa dan bagaimana pendapat ini bisa muncul di Andalusia dan tidak di dunia Islam bagian Timur?

Para peneliti berbeda pendapat. Abboud, akademisi dari American University in Beirut (AUB), mengajukan pandangan bahwa wacana ini bisa muncul disebabkan struktur masyarakat Andalusia yang memberikan status sosial yang lebih tinggi kepada perempuan dibandingkan di dunia Muslim belahan Timur. Iklim sosial seperti ini memungkinkan para ulamanya merumuskan wacana kenabian perempuan. 


Kelompok peneliti yang lain berpendapat bahwa wacana tersebut muncul dalam iklim polemik sektarianisme. Untuk menghalau gerakan Syiah yang kerap membawa nama Fatimah, sebagian ulama Andalusia berusaha menunjukkan posisi Maryam yang lebih tinggi daripada Fatimah. Sebagian sarjana mengajukan hipotesa bahwa kontak dengan Kristen lah yang membuat agamawan Andalusia memberikan penghormatan yang lebih tinggi kepada Maryam sampai-sampai menobatkannya sebagai nabi.


Pendapat lainnya dikemukakan oleh Maribel Fierro, peneliti asal Spanyol. Menurut hasil risetnya, wacana kenabian Maryam muncul dalam iklim perdebatan seputar karamat wali. Bagi para pendukung adanya karamat wali, ayat al-Qur’an yang mengisahkan bahwa Maryam mendapat rezeki (dari langit) adalah bukti gamblang adanya karamat wali. Bagi para penolaknya, ayat tersebut dijadikan dalil bahwa Maryam adalah nabi, dan rezeki yang diterimanya dari langit adalah mukjizatnya sebagaimana mukjizat para nabi lainnya.  


Sementara para peneliti masih berdebat mengenai asal-usul wacana kenabian Maryam, Younus Mirza, peneliti di Georgetown University, lebih tertarik mencari penjelasan mengapa tafsiran ini tidak populer bahkan cenderung terhapus dari memori kebanyakan umat Islam. Mirza mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan ‘kekalahan’ tafsir al-Qurthubi dari tafsir al-Baidhawi di abad pertengahan dan dari tafsir Ibn Katsir di era modern ini. Al-Baidhawi dan Ibn Katsir, keduanya mufassir dari dunia Islam bagian Timur, sepakat menolak kenabian perempuan. 

Mirza pun membayangkan jika seandainya tafsir al-Qurthubi lah yang memenangkan medan pertempuran tafsir dan menjadi karya yang paling populer, tentu kini wacana kenabian Maryam akan lebih masyhur.


Tetapi, kita juga menemukan bahwa wacana kenabian Maryam tidak benar-benar lenyap, hilang, dan terlupakan dari literatur tafsir. Seandainya Mirza bisa berbahasa Indonesia dan membaca tafsir al-Azhar karya alm. Hamka, ia akan mendapati bahwa wacana kenabian Maryam ini masih muncul dan ‘hidup’ dalam tafsir al-Azhar tersebut. 


Ketika suatu ide (dalam kasus ini ide kenabian Maryam yang dibawa oleh mufassir al-Qurthubi) sudah masuk dan menjadi bagian integral dari tradisi tafsir maka ide tersebut akan sulit untuk dihilangkan atau dilupakan dari tradisi penafsiran al-Qur’an. Hal ini karena tradisi tafsir yang bersifat ‘genealogis’ dan ‘ensiklopedis’, sebagaimana sering dijelaskan oleh peneliti tafsir tersohor era ini Prof. Walid Saleh dari University of Toronto.


Semoga satu contoh di atas sudah cukup untuk mengilustrasikan bagaimana seorang peneliti berpikir dan bekerja serta perbedaannya dengan cara bekerja para tokoh agama. Kami yang kuliah studi Islam di Barat di-training untuk menjadi peneliti seperti itu, jadi tidak perlu menyimpan kecurigaan yang berlebihan kepada kami.

Oh ya, jangan tanya pendapat saya tentang kampus yang ‘mengintegrasikan’ kurikulum pendidikan bagi ‘alim dan akademisi di bawah satu atap. 


Saya termasuk kalangan yang kurang sepakat. Untuk menjadi ‘alim, seseorang perlu dididik secara intensif dan dalam waktu yang panjang di lembaga khusus, seperti pesantren atau sebagian universitas di Timur Tengah. Begitu juga, untuk menjadi peneliti profesional, seseorang perlu di-training secara intensif dan dalam waktu yang panjang di universitas riset seperti kampus di Barat. 


Menggabungkan keduanya, padahal model berpikir dan bekerjanya saja sudah berbeda, akan mengaburkan identitas dan membuat goal masing-masing sulit tercapai. Pandangan ‘dikotomis’ ini tidak begitu disukai oleh sebagian akademisi dan ustadz di tanah air, tetapi tidak sedikit juga yang mendukungnya 😊

Katanya jangan tanya, kok malah berargumen. Baik, kita cukupkan saja sampai di sini, hehe 😃


Salam,


Oleh: Annas Rolli Muchlisin (Alumni Islamic Studies Toronto University dan Khalifa University Qatar)

Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018