KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji milik
Allah Subhanahu wa ta’ala yang selalu membimbing hamba-Nya dengan penuh
kasih saying dan cinta, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah musthalah
al-hadis tentang (laqab ahli hadis dan majelis hadis). Sahalawat dan
salam kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mulia,
pembawa risalah, serta keluarganya, sahabat dan siapa saja yang mengikuti
sunnahnya dalam mengarungi bahtera alam.
Padang, 21 Maret 2017
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laqab merupakan
suatu gelar yang diberikan kepada seseorang karena suatu hal yang berkenaan
dengan dirinya.
Banyak penulis
yang membahas masalah ini. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kesalahan dan
menempatkan suatu laqab kepada yang bukan pemiliknya.
Kelompok-kelompok
kajian ilmu telah dikenal sejak masa Nabi SAW. Dan bertambah banyak bersamaaan
dengan bertambah banyaknya wilayah Islam, yang disertai dengan banyaknya
mesjid, majelis-majelis dibuka dengan membaca beberapa ayat al-Qur’an. dengan
adanya majelis-majelis itu maka akan bertambahnya wawasan seseorang, akan
tetapi dalam majelis kita juga memiliki adab yang baik. Sehingga majelis dapat
berjalan denganlancar.
Untuk itu
disini pemakalah akan membahas mengenai laqab-laqab ahli hadis, serta
majelis-majelis hadis dan imla’.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja laqab-laqab ahli hadis ?
2. Bagaimana majelis-majelis hadis?
3. Bagaimana majelis-majelis imla’?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Laqab-laqab Ahli
Hadis
Ulama hadis telah memberikan beberapa laqab (gelar
kemuliaan) kepada pemuka hadis. Menurut sebagian ulama, gelar yang tertinggi
ialah Amir al-Mukminin fi al-Hadis. gelar ini sedikit sekali yang
memilikinya, di antar Mutaqaddimin yang memperoleh gelar itu adalah Syu’bah
ibn al-Hajjaj, Sufyan ast-Tsaury,
Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad Ibn Hanbal, al-Bukhariy, ad-Daruquthniy dan beberapa
orang lainnya. Di antara para mutaakhirin yang memperoleh gelar ini
adalah an-Nawawiy, al-Mizziy, adz-Dzahabiy, dan Ibnu Hajar al-Atsqalaniy.
Dibawah Amir al-Mukminin fi al-Hadis adalah
gelar al-Hafiz. Dan di bawahnya adalah al-Muhaddits. Sebagian
ulama menggolongkan ulama hadis dalam empat tingkatan:
1.
Al-hakim, yaitu
orang yang mengetahui seluruh hadis yang pernah diriwayatkan, baik dari segi
sanad maupun matan, jarh-nya, ta’dil-nya, dan sejarahnya.
2.
Al-hujjah, yaitu orang
yang dapat menghafal 300 ribu hadis beserta sanadnya.
3.
Al-hafidz, yaitu
orang yang memadukan sifat-sifat muhaddis, dan dapat menghafal 100 ribu hadis,
baik dari segi matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalur yang beragam.
4.
Al-muhadis, yaitu
mereka yang dapat menghafal sejumlah besar hadis, dan mahir dalam bidang hadis,
baik dari segi dirayah maupun riwayahnya.
Ulama mutaakhirin telah memberikan bebeapa
gelar untuk ulama hadis, menurut mereka, gelar-gelar itu dengan urutan sebagai
berikut:
1.
Amir al-mukminin fi
al-hadis
2.
Al-hakim
3.
Al-mustbit
4.
Al-hafizh
5.
Al-mufid
6.
Al-muhaddits
7.
Al-musnid
Kata al-Hafiz al-Mizzy, orang yang boleh di namai al-Hafiz
adalah orang yang mengetahui sebagian besar keadaan-keadaan perawi hadis, yakni
orang yang mengetahui yang banyak dari pada yang tidak.
Ibnu Sayyid Annas berkata,”orang yang di namakan muhaddis
adalah orang yang membimbangkan diri dengan urusan riwayat dan dirayat, dan
mengumpulkan perawi-perawi serta mempelajari keadaan-keadaan mereka. Maka
apabila dia mengetahui lebih dari itu, di namailah dia al-Hafizh.
