PENDAHULUAN
Islam adalah agama dakwah, yaitu
agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada
seluruh umat manusia sebagai rahmad bagi seluruh alam. Kemajuan iptek telah
membawa banyak perubahan bagi masyarakat, baik cara berfikir, sikap, maupun
tungkah laku. Segala persoalan kemasyarakatan yang semakin rumit yang dihadapi
oleh umat manusia merupakan masalah yang harus dihadapi dan diatasi oleh para
pendukung dan pelaksana dakwah.
Karena tujuan utama dakwah adalah
untuk mengajak mad’u kejalan yang
benar yang diridhai Allah. Maka materi dakwah harus bersumber dari sumber pokok
ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist. Namun karena luasnya materi dari
kedua sumber tersebut, maka perlu adanya pembatasan yang disesuaikan dengan
kondisi mad’u. Dalam hal ini, kami
akan membahas tentang materi dakwah
khususnya yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Materi
Materi adalah sebuah subtansi dari
sebuah hal yang dibuat atau disusun, komponen atau bahan baku bahan
penyusunnya. Maka hadis tentang materi dakwah badalah hais yang di dalamnya
mengandung subtansi yang akan didakwahkan kepada masyarakat agar seorang da’i
dapat lebih mudah dalam menyampaikan dakwahnya, untuk mengajak manusia
menyembah Allah dan tidak menyembah selain Allah.
B.
Hadis Tentang Materi Dakwah
Rasulullah bersabda ketika akan
melepas Mu’ad berangkat ke Yaman. “serulah mereka supaya mereka naik saksi,
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan aku adalah Raasulullah, bila mereka
sudah menta’ati itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah
mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan bila itu telah
mereka ta’ati beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah
(pengeluaran zakat) dari harta mereka, (yakni) diambil dari yang kaya dari
mereka dan diserahkan kepada yang miskin diantara mereka”. (HR Al-Bukhari).
Penjelasan
Dari
hadis diatas dapat dipahami bahwa materi-materi yang harus disampaikan dimulai
dari materi tentang aqidah yakni seruan untuk beriman kepada Allah. Setelah itu
tentang shalat, zakat, dan shadaqah. Maka sebagai seorang da’i harus lebih
dahulu mengerti dan memahami materi-materi sebelum terjun untuk menyampaikan
kepada masyarakat. Supaya ketika masyarakat ada yang bertanya dan kurang mengerti
dapat menjelaskan dengan mudah serta bisa dipahami oleh masyarakat. Mengenai
materi-materi ada yang menagatakan bahwa zakat tidak termasuk pada dulu. Sebab
zakat dimasukkan dalam shadaqah.[1]
Hadis Tentang Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ».
Artinya:”Dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku
pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya
dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya
(menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa
tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”.
SYARAH HADITS
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya.[2]
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya.[2]
Di antara keutamaan amar
ma’rûf nahi munkar yaitu:
a.
Termasuk kewajiban paling penting dalam Islam.
b.
Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan kebaikan bagi masyarakat.
c.
Menghidupkan hati.
d.
Sebagai faktor yang bisa mengundang pertolongan, kemuliaan dan kekuasaan dibumi.
e.
Amar ma’rûf nahi munkar termasuk shadaqah.
f.
Menolak marabahaya.
g.
Orang yang mencegah dari perbuatan mungkar akan diselamatkan oleh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala .
h.
Amar ma’rûf nahi mungkar termasuk sifat-sifat orang mukmin yang shalih.
i.
Amar ma’rûf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.
j.
Amar ma’rûf nahi munkar termasuk sebab dosa diampuni.
k.
Amar ma’rûf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan seutama-utama
amal.
Akibat dan Pengaruh Jelek Meninggalkan Amar
Ma’rûf Nahi Munkar
a. Mendapat laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , celaan dan kehinaan
b. Kerusakan akan semakin parah.
c. Mendapat hukuman dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
d. Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
e. Do’a tidak dikabulkan.
f. Akan dibinasakan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
g. Akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.
h. Jatuh dalam kebinasaan, membuat hati sakit atau bahkan mematikannya.
a. Mendapat laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , celaan dan kehinaan
b. Kerusakan akan semakin parah.
c. Mendapat hukuman dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
d. Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
e. Do’a tidak dikabulkan.
f. Akan dibinasakan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
g. Akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.
h. Jatuh dalam kebinasaan, membuat hati sakit atau bahkan mematikannya.
