Tuesday, November 27, 2018

Laqab-laqab Ahli Hadis

0 comments
KATA PENGANTAR
 
            Alhamdulillah, segala puji milik Allah Subhanahu wa ta’ala yang selalu membimbing hamba-Nya dengan penuh kasih saying dan cinta, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah musthalah al-hadis tentang (laqab ahli hadis dan majelis hadis). Sahalawat dan salam kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mulia, pembawa risalah, serta keluarganya, sahabat dan siapa saja yang mengikuti sunnahnya dalam mengarungi bahtera alam.




Padang, 21 Maret 2017

Pemakalah 









BAB I
PENDAHULUAN
     A.  Latar Belakang
            Laqab merupakan suatu gelar yang diberikan kepada seseorang karena suatu hal yang berkenaan dengan dirinya.
            Banyak penulis yang membahas masalah ini. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kesalahan dan menempatkan suatu laqab kepada yang bukan pemiliknya.
            Kelompok-kelompok kajian ilmu telah dikenal sejak masa Nabi SAW. Dan bertambah banyak bersamaaan dengan bertambah banyaknya wilayah Islam, yang disertai dengan banyaknya mesjid, majelis-majelis dibuka dengan membaca beberapa ayat al-Qur’an. dengan adanya majelis-majelis itu maka akan bertambahnya wawasan seseorang, akan tetapi dalam majelis kita juga memiliki adab yang baik. Sehingga majelis dapat berjalan denganlancar.
            Untuk itu disini pemakalah akan membahas mengenai laqab-laqab ahli hadis, serta majelis-majelis hadis dan imla’.

     B. Rumusan Masalah
1.      Apa saja laqab-laqab ahli hadis ?
2.      Bagaimana majelis-majelis hadis?
3.      Bagaimana majelis-majelis imla’?









