BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
saat ini kemajuan ilmu pengetahuan tidak berkembang begitu saja. Namun mengalami
proses yang sangat panjang, yang banyak melibatkan banyak ilmuan dengan beragam
budaya. Pada awalnya perhatian tertuju pada perlunya memahami sejarah awal
Islam guna membongkar reifikasi yang menyelimuti pandangan umat Islam terhadap
kesejatian Al-Qur’an.
Selanjutnya
diperluas menjadi perlunya umat islam membuat pembedaan antara aspek legal
spesifik Al-Qur’an dengan aspek ideal moralnya. Dan sunnah ideal dengan sunnah
hidup. Belakangan setelah makin meyakinkan akan lemahnya metode penafsiran
konvensional, perhatian awal yang dipadukan dengan pembedaan kedua aspek
tersebut dikukuhkan dengan teori gerakan ganda. Teori inilah yang mengawali
pembahasan Rahman tentang hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi. Untuk
itu maka kami akan membahas tentang hermeneutika Fazlur Rahman.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu
hermeneutika?
2.
Bagaimana
sejarahnya?
3.
Bagaimana
biografi dan setting historis Fazhur Rahman?
4.
Bagaimana
konsep sunnah menurutnya?
5.
Bagaimana
aplikasi hermeneutika menurutnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hermeneutika
Kata
hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein,
yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan istilah ini kerap dihubungkan
dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter
kepada manusia.
Mitos
ini menjelaskan tugas seorang Hermes yang begitu penting, yang bila keliru
dapat berakibat fatal. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi
menyampaikan pesan sang Dewa. Berhasil tidaknya misi itu tergantung dapa cara
bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan demikian, hermeneutika secara sederhana
diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.[1]
B.
Sejarah
Hermeneutika
Benih-benih
pembahasan hermeneutika ditemukan dalam Peri Hermeneies karya
Aristoteles. Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan.
Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada abad
ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks
Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci
itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh
hermeneutika.
Fakta
ini dinisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan hermeneutika, bahwa
hermeneutika adalah sebuah gerakan interpretasi atau eksegesis di awal
perkembangannya. Pada abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang.[2]
C.
Sekilas
Tentang Fazlur Rahman dan Setting Historis
Fazlur
Rahman lahir di Hazara, kini menjadi bagian dari Pakistan, pada 21 September
1919.[3]Ia yang
mengaku dirinya sebagai salah seorang pemikir neo-modernis merupakan pemikir
Islam yang paling serius dan produktif pada era kontemporer ini. Ketika itu
anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni
India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir Islam
liberalnya, seperti Syah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal. Ia dibesarkan dalam kelurga
yang bermazhab Hanafi.
Sejak
kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, ia juga
menimba banyak ilmu tradisi onal dari ayahnya, seorang kyai yang mengajar di
madrasah tradisional paling bergensi dinanak benua Indo-Pakistan. Menurut ia
sendiri , ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika
menginjak usia yang kesepuluh,ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala.
Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syari’ah lainya. Ayahnya adalah kyai
tradisioal yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya
dihindari. Ia sangat apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu,
keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar
tradisional, juga bagi kelanjutan karir pendidikannya.
Setelah
menamatkan sekolah menengah Rahman mengambil studi bidang sastra arab di
Departemen Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil
menyelesaikan studinya di Unuversitas tersebut dengan menggondol gelar M. A
dalam sastra Arab. Pada tahun 1946 ia melanjutkan studi doktornya ke Oxford
University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951.
Ia
juga giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehingga ia menguasai banyak bahasa.
Ia juga pernah mengajar di Durham University, Inggris, kemudian menjabat
sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill
University, Kanada. Pada Agustus 1962 ia kembali ke Pakistan. Ia diangkat
menjadi direktur pada Institute of Islamic Research. Ia juga diangkat
sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah
Pakistan, tahun 1964.
Lembaga
tersebut bertujuan untuk menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah
dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif.
Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik
yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan
“Al-Qur’an dan Sunnah”.[4]
Karena
tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha
menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu
saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis,
selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis
di Pakistan.
Rahman
mengundurkan dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September
1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya
pada 1969. Dan ia memutuskan jijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru
besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern
Languanges and Civilization, University of Chicago. Baginya tampaknya tanah
airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung
jawab.[5]
D.
Konsep
Sunnah Dalam Pandangan Fazlur Rahman
Mula-mula
tidak terdapat masalah berkaitan dengan hadis Nabi. Namun kemudian muncul suatu
fenomena penyebaran hadis-hadis palsu, akhirnya memaksa ulama (terutama ahli
hadis) untuk melakukan penyeleksian hadis-hadis yang benar-benar bersumber dari
Nabi dan selainnya. Dalam rangka penyeleksian ini, dibuatlah teori-teori yang
dapat menjamin tingkat validitas, reabilitas serta akseptabilitas suatu hadis.