Dari penjelasan dapat
diketahui bahwa mengingkari kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap
Muslim dalam semua kondisi, sedang mengingkarinya dengan tangan dan lidah itu
sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana dalam hadits Abu Bakar ash-Shiddiq
Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ
بِالْـمَعَاصِيْ يَقْدِرُوْنَ عَلَـى أَنْ يُغَيِّرُوْا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوْا
إِلَّا يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ.
Tidaklah suatu kaum yang dikerjakan
ditengah-tengah mereka berbagai kemaksiatan yang mampu mereka mencegahnya namun
tidak mereka cegah, melainkan Allâh pasti akan menurunkan hukuman kepada mereka
semua.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ
اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ : يَا رَبِّ ، رَجَوْتُكَ ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.
Sesungguhnya Allâh pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat
hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah
kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allâh telah mengajarkan hujjah kepada
hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-Mu,
dan aku tinggalkan manusia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda dalam khutbahnya,
أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رُجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا
عَلِمَهُ
Ingatlah, janganlah sekali-kali rasa segan kepada manusia menghalangi
seseorang untuk mengatakan kebenaran jika ia mengetahuinya.
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
menangis kemudian berkata, “Sungguh, demi Allah, kita melihat banyak hal kemudian
kita segan.”
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad
dengan tambahan,
فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ
مِنْ أَجَلٍ وَلَا يُبَاعِدُ مِنْ رِزْقٍ أَنْ يُقَالَ بِحَقٍّ أَوْ يُذْكَرَ
بِعَظِيْمٍ
Karena mengucapkan yang haq atau mengingatkan tentang suatu yang besar
tidak mendekatkan kepada ajal dan tidak menjauhkan dari rezeki.
Hadits tersebut ditafsirkan bahwa
penghalang untuk mengingkari kemungkaran itu hanya sekedar segan dan bukannya
takut yang menghapus kewajiban mengingkari kemungkaran.
Bagaimana Hukum Mengingkari Kemungkaran
Kepada Penguasa?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الْـجِهَادِ
كَلِمَةُ حَقٍّ (وفي رواية: عَدْلٍ) عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad terbaik ialah mengatakan kalimat yang haq (dalam riwayat lain: adil)
kepada pemimpin yang zhalim.
Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu
berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anuhma, ‘Aku memerintah
kebaikan kepada penguasa dan melarangnya dari kemungkaran?’ Ibnu ‘Abbâs
Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Jika engkau takut dia membunuhmu, jangan engkau
lakukan.’ Aku mengulangi perkataanku itu tadi, namun Ibnu ‘Abbâs c menjawab
seperti jawaban semula. Aku mengulangi perkataanku namun Ibnu ‘Abbâs
Radhiyallahu anhuma tetap berkata seperti semula dan berkata, ‘Jika engkau memang
harus melakukannya, maka kerjakan secara empat mata dengannya.’
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ
فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ ، فَإِنْ
قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barangsiapa yang ingin menasihati
penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang
tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat
itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau
menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya.
Sedangkan membelot dari penguasa dengan
mengangkat pedang (senjata) maka dikhawatirkan menimbulkan sejumlah fitnah yang
menyebabkan pertumpahan darah kaum Muslimin. Jika seseorang ingin maju
mengingkari kemungkaran para penguasa namun pada saat yang sama dikhawatirkan
tindakannya akan membawa dampak negatif kepada keluarga dan tetangganya, maka
ia sebaiknya tidak melakukannya. Karena tindakannya akan menimbulkan gangguan
bagi orang lain. Itulah yang dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyâdh t dan yang
lainnya. Jika seseorang khawatir dirinya dibunuh, atau dicambuk, atau
dipenjara, atau diborgol, atau diasingkan, atau hartanya dirampas, dan
ancaman-ancaman lainnya, maka kewajiban menyuruh para penguasa melakukan
kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran menjadi gugur darinya. Ini
ditegaskan para imam, diantaranya Imam Mâlik rahimahullah, Ahmad rahimahullah,
Ishâq rahimahullah dan lain-lain.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan
kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau, “Barangsiapa
meneliti fitnah besar dan kecil yang terjadi dalam Islam, dia akan tahu bahwa
fitnah itu disebabkan karena melalaikan pokok kaidah ini dan tidak sabar dalam
(mengingkari) kemungkaran. Menuntut hilangnya kemungkaran, tetapi lahir darinya
kemungkaran yang lebih besar. Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat satu kemungkaran besar di Makkah dan Beliau n tidak bisa mengubahnya.
