Sunday, January 20, 2019

Syarah Hadis Materi Dakwah

0 comments


PENDAHULUAN

            Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia sebagai rahmad bagi seluruh alam. Kemajuan iptek telah membawa banyak perubahan bagi masyarakat, baik cara berfikir, sikap, maupun tungkah laku. Segala persoalan kemasyarakatan yang semakin rumit yang dihadapi oleh umat manusia merupakan masalah yang harus dihadapi dan diatasi oleh para pendukung dan pelaksana dakwah.
            Karena tujuan utama dakwah adalah untuk mengajak mad’u kejalan yang benar yang diridhai Allah. Maka materi dakwah harus bersumber dari sumber pokok ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist. Namun karena luasnya materi dari kedua sumber tersebut, maka perlu adanya pembatasan yang disesuaikan dengan kondisi mad’u. Dalam hal ini, kami akan membahas tentang materi dakwah  khususnya yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.








PEMBAHASAN
           A.    Pengertian Materi
Materi adalah sebuah subtansi dari sebuah hal yang dibuat atau disusun, komponen atau bahan baku bahan penyusunnya. Maka hadis tentang materi dakwah badalah hais yang di dalamnya mengandung subtansi yang akan didakwahkan kepada masyarakat agar seorang da’i dapat lebih mudah dalam menyampaikan dakwahnya, untuk mengajak manusia menyembah Allah dan tidak menyembah selain Allah.
           B.     Hadis Tentang Materi Dakwah
Rasulullah bersabda ketika akan melepas Mu’ad berangkat ke Yaman. “serulah mereka supaya mereka naik saksi, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan aku adalah Raasulullah, bila mereka sudah menta’ati itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan bila itu telah mereka ta’ati beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (pengeluaran zakat) dari harta mereka, (yakni) diambil dari yang kaya dari mereka dan diserahkan kepada yang miskin diantara mereka”. (HR Al-Bukhari).
Penjelasan
Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa materi-materi yang harus disampaikan dimulai dari materi tentang aqidah yakni seruan untuk beriman kepada Allah. Setelah itu tentang shalat, zakat, dan shadaqah. Maka sebagai seorang da’i harus lebih dahulu mengerti dan memahami materi-materi sebelum terjun untuk menyampaikan kepada masyarakat. Supaya ketika masyarakat ada yang bertanya dan kurang mengerti dapat menjelaskan dengan mudah serta bisa dipahami oleh masyarakat. Mengenai materi-materi ada yang menagatakan bahwa zakat tidak termasuk pada dulu. Sebab zakat dimasukkan dalam shadaqah.[1]

 Hadis Tentang Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ».

Artinya:”Dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”.

