Thursday, November 29, 2018

Tantangan Dakwah

0 comments
PENDAHULUAN

Memasuki abad 21 globalisasi seakan tidak bisa dibendung lajunya ketika memasuki setiap sudut negara dan menjadi sebuah keniscayaan. Era ini menghendaki setiap negara beserta individunya harus mampu bersaing satu sama lain baik antar negara maupun antar individu. Persaingan yang menjadi esensi dari globalisasi sering memiliki pengaruh dan dampak yang negatif jika dicermati dengan seksama. Pengaruh yang ada dari globalisasi pada aspek kehidupan meskipun awal tujuannya diarahkan pada bidang ekonomi dan perdagangan serta memberikan dampak multidimensi.
Persoalan yang kita hadapi sekarang adalah tantangan dakwah yang semakin hebat dan semakin kompleks. Tantangan itu muncul dalam berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti perilaku dalam menda­patkan hiburan (enter­tain­ment), kepariwisataan dan seni dalam arti luas, yang semakin mem­buka peluang munculnya kerawanan-kerawanan moral dan etika.




  


PEMBAHASAN

A.    Tantangan dakwah
Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap individu muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ) صحيح مسلم(
Artinya:“Barangsiapa salah seorang diantara kamu melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka hendaklah mengubahnya dengan lidahnya, dan jika belum mampu juga maka ubahlah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya keimanan.” (H.R. Muslim)
Kegiatan dakwah yang kian hari kian mendapat tantangan yang sangat kompleks, mesti ditunaikan dengan beragam kekuatan dan potensi. Paling tidak tantangan yang menghadang lajunya perkembangan dakwah islamiyah di Indonesia menurut karakteristiknya ada dua bagian besar, yaitu klasik dan kontemporer. Klasik berupa praktek-praktek ritual yang bercampur dengan animism, dinamisme, singkritisme, dan pengakuan sebagai nabi (palsu). Sedangkan yang kontemporer berbentuk paham-paham keagamaan yang bercorak sekularisme, pluralism, liberalism, dan feminism.
Selain itu, ada juga gerakan-gerakan yang sengaja dimunculkan untuk memecah belah persatuan umat Islam, semisal gerakan Syi’ah, Ahmadiyah, dan NII.
Gerakan-gerakan pemikiran dan aliran-aliran dhal mudhil diatas menjadi problematika dakwah yang cukup serius untuk dihadapi dan diselesaikan oleh para juru dakwah dan juga organisasi-organisasi keagamaan yang tumbuh subur di Indonesia.
Dari sekian tantangan dakwah yang akan diuraikan pada makalah ini hanya yang terkait dengan tantangan kontemporer.
 
