Diajukan Ke Fakultas Ushuluddin Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Oleh :
Fauzan
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1439H/2017M
KATA PENGANTAR
السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ
عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْد
Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kepada kita semua khususnya kepada penulis limpahan karunia serta
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Penarapan Konsep Aplikasi
Hemeneutika Fazlur Rahman Dalam Memahami Nash Tentang Khitan Perempuan”.
Sholawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. yang karenanya dunia menjadi penuh cahaya pengetahuan dan
keimanan sebagai tauladan pemimpin berakhlakul karimah serta pengusaha muslim
yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
Dalam penyusunan proposal ini tentunya terdapat kesulitan dalam menghadapi
berbagai hambatan, persoalan dan rintangan karena keterbatasan penulis sendiri,
namun dengan bantuan berbagai pihak sehingga dapat meyelesaika dalam waktu yang
telah ditentukan,walaupun masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu,
kami sampaikan terima kasih atas bantuan materil maupun non materil dari pihak-pihak
yang telah membantu terselesaikannya tugas ini, dan ucapan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada pihak dan rekan-rekan yang
telah banyak membantu penulis dalam menyusun proposal ini, dan Ibu dan Bapak
dosen yang telah memberikan ide-ide sekaligus memberikan motivasi-motifasi dan
dorongan khususnya kepada dosen mata kuliah Metode Pemahaman Hadis yaitu Bapak
Dr. Novizal Wendry, M. A., dan kepada Bapak Dr. Zaim Rais, M.A., selaku dosen
metode penelitian yang telah membimbing kami dengan penuh kesabaran.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan proposal ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga saya selaku penulis meminta maaf atas
kekurangan dan kekhilafan penulisan baik dalam huruf maupun kata-kata yang
kuarang jelas. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak
demi perbaikan pada penulisan proposal selajutnya. Dan penulis berharap semoga proposal ini
dapat dijadikan langkah awal untuk menyusun penelitian lebih lanjut menyingkapi
masalah ini dan, akan lebih bermanfaat apabila bisa dijadikan bahan acuan bagi pembaca
khususnya bagi penulis sendiri serta semua pihak yang membutuhkannya.
Padang, Januari 2018
Penulis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Khitan atau yang lebih
kita kenal dengan sunat, secara bahasanya dapat diartikan memotong, dari berbagai literatur fikih klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan khitan adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang
menutupi kasyafah atau ujung kepala kemaluan. Adapun khitan perempuan
dalam bahasa arab disebut khifadh yang berasal dari kata khafdh,
artinya memotong ujung klitoris pada vagina. Istilah khitan perempuan adalah
terjemahan dari bahasa arab (khitan aluntsa) atau (khitan al-banat)
khitan perempuan. Dan dikatakan juga (khafdh al-banat) menurunkan
kepekaan alat kelamin anak perempuan, kerena dengan mengkhitankan anak
perempuan, berarti kepekaan alat kelaminnya tidak terlalu tinggi, sehingga
libido (kekuatan seksual) dimasa remaja dapat dikendalikan.[1]
Seperti yang
kita ketahui melihat dari fakta yang terjadi di masyarakat bahwa khitan adalah
suatu yang wajib, faktor yang paling dominan adalah kepercayaan masyarakat yang
sangat kuat bahwa dalam proses menjadi seorang muslim, laki-laki dan perempuan harus
dikhitan. Mereka yang belum dikhitan bukanlah orang muslim. Padahal rukun Islam
dan rukun Iman dalam agama Islam tidak ada syarat seorang perempuan harus
dikhitan. Sugesti dengan dalih keharusan agama inilah yang digunakan sebagai
peredam perempuan yang dikhitan supaya tidak mengeluh sakit, atau kepada ibu-ibu yang mengkhitan bayi
dan anak perempuannya. Khitan bagi perempuan dan laki-laki adalah sebuah
keharusan, baik atas dasar agama maupun atas dasar nilai-nilai adat. Karena
praktik khitan bagi bayi perempuan diasumsikan sebagai sebuah kewajaran. Maka,
masyarakat menganggap bahwa khitan bagi bayi perempuan adalah hal yang biasa,
normal dan lumrah. Padahal jika legitimasi dalil-dalil agama atas khitan
perempuan dihadapkan dengan analisa kritis teks hermeneutika. Maka khitan
perempuan lebih cenderung merupakan produk konstruksi budaya.
