Showing posts with label makalah. Show all posts
Showing posts with label makalah. Show all posts

Sunday, January 20, 2019

Syarah Hadis Materi Dakwah

0 comments


PENDAHULUAN

            Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia sebagai rahmad bagi seluruh alam. Kemajuan iptek telah membawa banyak perubahan bagi masyarakat, baik cara berfikir, sikap, maupun tungkah laku. Segala persoalan kemasyarakatan yang semakin rumit yang dihadapi oleh umat manusia merupakan masalah yang harus dihadapi dan diatasi oleh para pendukung dan pelaksana dakwah.
            Karena tujuan utama dakwah adalah untuk mengajak mad’u kejalan yang benar yang diridhai Allah. Maka materi dakwah harus bersumber dari sumber pokok ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist. Namun karena luasnya materi dari kedua sumber tersebut, maka perlu adanya pembatasan yang disesuaikan dengan kondisi mad’u. Dalam hal ini, kami akan membahas tentang materi dakwah  khususnya yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.








PEMBAHASAN
           A.    Pengertian Materi
Materi adalah sebuah subtansi dari sebuah hal yang dibuat atau disusun, komponen atau bahan baku bahan penyusunnya. Maka hadis tentang materi dakwah badalah hais yang di dalamnya mengandung subtansi yang akan didakwahkan kepada masyarakat agar seorang da’i dapat lebih mudah dalam menyampaikan dakwahnya, untuk mengajak manusia menyembah Allah dan tidak menyembah selain Allah.
           B.     Hadis Tentang Materi Dakwah
Rasulullah bersabda ketika akan melepas Mu’ad berangkat ke Yaman. “serulah mereka supaya mereka naik saksi, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan aku adalah Raasulullah, bila mereka sudah menta’ati itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan bila itu telah mereka ta’ati beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (pengeluaran zakat) dari harta mereka, (yakni) diambil dari yang kaya dari mereka dan diserahkan kepada yang miskin diantara mereka”. (HR Al-Bukhari).
Penjelasan
Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa materi-materi yang harus disampaikan dimulai dari materi tentang aqidah yakni seruan untuk beriman kepada Allah. Setelah itu tentang shalat, zakat, dan shadaqah. Maka sebagai seorang da’i harus lebih dahulu mengerti dan memahami materi-materi sebelum terjun untuk menyampaikan kepada masyarakat. Supaya ketika masyarakat ada yang bertanya dan kurang mengerti dapat menjelaskan dengan mudah serta bisa dipahami oleh masyarakat. Mengenai materi-materi ada yang menagatakan bahwa zakat tidak termasuk pada dulu. Sebab zakat dimasukkan dalam shadaqah.[1]

 Hadis Tentang Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ».

Artinya:”Dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”.