B.     Sekuralisme
Sekuralisme merupakan pemahaman mengenai aktivitas keagamaan yang muncul pada abad pertengahan. Paham secular ini menurut M. Natsir tidak sekedar muncul secara alamiah sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan dilakukan juga secara aktif oleh sejumlah kalangan. Menurutnya, seperti dikutip oleh Adian Husaini, sekularisasi otomatis akan berdampak pada pendangkalan aqidah.[1]
Bagi M. Natsir, sekularisasi dipandang sebagai tantangan yang sangat serius bagi kebangkitan Islam. Ia menulis sebuah artikel berjudul “Memudahkan Islam”.
Untuk itu, Mohammad Natsir beserta A. Hassan terus menerus menepis pemahaman secular yang dilontarkan oleh Bung Karno di dalam majalah tersebut. Sebab, pada dasarnya Islam tidak pernah memisahkan antara urusan agama dan Negara. Bahkan, dengan tegas A. Hassan menyebutkan, Ir. Soekarno tidak mengerti bahwa Eropa memisahkan agama Kristen dari Staat (Negara), tidak lain karena di dalam agama Kristen tidak ada ajaran (konsep) tentang pemerintahan. Dari zaman Nabi Isa ‘alaihi al-salâm hingga sekarang ini belum pernah terdengar bahwa suatu Negara menjalankan hokum agama Kristen. Demikian kritik pedas A. Hassan.
Jika dilihat dari akar bahasa, sekularisme berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present age).[2] Sedangkan secara terminology sekularisme mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi Negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefiniskan sebagai “a system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship”. Yang bila diterjemahkan secara bebas berarti, sebuah system doktrin atau praktis yang menolak bentuk apapun dari keimanan dan upacara keagamaan. Jadi secara sederhana bisa dikatakan, sekularisme adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlu al-Din ‘an al-hayat), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari Negara dan politik. Agama hanya diakui eksistensinya pada urusan privat atau pribadi saja, hubungan manusia dengan Tuhannya. Tapi agama tidak boleh dibawa-bawa ke wilayah public, yang mengatur hubungan antarmanusia, seperti masalah social, politik, ekonomi, dan sebagainya.[3]
Dampak pemahaman secular ini yang paling nyata adalah hilangnya sikap amr ma’ruf nahyi munkar. Karena dengan dalih hak asasi individu, orang akan semena-mena untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya dan leluasa melanggar aturan-aturan Allah. Padahal ketika kegiatan amr ma’ruf nahyi munkar ditinggalkan maka yang terjadi adalah lenyapnya keberkahan wahyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا عظَّمَتْ أمتى الدنيا نُزِعَتْ منها هيبةُ الإسلامِ وإذا تَرَكَت الأمرَ بالمعروفِ والنهىَ عن المنكرِ حُرِمَتْ بركةُ الوحى وإذا تسابَّتْ أمتى سقطتْ من عينِ الله (الحكيم عن أبى هريرة)
Artinya:“Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabut kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amr ma’ruf nahyi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka mereka akan jatuh dalam pandangan Allah.” (H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah)
Untuk itu, pantas bila kita diharamkan berpaham secular itu. Berdakwah kepada orang-orang secular kadang jauh lebih berat daripada berdakwah pada orang awam.

C.    Liberalisme
Istilah liberalism berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feudal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded). Dalam politik liberalism dimaknai sebagai system dan kecenderungan yang berlawanan dengan, dan menentang mati-matian sentralisasi dan absolutism kekuasaan. Menurut Syamsuddin Arif, pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto Revolusi Prancis pada 1789 – kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberisme modern. Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalism yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas –apapun namanya – adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan, dan harga diri manusia – yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya.[4]
Dengan demikian, tidak berlebihan jika pada akhirnya liberalism yang kebablasan tersebut mengajarkan tiga hal, yaitu: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Dan ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion). Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir koq dilarang,” ujar golongan ini. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah ‘sufasta’iyah”, yang terdiri dari skeptisisme, agnostisme, dan relativisme. Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah menisfestasi nifaq, dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama.[5]
Menurut Nirwan Safrin, benih kemunculan liberalisasi di dunia Islam bisa ditelusuri ketika Daulah Utsmaniyah mulai mengadopsi beberapa pemikiran Barat. Ketika Kerajaan ini gagal mempertahankan beberapa wilayah kekuasaannya, para pemegang kekuasaan telah berusaha membawa masuk segala kemajuan teknologi militer Barat ke Negara mereka. Ini disebabkan adanya dugaan bahwa kekalahan mereka yang mereka alami disebabkan lemahnya kekuatan militer mereka. Tetapi importasi alat-alat militer saja tidak cukup, karena mereka juga memerlukan tenaga-tenaga mahir untuk mengendalikan peralatan tersebut. Akhirnya merekapun mengirimkan putra terbaik mereka ke institute-institut pendidikan di Barat. Sekembalinya ke tanah air, mereka mendapati bahwa keahlian yang mereka miliki tidak dapat dipraktekkan melainkan system pendidikan yang ada juga diperbaharui. Akhirnya, dilakukan pembaruan pendidikan. Tapi itu saja tidak cukup, karena ia juga menuntut pembaruan politik. Begitulah seterusnya hingga akhirnya Kemal Attartuk membubarkan Daulah Islamiyyah ‘Utsmaniyyah dan mendirikan Negara Turki berideologikan sekularisme. Proses westernisasi pun berjalan dan segala yang berbau agama segera dihabisi. Hamper satu abad Negara Turki secular sudah berdiri namun hingga hari ini sebuah Turki tidak ada bedanya dengan Negara dunia ketiga yang lain, terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi.[6]
Dari kasus Turki ini kita mendapat pelajaran bahwa sekularisasi dan liberisasi ala Barat tidak akan mengundang barakah hidup, sehingga alih-alih memperoleh kemajuan, malah yang terjadi keterpurukan dan ketertinggalan dalam berbagai lini kehidupan.

