Monday, November 5, 2018

Contoh Proposal

0 comments
PENARAPAN KONSEP APLIKASI HEMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN DALAM MEMAHAMI NASH TENTANG KHITAN PEREMPUAN

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Ke Fakultas Ushuluddin Untuk Memperoleh Gelar Sarjana






Oleh :
Fauzan




JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1439H/2017M








KATA PENGANTAR
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْد

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kepada kita semua khususnya kepada penulis limpahan karunia serta anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Penarapan Konsep Aplikasi Hemeneutika Fazlur Rahman Dalam Memahami Nash Tentang Khitan Perempuan”. Sholawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang karenanya dunia menjadi penuh cahaya pengetahuan dan keimanan sebagai tauladan pemimpin berakhlakul karimah serta pengusaha muslim yang menjadi rahmat bagi semesta alam. 
Dalam penyusunan proposal ini tentunya terdapat kesulitan dalam menghadapi berbagai hambatan, persoalan dan rintangan karena keterbatasan penulis sendiri, namun dengan bantuan berbagai pihak sehingga dapat meyelesaika dalam waktu yang telah ditentukan,walaupun masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami sampaikan terima kasih atas bantuan materil maupun non materil dari pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini, dan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada pihak dan rekan-rekan yang telah banyak membantu penulis dalam menyusun proposal ini, dan Ibu dan Bapak dosen yang telah memberikan ide-ide sekaligus memberikan motivasi-motifasi dan dorongan khususnya kepada dosen mata kuliah Metode Pemahaman Hadis yaitu Bapak Dr. Novizal Wendry, M. A., dan kepada Bapak Dr. Zaim Rais, M.A., selaku dosen metode penelitian yang telah membimbing kami dengan penuh kesabaran.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan proposal ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga saya selaku penulis meminta maaf atas kekurangan dan kekhilafan penulisan baik dalam huruf maupun kata-kata yang kuarang jelas. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak demi perbaikan pada penulisan proposal selajutnya.  Dan penulis berharap semoga proposal ini dapat dijadikan langkah awal untuk menyusun penelitian lebih lanjut menyingkapi masalah ini dan, akan lebih bermanfaat apabila bisa dijadikan bahan acuan bagi pembaca khususnya bagi penulis sendiri serta semua pihak yang membutuhkannya.