BAB II
PEMBAHASAN
           A.  Laqab-laqab Ahli Hadis
Ulama hadis telah memberikan beberapa laqab (gelar kemuliaan) kepada pemuka hadis. Menurut sebagian ulama, gelar yang tertinggi ialah Amir al-Mukminin fi al-Hadis. gelar ini sedikit sekali yang memilikinya, di antar Mutaqaddimin yang memperoleh gelar itu adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj, Sufyan  ast-Tsaury, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad Ibn Hanbal, al-Bukhariy, ad-Daruquthniy dan beberapa orang lainnya. Di antara para mutaakhirin yang memperoleh gelar ini adalah an-Nawawiy, al-Mizziy, adz-Dzahabiy, dan Ibnu Hajar al-Atsqalaniy.
Dibawah Amir al-Mukminin fi al-Hadis adalah gelar al-Hafiz. Dan di bawahnya adalah al-Muhaddits. Sebagian ulama menggolongkan ulama hadis dalam empat tingkatan:
1.      Al-hakim, yaitu orang yang mengetahui seluruh hadis yang pernah diriwayatkan, baik dari segi sanad maupun matan, jarh-nya, ta’dil-nya, dan sejarahnya.
2.      Al-hujjah, yaitu orang yang dapat menghafal 300 ribu hadis beserta sanadnya.
3.      Al-hafidz, yaitu orang yang memadukan sifat-sifat muhaddis, dan dapat menghafal 100 ribu hadis, baik dari segi matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalur yang beragam.
4.      Al-muhadis, yaitu mereka yang dapat menghafal sejumlah besar hadis, dan mahir dalam bidang hadis, baik dari segi dirayah maupun riwayahnya.
Ulama mutaakhirin telah memberikan bebeapa gelar untuk ulama hadis, menurut mereka, gelar-gelar itu dengan urutan sebagai berikut:
1.      Amir al-mukminin fi al-hadis
2.      Al-hakim
3.      Al-mustbit
4.      Al-hafizh
5.      Al-mufid
6.      Al-muhaddits
7.      Al-musnid
Kata al-Hafiz al-Mizzy, orang yang boleh di namai al-Hafiz adalah orang yang mengetahui sebagian besar keadaan-keadaan perawi hadis, yakni orang yang mengetahui yang banyak dari pada yang tidak.
Ibnu Sayyid Annas berkata,”orang yang di namakan muhaddis adalah orang yang membimbangkan diri dengan urusan riwayat dan dirayat, dan mengumpulkan perawi-perawi serta mempelajari keadaan-keadaan mereka. Maka apabila dia mengetahui lebih dari itu, di namailah dia al-Hafizh.
Menurut pendapat attaj ash-Shubki dalam muid an-Ni’am, yang di katakan muhaddis, hanyalah orang-orang yang mengetahui segala sanad hadis, ilat-ilatnya, nama perawi, ‘Ali dan Nazil, dan di samping itu dia hafal sejumlah besar dari matan serta mempelajari pula kitab-kitab enam, musnad ahmad, sunan baihaqi ,mu’jam ath-thabrani, serta seribu juz hadis. Kalau dia telah mendengar yang demikian dan mempelajari kitab thabaqot serta dapat mengetahui ilat hadis dari tarikh-tarikh wafat para perawi, dapatlah dia di namai permulaan muhaddis
Di bawah muhaddis dinamai musnid yaitu orang yang hanya mempelajari dan mengajar hadis dengan tidak mengetahui segala ilmu-ilmunya. Dia bersifat perawi saja.
      B.  Majelis-majelis Hadis
Kelompok-kelompok kajian ilmu telah dikenal sejak masa Nabi SAW. Dan bertambah banyak bersamaaan dengan bertambah banyaknya wilayah Islam, yang disertai dengan banyaknya mesjid, majelis-majelis dibuka dengan membaca beberapa ayat al-Qur’an. Kemudian, guru membaca basmalah, memuji kepada Allah Swt. Atas segal nikmat-Nya dan bersalawat kepada Rasulullah SAW. Baru memulai memberikan periwayatan hadis yang telah dipilihnya, di dengar oleh murid yang duduk di kejauhan seperti yang ada di dekat mendengarnya, menguraikannya, menjelaskan kata-kata ghoribnya, kandungan maknanya, perawi-peawinya, dan menghilangkan problematikanya. Kadang-kadang guru menjelaskannya dengan perbandingan dari hadis lainnya dengan menandai musykilnya, dan lain-lainya. Sehingga hadis itu benar-benar di mengerti dengan baik oleh semua peseta majelis. Kemudian guru mengulanginya sekali lagi, untuk pindah kepada hadis lainnya.
Imam-imam hadis tidak suka bila muhadis terlalu memperpanjang jangka waktu belajar, karena khawatir membosankan para pendengarnya, di samping mengikuti tuntunan nabi Muhammad SAW. Yang secara berkala dalam memberikan mau’idzhah kepada para sahabat karena khawatir mereka cepat bosan. Mereka juga suka memberikan hadis secara beragaam, dan menutup majelis dengan beberapa kisah atau hal-hal langka. Dalam hal ini, imam an-Nawawi mengatakan, yang terbaik adalah tentang kezuhudan dan pekerti-pekerti yang baik. Kemudian guru mengakhiri majelisnya dengan beristighfar dan memuji Allah ta’ala atas segala nikmat dan anugerahnya.
Ulama tidak suka bila muhadis berdiri karena seseorang. Mereka sangat antusias bila muhaddis memimpin majelis dengan khusuk dan tenang. Bila ada seseorang mengeraskan suara, maka guru akan melarangnya. Imam Malik melakukan hal itu, dan berkata, Allah SWT. Berfirmaan:
        يايها الذين امنوا لاترفعوا اصواتكم فوق صوت النبي  (الحجرات:02)
“ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara nabi “(qs al-hujurat:02)
Jadi barang siapa yang mengeraskan suaranya di hadapan hadis nabi shalallahu’alaihi wasallam. Maka seakan-akan ia telah meninggikan suaranya di atas suara nabi SAW.
      C.  Majelis-majelis imla’
Ulama salaf tidak cukup hanya memperbolehkan menulis hadis, tetapi bahkan menganjurkannya. Mereka mendirikan majlis-majlis hadis dan mengimla’kannya. Yang melakukannya hanyalah mereka yang mencapai tingkat tinggi dalam bidang keilmuan dan pengetahuan . Karena imla’ merupakan tingkat periwayatan tertinggi. Bagi yang telah memenuhi syarat untuk itu, mereka menganjurkan untuk membuat majlis-majlis imla’. Para guru juga menyediakan hari-hari khusus setiap minggunya untuk digunakan mengimla’kan hadis.
Dapatlah kita menganggap bahwa majlis-majlis imlak paling utama adalah yang ada pada masa rasulullah Saw, dimana dalam majlis-majlis itu beliau mengimlakkan ayat-ayat  yang turun dan sebagian majlis yang didirikan atas ijin dari beliau, seperti majlis Abdullah ibn Amr bin al-Ash dan Anas ibn Malik yang menulis hadis dihadapan beliau.
Kemudian ada sebagian sahabat yang mengimlakkan hadis kepada murid-murid khusus mereka, seperti halnya tidak sedikit tabi’in yang menulis dari sahabat terkemuka, Watsilah ibn al-Asqa (-85H) Mengimlakkan hadis kepada orang-orang, dan mereka menulisnya dihadapan beliau.
Kemudian banyak tabiin yang melakukan imla’, di susul oleh pengikut mereka dan ulama sesudahnya. Keberaian ulama untuk melakukan imla’ semakin bertambah, demikian pula dalam memberikan anjuran kepada para murid. Sampai ada yang mengatakan, sepatutya seorang murid tidak pernah lepas dari pena dan shohifahnya, agar ketika ada yang meriwayatkan kepadanya, tidak ada halangan baginya untuk menulisnya.
Dalam memberikan imla’ sepatutnya di pilih yang memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat dan menghindarkan yang mengandung keraguan dan kesimpang siuran. Oleh karena itu, ulama mengimlakkan hadis-hadis fiqhiyah yang memberikan manfaat bagi masyarakat dalam mengetahui hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah dan muamalah. Sebagian besar ulama menganjurkan agar guru memberikan penjelasan riwayat yang di imla’kan dari segi keshahihan dan kedhaifannya, serta mengenai pengertiannya. Dalam hal ini, Sufyan ibn Uyaynah berkata: orang alim adalah yang memberikan hak kepada segala sesuatunya.
Ulama juga menganjurkan agar guru mengangkat mustamlik (penyambung suara yang mengimlakan), yang akan menyampaikan ulang apa yang di riwayatkan dan di imlakannya. Tokoh  yang  mula-mula kita kenal mengangkat mustamlik adalah Syubah ibn al-Hajjaj (160 h) muhadis merasa sangat memerlukan mustamlik manakala murid berjumlah sangat banyak. Mereka berdesak-desakan karena datang dari seluruh penjuru. Majelis sebagian ulama bahkan tidak cukup bila hanya mengangkat satu atau dua mustamli’, bahkan ada yang mencapai tujuh mustamli’  atau lebih banyak lagi. Masing-masing akan menyampaikan hasil imla’ kepada kawannya. Ini tidaklah aneh, bila kita tahu bahwa mesjid bisa penuh oleh sebagian majelis imla’. Sehingga ulama perlu duduk di atas atau tempat yang luas. Sampai-sampai Ashim ibn Ali al-Washitiy (221 H) duduk di tempat lapang, dan orang-orang duduk di sekeliling beliau. Jumlah mereka sangat banyak. Sehingga untuk setiap hadisnya beliau perlu mengulang sebanyak empat belas kali. Sedangkan mustamli’-nya ada di atas batang pohon kurma, untuk menyampaikan kepada orang-orang dari beliau.
Yang menghadiri majelis ulama sangat banyak. Yang mendatangi majelis imla’ Abu Ishaq Ibrahim Ali al-Hujainiy mencapai 30.000 orang, dan majelis imla’ Abu Muslim al-Kijjiy mencapai 40.000 peserta yang menulis, belum termasuk yang menyaksikan saja.
Mustamli’ memohon para peserta diam pada awal majelis setelah mendengarkan sebagian ayat al-Quran, dalam mengumumkan bahwa imla’ segera di mulai dengan membaca basmalah, hamdalah dan sholawat kepada Rasulullah sholallahu alaihi wasallam. Kemudian ia berkata kepada guru: “Siapa yang saya sebutkan, semoga Allah memberikan rahmat kepadanya, atau semoga Allah memberikan ridha kepadamu“. Dan ungkapan sejenis, lalu muhadis mengimla’kan dan mustamli’ meneruskannya kepaa hadirin. Inilah metode yang di tempuh pada majelis-majelis imla’ sejak pertengahan abad kedua hijriyah.
Ulama menganjurkan agar mustamli’ merupakan orang yg cerdas, bersuara keras berbahasa jelas dan mengikuti suara muhadis dengan menghadap kepada hadirin dalam menyampaikanya.