D.    Pluralisme
Tantangan dakwah yang tidak kalah berbahaya selain sekularisme dan liberalism adalah pluralism.
Menurut Anis Malim Thoha dalam Tren Pluralisme Agama, kata pluralism berasal dari plural yang berarti jamak atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris, pluralism memiliki tiga pengertian, yaitu (1) Pengertian kegerejaan, dengan makna sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, dan atau  memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. (2) Pengertian filosofis, yaitu system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. (3) Pengertian sosio-politis, yaitu suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik bercorak ras, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.
Namun pada tataran implikasinya, pluralism agama didasarkan pada asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Dengan kata lain, menurut mereka, agama adalah persepsi relative terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga dengan demikian setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya sendiri yang benar.[7]
Pemahan seperti ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an ayat 18 yang mengatakan bahwa agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam. Allah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ 
Artinya:“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Q.S. Ali Imran, ayat 19)
Dengan demikian, jelas kesesatan dan kekeliruan pluralism agama itu. Bagi kita semua harus menjadi keyakinan yang sebenar-benarnya bahwa hanya Islam agama yang benar, dan tidak sama dengan agama-agama yang lain.

E.     Syi’ah
Selain kesesatan dan tantangan pemikiran seperti diuraikan diatas, gerakan-gerakan penghambat dakwah dan perusak aqidah umat pun bisa berbentuk aliran-aliran (sekte-sekte) yang sengaja dibuat agar umat menjadi kacau pemikiran dan aqidahnya. Dan di antara aliran dimaksud adalah Syi’ah.
Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok. Kata syiah dinisbahkan kepada kelompok-kelompok di masa sahabat. Awal mulanya setelah Rasulullah SAW wafat, benih-benih perpecahan mulai ada, sehingga saat itu ada kelompok-kelompok atau syiah-syiah yang mendukung seseorang, tapi sifatnya dukungan politik.. Misalnya sebelum Sayyidina Abu Bakar di baiat sebagai Khalifah, pada waktu itu ada satu kelompok dari orang-orang Ansor yang berusaha ingin mengangkat Saad bin Ubadah sebagai Khalifah. Tapi dengan disepakatinya Sayyidina Abu Bakar menjadi Khalifah, maka bubarlah kelompok tersebut.
Istilah syiah pada saat itu tidak hanya dipakai untuk pengikut atau kelompok Imam Ali saja, tapi pengikut atau kelompok Muawiyah juga disebut syiah.
Kembali kepada pengertian Syiah yang dalam bahasa Arabnya disebut Syiah lughatan (menurut bahasa), sebagaimana yang kami terangkan di atas, maka sekarang ini ada orang-orang Sunni yang beranggapan bahwa dirinya otomatis Syiah. Hal mana tidak lain dikarenakan kurangnya pengetahuan mereka akan hal tersebut. Sehingga mereka tidak tahu bahwa yang sedang kita hadapi sekarang ini adalah Madzhab Syiah atau aliran syiah atau lengkapnya adalah aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (pengakuannya-Ja’fariyyah) yang sering juga disebut Syiah-Rafidhiyah.
Oleh karena itu, istilah Syiah – lughatan tersebut tidak digunakan oleh orang-orang tua kita (Salafunassholeh). Mereka takut masyarakat awam tidak dapat membedakan antara kata syiah dengan arti kelompok atau pengikut dengan aliran syiah atau Madzhab Syiah. Hal mana karena adanya aliran-aliran syiah yang bermacam-macam, yang kesemuanya telah ditolak dan dianggap sesat oleh Salafunassholeh.
Selanjutnya salafunassholeh menggunakan istilah Muhibbin bagi pengikut dan pecinta Imam Ali dan keturunannya dan istilah tersebut digunakan sampai sekarang. Ada satu catatan yang perlu diperhatikan, oleh karena salafunassholeh tidak mau menggunakan kata Syiah dalam menyebut kata kelompok atau kata pengikut dikarenakan adanya aliran-aliran Syiah yang bermacam-macam, maka kata syiah akhirnya hanya digunakan dalam menyebut kelompok Rofidhah, yaitu orang-orang Syiah yang dikenal suka mencaci maki Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar.  Sehingga sekarang kalau ada yang menyebut kata Syiah, maka yang dimaksud adalah aliran atau madzhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah. Memang dengan tidak adanya penerangan yang jelas mengenai Syiah Lughotan dan Syiah Madhhaban, maka mudah bagi orang-orang Syiah untuk mengaburkan masalah, sehingga merupakan kesempatan yang baik bagi mereka dalam usaha mereka mensyiahkan masyarakat Indonesia yang dikenal sejak dahulu sebagai pecinta keluarga Rasulullah SAW.