SYARAH HADITS
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya.[2]
Di antara keutamaan amar ma’rûf nahi munkar yaitu:
a.       Termasuk kewajiban paling penting dalam Islam.
b.      Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan kebaikan bagi masyarakat.
c.       Menghidupkan hati.
d.      Sebagai faktor yang bisa mengundang pertolongan, kemuliaan dan kekuasaan dibumi.
e.       Amar ma’rûf nahi munkar termasuk shadaqah.
f.       Menolak marabahaya.
g.      Orang yang mencegah dari perbuatan mungkar akan diselamatkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
h.      Amar ma’rûf nahi mungkar termasuk sifat-sifat orang mukmin yang shalih.
i.        Amar ma’rûf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.
j.        Amar ma’rûf nahi munkar termasuk sebab dosa diampuni.
k.      Amar ma’rûf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan seutama-utama amal.
 Akibat dan Pengaruh Jelek Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
a. Mendapat laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , celaan dan kehinaan
b. Kerusakan akan semakin parah.
c. Mendapat hukuman dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
d. Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
e. Do’a tidak dikabulkan.
f. Akan dibinasakan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
g. Akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.
h. Jatuh dalam kebinasaan, membuat hati sakit atau bahkan mematikannya.
Dari penjelasan dapat diketahui bahwa mengingkari kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap Muslim dalam semua kondisi, sedang mengingkarinya dengan tangan dan lidah itu sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana dalam hadits Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْـمَعَاصِيْ يَقْدِرُوْنَ عَلَـى أَنْ يُغَيِّرُوْا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوْا إِلَّا يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ.
Tidaklah suatu kaum yang dikerjakan ditengah-tengah mereka berbagai kemaksiatan yang mampu mereka mencegahnya namun tidak mereka cegah, melainkan Allâh pasti akan menurunkan hukuman kepada mereka semua.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ : يَا رَبِّ ، رَجَوْتُكَ ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.
Sesungguhnya Allâh pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allâh telah mengajarkan hujjah kepada hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-Mu, dan aku tinggalkan manusia.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam khutbahnya,
أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رُجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ
Ingatlah, janganlah sekali-kali rasa segan kepada manusia menghalangi seseorang untuk mengatakan kebenaran jika ia mengetahuinya.
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu menangis kemudian berkata, “Sungguh, demi Allah, kita melihat banyak hal kemudian kita segan.”
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad dengan tambahan,                             
فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ مِنْ أَجَلٍ وَلَا يُبَاعِدُ مِنْ رِزْقٍ أَنْ يُقَالَ بِحَقٍّ أَوْ يُذْكَرَ بِعَظِيْمٍ
Karena mengucapkan yang haq atau mengingatkan tentang suatu yang besar tidak mendekatkan kepada ajal dan tidak menjauhkan dari rezeki.
Hadits tersebut ditafsirkan bahwa penghalang untuk mengingkari kemungkaran itu hanya sekedar segan dan bukannya takut yang menghapus kewajiban mengingkari kemungkaran.
Bagaimana Hukum Mengingkari Kemungkaran Kepada Penguasa?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الْـجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ (وفي رواية: عَدْلٍ) عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad terbaik ialah mengatakan kalimat yang haq (dalam riwayat lain: adil) kepada pemimpin yang zhalim.
Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anuhma, ‘Aku memerintah kebaikan kepada penguasa dan melarangnya dari kemungkaran?’ Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Jika engkau takut dia membunuhmu, jangan engkau lakukan.’ Aku mengulangi perkataanku itu tadi, namun Ibnu ‘Abbâs c menjawab seperti jawaban semula. Aku mengulangi perkataanku namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tetap berkata seperti semula dan berkata, ‘Jika engkau memang harus melakukannya, maka kerjakan secara empat mata dengannya.’
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya.
Sedangkan membelot dari penguasa dengan mengangkat pedang (senjata) maka dikhawatirkan menimbulkan sejumlah fitnah yang menyebabkan pertumpahan darah kaum Muslimin. Jika seseorang ingin maju mengingkari kemungkaran para penguasa namun pada saat yang sama dikhawatirkan tindakannya akan membawa dampak negatif kepada keluarga dan tetangganya, maka ia sebaiknya tidak melakukannya. Karena tindakannya akan menimbulkan gangguan bagi orang lain. Itulah yang dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyâdh t dan yang lainnya. Jika seseorang khawatir dirinya dibunuh, atau dicambuk, atau dipenjara, atau diborgol, atau diasingkan, atau hartanya dirampas, dan ancaman-ancaman lainnya, maka kewajiban menyuruh para penguasa melakukan kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran menjadi gugur darinya. Ini ditegaskan para imam, diantaranya Imam Mâlik rahimahullah, Ahmad rahimahullah, Ishâq rahimahullah dan lain-lain.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau, “Barangsiapa meneliti fitnah besar dan kecil yang terjadi dalam Islam, dia akan tahu bahwa fitnah itu disebabkan karena melalaikan pokok kaidah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemungkaran. Menuntut hilangnya kemungkaran, tetapi lahir darinya kemungkaran yang lebih besar. Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat satu kemungkaran besar di Makkah dan Beliau n tidak bisa mengubahnya. Bahkan ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala taklukkan Makkah menjadi negeri Islam, Beliau bertekad mengubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai pondasi bangunan Nabi Ibrahim Alaihissallam , tetapi tercegah (walaupun Beliau mampu) oleh kekhawatiran munculnya keburukan yang lebih besar, yaitu khawatir orang-orang Quraisy tidak bisa menerimanya karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu, tidak diizinkan mengingkari penguasa dengan tangan, karena menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.”