Bahkan ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala taklukkan Makkah menjadi negeri Islam,
Beliau bertekad mengubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai pondasi bangunan
Nabi Ibrahim Alaihissallam , tetapi tercegah (walaupun Beliau mampu) oleh
kekhawatiran munculnya keburukan yang lebih besar, yaitu khawatir orang-orang
Quraisy tidak bisa menerimanya karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan
kekufuran. Oleh karena itu, tidak diizinkan mengingkari penguasa dengan tangan,
karena menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.”
Tingkatan Dalam Mencegah Kemunkaran Amar
ma’rûf nahi munkar memiliki tingkatan yang harus diketahui oleh pelakunya
sehingga apa yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan syari’at dan adab-adab
yang mesti diperhatikan. Tingkatan ini telah diterangkan oleh para Ulama dahulu
dan yang sekarang, dan mereka senantiasa menasihati para pelaku amar ma’rûf
nahi mungkar dengannya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya syari’at ini berdiri di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan
dunia-akhirat bagi hamba-hamba Allah. Syari’at ini, seluruhnya adil, rahmat,
maslahat dan hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan
kepada kezhaliman, dari rahmat ke lawannya, dari maslahat ke mafsadat dan dari
hikmah kepada kekerasan, maka itu tidak termasuk syari’at meskipun dimasukkan
ke dalamnya dengan sebab takwil. Syari’at adalah cermin keadilan Allâh
Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya diantara hamba-hamba-Nya,
pemeliharaan-Nya di bumi dan hikmah Allah yang merupakan petunjuk paling
sempurna yang membuktikan keberadaan Allâh Azza wa Jalla dan kejujuran
Rasûl-Nya.”
Beliau rahimahullah juga berkata,
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada ummatnya
untuk mengingkari kemungkaran agar terealisasi perbuatan ma’rûf yang dicintai
Allâh dan Rasûl-Nya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang
lebih mungkar daripadanya dan lebih dimurkai oleh Allâh dan Rasûl-Nya maka
tidak diperbolehkan untuk mengingkarinya meskipun Allâh membenci dan memurkai
pelakunya. Ini seperti mengingkari para raja dan pemimpin dengan cara
memberontak kepada mereka, karena hal itu adalah sumber dari setiap kejelekan
dan fitnah sampai akhir masa.”
Beliau rahimahullah melanjutkan,
“Menghilangkan kemungkaran memiliki empat tingkatan:
1. Kemungkarannya hilang dan digantikan dengan lawannya, yaitu kebaikan.
2. Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.
3. Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.
4. Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih berat (lebih besar).
2. Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.
3. Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.
4. Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih berat (lebih besar).
Tingkatan yang pertama
dan kedua disyari’atkan (untuk dilakukan). Tingkatan yang ketiga –tentang
kebolehannya masuk ke area ijtihad-, dan tingkatan yang keempat haram (untuk
dilakukan).
Berikut tingkatan
mengubah kemungkaran yang harus diketahui :
a. Mengetahui kemungkaran.
b. Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya.
Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu.
c. Mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tahapan-tahapannya.
Tahapan pertama, memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
Tahapan kedua, melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat.
Tahapan ketiga, tegas dalam memberikan nasihat.
Tahapan keempat, mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
d. Mengingkari kemungkaran dengan hati
e. Mengingkari kemungkaran dengan pedang atau senjata
b. Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya.
Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu.
c. Mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tahapan-tahapannya.
Tahapan pertama, memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
Tahapan kedua, melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat.
Tahapan ketiga, tegas dalam memberikan nasihat.
Tahapan keempat, mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
d. Mengingkari kemungkaran dengan hati
e. Mengingkari kemungkaran dengan pedang atau senjata
Perbedaan Tingkatan Tanggung Jawab Manusia
Dalam Mengingkari Kemungkaran. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Allâh Azza wa Jalla
mewajibkan semua kita melakukan amar ma’rûf nahi munkar sesuai dengan
kemampuan. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah manusia itu berbeda-beda
tingkatannya dalam kewajiban ini. Seorang muslim yang awam (minim ilmu) wajib
mengerjakan kewajiban ini sesuai kemampuannya. Ia harus menyuruh istri dan
anak-anaknya dengan perkara-perkara agama yang telah diketahuinya.