Melihat realita
khitan perempuan yang terjadi, Pelaksanaan sunat
perempuan, memunculkan pro dan kontra. Walaupun sebagian ulama ada yang
mewajibkan, diantara pendapat-pendapat ulama mengenai masalah ini yaitu, pertama
Pendapat yang kuat didalam mazhab Syafii adalah wajib terhadap
laki-laki dan wanita, demikian juga pendapat Imam Ahmad dan kebanyakan para
ulama salaf. Kedua, Sunat terhadap laki-laki dan wanita. Ini adalah
pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, demikian juga sebagian ulama dalam
mazhab Syafii. Ketiga, Wajib pada laki-laki dan sunat pada wanita, ini
adalah pendapat sebagian ulama mazhab syafii.[2]
Berdasarkan pendapat
ulama tersebut ada yang menganggapnya mubah, sunah bahkan wajib. Sedangkan al-Qur’an
tidak secara eksplisit menjelaskan hal itu, sedangkan nash hadits banyak yang
secara eksplisit menjelaskan fenomena tersebut. Persoalannya, apakah ideal
moral yang muncul dari nash itu sesuai dengan legal spesifiknya? Dikontekskan
di Indonesia yang mengalami penyederhanaan konsep sunat perempuan, apakah
memiliki relevansi hukum?. Beberapa kalangan ulama Islam mengatakan bahwa sunat
perempuan bukan merupakan ajaran Islam. Mereka merujuk pada tidak dijumpainya
ayat al-Qur’an yang menyiratkan ajaran tentang sunat perempuan secara
eksplisit. Demikian juga tidak dijumpai satu riwayat tentang sunat perempuan
pada nabi Muhamad SAW, serta para sahabatnya dan keluarga. Apabila ada hadits yang
menyebutkan tentang sunat perempuan, masih diragukan kesahihannya. Dari segi
anatomis, alat kelamin perempuan diyakini berbeda dengan laki-laki yang
mempunyai penghalang dalam bersuci. Dalam anatomi perempuan, tidak ada kulit
yang harus dibuka untuk dibersihkan. Untuk menjelaskan fenomena ini, penulis
menganggap perlu untuk mengingatkan kembali bahwa praktik sunat perempuan. Dalam beberapa bentuk, seringkali terjadi konstruksi gender
merugikan kaum perempuan. Bagaimana tidak, beberapa etnis di dunia dan di
Indonesia sendiri masih dengan setia memegang erat mitos-mitos tentang kesucian
perempuan, melayani, dan membahagiakan laki-laki. Mitos-mitos ini kemudian
diwariskan oleh nenek moyang dengan menggunakan dalih ajaran dan interpretasi
agama dan ketertundukan terhadap norma-norma budaya dengan menempatkan
perempuan sebagai objek penderita. Salah satu mitos kesucian perempuan yang
banyak dipercayai beberapa etnis tertentu yang berhubungan dengan perempuan
adalah seperti khitan perempuan atau
sunat perempuan, yang dalam bahasa medisnya dikenal dengan Female
Circumcision atau Female Genital Mutilation (FGM) yang artinya
adalah perusakan organ kelamin perempuan. Istilah ini disepakati di acara
konferensi perempuan sedunia ke-4 di Beijing pada tahun 1995 yang dihadiri
lebih dari 180 anggota delegasi dunia (Shihab 2001,274). Ironisnya praktik
pengrusakan organ intim kelamin perempuan tersebut dilestarikan hingga kini
atas dasar legitimasi agama dan sugesti kepercayaan semu.[3]
Dilihat dari
sisi ini bahwa khitan perempuan terdapat sisi negatifnya walaupun demikian adanya
dampak positif bagi perempuan itu sendiri seperti dalam hadis :
إذا خفضت أَشِمِّي ولا
تَنْهَكِي فإنه أحظى للزوج وأسرى للوجه
Artinya: Apabila Engkau
mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit dan jangan potong (bagian kulit klitoris)
semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh
suami.( Hadits riwayat Tabrani, Baihaqi, Ibnu Adi, Daulabi, Al-Khatib).[4]
Dari hadis
tersebut, bahwa pelaksanaan sunat perempuan diindikasi pernah dilakukan sewaktu
nabi masih hidup Nabi. Hukum pelaksanaannya tidak lebih jelas dibandingkan
sunat atau khitan laki-laki (khilafiyah). Mazhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa
sunat laki-laki dan perempuan hukumnya adalah wajib. Sementara Mazhab Hanafi
dan Hambali mengatakan bahwa sunat perempuan berhukum mubah yang artinya
boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan berbeda dengan pendapat Imam Yusuf
al-Qordawi yang mengatakan bahwa pengertian dari sunat perempuan adalah sejenis
khitan ringan. Sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa sunat perempuan
bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, tetapi lebih dari warisan kebudayaan
jahiliyah. Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa sunat perempuan bukan berasal
dari Islam akan tetapi berasal dari masa sebelum Islam.