Tingkatan Dalam Mencegah Kemunkaran Amar ma’rûf nahi munkar memiliki tingkatan yang harus diketahui oleh pelakunya sehingga apa yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan syari’at dan adab-adab yang mesti diperhatikan. Tingkatan ini telah diterangkan oleh para Ulama dahulu dan yang sekarang, dan mereka senantiasa menasihati para pelaku amar ma’rûf nahi mungkar dengannya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya syari’at ini berdiri di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan dunia-akhirat bagi hamba-hamba Allah. Syari’at ini, seluruhnya adil, rahmat, maslahat dan hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat ke lawannya, dari maslahat ke mafsadat dan dari hikmah kepada kekerasan, maka itu tidak termasuk syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab takwil. Syari’at adalah cermin keadilan Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya diantara hamba-hamba-Nya, pemeliharaan-Nya di bumi dan hikmah Allah yang merupakan petunjuk paling sempurna yang membuktikan keberadaan Allâh Azza wa Jalla dan kejujuran Rasûl-Nya.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada ummatnya untuk mengingkari kemungkaran agar terealisasi perbuatan ma’rûf yang dicintai Allâh dan Rasûl-Nya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar daripadanya dan lebih dimurkai oleh Allâh dan Rasûl-Nya maka tidak diperbolehkan untuk mengingkarinya meskipun Allâh membenci dan memurkai pelakunya. Ini seperti mengingkari para raja dan pemimpin dengan cara memberontak kepada mereka, karena hal itu adalah sumber dari setiap kejelekan dan fitnah sampai akhir masa.”
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Menghilangkan kemungkaran memiliki empat tingkatan:
1. Kemungkarannya hilang dan digantikan dengan lawannya, yaitu kebaikan.
2. Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.
3. Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.
4. Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih berat (lebih besar).
Tingkatan yang pertama dan kedua disyari’atkan (untuk dilakukan). Tingkatan yang ketiga –tentang kebolehannya masuk ke area ijtihad-, dan tingkatan yang keempat haram (untuk dilakukan).
Berikut tingkatan mengubah kemungkaran yang harus diketahui :
a. Mengetahui kemungkaran.
b. Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya.
Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu.
c. Mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tahapan-tahapannya.
Tahapan pertama, memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
Tahapan kedua, melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat.
Tahapan ketiga, tegas dalam memberikan nasihat.
Tahapan keempat, mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
d. Mengingkari kemungkaran dengan hati
e. Mengingkari kemungkaran dengan pedang atau senjata
 Perbedaan Tingkatan Tanggung Jawab Manusia Dalam Mengingkari Kemungkaran. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan semua kita melakukan amar ma’rûf nahi munkar sesuai dengan kemampuan. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah manusia itu berbeda-beda tingkatannya dalam kewajiban ini. Seorang muslim yang awam (minim ilmu) wajib mengerjakan kewajiban ini sesuai kemampuannya. Ia harus menyuruh istri dan anak-anaknya dengan perkara-perkara agama yang telah diketahuinya.
Sedang para ulama memiliki kewajiban yang tidak dimiliki selain mereka karena mereka adalah pewaris para nabi. Jika mereka meremehkan tugas ini maka berbagai kekurangan akan menimpa umat ini, sebagaimana terjadi pada Bani Israil.
Sementara kewajiban pemerintah pada tugas ini sangat besar karena mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa banyak orang untuk kembali dari kemungkaran. Sebab orang yang terpengaruh dengan nasihat dan wejangan itu sangat sedikit. Apabila pemerintah menyepelekan tugas ini, maka ini merupakan bencana besar karena akan menyebabkan tersebarnya kemungkaran serta para pelaku kebatilan dan kefasikan semakin berani melakukan aksi-aksi batil mereka terhadap orang-orang yang berpegang pada kebenaran dan orang-orang yang mengadakan perbaikan.[3]
           C.   Macam-macam Materi Dakwah
Secara umum, Materi Dakwah dikasifikasikan menjadi empat masalah pokok yaitu:
1.       Masalah Aqidah 
Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang akan membentuk karakter ber-taqarrub (medekatkan diri pada Allah) seorang hamba dengan haq (benar). Sebab, jika seorang hamba tidak memiliki pengetahuan tentang akidah yang benar, dikhawatirkan jalan menuju Allah bisa salah atau bahasa lumrahnya, bisa sesat. Oleh sebab itu, bagi seorang da’i, materi akidah ini harus diutamakan dalam berdakwah.
Aspek aqidah adalah yang akan membentuk moral (akhlak) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah adalah masalah aqidah atau keimanan.