Sedang para ulama memiliki kewajiban yang
tidak dimiliki selain mereka karena mereka adalah pewaris para nabi. Jika
mereka meremehkan tugas ini maka berbagai kekurangan akan menimpa umat ini,
sebagaimana terjadi pada Bani Israil.
Sementara kewajiban pemerintah pada tugas
ini sangat besar karena mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa banyak
orang untuk kembali dari kemungkaran. Sebab orang yang terpengaruh dengan
nasihat dan wejangan itu sangat sedikit. Apabila pemerintah menyepelekan tugas
ini, maka ini merupakan bencana besar karena akan menyebabkan tersebarnya
kemungkaran serta para pelaku kebatilan dan kefasikan semakin berani melakukan
aksi-aksi batil mereka terhadap orang-orang yang berpegang pada kebenaran dan
orang-orang yang mengadakan perbaikan.[3]
C. Macam-macam Materi Dakwah
Secara umum, Materi Dakwah dikasifikasikan menjadi empat masalah pokok
yaitu:
1.
Masalah Aqidah
Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiyah. Aspek
akidah ini yang akan membentuk karakter ber-taqarrub (medekatkan diri pada
Allah) seorang hamba dengan haq (benar). Sebab, jika seorang
hamba tidak memiliki pengetahuan tentang akidah yang benar, dikhawatirkan jalan
menuju Allah bisa salah atau bahasa lumrahnya, bisa sesat. Oleh sebab itu, bagi
seorang da’i, materi akidah ini harus diutamakan dalam berdakwah.
Aspek aqidah adalah yang akan membentuk moral (akhlak) manusia. Oleh karena
itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah adalah masalah aqidah atau
keimanan.
Aqidah adalah pokok kepercayaan dalam agama Islam. Aqidah Islam disebut
Tauhid dan merupakan inti dari kepercayaan. Dalam Islam, Aqidah merupakan
I’tiqad Bathiniyyah yang mencakup masalah-masalah yang erat kaitannya dengan
rukun Iman. Allah SWT berfirman dalam Qs. An-Nisaa:36.
Iman ialah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikatnya,
Kitab-kitabnya, Rasul-rasulnya, Hari akhir dan percaya adanya ketentuan Allah
yang baik maupun yang buruk (HR.Muslim)
Sebab aqidah (keimanan) ini diturunkan lebih dahulu sebelum
diturunkannya perintah dan ajaran Islam tentang ibadah, syariat dan muamalat.
Sirah Nabawiyah mengajarkan bahwa materi pertama yang menjadi landasan utama
ajaran Islam adalah masalah yang berkaitan dengan pembinaan akidah.
Akidah Islam juga
menuntut hanya Rasul Muhammad saw sebagai satu-satunya panutan di antara semua
makhluk yang ada. Tidak boleh mengikuti selain Rasulullah Muhammad, dan tidak
diterima selain dari beliau. Beliaulah yang telah menyampaikan syari’at
Rabbnya. Tidak diperkenankan mengambil syari’at selain dari beliau (siapapun
orangnya), atau dari agama dan ideologi selain Islam, atau dari para pakar
hukum. Seorang muslim wajib mengikuti dan mengambil hukum hanya dari Rasul saw
berdasarkan firman Allah Swt Qs-Al-hasyr:7.
Aqidah dalam Islam adalah bersifat I’tiqadi Batiniyah yang mencakup
masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Masalah keyakinan atau
aqidah ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad, SAW: “Hendaknya engkau beriman
kepada Allah, para malaikatnya, Kitab-kitabnya, Para Rasulnya, hari akhir, dan
adanya takdir baik dan buruk (yang diciptakan oleh-Nya” (HR. Muslim
dari Umar).
Ciri-ciri yang membedakan antara aqidah dengan
kepercayaan lain adalah:
a) Keterbukaan melalui persaksian
b) Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah
Tuhan seluruh alam.
c) Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan.
Orang yang memiliki iman yang benar (hakiki) akan cenderung untuk berbuat
baik dan akan menjauhi perbuatan jahat, karena perbuatan jahat akan
berkonsekuensi pada hal-hal buruk. Iman inilah yang berkaitan dengan dakwah
islam dimana amar ma’ruf nahi mungkar dikembangkan yang
kemudian menjadi tujuan utama dari suatu proses dakwah.