Hal ini menjadi sangat wajar mengingat posisi hadis Nabi sebagai eksplanatori
bagi Al-Qur’an dalam mengambil istimbat hukum.
Hadis-hadis yang terformulasikan dalam
beberapa kitab hadis tersebut dianggap sebagai sebuah ketentuan yang bersifat
pasti, kaku dan tetap. Dengan kata lain sebuah ketentuan yang berlaku sepanjang
abad tanpa perlunya penafsiran ulang terhadapnya. Dalam konteks inilah Rahman
mencuat dan mengambil langkah yang berbeda dalam mengungkapkan dan
memformulasikan konsep sunnah dan hadis, hal ini merupakan respon dan bentuk
kritiknya terhadap konsep tersebut.
Untuk
menjawab kedua pandangan tersebut, ia terlebih dahulu mengemukakan konsep sunnah.
Dalam pandangannya ada dua arti sunnah yang saling berhubungan erat, namun
harus dibedakan. Pertama, sunnah berarti perilaku Nabi, dan karenanya,
ia memperoleh sifat normatifnya. Dalam hal ini sunnah Nabi atau sunnah normatif
ataupun sunnah ideal harus dipandang sebagai sebuah konsep teladan, pedoman dan
konsep pengayoman yang umum yang terbungkus dalam ketentuan yang bersifat
khusus.
Kedua, sepanjang tradisi (perilaku Nabi)
tersebut berlanjut secara diam-diam dan non verbal, maka kata sunnah ini juga
diterapkan pada kandungan aktual perilaku generasi sesudah Nabi, sepanjang
perilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani pola perilaku Nabi.[6]
Adapun
perubahan-perubahan yang terjadi ini adalah hasil dari kesimpulan/interpretasi
para sahabat terhadap sunnah normatif Nabi, yang mana kemudian bermetamorfosis
menjadi sunnah yang hidup dan sunnah aktual.
Secara
teoritis dapat disimpulkan secara langsung bahwa sunnah adalah sebuah tema
perilaku (behaviral) yang bercorak situasional, karena di dalam
prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang
situasionalnya, secara moral, psikologis dan material, maka sunnah Nabi
tersebut haruslah dapat dikembangkan, diinterpretasikan dan diadaptasikan, pada
bagian ini sunnah secara terus-menerus mengalami evolusi dari generasi ke
generasi.
Berkaitan
dengan penjelasan konsep sunnah para orientalis diatas, Rahman mempunyai dua
keberatan, yaitu keberatan logika dan historis. Kebereratan logikanya adalah
berkaitan dengan Ignaz yang menganggap sunnah di satu sisi sebagai praktek
normatif dari masyarakat muslim awal dan pada sisi lain ia anggap sebagai praktek
yang hidup serta aktual.
Sedangkan
keberatan historisnya adalah Nabi tidak meninggalkan warisan apapun selain
Al-Qur’an. Kedua keberatan ini dijawab Rahman dengan menunjukkan kesalahan mereka
terhadap pemahaman konsepsi sunnah. Sekaligus koreksi ini terkait dengan
keberatan Rahman terhadap tesisi masyarakat muslim awal. Menurutnya konsep itu
tidak benar karena yang normatif dan yang aktual adalah saling bertentangan.
Bahkan beberapa penulis modern (para orientalis) menganggap bahwa sampai abad
ke-2H/8M istilah sunnah tidak berarti praktek Nabi, tapi praktek masyarakat
lokal kaum muslimin Madinah dari Iraq.
Dalam
hal ini Rahman menyanggah pandangan orientalis tersebut dengan menegaskan:
1.
Bahwa
sementara kisah perkembangan sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan
kandungannya, tetapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang memiliki
validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam hingga masa kini.
2.
Bahwa
kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak
dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak.
3.
Bahwa konsep
sunnah sesudah Nabi wafat tidak mencakup sunnah Nabi tapi juga
penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut. Dan sunnah dalam
pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan
proses yang semakin meluas secara terus-menerus.
4.
Bahwa setelah
gerakan pemurnian hadis secara besar-besaran hubungan organis di antara sunnah,
ijtihad, dan ijma’menjadi rusak.[7]
E.
Aplikasi
Hermeneutika Fazlur Rahman: Dekontruksi Konsep Hukum
Aplikasi
hermeneutika Fazlur Rahman seperti dalam masalah sunat perempuan, beliau
mengatakan dalam Al-Qur’an tidak disebutkan sama sekali perihal sunat
perempuan, sedangkan dalam hadis disebutkan, tetapi memunculkan penafsiran yang
berbeda-beda. Adapun nash yang sering dijadikan pijakan dalil yang artinya: “dari
Anas ibnu Malik ra. Rasulullah saw bersabda kepada Ummu Atiyah: apabila kamu
mengkhifad, janganlah berlebihan karena yang tidak berlebihan itu akan menambah
cantik wajah dan menambah kenikmatan dalam berhubungan dengan suami” (HR.