BAB III
PENUTUP
          A.  Kesimpulan
Ulama hadis telah memberikan beberapa laqab (gelar kemuliaan) kepada pemuka hadis. Menurut sebagian ulama, gelar yang tertinggi ialah Amir al-Mukminin fi al-Hadis. Ulama mutaakhirin memberikan beberapa gelar untuk ulama hadis, menurut mereka, gelar-gelar itu dengan urutan sebagai berikut: Amir al-mukminin fi al-hadis, Al-hakim, Al-mustbit, Al-hafizh, Al-mufid, Al-muhaddits, Al-musnid.
Kelompok-kelompok kajian ilmu telah dikenal sejak masa Nabi SAW. Dan bertambah banyak bersamaaan dengan bertambah banyaknya wilayah Islam, yang disertai dengan banyaknya mesjid, majelis-majelis dibuka dengan membaca beberapa ayat al-Qur’an. Kemudian, guru membaca basmalah, memuji kepada Allah Swt. Atas segala nikmat-Nya dan bersalawat kepada Rasulullah SAW. Baru memulai memberikan periwayatan hadis yang telah dipilihnya. Imam-imam hadis tidak suka bila muhadis terlalu memperpanjang jangka waktu belajar, karena khawatir membosankan para pendengarnya. Mereka juga suka memberikan hadis secara beragaam, dan menutup majelis dengan beberapa kisah atau hal-hal langka.
Ulama salaf tidak cukup hanya memperbolehkan menulis hadis, tetapi bahkan menganjurkannya. Yang melakukannya hanyalah mereka yang mencapai tingkat tinggi dalam bidang keilmuan dan pengetahuan . Karena imla’ merupakan tingkat periwayatan tertinggi. Bagi yang telah memenuhi syarat untuk itu, mereka menganjurkan untuk membuat majlis-majlis imla’. Para guru juga menyediakan hari-hari khusus setiap minggunya untuk digunakan mengimla’kan hadis.
        B.  Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah mengharapkan agar pembaca dapat mencari pembahasan ini dari sumber-sumber lain.







DAFTAR KEPUSTAKAAN

            Al-Khatib, M. ‘Ajjaj, penerjemah: M. Khodirun Nur, Ahmad Musyafiq, Ushul Al-Hadits, 1998, Jakarta:Gaya Media Pratama.

            Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi Teungku, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 2009, Semarang: Pustaka Rizki  Putra.




0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018