2. Masalah Syariat
Secara etimologi kata syari’ah berasal dari bahasa Arab, dari kata syara’a
yang berarti jalan. . Secara terminologis, Muhammad Ali al-Sayis
mengartikan syari’ah dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian
ini dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan manusia yang
dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan
syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariahkan oleh Allah bagi
hamba-Nya untuk diikuti.
Materi dakwah yang bersifat Syari’ah ini sangat luas dan mengikat seluruh
umat Islam. Disamping mengandung dan mencakup kemaslahatan sosial dan moral.
Materi dakwah in dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang benar dan kejadian
secara cermat terhadap hujjah atau dalil-dalil dalam melihat persoalan
pembaruan. Sehingga umat tidak terperosok kedalam kejelekan, karena yang
diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan.
Hukum atau syari’ah seperti wajib, haram, sunah, makruh dan mubah.
Hukum-hukum tersebut tidak saja diterangkan klasifikasinya, melainkan juga
hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya. Seorang da’i jangan hanya
menyampaikan suatu hukum masalah, bahkan juga harus mampu memberi motivasi dan
solusi untuk melaksanakan hukum itu. Semisal, jangan hanya menyampaikan bahwa
menjadi PSK hukumnya haram, bahkan juga harus bisa memberi motivasi dengan baik
dan bijak, serta memberi solusi yang jitu agar si PSK berhenti dari
perbuatannya itu. Semisal, jika si PSK melakukan itu karena masalah ekonomi maka
si da’i harus memberi peluang pekerjaan.
3. Masalah Akhlak
Secara etimologis, kata akhlaq berasal dari bahasa arab, jamak dari
khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku atau tabi’at.
Sedangkan secara terminology, pembahasan akhlaq berkaitan dengan masalah
tabi’at atau kondisi temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Sabda
Rasulullah: sesungguhnya aku diutus dipermuka bumi ini untuk
menyempurnakan Akhlak.
Pengertian akhlak
adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu
disebut akhlak .Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengerti benar akan
kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata – mata taat kepada
Allah dan tunduk kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang yang sudah memahami
akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati
nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu,
membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup
keseharian.
Berdasarkan pengertian ini, maka ajaran akhlaq dalam Islam pada dasarnya
meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi
kejiwaannya, Islam mengajarkan kepada manusia agar berbuat baik dengan ukuran
yang bersumber dari Allah SWT.
Pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau kondisi temperatur
batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Ajaran akhlak dalam Islam pada
dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari
kondisi kejiwaannya. Akhlak merupakan ekspresi mulia bagi seseorang,
lebih-lebih bagi para da’i.
Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi sifat Allah SWT, pasti
dinilai baik oleh manusia sehingga harus dipraktikkan dalam perilaku
sehari-hari.
4. Masalah Muamalah
Islam merupakan agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar porsinya
daripada urusan ibadah. Ibadah dalam muamalah disini diartikan sebagai ibadah
yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT.
Statement ini dapat dipahami dengan alasan :
a) Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis mencakup proporsi terbesar sumber
hukum dengan urusan muamalah. Dalam Al-Qur’an Allah.SWT berirman: Qs-Ali-Imran:
130.
b) Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar
daripada ibadah yang bersifat perorangan.
c) melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatkan ganjarn lebih
besar dari pada ibadah sunnah.
Seorang da’i harus menunjukkan sikap yang baik dalam kehidupan
berinteraksi. Sebenarnya, dalam hal inilah yang lebih utama dan penting dalam
berdakwah. Lebih besar pengaruhnya jika berdakwah melalui sikap dalam bergaul.
Dan juga, ibadah seseorang yang baik akan dinilai dari pola interaksi dalam
kehidupan sosial.[4]
PENUTUP
Kehidupan
modern telah memberikan manfaat bagi manusia. Namun, disisi lain kehidupan
tersebut memiliki banyak dampak negatif. Untuk memperbaiki dampak negatif
tersebut materi dakwah sangat diperlukan, karena tujuan dakwah adalah mengajak
manusia ke jalan yang benar, yaitu jalan yang diridhai oleh Allah. Dalam
berdakwah, materi dakwah harus disesuaikan dengan kondisi mad’u agar dakwah
menjadi berhasil. Untuk itu materi dakwah sangat diperlukan bagi seorang da’i.
[4] Muliadi, Dakwah
Inklusif, dalam buku Hafi Anshari, Pemahaman dan pengalaman
ilmu Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 140