Tabrani)
Dari
pemahaman nash tersebut, pelaksanaan sunat perempuan diindikasi pernah
dilakukan di zaman Nabi. Hukum pelaksanaannya tidak lebih jelas dibandingkan
sunat atau khitan laki-laki(khilafiyah). Ada yang mengatakan bahwa sunat perempuan
adalah kewajiban, sebagaimana khitan laki-laki karena jelas tertuang dalam
teks. Sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa sunat perempuan bukan
merupakan bagian dari ajaran Islam, tetapi lebih dari warisan kebudayaan
jahiliyah. Mazhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa sunat laki-laki dan perempuan
hukumnya adalah wajib. Sementara Mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa
sunat perempuan berhukum mubah yang artinya boleh dilakukan dan boleh
ditinggalkan berbeda dengan pendapat Imam Yusuf al-Qordawi yang mengatakan
bahwa pengertian dari sunat perempuan adalah sejenis khitan ringan.
Merespon
hal tersebut, pendapat Fazlur Rahman bisa menjadi alternatif perspektif yang
menarik. Rahman mengatakan bahwa bagian penting yang harus dilakukan dalam
mempelajari pesan al-Qur’an dan hadis secara keseluruhan sebagai pesan yang
menyatu adalah memahami secara lengkap latar belakang kemunculannya. Latar
belakang yang paling pokok adalah kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan
perjuangannya. Termasuk juga kebutuhan memahami kondisi Arab, baik pra Islam
maupun ketuka Islam datang, yaitu kebudayannya, realitas sosialnya, istitusi,
kehidupan ekonomi dan politiknya. Dalam konteks ini, haruslah dapat memahami
semua unsur-unsur ini, bukan hanya dipahami secara persial. Metode persial
menurut Amina Wadud akan mengakibatkan termarginalisasinya posisi perempuan,
padahal Islam memberi posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki.
Adanya
anggapan bahwa Nabi adalah orang yang membenci wanita merupakan hal yang perlu
dikaji lebih jauh, perempuan semasa Nabi berada dalam keadaan yang tertindas oleh
dominasi kekuasaan laki-laki. Artinya, Nabi tidak bisa dipertanggungjawabkan
untuk hal itu. Kedatangannya justru dianggap sebagai pahlawan karena mengangkat
citra perempuan yang begitu buruk menjadi makhluk yang patut dihargai. Kasus
warisan bisa menjadi contoh. Jika pada awalnya permpuan menjadi objek warisan,
setelah Islam datang perempuan memiliki hak mendapatkan warisan. Artinya, sikap
sebenarnya Nabi terhadap perempuanadalah menghargai.
Hal
ini yang kemudian hendak dirumuskan Fazlur Rahman ketika menafsirkan sebuah
nash. Teori gerak ganda menjadi pilihan dengan menggabungkan logika sejarah
dengan kondisi kekinian. Dengan menggabungkan kedua prinsip tersebut, apa yang
diinginkan secara ideal moral betul-betul muncul. Pemahaman ini memposisikan
nash sebagai respon. Respon bisa memiliki makna positif, artinya menolak
fenomena tersebut. Model penolakannya tersebut bisa bersifat langsung dan ada
yang bersifat bertahap, tergantung keadan sosial-budaya masyarakat pada saat
itu.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata hermeneutika (hermeneutic)
berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau
menafsirkan istilah ini kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani,
Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. hermeneutika
secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.
Fazlur Rahman seorang intelektual muslim,
asal pakistan yang mengklaim dirinya sebagai tokoh yang berdiri di barisan
neo-modernisasi berpandangan, bahwa umat Islam mengalami krisis metodologybyang
tampaknya sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam ke masa depan, karena
menurutnya metodologi sebagai titik pusat penyelesaiann krisis intelektual
Islam.
B.
Kritik
Demikianlah
uraian yang dapat kami tulis dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi penulis pada khusunya dan bagi pembaca pada umumnya. Dan kami menyarankan
supaya pembaca mencari sumber lain yang membahas tentang pembahasan ini, serta
tidak terhenti sampai disini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Rahkman, Arif
Kurnia. 2009. Sunat Perempuan Di Indonesia. Vol. 2. No. 1.
Sibawaihi. 2007. Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra.
Syamsuddin,
Sahiran. 2010. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: ELSAQ
Press.
[1]
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra,
2007), hal. 6
[2] Ibid.,
hal. 7
[3] Ibid.,
hal. 17
[4]
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2010), hal. 326-329
[5] Ibid.,
hal. 329-330
[6] Ibid.,
hal. 330-332
[7] Ibid.,
hal.333-336
[8] Arif
Kurnia Rakhman, Sunat Perempuan Indonesia, Vol. 2. No. 1. 2009. Hal.
71-73