Perkembangan selanjutnya para ulama memberi nama kelompok syiah yang ekstrem dengan sebutan Rafidhah dikarenakan mereka mendatangi Zaid bin Ali bin Al- Hussain seraya berkata “Berlepas dirilah kamu dari Abu Bakar dan Umar, dengan demikian kami akan bergabung bersamamu” kemudian Zaid menjawab “mereka berdua adalah sahabat kakek saya, saya tak akan bias berlepas diri dari mereka, bahkan akan selalu bergabung dengannya, dan berloyalitas kepadanya”, kemudian mereka berkata “kalau demikian kami menolakmu, dengan demikian mereka diberi nama “Rafidhah” artinya golongan penolak, yaitu menolak pernyataan Imam Zaid bin Ali yang sengaja datang ke Kufah yang pengikutnya menjelek-jelekkan sehat-sahabat Rasulullah saw, seperti Abu Bakar ra dan Umar ra, seperti tersebut diatas, sehinnga beliau menyatakan, “Rafadhtumuni…….dan  orang-orang yang berbaiat dan setuju dengan Zaid diberi nama “Zaidiyyah”.  Dalam suatu pendapat dikatakan mereka diberi nama Rafidhah dikarenakan penolakannya akan keimaman Abu Bakar dan Umar.  Memang sekte Syiah Rafidhah  banyak sekali yang sampai “seratus” (menurut Ali Kasyif al-Ghitha) lebih dan yang dinilai besar adalah Syiah Itsna Asyriyah, Qaramithah (pernah mencuri Hajar Aswad dan dibawa ke darah Ahsa selama 20 tahun), Sabiyah, Ghulath,  Sabaiyah, dan lain-ain, seperti akan diternagkan kemudian. Syiah Tujuh terpecah-pecah juga menjadi Syah Fathimiyah, Druziyah pendirinya Abdullah ad-Darazi (sekarang di Libanon).
Perlu dicatat tentang type Syiah di Indonesia, dalam kesimpulan Prof. Dr. Mohammad Baharun dalam penelitian Syi’ah di Jawa Timur,  bahwa lahirnya tipe-tipe Syi’ah itu tergantung seberapa banyak mereka menyerap doktrin imamah yang diajarkan. Ada tiga tipe yang ditemukan Prof. Baharun:
Pertama, Syi’ah ideologis. Jama’ah Syi’ah imamah ini dididik secara sistematis, intens, serius melalui program kaderisasi. Ada yang dikader melalui pesantren ada pula di lembaga pendidikan formal. Materi-materinya meliputi mantiq, filsafat dan akidah-akidah penopang seperti konsep imamah. Kader ini ini biasanya menjadi pengikut yang militant yang tidak saja memahami teologi namun sekaligus ideology yang bersumber dari imamah. Banyak dari kader tipe ini yang disekolahkan ke pusat Syi’ah di kota Qom Iran.
Kedua, Syi’ah “Su-Si”. Jama’ah Syi’ah model ini diperkenalkan melalui pengajian dan selebaran. Sasarannya biasanya para santri di pondok pesantren. Ada pula yang semula bersimpatik kepada Syi’ah. Model pendekatannya tidak terlalu intensif bahkan kadang setengah-setengah. Rata-rata mereka tidak memahami referensi-referensi penting Syi’ah. Pemahamannya setengah-setengah. Saya pernah menjumpai tipe ini di sebuah daerah di Pasuruan. Orang tersebut mengaku Sunni, akan tetapi ia juga mengikuti ritual-ritual yang diadakan oleh Syi’ah, seperti Karbala, menghormati para dua belas Imam, dan mengkultuskan Khomeini. Ketika shalat orang itu mengikuti cara ala Sunni. “Syi’ah sama saja, yang berbeda kulitnya. Maka saya ambil yang sekiranya baik dari Syi’ah dan Sunni”, begitu alasan tipe Su-Si. Namun tetap orang tersebut mengimani dua belas Imam sebagai pemimpin pengganti Nabi SAW. Ada pula tipe ini adalah calon kader militant, seperti sebuah tahapan untuk meningkat ke jenjang berikutnya.
Ketiga, Syi’ah Simpatisan. Biasanya mereka pemuda yang gemar pemikiran filsafat Syi’ah. Jama’ah ini mengenal Syiah imamah melalui buku-buku, seminar yang diadakan di kampus-kampus dan pendekatan individual. Mereka juga mengagumi Revolusi Iran yang dipelopori Khomeini tahun 1979. Mereka memahami pemikiran aja. Mereka juga disebut Syi’ah pemikiran. Mereka bersifat lebih adaptif dengan Sunni tapi mereka elaboratif dalam memahami Syi’ah dua belas.[8]