Aqidah adalah pokok kepercayaan dalam agama Islam. Aqidah Islam disebut Tauhid dan merupakan inti dari kepercayaan. Dalam Islam, Aqidah merupakan I’tiqad Bathiniyyah yang mencakup masalah-masalah yang erat kaitannya dengan rukun Iman. Allah SWT berfirman dalam Qs. An-Nisaa:36.
Iman ialah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikatnya, Kitab-kitabnya, Rasul-rasulnya, Hari akhir dan percaya adanya ketentuan Allah yang baik maupun yang buruk (HR.Muslim)
 Sebab aqidah (keimanan) ini diturunkan lebih dahulu sebelum diturunkannya perintah dan ajaran Islam tentang ibadah, syariat dan muamalat. Sirah Nabawiyah mengajarkan bahwa materi pertama yang menjadi landasan utama ajaran Islam adalah masalah yang berkaitan dengan pembinaan akidah.
Akidah Islam juga menuntut hanya Rasul Muhammad saw sebagai satu-satunya panutan di antara semua makhluk yang ada. Tidak boleh mengikuti selain Rasulullah Muhammad, dan tidak diterima selain dari beliau. Beliaulah yang telah menyampaikan syari’at Rabbnya. Tidak diperkenankan mengambil syari’at selain dari beliau (siapapun orangnya), atau dari agama dan ideologi selain Islam, atau dari para pakar hukum. Seorang muslim wajib mengikuti dan mengambil hukum hanya dari Rasul saw berdasarkan firman Allah Swt Qs-Al-hasyr:7.
Aqidah dalam Islam adalah bersifat I’tiqadi Batiniyah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Masalah keyakinan atau aqidah ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad, SAW: “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para malaikatnya, Kitab-kitabnya, Para Rasulnya, hari akhir, dan adanya takdir baik dan buruk (yang diciptakan oleh-Nya” (HR. Muslim dari Umar).
Ciri-ciri yang membedakan antara aqidah dengan kepercayaan lain adalah:
a)      Keterbukaan melalui persaksian
b)      Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam.
c)      Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan.
Orang yang memiliki iman yang benar (hakiki) akan cenderung untuk berbuat baik dan akan menjauhi perbuatan jahat, karena perbuatan jahat akan berkonsekuensi pada hal-hal buruk. Iman inilah yang berkaitan dengan dakwah islam dimana amar ma’ruf nahi mungkar dikembangkan yang kemudian menjadi tujuan utama dari suatu proses dakwah.
2.      Masalah Syariat
Secara etimologi kata syari’ah berasal dari bahasa Arab, dari kata syara’a yang berarti jalan. . Secara terminologis, Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariahkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti.
Materi dakwah yang bersifat Syari’ah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Disamping mengandung dan mencakup kemaslahatan sosial dan moral. Materi dakwah in dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang benar dan kejadian secara cermat terhadap hujjah atau dalil-dalil dalam melihat persoalan pembaruan. Sehingga umat tidak terperosok kedalam kejelekan, karena yang diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan.
Hukum atau syari’ah seperti wajib, haram, sunah, makruh dan mubah. Hukum-hukum tersebut tidak saja diterangkan klasifikasinya, melainkan juga hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya. Seorang da’i jangan hanya menyampaikan suatu hukum masalah, bahkan juga harus mampu memberi motivasi dan solusi untuk melaksanakan hukum itu. Semisal, jangan hanya menyampaikan bahwa menjadi PSK hukumnya haram, bahkan juga harus bisa memberi motivasi dengan baik dan bijak, serta memberi solusi yang jitu agar si PSK berhenti dari perbuatannya itu. Semisal, jika si PSK melakukan itu karena masalah ekonomi maka si da’i harus memberi peluang pekerjaan.
3.      Masalah Akhlak
Secara etimologis, kata akhlaq berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku atau tabi’at. Sedangkan secara terminology, pembahasan akhlaq berkaitan dengan masalah tabi’at atau kondisi temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Sabda Rasulullah: sesungguhnya aku diutus dipermuka bumi ini untuk menyempurnakan Akhlak.
Pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak .Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengerti benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata – mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang yang sudah memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.
Berdasarkan pengertian ini, maka ajaran akhlaq dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya, Islam mengajarkan kepada manusia agar berbuat baik dengan ukuran yang bersumber dari Allah SWT.
Pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau kondisi temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya. Akhlak merupakan ekspresi mulia bagi seseorang, lebih-lebih bagi para da’i.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi sifat Allah SWT, pasti dinilai baik oleh manusia sehingga harus dipraktikkan dalam perilaku sehari-hari.
           4.  Masalah Muamalah
Islam merupakan agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Ibadah dalam muamalah disini diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. Statement ini dapat dipahami dengan alasan :
a)      Dalam  Al-Qur’an dan Al-Hadis mencakup proporsi terbesar sumber hukum dengan urusan muamalah. Dalam Al-Qur’an Allah.SWT berirman: Qs-Ali-Imran: 130.
b)      Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan.
c)      melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatkan ganjarn lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Seorang da’i harus menunjukkan sikap yang baik dalam kehidupan berinteraksi. Sebenarnya, dalam hal inilah yang lebih utama dan penting dalam berdakwah. Lebih besar pengaruhnya jika berdakwah melalui sikap dalam bergaul. Dan juga, ibadah seseorang yang baik akan dinilai dari pola interaksi dalam kehidupan sosial.[4]
                    