Melihat hal
tersebut, pendapat Fazlur Rahman bisa menjadi alternatif perspektif yang
menarik. Rahman mengatakan bahwa bagian penting yang harus dilakukan dalam mempelajari
pesan al-Qur’an dan Hadis secara keseluruhan sebagai pesan yang menyatu adalah
memahami secara lengkap latar belakang kemunculannya. Latar belakang yang paling pokok adalah
kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan perjuangannya. Termasuk juga kebutuhan
memahami kondisi Arab, baik pra Islam maupun ketika Islam datang, yaitu
kebudayannya, realitas sosialnya, istitusi, kehidupan ekonomi dan politiknya.
Dalam konteks ini, haruslah dapat memahami semua unsur-unsur ini, bukan hanya
dipahami secara persial, akan mengakibatkan termarginalisasinya posisi
perempuan, padahal Islam memberi posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki.
Oleh karena
itu, kajian tulisan ini adalah mengkaji teks anjuran khitan bagi perempuan,
yang mana seperti diketahui bahwa teks selalu dijadikan dalil legitimasi
teologis. Dengan mengkaji teks itulah maka ditemukan bagaimana teks tersebut
bergumul dan saling berkelindan dengan tradisi, masyarakat, budaya dan penafsir
teks itu sendiri. Tujuan dari penelitian
ini untuk mengkaji dan memahami maksud teks hadis tentang sunat perempuan
menggunakan Konsep hermeneutika Fazlur Rahman dan mengetahui sejauh mana konsep
hermeniutika Fazlur Rahman dapat diaplikasikan dalam menelaah fenomena sunat
perempuan, sehingga dapat dijadikan pijakan hukum Islam.
Untuk menjawab
persoalan dan memahami khitan perempuan tersebut penulis tertarik berdasarkan
teori gerak ganda Fazlur Rahman bisa yang menjadi sudut pandang yang menarik.
Prinsip dari teori ini yaitu : Pertama, menganalisis sejarah nash. Kedua,
menggali dan mensistematisasikan prinsip-prinsip hukum, nilai-nilai dan tujuan
jangka panjangnya, gerakan kedua ini harus dilakukan dari pandangan umum ini ke
pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan pada masa kini.
Lewat analisis hermeneutika gerak ganda, kita dapat menyimpulkan bahwa nash
hadits sebenarnya mengarahkan hukum pada logika mencegah, bukan melegitimasi,
walaupun caranya tidak tidak secara langsung. Di lihat dari kondisi kekinian,
sunat perempuan ternyata memiliki efek psikologis dan fisik yang berbahaya bagi
perempuan. Hal inilah yang menjadikan sunat perempuan seharusnya dilarang dalam
tradisi Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana memahami maksud teks hadis tentang sunat perempuan menggunakan Konsep
hermeneutika Fazlur Rahman ?
2.
Bagaimana konsep hermeneutika Fazlur Rahman dapat diterapkan dalam
penetapan maslah hukum khitan perempuan ?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Tujuan dari penelitian
ini untuk mengkaji dan Menjelaskan Bagaimana memahami maksud teks hadis tentang
sunat perempuan menggunakan Konsep hermeniutika Fazlur Rahman.
2.
Manfaaat Penelitian
Secara umum manfaat
penelitian ini Memberikan konstribusi pemikiran Islam, khususnya kajian
hermeneutika hukum terkait dengan fenomena sunat perempuan. Penulis harapkan
bermanfaat secara teoritis sebagai aset pengembangan khazanah ilmu pengetahuan
di bidang kesehatan, agama, praktisi agama, tenaga kesehatan dan, terutama bagi
perempuan secara umum. Disamping, berguna bagi penulis sebagai tugas akhir pada
progam studi tafsīr hadis.
D. Kerangka Teoritik
Mengenai hukum Islam,
tidak terlepas dari sumber nash baik yang bersumber dari al-Quran maupun Hadis
dan tentunya tidak terlepas dari persoala-persoalan dan perbedaan memahami dan
menafsirkan teks nash, tentunya tidak terlepas dari latar belakang penafsir itu
sendiri, dan akan menghasilkan dan pemahaman yang berdeda. Sehingga memunculkan
berbagai sudut pandang dalam menafsirkan suatu teks atau nash.