SYARAH HADITS
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya.[2]
Di antara keutamaan amar ma’rûf nahi munkar yaitu:
a.       Termasuk kewajiban paling penting dalam Islam.
b.      Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan kebaikan bagi masyarakat.
c.       Menghidupkan hati.
d.      Sebagai faktor yang bisa mengundang pertolongan, kemuliaan dan kekuasaan dibumi.
e.       Amar ma’rûf nahi munkar termasuk shadaqah.
f.       Menolak marabahaya.
g.      Orang yang mencegah dari perbuatan mungkar akan diselamatkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
h.      Amar ma’rûf nahi mungkar termasuk sifat-sifat orang mukmin yang shalih.
i.        Amar ma’rûf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.
j.        Amar ma’rûf nahi munkar termasuk sebab dosa diampuni.
k.      Amar ma’rûf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan seutama-utama amal.
 Akibat dan Pengaruh Jelek Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
a. Mendapat laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , celaan dan kehinaan
b. Kerusakan akan semakin parah.
c. Mendapat hukuman dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
d. Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
e. Do’a tidak dikabulkan.
f. Akan dibinasakan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
g. Akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.
h. Jatuh dalam kebinasaan, membuat hati sakit atau bahkan mematikannya.
Dari penjelasan dapat diketahui bahwa mengingkari kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap Muslim dalam semua kondisi, sedang mengingkarinya dengan tangan dan lidah itu sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana dalam hadits Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْـمَعَاصِيْ يَقْدِرُوْنَ عَلَـى أَنْ يُغَيِّرُوْا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوْا إِلَّا يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ.
Tidaklah suatu kaum yang dikerjakan ditengah-tengah mereka berbagai kemaksiatan yang mampu mereka mencegahnya namun tidak mereka cegah, melainkan Allâh pasti akan menurunkan hukuman kepada mereka semua.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ : يَا رَبِّ ، رَجَوْتُكَ ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.
Sesungguhnya Allâh pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allâh telah mengajarkan hujjah kepada hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-Mu, dan aku tinggalkan manusia.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam khutbahnya,
أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رُجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ
Ingatlah, janganlah sekali-kali rasa segan kepada manusia menghalangi seseorang untuk mengatakan kebenaran jika ia mengetahuinya.
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu menangis kemudian berkata, “Sungguh, demi Allah, kita melihat banyak hal kemudian kita segan.”
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad dengan tambahan,                             
فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ مِنْ أَجَلٍ وَلَا يُبَاعِدُ مِنْ رِزْقٍ أَنْ يُقَالَ بِحَقٍّ أَوْ يُذْكَرَ بِعَظِيْمٍ
Karena mengucapkan yang haq atau mengingatkan tentang suatu yang besar tidak mendekatkan kepada ajal dan tidak menjauhkan dari rezeki.
Hadits tersebut ditafsirkan bahwa penghalang untuk mengingkari kemungkaran itu hanya sekedar segan dan bukannya takut yang menghapus kewajiban mengingkari kemungkaran.
Bagaimana Hukum Mengingkari Kemungkaran Kepada Penguasa?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الْـجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ (وفي رواية: عَدْلٍ) عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad terbaik ialah mengatakan kalimat yang haq (dalam riwayat lain: adil) kepada pemimpin yang zhalim.
Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anuhma, ‘Aku memerintah kebaikan kepada penguasa dan melarangnya dari kemungkaran?’ Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Jika engkau takut dia membunuhmu, jangan engkau lakukan.’ Aku mengulangi perkataanku itu tadi, namun Ibnu ‘Abbâs c menjawab seperti jawaban semula. Aku mengulangi perkataanku namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tetap berkata seperti semula dan berkata, ‘Jika engkau memang harus melakukannya, maka kerjakan secara empat mata dengannya.’
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya.
Sedangkan membelot dari penguasa dengan mengangkat pedang (senjata) maka dikhawatirkan menimbulkan sejumlah fitnah yang menyebabkan pertumpahan darah kaum Muslimin. Jika seseorang ingin maju mengingkari kemungkaran para penguasa namun pada saat yang sama dikhawatirkan tindakannya akan membawa dampak negatif kepada keluarga dan tetangganya, maka ia sebaiknya tidak melakukannya. Karena tindakannya akan menimbulkan gangguan bagi orang lain. Itulah yang dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyâdh t dan yang lainnya. Jika seseorang khawatir dirinya dibunuh, atau dicambuk, atau dipenjara, atau diborgol, atau diasingkan, atau hartanya dirampas, dan ancaman-ancaman lainnya, maka kewajiban menyuruh para penguasa melakukan kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran menjadi gugur darinya. Ini ditegaskan para imam, diantaranya Imam Mâlik rahimahullah, Ahmad rahimahullah, Ishâq rahimahullah dan lain-lain.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau, “Barangsiapa meneliti fitnah besar dan kecil yang terjadi dalam Islam, dia akan tahu bahwa fitnah itu disebabkan karena melalaikan pokok kaidah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemungkaran. Menuntut hilangnya kemungkaran, tetapi lahir darinya kemungkaran yang lebih besar. Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat satu kemungkaran besar di Makkah dan Beliau n tidak bisa mengubahnya. Bahkan ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala taklukkan Makkah menjadi negeri Islam, Beliau bertekad mengubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai pondasi bangunan Nabi Ibrahim Alaihissallam , tetapi tercegah (walaupun Beliau mampu) oleh kekhawatiran munculnya keburukan yang lebih besar, yaitu khawatir orang-orang Quraisy tidak bisa menerimanya karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu, tidak diizinkan mengingkari penguasa dengan tangan, karena menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.”