 
PENUTUP
            Kehidupan modern telah memberikan manfaat bagi manusia. Namun, disisi lain kehidupan tersebut memiliki banyak dampak negatif. Untuk memperbaiki dampak negatif tersebut materi dakwah sangat diperlukan, karena tujuan dakwah adalah mengajak manusia ke jalan yang benar, yaitu jalan yang diridhai oleh Allah. Dalam berdakwah, materi dakwah harus disesuaikan dengan kondisi mad’u agar dakwah menjadi berhasil. Untuk itu materi dakwah sangat diperlukan bagi seorang da’i.
























[2] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/245)
[4] Muliadi, Dakwah Inklusif, dalam buku Hafi Anshari, Pemahaman dan pengalaman ilmu Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 140




Read more...

Tuesday, January 15, 2019

Hadis Ahad yang Berlawanan dengan Hadis Ahad Lain yang Diriwayatkan oleh Periwayat yang Lebih Mengetahui Keadaannya

0 comments



 PEMBAHASAN
   A.    Pengertian Kritik Matan Orientasi ke-ma’mulan Hadis tentang Hadis Ahad yang Berlawanan dengan Hadis Ahad Lain yang Diriwayatkan oleh Periwayat yang Lebih Mengetahui Keadaannya

Kritik matan orientasi ke-ma’mulan hadis maksudnya adalah mengkritik matan-matan hadis yang shahih atau hadis ahad yang maqbul sehingga berbeda kema’mulannya (pengamalannya), dikalangan ulama. Dalam hal ini, umumnya ulama fiqh yang berbeda dalam mengamalkan hadis ahad yang maqbul itu karena adanya kriteria tambahan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut dalam hal mengamalkan hadis ahad yang maqbul itu.
Kritik matan orientasi ke-ma’mulan hadis tentang hadis ahad yang berlawanan dengan hadis ahad lain yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih mengetahui keadaanya maksudnya adalah mengkritik matan-matan hadis ahad yang berlawanan dengan hadis ahad lain yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih mengetahui keadaanya, sehingga berbeda ulama hanafi dan ulama syafi’i dalam mengamalkannya atau hadis tersebut ma’mulum bih atau ghairu ma’mulum bih menurut ulama yang berpolemik.

     B.     Contoh Kritik Matan Orientasi Ke-Ma’mulan Hadis tentang Hadis Ahad yang Berlawanan dengan Hadis Ahad Lain yang Diriwayatkan oleh Periwayat yang Lebih Mengetahui Keadaanya
Adapun contoh dari kema’mulan hadis tentang hadis ahad yang berlawanan dengan hadis ahad lain yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih mengetahui keadaanya yaitu hadis tentang tidak sah puasa orang yang masih junub ketika subuh di bulan ramadhan, berikut hadisnya:
عن ابي هريرة انه يقول من اصبح جنبا افطر ذلك اليوم رواه الشفعي
Artinya: “ Hadis dari Abu Hurairah, dia berkat, siapa yang junub sampai pagi hari, batallah puasanya pada hari itu”

Hadis Ahad yang lainnya, yaitu:

عن عائشة ان جلا قال لرسول الله صلى الله عليه و سلم و هو واقف على البب و انا اسمع يا رسول الله انى اصبح جنبا و انا اريد الصوم فقال رسول الله عليه و سلم : و انا اصبح جنبا و انا اريد الصوم فا غتسل و اصوم ذلك اليوم
Artinya: “ Hadis dari Aisyah bahwa seseorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. Beliau ketika itu sedang berdiri didepan pintu dan aku (kata Aisyah) mendengarnya. Laki-laki itu berkata, “ ya Rasulullah, aku junub sampai pagi hari, sedangkan aku ingin sekali meneruskan puasaku.” Dijawab oleh Rasulullah Saw. “Aku juga pernah junub sampai pagi hari. Aku pun ingin terus berpuasa maka aku pun mandi dan terus berpuasa pada hari itu.”

      C.    Ulama yang Berpolemik
1.      Imam Hanafi

Ia lebih mengamalkan hadis Abu Hurairah walaupun berlawanan dengan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah kualitasnya ghairu ma’mul bih karena Imam Hanafi tidak mengkaji mana yang lebih kuat antara hadis yang bertentangan tersebut. Dan yang lebih dahulu adalah hadis dari Abu Hurairah.
2.      Imam Asy-Syafi’i

Diantara dua hadis yang bertentangan diatas dilakukan dalam pendekatan tarjih atau ditarjihlah kedua ayat tersebut atau adanya kriteria yang lain. Dan kualitas hadisnya (kedua hadis tersebut) ma’mul bih. Lalu hadis Aisyahlah yang harus diperpegangi dan diamalkan. Disamping itu junub itu sama dengan kenyang yaitu bekas sesuatu dari perbuatan, ditambah ramadhan karena kalau belum mandi maka subuhnya akan hilang, selain itu yang lebih mengetahui tentang junub itu adalah Aisyah dan Ummu Salamah karena berhubungan juga hadis Aisyah tersebut.
Karna hal ini menyangkut urusan rumah tangga Nabi SAW tentang junubnya Nabi, ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui daripada Abu Hurairah. Jadi Imam Syafi’i mentarjih hadis Abu Hurairah.
Dari segi lain hadis Abu Hurairah adalah hadis Qauli sedangkan hadis ‘Aisyah dan Ummu Salamah adalah hadis fi’li. Jika berlawanan antara hadis qauli dan hadis fi’li maka yang di dahulukan hadis fi’li.



Read more...