Kajian khitan perempuan
menjadi persoalan yang menarik jika dianalisis menggunakan hermeneutika Fazlur
Rahman, yaitu pertama, Metode
Kritik Sejarah (The Critical History Method) Metode ini menekankan pada
pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data sejarah, bukan
peristiwa sejarah itu sendiri. Metode kritik sejarah ini juga berbeda dengan
sosio-sejarah sekalipun keduanya sama-sama menjawab pertanyaan“mengapa”. Metode
yang pertama (kritik-sejarah) digunakan untuk mencari jawaban atas konteks dan
latar belakang peristiwa sejarah, sedangkan metode kedua (sosio-sejarah)lebih
berperan sebagai pengantar pada metode pertama. Kedua, Metode Penafsiran
Sistematis (The Systematic Interpretation Method) Metode kritik sejarah
yang telah lama diaplikasikan dalam menuliskan pikiranpikirannya yang tajam dan
kritis, kemudian dikembangkan menjadi metode yang lebih sistematis yang disebut
dengan the systematic interpretation method. Menurut Rahman, jika
orang-orang Islam dengan keras dan gigih berbicara tentang kelangsungan hidup
Islam sebagai sistem doktrin dan praktik di dunia dewasa ini sungguh-sungguh
sejati (suatu pertanyaan yang jawabannya tidak mudah), kelihatan dengan jelas
bahwa mereka harus memulai sekali lagi dari tingkat intelektual. Ketiga,
Metode Suatu Gerakan Ganda (Double Movement) Fazlur Rahman dikenal dalam
Islamic Studies, sebagai ilmuan yang memperkenalkanteori Gerakan Ganda (Double
Movement) dalam memahami dan menafsirkan al-Quran. Relasi timbal balik
antara wahyu ketuhanan (divine revelation) yang suci dan sejarah kemanusiaan
(human history) yang biasa (profane) menjadi tema sentral.
Gerakan pertama dari teori gerakan ganda ini adalah upaya yang sungguh-sungguh
untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat al- Quran diturunkan. Hasil
pemahaman ini akan dapat membangun makna asli (original meaning) yang
dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial moral era kenabian,
sekaligus mendapat gambaran situasi dunia pada umumnya saat ini. Disinilah
peran penting turunnya ayat (asbabun nuzul) dan konsep nasakh.[5]
E.
Metode Penelitian
1.
Metode Pengumpulan Data
Mengenai
pengumpulan data ini penulis menggunakan metode penelitian (Library Research),
sebagai landasan operasional, yaitu sebuah penelitian yang menggunakan
buku-buku baik yang berasal dari sumber primer yang terkait dengan hermeneutika
Fazlur Rahman dan buku-buku tentang masalah sunat perempuan di Indonesia, maupun
sumber sekunder majalah, artikel yang berkaitan dengan materi pembahasan ini.
2.
Metode Pembahasan
Adapun dalam
metode pembahasan penulis menggunakan pendekatan deskriptif analitis, yaitu
pendekatan dengan cara mengumpulkan berupa data-data yang berkaitan dengan masalah
yang akan diteliti kemudian dideskripsikan, dan setelah itu baru dianalisa
untuk memperoleh kejelasan masalah yang akan diteliti.
F.
Kajian Kepustakaan
Dari penelitian
penelusuran dan literatur yang peneliti analisis untuk memperdalam tentang
kajian ini, peneliti menemukan beberapa literatur relevasi terkait tema ini
yaitu, Skripsi Arif Kurnia Rakhman, yang berjudul : “Kajian hukum islam Tentang sunat perempuan di indonesia : Sebuah aplikasi
konsep hermeneutika Fazlur Fahman”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Dilihat dari segi judul memang memiliki kesamaan terkait tema ini,
akan tetapi berbeda dalam titik fokus kajiannya. Skripsi Arif Kurnia ini lebih
memfokuskan kepada hukumnya yang terkait persoalan sunat perempuan dan Bagaimana pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia, sedangkan
penelitian ini memfokuskan kepada penerapan konsep hermeneutika Fazlur Rahman
dalam memahami nash (sumber hukum) itu sendiri, walaupun ada kesamaan akan
tetapi penulis menekankan adanya perbedaan
[1] Agus Hermanto, Khitan PeremPuan antara
tradisi dan syari’ah, (IAIN Raden Intan Lampung, 2016), Volume 10, Nomor 1, hal. 257
[2] http://lbm.mudimesra.com/2011/09/pengertian-khitan-hukum-dan-waktunya.html, diakses pada
tanggal 03 januari 2018.
[3] Masthuriyah Sa’dan, Khitan Anak Perempuan, Tradisi, dan Paham
Keagamaan Islam: Analisa Teks Hermeneutika Fazlur Rahman, (Yogyakarta : UIN
Sunan Kalijaga, 2016), Vol. 1, Nomor 2, hal. 116
[4] http://www.alkhoirot.net/2013/11/sunat-khitan-dalam-islam.html#7,
diakses pada tanggal 03 januari 2018.
[5] Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian terhadap Metode, Epistemologi,
dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 129-130
0 comments:
Post a Comment