Thursday, November 29, 2018

Hermeneutika Fazlur Rahman

0 comments

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Pada saat ini kemajuan ilmu pengetahuan tidak berkembang begitu saja. Namun mengalami proses yang sangat panjang, yang banyak melibatkan banyak ilmuan dengan beragam budaya. Pada awalnya perhatian tertuju pada perlunya memahami sejarah awal Islam guna membongkar reifikasi yang menyelimuti pandangan umat Islam terhadap kesejatian Al-Qur’an.
Selanjutnya diperluas menjadi perlunya umat islam membuat pembedaan antara aspek legal spesifik Al-Qur’an dengan aspek ideal moralnya. Dan sunnah ideal dengan sunnah hidup. Belakangan setelah makin meyakinkan akan lemahnya metode penafsiran konvensional, perhatian awal yang dipadukan dengan pembedaan kedua aspek tersebut dikukuhkan dengan teori gerakan ganda. Teori inilah yang mengawali pembahasan Rahman tentang hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi. Untuk itu maka kami akan membahas tentang hermeneutika Fazlur Rahman.

B.       Rumusan Masalah

1.    Apa itu hermeneutika?
2.    Bagaimana sejarahnya?
3.    Bagaimana biografi dan setting historis Fazhur Rahman?
4.    Bagaimana konsep sunnah menurutnya?
5.    Bagaimana aplikasi hermeneutika menurutnya?









BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hermeneutika

Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan istilah ini kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia.
Mitos ini menjelaskan tugas seorang Hermes yang begitu penting, yang bila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang Dewa. Berhasil tidaknya misi itu tergantung dapa cara bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan demikian, hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.[1]

B.       Sejarah Hermeneutika

Benih-benih pembahasan hermeneutika ditemukan dalam Peri Hermeneies karya Aristoteles. Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika.
Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan hermeneutika, bahwa hermeneutika adalah sebuah gerakan interpretasi atau eksegesis di awal perkembangannya. Pada abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang.[2]