Monday, January 14, 2019

Tujuan Pendidikan

0 comments

Tujuan Pendidikan Dalam Islam






Masalah yang menjadi kegagalan pendidikan hari ini adalah kecenderungan manusia yang melihat pendidikan sebagai tujuan dunia seperti jabatan, pekerjaan, pangkat, dll. Yang umumnya berorientasi dunia. Pengembangan pendidikan islam berkaitan secara langsung dengan ilmu pengetahuan dan metodologi dan perkembangannya.
Pendidikan islam adalah pendidikan yang sengaja didirikan dan diselenggarakan dengan hasrat dan niat (rencana yang sungguh-sungguh) untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai islam, sebagaimana tertuang atau terkandung dalam visi, misi , tujuan, progam kegiatan maupun pada praktek pelaksanaan kependidikannya. Wawasan kependidikan islam dimaksudkan sebagai suatu konsep atau cara pandang pengembang, pengelola dan pelaksana pendidikan dalam mengembangkan dan menyelenggarakan progam dan praktek pendidikan islam dilapangan dengan memperhatikan landasan filosofis , historis dan konteks social budaya, serta perkembangan peserta didik itu sendiri untuk mencapai tujuan pendidikan islam. Para calo sarjana pendidikan islam dituntut untuk memilki dan mengeuasai wawasan kependidikan islam tersebut.


            A.    Pengertian Tujuan pendidikan
Tujuan merupakan sesuatu suasana ideal yang ingin diwujudkan. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai suatu metode untuk mengembangkan ketrampilan, kebiasaan, dan sikap yang diharapkan dapat seseorang menjadi lebih baik. Menurut  Dr. Zakiyah Darajat bahwa Tujuan Pendidikan islam secara keseluruhan yaitu pribadi seseorang yang menjadi insane kamil yang artinya manusia utuh rohani maupun jasmani dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena tawakalnya kepada Allah SWT. Jadi, Tujuan pendidikan ialah suatu factor yang sangat penting dalam pendidikan, karena tujuan merupakan arah yang ingin dicapai dalam pendidikan.Tidak dapat dipungkiri kalau tujuan pendidikan itu menyangkut tujuan hidup. Pendidikan dikembangkan dalam konteks membantu perkembangan manusia memiliki kecakapan untuk bertahan hidup, melaksanakan tugas kehidupan, yang sering disebut tujuan fungsional dan tujuan praktis, yang meliputi skill, keterampilan, dan kecakapan. [1]
Tujuan harus bersifat stasioner artinya telah mencapai atau meraih segala yang diusahakan. Dalam ajaran islam, seluruh aktivitas manusia bertujuan meraih tercapainya insane yang beriman dan bertaqwa. Dengan demikian, apabila anak didik telah beriman dan bertakwa artinya telah tercapai tujuannya. Apabila dikaitkan dengan pendidikan islam yang bertujuan mencetak anak didik yang  beriman, wujud dari tujan itu adalah akhlak anak didik. Adapun akhlak anak didik itu mengacu pada kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan yang dilaksanakan di bergabai lembaga, baik lembaga pendidikan formal maupun nonformal.[2]
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan harus memiliki lembaga pendidikan yang berkualitas dengan dilengkapi oleh sumber daya pendidik yang kompeten. Dalam kehidupan sehari-hari, indicator tercapainya tujuan pendidikan islam adalah mencetak anak didik yang mampu bergaul dengan sesama manusia dengan baik dan benar serta mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar kepada sesamamanusia. Anak didik yang telah dibina dan digembleng oleh pola pendidikan islam adalah anak didik yang sukses dalam kehidupan karena ia memiliki kemampuan dan kemauan yang kuat untuk menjalani kehidupan berbekal ilmu-ilmu keislaman yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. [3]
Algazhali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud dibalik itu membentuk individu-individu yang ditandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam masyarakat.
Hujair AH Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan islam dengan visi dan misi pendidikan islam. Menurutnya, bahwa pendidikan islam telah memiliki visi dan misi yang ideal , yaitu rahmatan lil’alamin. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia , atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan manusia yang makmur, dinamis, harmonis, dan lestari. Sebagaimana diisyaratkan oleh allah dalam al-qur’an.
Munzir hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-keinginan lainnya. Ini bila dilihat dari ayat-ayat Al qur’an ataupun hadis yang mengisyaratkan tujuan hidup manusia yang sekaligus menjadi tujuan pendidikan.[4]
Tujuan pendidikan islam yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun yang dirangkum dan disimpulkan oleh Athiyyah al-Abrasyi dalam kitabnya al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Falasifatuha merupakan tujuan pendidikan yang mengarah pada tujuan akhirat dan dunia, tujuan akhirat bahwa tujuan pendidikan islam diarahkan dan diorientasikan pada kehidupan untuk beramal dan mendekatkan pada Tuhan, jadi tujuan pendidikan bisa dikatakan untuk jangka panjang, namun demikian juga pendidikan jangka pendek yang ada di dunia ini juga diperhatikan. Jadi tujuan pendidikan yang ada di dunia ini bagaimana manusia dapat menjalani hidupnya dengan baik dengan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk memperoleh dan meraih tujuan jangka panjang yaitu yang ada di akhirat kelak. Dengan begitu manusia mendapat dua kebahagiaan yang diperoleh di dunia dengan menjalani kehidupan yang layak dan bahagia dan bisa beramal menurut ajaran agama untuk bekal kehidupan yang abadi dan selama-lamanya.[5]
 