Menurut pendapat attaj ash-Shubki dalam muid an-Ni’am,
yang di katakan muhaddis, hanyalah orang-orang yang mengetahui segala sanad hadis,
ilat-ilatnya, nama perawi, ‘Ali dan Nazil, dan di samping itu dia hafal sejumlah
besar dari matan serta mempelajari pula kitab-kitab enam, musnad ahmad,
sunan baihaqi ,mu’jam ath-thabrani, serta seribu juz hadis. Kalau dia telah
mendengar yang demikian dan mempelajari kitab thabaqot serta dapat
mengetahui ilat hadis dari tarikh-tarikh wafat para perawi, dapatlah dia di
namai permulaan muhaddis
Di bawah muhaddis dinamai musnid yaitu
orang yang hanya mempelajari dan mengajar hadis dengan tidak mengetahui segala
ilmu-ilmunya. Dia bersifat perawi saja.
B. Majelis-majelis
Hadis
Kelompok-kelompok kajian ilmu telah dikenal sejak masa Nabi
SAW. Dan bertambah banyak bersamaaan dengan bertambah banyaknya wilayah Islam,
yang disertai dengan banyaknya mesjid, majelis-majelis dibuka dengan membaca beberapa
ayat al-Qur’an. Kemudian, guru membaca basmalah, memuji kepada Allah Swt. Atas
segal nikmat-Nya dan bersalawat kepada Rasulullah SAW. Baru memulai memberikan
periwayatan hadis yang telah dipilihnya, di dengar oleh murid yang duduk di
kejauhan seperti yang ada di dekat mendengarnya, menguraikannya, menjelaskan
kata-kata ghoribnya, kandungan maknanya, perawi-peawinya, dan
menghilangkan problematikanya. Kadang-kadang guru menjelaskannya dengan
perbandingan dari hadis lainnya dengan menandai musykilnya, dan lain-lainya. Sehingga
hadis itu benar-benar di mengerti dengan baik oleh semua peseta majelis.
Kemudian guru mengulanginya sekali lagi, untuk pindah kepada hadis lainnya.
Imam-imam hadis tidak suka bila muhadis terlalu memperpanjang
jangka waktu belajar, karena khawatir membosankan para pendengarnya, di samping
mengikuti tuntunan nabi Muhammad SAW. Yang secara berkala dalam memberikan mau’idzhah
kepada para sahabat karena khawatir mereka cepat bosan. Mereka juga suka
memberikan hadis secara beragaam, dan menutup majelis dengan beberapa kisah
atau hal-hal langka. Dalam hal ini, imam an-Nawawi mengatakan, yang terbaik
adalah tentang kezuhudan dan pekerti-pekerti yang baik. Kemudian guru
mengakhiri majelisnya dengan beristighfar dan memuji Allah ta’ala atas
segala nikmat dan anugerahnya.
Ulama tidak suka bila muhadis berdiri karena seseorang.
Mereka sangat antusias bila muhaddis memimpin majelis dengan khusuk dan tenang.
Bila ada seseorang mengeraskan suara, maka guru akan melarangnya. Imam Malik
melakukan hal itu, dan berkata, Allah SWT. Berfirmaan:
يايها
الذين امنوا لاترفعوا اصواتكم فوق صوت النبي (الحجرات:02)
“
hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari
suara nabi “(qs al-hujurat:02)
Jadi barang siapa yang mengeraskan suaranya di hadapan
hadis nabi shalallahu’alaihi wasallam. Maka seakan-akan ia telah
meninggikan suaranya di atas suara nabi SAW.
C. Majelis-majelis
imla’
Ulama salaf tidak cukup hanya memperbolehkan menulis hadis, tetapi
bahkan menganjurkannya. Mereka mendirikan majlis-majlis hadis dan mengimla’kannya.