C.      Sekilas Tentang Fazlur Rahman dan Setting Historis

Fazlur Rahman lahir di Hazara, kini menjadi bagian dari Pakistan, pada 21 September 1919.[3]Ia yang mengaku dirinya sebagai salah seorang pemikir neo-modernis merupakan pemikir Islam yang paling serius dan produktif pada era kontemporer ini. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir Islam liberalnya, seperti Syah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal. Ia dibesarkan dalam kelurga yang bermazhab Hanafi.
Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, ia juga menimba banyak ilmu tradisi onal dari ayahnya, seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergensi dinanak benua Indo-Pakistan. Menurut ia sendiri , ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh,ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala. Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syari’ah lainya. Ayahnya adalah kyai tradisioal yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia sangat apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karir pendidikannya.
Setelah menamatkan sekolah menengah Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departemen Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Unuversitas tersebut dengan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Pada tahun 1946 ia melanjutkan studi doktornya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951.
Ia juga giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehingga ia menguasai banyak bahasa. Ia juga pernah mengajar di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada. Pada Agustus 1962 ia kembali ke Pakistan. Ia diangkat menjadi direktur pada Institute of Islamic Research. Ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964.
Lembaga tersebut bertujuan untuk menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”.[4]
Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan.
Rahman mengundurkan dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969. Dan ia memutuskan jijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languanges and Civilization, University of Chicago. Baginya tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab.[5]
D.      Konsep Sunnah Dalam Pandangan Fazlur Rahman
Mula-mula tidak terdapat masalah berkaitan dengan hadis Nabi. Namun kemudian muncul suatu fenomena penyebaran hadis-hadis palsu, akhirnya memaksa ulama (terutama ahli hadis) untuk melakukan penyeleksian hadis-hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi dan selainnya. Dalam rangka penyeleksian ini, dibuatlah teori-teori yang dapat menjamin tingkat validitas, reabilitas serta akseptabilitas suatu hadis. Hal ini menjadi sangat wajar mengingat posisi hadis Nabi sebagai eksplanatori bagi Al-Qur’an dalam mengambil istimbat hukum.
 Hadis-hadis yang terformulasikan dalam beberapa kitab hadis tersebut dianggap sebagai sebuah ketentuan yang bersifat pasti, kaku dan tetap. Dengan kata lain sebuah ketentuan yang berlaku sepanjang abad tanpa perlunya penafsiran ulang terhadapnya. Dalam konteks inilah Rahman mencuat dan mengambil langkah yang berbeda dalam mengungkapkan dan memformulasikan konsep sunnah dan hadis, hal ini merupakan respon dan bentuk kritiknya terhadap konsep tersebut.
Untuk menjawab kedua pandangan tersebut, ia terlebih dahulu mengemukakan konsep sunnah. Dalam pandangannya ada dua arti sunnah yang saling berhubungan erat, namun harus dibedakan. Pertama, sunnah berarti perilaku Nabi, dan karenanya, ia memperoleh sifat normatifnya. Dalam hal ini sunnah Nabi atau sunnah normatif ataupun sunnah ideal harus dipandang sebagai sebuah konsep teladan, pedoman dan konsep pengayoman yang umum yang terbungkus dalam ketentuan yang bersifat khusus.
Kedua, sepanjang tradisi (perilaku Nabi) tersebut berlanjut secara diam-diam dan non verbal, maka kata sunnah ini juga diterapkan pada kandungan aktual perilaku generasi sesudah Nabi, sepanjang perilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani pola perilaku Nabi.[6]
Adapun perubahan-perubahan yang terjadi ini adalah hasil dari kesimpulan/interpretasi para sahabat terhadap sunnah normatif Nabi, yang mana kemudian bermetamorfosis menjadi sunnah yang hidup dan sunnah aktual.
Secara teoritis dapat disimpulkan secara langsung bahwa sunnah adalah sebuah tema perilaku (behaviral) yang bercorak situasional, karena di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya, secara moral, psikologis dan material, maka sunnah Nabi tersebut haruslah dapat dikembangkan, diinterpretasikan dan diadaptasikan, pada bagian ini sunnah secara terus-menerus mengalami evolusi dari generasi ke generasi.
Berkaitan dengan penjelasan konsep sunnah para orientalis diatas, Rahman mempunyai dua keberatan, yaitu keberatan logika dan historis. Kebereratan logikanya adalah berkaitan dengan Ignaz yang menganggap sunnah di satu sisi sebagai praktek normatif dari masyarakat muslim awal dan pada sisi lain ia anggap sebagai praktek yang hidup serta aktual.
Sedangkan keberatan historisnya adalah Nabi tidak meninggalkan warisan apapun selain Al-Qur’an. Kedua keberatan ini dijawab Rahman dengan menunjukkan kesalahan mereka terhadap pemahaman konsepsi sunnah. Sekaligus koreksi ini terkait dengan keberatan Rahman terhadap tesisi masyarakat muslim awal. Menurutnya konsep itu tidak benar karena yang normatif dan yang aktual adalah saling bertentangan. Bahkan beberapa penulis modern (para orientalis) menganggap bahwa sampai abad ke-2H/8M istilah sunnah tidak berarti praktek Nabi, tapi praktek masyarakat lokal kaum muslimin Madinah dari Iraq.
Dalam hal ini Rahman menyanggah pandangan orientalis tersebut dengan menegaskan:
1.         Bahwa sementara kisah perkembangan sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan kandungannya, tetapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam hingga masa kini.
2.         Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak.
3.         Bahwa konsep sunnah sesudah Nabi wafat tidak mencakup sunnah Nabi tapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut. Dan sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan proses yang semakin meluas secara terus-menerus.
4.         Bahwa setelah gerakan pemurnian hadis secara besar-besaran hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma’menjadi rusak.[7]
E.       Aplikasi Hermeneutika Fazlur Rahman: Dekontruksi Konsep Hukum
Aplikasi hermeneutika Fazlur Rahman seperti dalam masalah sunat perempuan, beliau mengatakan dalam Al-Qur’an tidak disebutkan sama sekali perihal sunat perempuan, sedangkan dalam hadis disebutkan, tetapi memunculkan penafsiran yang berbeda-beda. Adapun nash yang sering dijadikan pijakan dalil yang artinya: “dari Anas ibnu Malik ra. Rasulullah saw bersabda kepada Ummu Atiyah: apabila kamu mengkhifad, janganlah berlebihan karena yang tidak berlebihan itu akan menambah cantik wajah dan menambah kenikmatan dalam berhubungan dengan suami” (HR. Tabrani)
Dari pemahaman nash tersebut, pelaksanaan sunat perempuan diindikasi pernah dilakukan di zaman Nabi. Hukum pelaksanaannya tidak lebih jelas dibandingkan sunat atau khitan laki-laki(khilafiyah). Ada yang mengatakan bahwa sunat perempuan adalah kewajiban, sebagaimana khitan laki-laki karena jelas tertuang dalam teks. Sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa sunat perempuan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, tetapi lebih dari warisan kebudayaan jahiliyah. Mazhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa sunat laki-laki dan perempuan hukumnya adalah wajib. Sementara Mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa sunat perempuan berhukum mubah yang artinya boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan berbeda dengan pendapat Imam Yusuf al-Qordawi yang mengatakan bahwa pengertian dari sunat perempuan adalah sejenis khitan ringan.
Merespon hal tersebut, pendapat Fazlur Rahman bisa menjadi alternatif perspektif yang menarik. Rahman mengatakan bahwa bagian penting yang harus dilakukan dalam mempelajari pesan al-Qur’an dan hadis secara keseluruhan sebagai pesan yang menyatu adalah memahami secara lengkap latar belakang kemunculannya. Latar belakang yang paling pokok adalah kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan perjuangannya. Termasuk juga kebutuhan memahami kondisi Arab, baik pra Islam maupun ketuka Islam datang, yaitu kebudayannya, realitas sosialnya, istitusi, kehidupan ekonomi dan politiknya. Dalam konteks ini, haruslah dapat memahami semua unsur-unsur ini, bukan hanya dipahami secara persial. Metode persial menurut Amina Wadud akan mengakibatkan termarginalisasinya posisi perempuan, padahal Islam memberi posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki.
Adanya anggapan bahwa Nabi adalah orang yang membenci wanita merupakan hal yang perlu dikaji lebih jauh, perempuan semasa Nabi berada dalam keadaan yang tertindas oleh dominasi kekuasaan laki-laki. Artinya, Nabi tidak bisa dipertanggungjawabkan untuk hal itu. Kedatangannya justru dianggap sebagai pahlawan karena mengangkat citra perempuan yang begitu buruk menjadi makhluk yang patut dihargai. Kasus warisan bisa menjadi contoh. Jika pada awalnya permpuan menjadi objek warisan, setelah Islam datang perempuan memiliki hak mendapatkan warisan. Artinya, sikap sebenarnya Nabi terhadap perempuanadalah menghargai.
Hal ini yang kemudian hendak dirumuskan Fazlur Rahman ketika menafsirkan sebuah nash. Teori gerak ganda menjadi pilihan dengan menggabungkan logika sejarah dengan kondisi kekinian. Dengan menggabungkan kedua prinsip tersebut, apa yang diinginkan secara ideal moral betul-betul muncul. Pemahaman ini memposisikan nash sebagai respon. Respon bisa memiliki makna positif, artinya menolak fenomena tersebut. Model penolakannya tersebut bisa bersifat langsung dan ada yang bersifat bertahap, tergantung keadan sosial-budaya masyarakat pada saat itu.[8]