Tingkatan Dalam Mencegah Kemunkaran Amar ma’rûf nahi munkar memiliki tingkatan yang harus diketahui oleh pelakunya sehingga apa yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan syari’at dan adab-adab yang mesti diperhatikan. Tingkatan ini telah diterangkan oleh para Ulama dahulu dan yang sekarang, dan mereka senantiasa menasihati para pelaku amar ma’rûf nahi mungkar dengannya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya syari’at ini berdiri di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan dunia-akhirat bagi hamba-hamba Allah. Syari’at ini, seluruhnya adil, rahmat, maslahat dan hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat ke lawannya, dari maslahat ke mafsadat dan dari hikmah kepada kekerasan, maka itu tidak termasuk syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab takwil. Syari’at adalah cermin keadilan Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya diantara hamba-hamba-Nya, pemeliharaan-Nya di bumi dan hikmah Allah yang merupakan petunjuk paling sempurna yang membuktikan keberadaan Allâh Azza wa Jalla dan kejujuran Rasûl-Nya.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada ummatnya untuk mengingkari kemungkaran agar terealisasi perbuatan ma’rûf yang dicintai Allâh dan Rasûl-Nya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar daripadanya dan lebih dimurkai oleh Allâh dan Rasûl-Nya maka tidak diperbolehkan untuk mengingkarinya meskipun Allâh membenci dan memurkai pelakunya. Ini seperti mengingkari para raja dan pemimpin dengan cara memberontak kepada mereka, karena hal itu adalah sumber dari setiap kejelekan dan fitnah sampai akhir masa.”
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Menghilangkan kemungkaran memiliki empat tingkatan:
1. Kemungkarannya hilang dan digantikan dengan lawannya, yaitu kebaikan.
2. Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.
3. Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.
4. Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih berat (lebih besar).
Tingkatan yang pertama dan kedua disyari’atkan (untuk dilakukan). Tingkatan yang ketiga –tentang kebolehannya masuk ke area ijtihad-, dan tingkatan yang keempat haram (untuk dilakukan).
Berikut tingkatan mengubah kemungkaran yang harus diketahui :
a. Mengetahui kemungkaran.
b. Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya.
Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu.
c. Mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tahapan-tahapannya.
Tahapan pertama, memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
Tahapan kedua, melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat.
Tahapan ketiga, tegas dalam memberikan nasihat.
Tahapan keempat, mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
d. Mengingkari kemungkaran dengan hati
e. Mengingkari kemungkaran dengan pedang atau senjata
 Perbedaan Tingkatan Tanggung Jawab Manusia Dalam Mengingkari Kemungkaran. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan semua kita melakukan amar ma’rûf nahi munkar sesuai dengan kemampuan. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah manusia itu berbeda-beda tingkatannya dalam kewajiban ini. Seorang muslim yang awam (minim ilmu) wajib mengerjakan kewajiban ini sesuai kemampuannya. Ia harus menyuruh istri dan anak-anaknya dengan perkara-perkara agama yang telah diketahuinya.
Sedang para ulama memiliki kewajiban yang tidak dimiliki selain mereka karena mereka adalah pewaris para nabi. Jika mereka meremehkan tugas ini maka berbagai kekurangan akan menimpa umat ini, sebagaimana terjadi pada Bani Israil.
Sementara kewajiban pemerintah pada tugas ini sangat besar karena mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa banyak orang untuk kembali dari kemungkaran. Sebab orang yang terpengaruh dengan nasihat dan wejangan itu sangat sedikit. Apabila pemerintah menyepelekan tugas ini, maka ini merupakan bencana besar karena akan menyebabkan tersebarnya kemungkaran serta para pelaku kebatilan dan kefasikan semakin berani melakukan aksi-aksi batil mereka terhadap orang-orang yang berpegang pada kebenaran dan orang-orang yang mengadakan perbaikan.[3]
           C.   Macam-macam Materi Dakwah
Secara umum, Materi Dakwah dikasifikasikan menjadi empat masalah pokok yaitu:
1.       Masalah Aqidah 
Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang akan membentuk karakter ber-taqarrub (medekatkan diri pada Allah) seorang hamba dengan haq (benar). Sebab, jika seorang hamba tidak memiliki pengetahuan tentang akidah yang benar, dikhawatirkan jalan menuju Allah bisa salah atau bahasa lumrahnya, bisa sesat. Oleh sebab itu, bagi seorang da’i, materi akidah ini harus diutamakan dalam berdakwah.
Aspek aqidah adalah yang akan membentuk moral (akhlak) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah adalah masalah aqidah atau keimanan.
Aqidah adalah pokok kepercayaan dalam agama Islam. Aqidah Islam disebut Tauhid dan merupakan inti dari kepercayaan. Dalam Islam, Aqidah merupakan I’tiqad Bathiniyyah yang mencakup masalah-masalah yang erat kaitannya dengan rukun Iman. Allah SWT berfirman dalam Qs. An-Nisaa:36.
Iman ialah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikatnya, Kitab-kitabnya, Rasul-rasulnya, Hari akhir dan percaya adanya ketentuan Allah yang baik maupun yang buruk (HR.Muslim)
 Sebab aqidah (keimanan) ini diturunkan lebih dahulu sebelum diturunkannya perintah dan ajaran Islam tentang ibadah, syariat dan muamalat. Sirah Nabawiyah mengajarkan bahwa materi pertama yang menjadi landasan utama ajaran Islam adalah masalah yang berkaitan dengan pembinaan akidah.