Yang melakukannya hanyalah mereka yang mencapai tingkat tinggi dalam bidang
keilmuan dan pengetahuan . Karena imla’ merupakan tingkat periwayatan
tertinggi. Bagi yang telah memenuhi syarat untuk itu, mereka menganjurkan untuk
membuat majlis-majlis imla’. Para guru juga menyediakan hari-hari khusus
setiap minggunya untuk digunakan mengimla’kan hadis.
Dapatlah kita menganggap bahwa majlis-majlis imlak paling utama adalah yang ada pada masa rasulullah Saw, dimana dalam majlis-majlis itu beliau mengimlakkan ayat-ayat yang turun dan sebagian majlis yang didirikan atas ijin dari beliau, seperti majlis Abdullah ibn Amr bin al-Ash dan Anas ibn Malik yang menulis hadis dihadapan beliau.
Dapatlah kita menganggap bahwa majlis-majlis imlak paling utama adalah yang ada pada masa rasulullah Saw, dimana dalam majlis-majlis itu beliau mengimlakkan ayat-ayat yang turun dan sebagian majlis yang didirikan atas ijin dari beliau, seperti majlis Abdullah ibn Amr bin al-Ash dan Anas ibn Malik yang menulis hadis dihadapan beliau.
Kemudian ada sebagian sahabat yang mengimlakkan hadis kepada
murid-murid khusus mereka, seperti halnya tidak sedikit tabi’in yang menulis
dari sahabat terkemuka, Watsilah ibn al-Asqa (-85H) Mengimlakkan hadis kepada
orang-orang, dan mereka menulisnya dihadapan beliau.
Kemudian banyak tabiin yang melakukan imla’, di susul
oleh pengikut mereka dan ulama sesudahnya. Keberaian ulama untuk melakukan imla’
semakin bertambah, demikian pula dalam memberikan anjuran kepada para murid. Sampai
ada yang mengatakan, sepatutya seorang murid tidak pernah lepas dari pena dan shohifahnya,
agar ketika ada yang meriwayatkan kepadanya, tidak ada halangan baginya untuk
menulisnya.
Dalam memberikan imla’ sepatutnya di pilih yang
memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat dan menghindarkan yang mengandung
keraguan dan kesimpang siuran. Oleh karena itu, ulama mengimlakkan hadis-hadis
fiqhiyah yang memberikan manfaat bagi masyarakat dalam mengetahui hukum-hukum
yang berkenaan dengan ibadah dan muamalah. Sebagian besar ulama menganjurkan
agar guru memberikan penjelasan riwayat yang di imla’kan dari segi keshahihan
dan kedhaifannya, serta mengenai pengertiannya. Dalam hal ini, Sufyan ibn Uyaynah
berkata: orang alim adalah yang memberikan hak kepada segala sesuatunya.
Ulama juga menganjurkan agar guru mengangkat mustamlik
(penyambung suara yang mengimlakan), yang akan menyampaikan ulang apa yang di
riwayatkan dan di imlakannya. Tokoh yang
mula-mula kita kenal mengangkat
mustamlik adalah Syubah ibn al-Hajjaj (160 h) muhadis merasa sangat memerlukan
mustamlik manakala murid berjumlah sangat banyak. Mereka berdesak-desakan
karena datang dari seluruh penjuru. Majelis sebagian ulama bahkan tidak cukup
bila hanya mengangkat satu atau dua mustamli’, bahkan ada yang mencapai
tujuh mustamli’ atau lebih banyak
lagi. Masing-masing akan menyampaikan hasil imla’ kepada kawannya. Ini
tidaklah aneh, bila kita tahu bahwa mesjid bisa penuh oleh sebagian majelis imla’.
Sehingga ulama perlu duduk di atas atau tempat yang luas. Sampai-sampai Ashim
ibn Ali al-Washitiy (221 H) duduk di tempat lapang, dan orang-orang duduk di
sekeliling beliau. Jumlah mereka sangat banyak. Sehingga untuk setiap hadisnya
beliau perlu mengulang sebanyak empat belas kali. Sedangkan mustamli’-nya ada
di atas batang pohon kurma, untuk menyampaikan kepada orang-orang dari beliau.