Padang,    Januari 2018



Penulis
     










PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Khitan atau yang lebih kita kenal dengan sunat, secara bahasanya dapat diartikan  memotong, dari berbagai literatur  fikih klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan khitan adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang menutupi kasyafah atau ujung kepala kemaluan. Adapun khitan perempuan dalam bahasa arab disebut khifadh yang berasal dari kata khafdh, artinya memotong ujung klitoris pada vagina. Istilah khitan perempuan adalah terjemahan dari bahasa arab (khitan aluntsa) atau (khitan al-banat) khitan perempuan. Dan dikatakan juga (khafdh al-banat) menurunkan kepekaan alat kelamin anak perempuan, kerena dengan mengkhitankan anak perempuan, berarti kepekaan alat kelaminnya tidak terlalu tinggi, sehingga libido (kekuatan seksual) dimasa remaja dapat dikendalikan.[1]
Seperti yang kita ketahui melihat dari fakta yang terjadi di masyarakat bahwa khitan adalah suatu yang wajib, faktor yang paling dominan adalah kepercayaan masyarakat yang sangat kuat bahwa dalam proses menjadi seorang  muslim, laki-laki dan perempuan harus dikhitan. Mereka yang belum dikhitan bukanlah orang muslim. Padahal rukun Islam dan rukun Iman dalam agama Islam tidak ada syarat seorang perempuan harus dikhitan. Sugesti dengan dalih keharusan agama inilah yang digunakan sebagai peredam perempuan yang dikhitan supaya tidak mengeluh sakit, atau kepada ibu-ibu yang mengkhitan bayi dan anak perempuannya. Khitan bagi perempuan dan laki-laki adalah sebuah keharusan, baik atas dasar agama maupun atas dasar nilai-nilai adat. Karena praktik khitan bagi bayi perempuan diasumsikan sebagai sebuah kewajaran. Maka, masyarakat menganggap bahwa khitan bagi bayi perempuan adalah hal yang biasa, normal dan lumrah. Padahal jika legitimasi dalil-dalil agama atas khitan perempuan dihadapkan dengan analisa kritis teks hermeneutika. Maka khitan perempuan lebih cenderung merupakan produk konstruksi budaya.
Melihat realita khitan perempuan yang terjadi, Pelaksanaan sunat perempuan, memunculkan pro dan kontra. Walaupun sebagian ulama ada yang mewajibkan, diantara pendapat-pendapat ulama mengenai masalah ini yaitu, pertama Pendapat yang kuat didalam mazhab Syafii adalah wajib terhadap laki-laki dan wanita, demikian juga pendapat Imam Ahmad dan kebanyakan para ulama salaf. Kedua, Sunat terhadap laki-laki dan wanita. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, demikian juga sebagian ulama dalam mazhab Syafii. Ketiga, Wajib pada laki-laki dan sunat pada wanita, ini adalah pendapat sebagian ulama mazhab syafii.[2]
Berdasarkan pendapat ulama tersebut ada yang menganggapnya mubah, sunah bahkan wajib. Sedangkan al-Qur’an tidak secara eksplisit menjelaskan hal itu, sedangkan nash hadits banyak yang secara eksplisit menjelaskan fenomena tersebut. Persoalannya, apakah ideal moral yang muncul dari nash itu sesuai dengan legal spesifiknya? Dikontekskan di Indonesia yang mengalami penyederhanaan konsep sunat perempuan, apakah memiliki relevansi hukum?. Beberapa kalangan ulama Islam mengatakan bahwa sunat perempuan bukan merupakan ajaran Islam. Mereka merujuk pada tidak dijumpainya ayat al-Qur’an yang menyiratkan ajaran tentang sunat perempuan secara eksplisit. Demikian juga tidak dijumpai satu riwayat tentang sunat perempuan pada nabi Muhamad SAW, serta para sahabatnya dan keluarga. Apabila ada hadits yang menyebutkan tentang sunat perempuan, masih diragukan kesahihannya. Dari segi anatomis, alat kelamin perempuan diyakini berbeda dengan laki-laki yang mempunyai penghalang dalam bersuci. Dalam anatomi perempuan, tidak ada kulit yang harus dibuka untuk dibersihkan. Untuk menjelaskan fenomena ini, penulis menganggap perlu untuk mengingatkan kembali bahwa praktik sunat perempuan. Dalam beberapa bentuk, seringkali terjadi konstruksi gender merugikan kaum perempuan. Bagaimana tidak, beberapa etnis di dunia dan di Indonesia sendiri masih dengan setia memegang erat mitos-mitos tentang kesucian perempuan, melayani, dan membahagiakan laki-laki. Mitos-mitos ini kemudian diwariskan oleh nenek moyang dengan menggunakan dalih ajaran dan interpretasi agama dan ketertundukan terhadap norma-norma budaya dengan menempatkan perempuan sebagai objek penderita. Salah satu mitos kesucian perempuan yang banyak dipercayai beberapa etnis tertentu yang berhubungan dengan perempuan adalah  seperti khitan perempuan atau sunat perempuan, yang dalam bahasa medisnya dikenal dengan Female Circumcision atau Female Genital Mutilation (FGM) yang artinya adalah perusakan organ kelamin perempuan. Istilah ini disepakati di acara konferensi perempuan sedunia ke-4 di Beijing pada tahun 1995 yang dihadiri lebih dari 180 anggota delegasi dunia (Shihab 2001,274). Ironisnya praktik pengrusakan organ intim kelamin perempuan tersebut dilestarikan hingga kini atas dasar legitimasi agama dan sugesti kepercayaan semu.[3]