           B.     Hadist yang menerangkan Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan hendaknya hanya untuk menjadi orang yang berilmu, pembelajar, pendengar, dan pecinta ilmu. Jangan pernah mencapai tujuan yang sifatnya hanya sementara , jabatan, pangkat, dan kekayaan. Hal ini diisyaratkan dalam hadis-hadis berikut:
قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: كُنْ عَالِمًا اَو مُتَعَلِّمًا اَو مُسْتَمِعًا اَو مُحِبًّا وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتُهْلِكَ
 (رواه البيهقي)
Artinya :
     Rasulullah saw bersabda “ jadilah engkau orang yang berilmu (pandai) atau orang yang belajar, atau orang yang mendengarkan ilmu atau yang mencintai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima, maka kamu akan celaka,”. (HR.Baihaqi) [6]

Penjelasan hadis
Hadist diatas menjadi landasan pendidikan. Hadist …. كُنْ عَالِمًا (jadilah ahli ilmu ) memerintahkan untuk memilih jalan ilmu, pencari ilmu, menjadi pendengar dan pecinta ilmu, dan dilarang menjadi orang kelima karena akan menjadi penyebab kehancuran.[7]
Hadist tersebut mengajak kita untuk menjadi orang yang berilmu, atau orang yang mencari ilmu, atau pendengar ilmu, atau pecinta ilmu. Itulah hakikat tujuan dari pendidikan, yakni memiliki ilmu, bukan tujuan lain, maksudnya jangan jadi selain dari yang empat tersebut seperti pemalas, pemenci ilmu, perusak ilmu, dan lain sebagainya. Terlebih jika tujuan pendidikan diorientasikan untuk memperoleh kekayaan duniawi.
Banyak juga orang yang berfikir bahwa kekayaan dan jabatan adalah sumber kebahagiaan ada dihati, dan kebahagiaan dihati adalah ketenangan dalam berdzikir kepada allah swt. Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub’ (ingatlah hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang).
Dengan demikian, kebahagiaan menjadi tujuan dalam pendidikan, namun tujuan tersebut tidak hanya didunia tetapi juga kebahagiaan di akhirat. Untuk memperoleh kebahagiaan ini kuncinya adalah ilmu. Hal ini sebagaimana yang disabdakan olehRasulullah saw:
مَنْ اَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَ الْاَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya:
     Barangsiapa yang menghendaki kebaikan didunia maka dengan ilmu, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan di akhirat maka dengan ilmu, barangsiapa yang menghendaki keduanya maka dengan ilmu. (HR.Bukhori-muslim).[8]

Selain kebahagiaan didunia yang diperoleh melalui ilmu, maka tujuan pendidikan akan tercapai jika semuanya melalui proses belajar seperti sabda Rasulullah saw berikut ini :
عَن ابْنُ عَبَّاس رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ يُرِدِ الله بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَاِنَّمَا الْعِلْمِ بِالتَّعَلُّمِ ...(رواه البخارى)
Artinya:
   Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata Rasulullah saw bersabda “ barangsiapa yang dikehendaki allah menjadi baik, maka dia akan dipahamkan dalam hal agama. Dan sesungguhnya ilmu itu diperoleh melalui belajar “ (HR. Bukhori)[9]

Penjelasan hadis
Hadis ….. مَنْ يُرِدِ الله بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ (barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka dia akan dipahamkan dalam hal agama) dapat dipahami bahwa orang tersebut akan diberi kebaikan oleh allah . kebaikan secara social, mental, spiritual, menjadi kunci Allah bagi kebaikan seseorang. Dengan kata lain, kalau ingin memperoleh kebaikan apapun didunia dan akhirat jangan jauh-jauh dari agama. Dalam pengertian ini, agama adalah kunci kebaikan seseorang.[10]  Agar tidak jauh-jauh dari agama maka seseorang diwajibkan untuk menuntut ilmu agar tujuan pendidikan islam dapat terwujud.
Hadis diatas merupakan pernyataan Allah yang mengandung perintah bahwa siapapun dari manusia yang menginginkan memperoleh kebaikan,  hendaknya ia mencari ilmu agama. Meningkkatkan pemahamannya tentang islam.  Mengkaji Al-Quran dan ASunnah dengan berbagai metode dan pendekatan yang benar.  Islam maju karena umatnya kuat dalam ilmu pendidikan. [11]
 
حد ثنا محمود بن غيلا ن، اخبرنا ابو اسامة، عن الاعمش عن ابى صالح عن ابى هريرة قال:  رسول الله صلى الله عليه و سلم : من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا الى الجنة"