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan 
Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan istilah ini kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.
Fazlur Rahman seorang intelektual muslim, asal pakistan yang mengklaim dirinya sebagai tokoh yang berdiri di barisan neo-modernisasi berpandangan, bahwa umat Islam mengalami krisis metodologybyang tampaknya sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam ke masa depan, karena menurutnya metodologi sebagai titik pusat penyelesaiann krisis intelektual Islam.
B.       Kritik
Demikianlah uraian yang dapat kami tulis dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khusunya dan bagi pembaca pada umumnya. Dan kami menyarankan supaya pembaca mencari sumber lain yang membahas tentang pembahasan ini, serta tidak terhenti sampai disini saja.






DAFTAR PUSTAKA

Rahkman, Arif Kurnia. 2009. Sunat Perempuan Di Indonesia. Vol. 2. No. 1.
Sibawaihi. 2007. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra.
Syamsuddin, Sahiran. 2010. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: ELSAQ Press.







[1] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal. 6
[2] Ibid., hal. 7
[3] Ibid., hal. 17
[4] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hal. 326-329
[5] Ibid., hal. 329-330
[6] Ibid., hal. 330-332
[7] Ibid., hal.333-336
[8] Arif Kurnia Rakhman, Sunat Perempuan Indonesia, Vol. 2. No. 1. 2009. Hal. 71-73

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018