Dilihat dari sisi ini bahwa khitan perempuan terdapat sisi negatifnya walaupun demikian adanya dampak positif bagi perempuan itu sendiri seperti dalam hadis :
إذا خفضت أَشِمِّي ولا تَنْهَكِي فإنه أحظى للزوج وأسرى للوجه
Artinya:  Apabila Engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit dan jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.( Hadits riwayat Tabrani, Baihaqi, Ibnu Adi, Daulabi, Al-Khatib).[4]
Dari hadis tersebut, bahwa pelaksanaan sunat perempuan diindikasi pernah dilakukan sewaktu nabi masih hidup Nabi. Hukum pelaksanaannya tidak lebih jelas dibandingkan sunat atau khitan laki-laki (khilafiyah). Mazhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa sunat laki-laki dan perempuan hukumnya adalah wajib. Sementara Mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa sunat perempuan berhukum mubah yang artinya boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan berbeda dengan pendapat Imam Yusuf al-Qordawi yang mengatakan bahwa pengertian dari sunat perempuan adalah sejenis khitan ringan. Sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa sunat perempuan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, tetapi lebih dari warisan kebudayaan jahiliyah. Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa sunat perempuan bukan berasal dari Islam akan tetapi berasal dari masa sebelum Islam.
Melihat hal tersebut, pendapat Fazlur Rahman bisa menjadi alternatif perspektif yang menarik. Rahman mengatakan bahwa bagian penting yang harus dilakukan dalam mempelajari pesan al-Qur’an dan Hadis secara keseluruhan sebagai pesan yang menyatu adalah memahami secara lengkap latar belakang kemunculannya.  Latar belakang yang paling pokok adalah kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan perjuangannya. Termasuk juga kebutuhan memahami kondisi Arab, baik pra Islam maupun ketika Islam datang, yaitu kebudayannya, realitas sosialnya, istitusi, kehidupan ekonomi dan politiknya. Dalam konteks ini, haruslah dapat memahami semua unsur-unsur ini, bukan hanya dipahami secara persial, akan mengakibatkan termarginalisasinya posisi perempuan, padahal Islam memberi posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki.
Oleh karena itu, kajian tulisan ini adalah mengkaji teks anjuran khitan bagi perempuan, yang mana seperti diketahui bahwa teks selalu dijadikan dalil legitimasi teologis. Dengan mengkaji teks itulah maka ditemukan bagaimana teks tersebut bergumul dan saling berkelindan dengan tradisi, masyarakat, budaya dan penafsir teks itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji dan memahami maksud teks hadis tentang sunat perempuan menggunakan Konsep hermeneutika Fazlur Rahman dan mengetahui sejauh mana konsep hermeniutika Fazlur Rahman dapat diaplikasikan dalam menelaah fenomena sunat perempuan, sehingga dapat dijadikan pijakan hukum Islam.
Untuk menjawab persoalan dan memahami khitan perempuan tersebut penulis tertarik berdasarkan teori gerak ganda Fazlur Rahman bisa yang menjadi sudut pandang yang menarik. Prinsip dari teori ini yaitu : Pertama, menganalisis sejarah nash. Kedua, menggali dan mensistematisasikan prinsip-prinsip hukum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya, gerakan kedua ini harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan pada masa kini. Lewat analisis hermeneutika gerak ganda, kita dapat menyimpulkan bahwa nash hadits sebenarnya mengarahkan hukum pada logika mencegah, bukan melegitimasi, walaupun caranya tidak tidak secara langsung. Di lihat dari kondisi kekinian, sunat perempuan ternyata memiliki efek psikologis dan fisik yang berbahaya bagi perempuan. Hal inilah yang menjadikan sunat perempuan seharusnya dilarang dalam tradisi Islam.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :
1.         Bagaimana memahami maksud teks hadis tentang sunat perempuan menggunakan Konsep hermeneutika Fazlur Rahman ?
2.         Bagaimana konsep hermeneutika Fazlur Rahman dapat diterapkan dalam penetapan maslah hukum khitan perempuan ?
C.      Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.    Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji dan Menjelaskan Bagaimana memahami maksud teks hadis tentang sunat perempuan menggunakan Konsep hermeniutika Fazlur Rahman.
2.    Manfaaat Penelitian
Secara umum manfaat penelitian ini Memberikan konstribusi pemikiran Islam, khususnya kajian hermeneutika hukum terkait dengan fenomena sunat perempuan. Penulis harapkan bermanfaat secara teoritis sebagai aset pengembangan khazanah ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, agama, praktisi agama, tenaga kesehatan dan, terutama bagi perempuan secara umum. Disamping, berguna bagi penulis sebagai tugas akhir pada progam studi tafsīr hadis.