Artinya:
 “Kami diberi berita oleh Mahmud bin Ghailan, kami diberi berita oleh Abu Usamah dari A’masy dari Abi Shahih, dari Abu Hurairah, beliau bersabda:“Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan jalan baginya ke surga”.
Penjelasan hadis
Telah dikatakan didepan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha dan kegiatan yang sarat dengan tujuan. Kedudukan tujuan dalam pendidikan cukup menentukan, karena selain memberikan panduan tentang karakteristik manusia ynag ingin dihasilkan pendidikan, sekaligus pula memberikan arah dan langkah-langkah dalam melakukan seluruh kegiatan pendidikan. Tujuan ialah apa yang dicanangkan manusia. Letaknya sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannyalah dia menata tingkah lakunya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Berbicara tentang tujuan pendidikan, tidak dapat melepaskan dari tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. [12]
 
C.    Tujuan Pendidikan
Pendidikan islam bertujuan membangun karakteranak didik yang kuat menghadapi berbagai cobaan dalam kehidupan dan telaten, sabar, serta cerdas dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan pendidikan islam yang telah diuraikan diatas dapat disistematisasi sebagai berikut :
1) Terwujudnya insane akademik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
2) Terwujudnya insane kamil yang berakhlakul karimah.
3) Terwujudnya insane muslim yang berkepribadian
4) Terwujudnya insane yang cerdas dalam mengaji dan mengkaji ilmu pengetahuan
5) Terwujudnya insane yang bermanfaat untuk kehidupan orang lain.
6) Terwujudnya insan yang sehat jasmani dan rohani
7) Terwujudnya karakter muslim yang menyebarkan ilmunya kepada sesama manusia. [13]
Tujuan pendidikan islam mempunyai tujuan pokok atau utama dan tujuan pendukung, dengan kata lain mempunyai kosentrasi tertentu yang harus ditempuh dan dicapai lebih dahulu sebelum kosentrasikosentrasi lain. Dalam hal ini al-Abrasyi mengedepankan pencapaian akhlak yang sempurna sebagai tujuan pendidikan islam. Jadi tujuan pendidikan islam secara umum yaitu:
a)  Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Kaum muslimim telah setuju bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan isalm, dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
b) Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan di akhirat. Pendidikan islam menaruh perhatian penuh kedua kehidupan itu sebagai tujuan diantara tujuan-tujuan umum yang dasar, sebab memang itulh tujuan tertinggi dan terakhir pendidikan.
c) Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan isalm tidaklah semuanya bersifat agama, akhlak atau spriritual semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan kurikulum dan aktifitasnya.
d) Menumbuhkan ruh ilmiah pada anak didik dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar ilmu.
e) Menyiapkan anak didik dari segi profesional, teknis dan perusahaan supaya ia daoat menguasai profesi tertentu dan teknis tertentu agar dapat mencari rizki.[14]






PENUTUP
           A.    Kesimpulan
Dari semua uraian yang telah dibahas diatas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
a.       Semangat hadis diatas adalah bahwa tujuan ideal pendidikan islam untuk ilmu guna pembinaan akhlak, penguatan visi, modal kehidupan manusia.
b.      Menyiapkan untuk hidup didunia dan akhirat
c.        Penguasaan ilmu dan keterampilan sebagai modal untuk bekerja di dunia, dan mempersiapkan kehidupan yang lebih bahagia di akhirat.
d.      Tujuan pendidikan merupakan tujuan hidup juga yaitu mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
           B.     Penutup
Makalah ini dibuat supaya para pembaca banyak mengetahui tujuan pendidikan yang sebenarnya. Tujuan pendidikan ini akan meningkatkatkan kualitas pendidikan di indonesia. Diharapkan makalah ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, makalah ini bisa dijadikan panduan agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara maksimal.


 



DAFTAR PUSTAKA
Falah, Ahmad2010Hadits TarbawiKudus: Nora Media Enterprise.
Hasbiyallah dan Moh Sulhan. 2015. Hadits Tarbawi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Saebani, Beni Ahmad dan Hendra Akhdiyat. 2009. Ilmu Pendidikan IslamBandung: CV Pustaka Setia.               





[1] Hasbiyallah dan Moh.Sulhan, Hadist Tarbawi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 11.
[2] Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 146.
[3] Ibid  hlm. 147.

[4] Hasbiyallah dan Moh.Sulhan, Hadist Tarbawi, Hlm. 16.
5Ahmad Falah, Hadits Tarbawi, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2010)hlm. 28.

[6] Hasbiyallah dan Moh.Sulhan, Hadist Tarbawi, hlm. 11
[7] Ibid., Hlm. 15.
[8] Ibid, hlm.12

[9] Ibid.,hlm. 13.
[10] Ibid., hlm. 15.
[11] Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islamhlm. 20.
[12] Ahmad Falah, Hadits Tarbawi, hlm. 26.

[13] Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 147.
[14] Ahmad Falah, Hadits Tarbawi, hlm. 28.
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018