PENUTUP

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa tantangan dakwah kontemporer itu beragam bentuknya dan bermacam-macam corak gerakannya. Ada yang berbentuk aliran pemikiran yang dikenal dengan paham sekularisme, liberalism, serta pluralism, dan ada pula yang berbentuk gerakan-gerakan yang terorganisasi dengan rapi berbentuk sekte-sekte sempalan yang menggoroti aqidah umat sehingga mereka tidak lagi berpegang pada tali (agama) Allah yang benar, diantaranya sekte Syi’ah yang sejak zaman dulu sampai kini terus menerus menyesatkan umat Islam. Sebenaarnya, sekte-sekte ini amat banyak jumlahnya hanya yang paling mendunia dan yang baru sempat dibahas pada makalah ini hanya Sy i’ah.






  
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adian Husaini, 2009, Indonesia Masa Depan – Perspektif Peradaban Islam, Jakarta: DDII.

Ardian Husain, 2008, Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Kumpulan Pengantar Kuliah Pasca Sarjana UIKA Bogor.

K.H. Shiddiq Aminullah, 2009, Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisme, Majalah Risalah No. 8.

M. Abdurrahman, 2012, Antara Sunni dan Syi’ah, Studi Banding Aspek Akidah, Ibadah, dan Muamalah,  Bandung: Pustaka Nadwah.

M. Shiddiq Al-Jawi, Mengapa Kita Menolak Sekularisme? Makalah tidak diterbitkan.

Nasrudin Syarif, 2010, Menagkal Virus Islm Liberal, Bandung: Persis Press.


[1] Dr. Adian Husaini, Indonesia Masa Depan – Perspektif Peradaban Islam, (Jakarta: DDII), 2009, hlm. 32.
[2] M. Shiddiq Al-Jawi, Mengapa Kita Menolak Sekularisme? Makalah tidak diterbitkan.
[3] K.H. Shiddiq Aminullah, Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisme, (Majalah Risalah No. 8, September 2009), hal. 55
[4] Nasrudin Syarif, Menagkal Virus Islm Liberal, (Bandung: Persis Press, 2010), hal. 5
[5] Dr. Ardian Husain, Tntangan Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Kumpulan Pengantar Kuliah Pasca Sarjana UIKA Bogor, 2008, hal. 23
[6] Ibid, hal. 28
[7] Ibid, hal 23
[8] M. Abdurrahman, Antara Sunni dan Syi’ah, Studi Banding Aspek Akidah, Ibadah, dan Muamalah,  (Bandung: Pustaka Nadwah, 2012, hal. 5-8

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018