D.      Kerangka Teoritik
Mengenai hukum Islam, tidak terlepas dari sumber nash baik yang bersumber dari al-Quran maupun Hadis dan tentunya tidak terlepas dari persoala-persoalan dan perbedaan memahami dan menafsirkan teks nash, tentunya tidak terlepas dari latar belakang penafsir itu sendiri, dan akan menghasilkan dan pemahaman yang berdeda. Sehingga memunculkan berbagai sudut pandang dalam menafsirkan suatu teks atau nash.
Kajian khitan perempuan menjadi persoalan yang menarik jika dianalisis menggunakan hermeneutika Fazlur Rahman, yaitu pertama, Metode Kritik Sejarah (The Critical History Method) Metode ini menekankan pada pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri. Metode kritik sejarah ini juga berbeda dengan sosio-sejarah sekalipun keduanya sama-sama menjawab pertanyaan“mengapa”. Metode yang pertama (kritik-sejarah) digunakan untuk mencari jawaban atas konteks dan latar belakang peristiwa sejarah, sedangkan metode kedua (sosio-sejarah)lebih berperan sebagai pengantar pada metode pertama. Kedua, Metode Penafsiran Sistematis (The Systematic Interpretation Method) Metode kritik sejarah yang telah lama diaplikasikan dalam menuliskan pikiranpikirannya yang tajam dan kritis, kemudian dikembangkan menjadi metode yang lebih sistematis yang disebut dengan the systematic interpretation method. Menurut Rahman, jika orang-orang Islam dengan keras dan gigih berbicara tentang kelangsungan hidup Islam sebagai sistem doktrin dan praktik di dunia dewasa ini sungguh-sungguh sejati (suatu pertanyaan yang jawabannya tidak mudah), kelihatan dengan jelas bahwa mereka harus memulai sekali lagi dari tingkat intelektual. Ketiga, Metode Suatu Gerakan Ganda (Double Movement) Fazlur Rahman dikenal dalam Islamic Studies, sebagai ilmuan yang memperkenalkanteori Gerakan Ganda (Double Movement) dalam memahami dan menafsirkan al-Quran. Relasi timbal balik antara wahyu ketuhanan (divine revelation) yang suci dan sejarah kemanusiaan (human history) yang biasa (profane) menjadi tema sentral. Gerakan pertama dari teori gerakan ganda ini adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat al- Quran diturunkan. Hasil pemahaman ini akan dapat membangun makna asli (original meaning) yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial moral era kenabian, sekaligus mendapat gambaran situasi dunia pada umumnya saat ini. Disinilah peran penting turunnya ayat (asbabun nuzul) dan konsep nasakh.[5]
E.       Metode Penelitian
1.      Metode Pengumpulan Data
Mengenai pengumpulan data ini penulis menggunakan metode penelitian (Library Research), sebagai landasan operasional, yaitu sebuah penelitian yang menggunakan buku-buku baik yang berasal dari sumber primer yang terkait dengan hermeneutika Fazlur Rahman dan buku-buku tentang masalah sunat perempuan di Indonesia, maupun sumber sekunder majalah, artikel yang berkaitan dengan materi pembahasan ini.
2.      Metode Pembahasan
Adapun dalam metode pembahasan penulis menggunakan pendekatan deskriptif analitis, yaitu pendekatan dengan cara mengumpulkan berupa data-data yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti kemudian dideskripsikan, dan setelah itu baru dianalisa untuk memperoleh kejelasan masalah yang akan diteliti.
F.       Kajian Kepustakaan
Dari penelitian penelusuran dan literatur yang peneliti analisis untuk memperdalam tentang kajian ini, peneliti menemukan beberapa literatur relevasi terkait tema ini yaitu, Skripsi Arif Kurnia Rakhman, yang berjudul : “Kajian hukum islam Tentang sunat perempuan di indonesia : Sebuah aplikasi konsep hermeneutika Fazlur Fahman”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dilihat dari segi judul memang memiliki kesamaan terkait tema ini, akan tetapi berbeda dalam titik fokus kajiannya. Skripsi Arif Kurnia ini lebih memfokuskan kepada hukumnya yang terkait persoalan sunat perempuan dan Bagaimana pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia, sedangkan penelitian ini memfokuskan kepada penerapan konsep hermeneutika Fazlur Rahman dalam memahami nash (sumber hukum) itu sendiri, walaupun ada kesamaan akan tetapi penulis menekankan adanya perbedaan





[1] Agus Hermanto, Khitan PeremPuan antara tradisi dan syari’ah, (IAIN Raden Intan Lampung, 2016), Volume 10, Nomor 1, hal. 257

[3] Masthuriyah Sa’dan, Khitan Anak Perempuan, Tradisi, dan Paham Keagamaan Islam: Analisa Teks Hermeneutika Fazlur Rahman, (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2016), Vol. 1, Nomor 2, hal. 116
[4] http://www.alkhoirot.net/2013/11/sunat-khitan-dalam-islam.html#7, diakses pada tanggal 03 januari 2018.

[5] Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 129-130

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018