Akidah Islam juga menuntut hanya Rasul Muhammad saw sebagai satu-satunya panutan di antara semua makhluk yang ada. Tidak boleh mengikuti selain Rasulullah Muhammad, dan tidak diterima selain dari beliau. Beliaulah yang telah menyampaikan syari’at Rabbnya. Tidak diperkenankan mengambil syari’at selain dari beliau (siapapun orangnya), atau dari agama dan ideologi selain Islam, atau dari para pakar hukum. Seorang muslim wajib mengikuti dan mengambil hukum hanya dari Rasul saw berdasarkan firman Allah Swt Qs-Al-hasyr:7.
Aqidah dalam Islam adalah bersifat I’tiqadi Batiniyah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Masalah keyakinan atau aqidah ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad, SAW: “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para malaikatnya, Kitab-kitabnya, Para Rasulnya, hari akhir, dan adanya takdir baik dan buruk (yang diciptakan oleh-Nya” (HR. Muslim dari Umar).
Ciri-ciri yang membedakan antara aqidah dengan kepercayaan lain adalah:
a)      Keterbukaan melalui persaksian
b)      Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam.
c)      Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan.
Orang yang memiliki iman yang benar (hakiki) akan cenderung untuk berbuat baik dan akan menjauhi perbuatan jahat, karena perbuatan jahat akan berkonsekuensi pada hal-hal buruk. Iman inilah yang berkaitan dengan dakwah islam dimana amar ma’ruf nahi mungkar dikembangkan yang kemudian menjadi tujuan utama dari suatu proses dakwah.
2.      Masalah Syariat
Secara etimologi kata syari’ah berasal dari bahasa Arab, dari kata syara’a yang berarti jalan. . Secara terminologis, Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariahkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti.
Materi dakwah yang bersifat Syari’ah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Disamping mengandung dan mencakup kemaslahatan sosial dan moral. Materi dakwah in dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang benar dan kejadian secara cermat terhadap hujjah atau dalil-dalil dalam melihat persoalan pembaruan. Sehingga umat tidak terperosok kedalam kejelekan, karena yang diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan.
Hukum atau syari’ah seperti wajib, haram, sunah, makruh dan mubah. Hukum-hukum tersebut tidak saja diterangkan klasifikasinya, melainkan juga hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya. Seorang da’i jangan hanya menyampaikan suatu hukum masalah, bahkan juga harus mampu memberi motivasi dan solusi untuk melaksanakan hukum itu. Semisal, jangan hanya menyampaikan bahwa menjadi PSK hukumnya haram, bahkan juga harus bisa memberi motivasi dengan baik dan bijak, serta memberi solusi yang jitu agar si PSK berhenti dari perbuatannya itu. Semisal, jika si PSK melakukan itu karena masalah ekonomi maka si da’i harus memberi peluang pekerjaan.
3.      Masalah Akhlak
Secara etimologis, kata akhlaq berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku atau tabi’at. Sedangkan secara terminology, pembahasan akhlaq berkaitan dengan masalah tabi’at atau kondisi temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Sabda Rasulullah: sesungguhnya aku diutus dipermuka bumi ini untuk menyempurnakan Akhlak.
Pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak .Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengerti benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata – mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang yang sudah memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.
Berdasarkan pengertian ini, maka ajaran akhlaq dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya, Islam mengajarkan kepada manusia agar berbuat baik dengan ukuran yang bersumber dari Allah SWT.
Pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau kondisi temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya. Akhlak merupakan ekspresi mulia bagi seseorang, lebih-lebih bagi para da’i.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi sifat Allah SWT, pasti dinilai baik oleh manusia sehingga harus dipraktikkan dalam perilaku sehari-hari.
           4.  Masalah Muamalah
Islam merupakan agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Ibadah dalam muamalah disini diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. Statement ini dapat dipahami dengan alasan :
a)      Dalam  Al-Qur’an dan Al-Hadis mencakup proporsi terbesar sumber hukum dengan urusan muamalah. Dalam Al-Qur’an Allah.SWT berirman: Qs-Ali-Imran: 130.
b)      Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan.
c)      melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatkan ganjarn lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Seorang da’i harus menunjukkan sikap yang baik dalam kehidupan berinteraksi. Sebenarnya, dalam hal inilah yang lebih utama dan penting dalam berdakwah. Lebih besar pengaruhnya jika berdakwah melalui sikap dalam bergaul. Dan juga, ibadah seseorang yang baik akan dinilai dari pola interaksi dalam kehidupan sosial.[4]
                    
 
PENUTUP
            Kehidupan modern telah memberikan manfaat bagi manusia. Namun, disisi lain kehidupan tersebut memiliki banyak dampak negatif. Untuk memperbaiki dampak negatif tersebut materi dakwah sangat diperlukan, karena tujuan dakwah adalah mengajak manusia ke jalan yang benar, yaitu jalan yang diridhai oleh Allah. Dalam berdakwah, materi dakwah harus disesuaikan dengan kondisi mad’u agar dakwah menjadi berhasil. Untuk itu materi dakwah sangat diperlukan bagi seorang da’i.
























[2] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/245)
[4] Muliadi, Dakwah Inklusif, dalam buku Hafi Anshari, Pemahaman dan pengalaman ilmu Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 140




0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018