Yang menghadiri majelis ulama sangat banyak. Yang mendatangi
majelis imla’ Abu Ishaq Ibrahim Ali al-Hujainiy mencapai 30.000 orang,
dan majelis imla’ Abu Muslim al-Kijjiy mencapai 40.000 peserta yang
menulis, belum termasuk yang menyaksikan saja.
Mustamli’ memohon para peserta diam pada awal majelis
setelah mendengarkan sebagian ayat al-Quran, dalam mengumumkan bahwa imla’
segera di mulai dengan membaca basmalah, hamdalah dan sholawat kepada Rasulullah
sholallahu alaihi wasallam. Kemudian ia berkata kepada guru: “Siapa yang
saya sebutkan, semoga Allah memberikan rahmat kepadanya, atau semoga Allah
memberikan ridha kepadamu“. Dan ungkapan sejenis, lalu muhadis mengimla’kan dan
mustamli’ meneruskannya kepaa hadirin. Inilah metode yang di tempuh pada
majelis-majelis imla’ sejak pertengahan abad kedua hijriyah.
Ulama menganjurkan agar mustamli’ merupakan orang yg
cerdas, bersuara keras berbahasa jelas dan mengikuti suara muhadis dengan
menghadap kepada hadirin dalam menyampaikanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ulama hadis telah memberikan beberapa laqab (gelar
kemuliaan) kepada pemuka hadis. Menurut sebagian ulama, gelar yang tertinggi
ialah Amir al-Mukminin fi al-Hadis. Ulama mutaakhirin memberikan
beberapa gelar untuk ulama hadis, menurut mereka, gelar-gelar itu dengan urutan
sebagai berikut: Amir al-mukminin fi al-hadis, Al-hakim, Al-mustbit,
Al-hafizh, Al-mufid, Al-muhaddits, Al-musnid.
Kelompok-kelompok kajian ilmu telah dikenal sejak masa
Nabi SAW. Dan bertambah banyak bersamaaan dengan bertambah banyaknya wilayah
Islam, yang disertai dengan banyaknya mesjid, majelis-majelis dibuka dengan
membaca beberapa ayat al-Qur’an. Kemudian, guru membaca basmalah, memuji kepada
Allah Swt. Atas segala nikmat-Nya dan bersalawat kepada Rasulullah SAW. Baru
memulai memberikan periwayatan hadis yang telah dipilihnya. Imam-imam
hadis tidak suka bila muhadis terlalu memperpanjang jangka waktu belajar,
karena khawatir membosankan para pendengarnya. Mereka juga suka memberikan
hadis secara beragaam, dan menutup majelis dengan beberapa kisah atau hal-hal
langka.
Ulama salaf tidak cukup hanya memperbolehkan menulis hadis, tetapi bahkan menganjurkannya. Yang melakukannya hanyalah mereka yang mencapai tingkat tinggi dalam bidang keilmuan dan pengetahuan . Karena imla’ merupakan tingkat periwayatan tertinggi. Bagi yang telah memenuhi syarat untuk itu, mereka menganjurkan untuk membuat majlis-majlis imla’. Para guru juga menyediakan hari-hari khusus setiap minggunya untuk digunakan mengimla’kan hadis.
Ulama salaf tidak cukup hanya memperbolehkan menulis hadis, tetapi bahkan menganjurkannya. Yang melakukannya hanyalah mereka yang mencapai tingkat tinggi dalam bidang keilmuan dan pengetahuan . Karena imla’ merupakan tingkat periwayatan tertinggi. Bagi yang telah memenuhi syarat untuk itu, mereka menganjurkan untuk membuat majlis-majlis imla’. Para guru juga menyediakan hari-hari khusus setiap minggunya untuk digunakan mengimla’kan hadis.
B. Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah
mengharapkan agar pembaca dapat mencari pembahasan ini dari sumber-sumber lain.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Khatib, M. ‘Ajjaj, penerjemah: M.
Khodirun Nur, Ahmad Musyafiq, Ushul Al-Hadits, 1998, Jakarta:Gaya Media
Pratama.
Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi
Teungku, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 2009, Semarang: Pustaka
Rizki Putra.
0 comments:
Post a Comment