KATA PENGANTAR
Puji syukur hanya bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Salawat beserta salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Allah
SWT, karena dengan hidayah dan taufiq-Nya, penulis dapat menyelesaikan
makalah Filsafat Islam. Dengan ditulisnya makalah ini,
pembaca diharapkan dapat memahami secara mendalam tentang hal-hal yang
berkaitan dengan mata kuliah Filsafat Islam terutama
mengenai Ibnu Thufail. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih memiliki kekurangan dan kekhilafan.
Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan teman-teman
mahasiswa pada umumnya.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin!
Padang, Mei 2017
Penulis
PENDAHULUAN
Pada zaman pertengahan, Islam di Barat dan Timur telah mencapai puncaknya.
Baik dalam pemerintahan maupun ilmu pengetahuan. Tapi Islam di Barat
(Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika mampu mentranfer
khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan mengembangkannya.
Filosuf-filosuf yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia, lahir di
kota ini. Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Ibnu Thufail yang menjadi kajian dalam makalah ini, mampu menyihir para
cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya, Hayy Ibnu Yaqzhan. Salah satu
karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau novel alegori
yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian. Hayy ibnu
Yaqzhan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu Thufail.
Dimana karya itu tidak lepas dari pembacaan ulang atau pengaruh dari
pemikiran Ibnu Shina. Namun Ibnu Thufail di sini menghadirkan karya yang
berbeda.
Melalui kisah “Hayy ibnu Yaqzhan” ini, Ibnu Thufail menunjukkan bahwa dalam
mencapai kebenaran, media yang digunakan bukanlah tunggal, akan tetapi
banyak dan beragam. Dalam kisah itu, dia menampilkan sebuah novel aligoris
yang mengkisahkan seorang bayi yang tedampar di hutan dan di rawat oleh
seekor rusa sampai bayi itu dewasa. Tanpa latar belakang sosial budaya,
anak itu dapat tumbuh dewasa dengan intelegensi yang tinggi dan mampu
mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia mampu
menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai titik Musyahadah
, akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati.
PEMBAHASAN
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibnu
Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi
Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Ibnu Thufail termasuk dalam
keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa Latin ia popular dengan
sebutan Abu Bacer.
Sebagaimana filosof-filosof Muslim dimasanya (juga filosof-filosof Yunani),
Ibnu Thufail juga memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang (all round).
Selain sebagai seorang filosof, ia juga ahli dalam ilmu kedokteran,
matematika, astronomi, dan penyair yang sangat terkenal dari Dinasti
Al-Muwahhid Spanyol. Ia memulai karirnya sebagai dokter prakter di Granada.
Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris gubernur
di provinsi itu.kemudian, ia diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur
Geuta dan Tangier oleh putra Al-Mu’min, penguasa Al-Muwahhid
Spanyol.selanjutnya ia diangkat menjadi dokter pemerintah dan sekaligus
menjadi qadhi.
Pada masa Khalifah Abu Ya’cub Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang
besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, Khalifah sendiri pencinta ilmu
pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi
kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahan sebagai pemuka
pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R.Briffault,
sebagai tempat kelahiran kembali kenegeri Eropa. Adapun posisi Ibnu Thufail
disini adalah pakar pemikiran filosofis dan ilmiah (Sains) tersebut.
Ibnu Thufail meletakkan jabatan sebagai dokter pemerintah pada tahun 587
H/1182 M karena alasan usianya yang sudah lanjut. Ia menganjurkan kepada
khalifah supaya Ibnu Ruysd, muridnya, menggantikan kedudukannya. Khalifah
Abu Yusuf Al-Mansur meluluskan permintaannya dengan langsung menunjuk Ibnu
Rusyd sebagai dokter istana. Semasa hidupnya Ibnu Thufail menerima
penghargaan dari khalifah.ketika ia meninggal pundi Marokko pada tahun 580
H/1184 M khalifah ikut menghadiri upacara pemakamannya, juga sebagai
penghargaan terhadapnya.
Karya tulis Ibnu Thufail yang dikenal orang sedikit sekali. Karyanya yang
terpopuler dan masih dapat ditemukan sampai sekarang ialah Hayy ibn Yaqzhan (Roman Philosophique), yang judul
lengkapnya Risalat Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat.
Karya Ibnu Thufail inimerupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran
filsafatnya. Sebelumnya, judul ini telah diberikan oleh Ibnu Sina kepada
salah satu karya esoteriknya. Demikian juga, nama tokoh Absal dan Salman
telah ada dalam buku Ibnu Sina, Salman wa Absal. Kendatipun kisah ini tidak
orisinil, bahkan sebelum Ibnu Sina kisah ini sudah ada, seperti kisah Arab
Kuno,Hunain ibnu Ishak, Salman dan Absal Ibnu Arabi dan lain-lain namun
Ibnu Thufail berhasil menjadikan kisah ini menjadi kisah roman filosofis
yang unik. Ketajaman filosofisnya yang menandai kebaruan kisah ini dan ia
menjadikannya salah satu kisah yang paling asli dan paling indah pada abad
pertengahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku ini diterjemahkan
kedalam bahasa Ibrani, Latin,Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol, Jerman,
dan Rusia. Bahkan pada ZAman Modern pun minat terhadap karya Ibnu Thufail
ini tetap ada. Ahmad Amin (1952) menerbitkannya dalm edisi bahasa Arab,
yang diikuti terjemahannya dalam bahasa Persi dan Urdu. [1]
Untuk memaparkannya pandangan-pandangan filsafatnya, Ibnu Thufail memilih
metode khusus dalam bentuk filsafat, dalam bukunya yang terkenal hayy ibn yaqzhan. Kisah ini ditulis oleh Ibnu Thufail sebagai
jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah
ketimuran (al-Hikmat al-Masyriqiyyat). Selain itu, berat dugaan
tulisan Ibnu Thufail ini erat kaitannya dengan serangan Al-Ghazali terhadap
dunia filsafat. Al-Ghazali, menurut Ibnu Thufail banyak menulis buku yang
ditujukan bagi orang-orang awam. Akibatnya, ia mempunyai pendirian “dua
muka” (munafik). Dalam buku Tahafut al-Falasifat, Al-Ghazali
mengafirkan para filosof Muslim yang berpendapat bahwa di akhirat nanti
yang akan menerima pembalasan kesenangan (surga) atau kesengsaraan (neraka)
adalah rohani semata. Namun, dalam buku al-Mizan dan al-munqiz min al-Dhalal, ia membenarkan dan menerima
pendapat para filosof Muslim yang ia kafirkan itu. Dengan demikian, berarti
Al-Ghazali mengkafirkan dirinya sendiri. Dikala itu, orang-orang takut
berfilsafat dan usaha-usaha para filosof Muslim yang telah mendamaikan
filsafat dengan agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafat yang
selama ini hanya untuk orang-orang tertentu, sekarang telah dapat pula
dipahami oleh orang-orang awam. Karena itu, amat logis buku Ibnu Thufail
ini ingin menetralisasi keadaan dan ingin mengembalikan filsafat ketempat
semula, yakni filsafat bukanlah “barang” haram. Pada sisi lain, agar
filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang awam, filsafat di komunikasikan
lewat kisah yang amat menarik. Biasanya komunikasi melalui kisah (cerita),
diminati, dan dapat diterima. Dengan demikian, bila hal ini dapat diterima,
tujuan yang hendak dicapai Ibnu Thufail melebihi akibat serangan
Al-Ghazali, yakni ingin memasyarakatkan filsafat. Dalam kisah tersebut
dapat dilihat pendirian Ibnu Thufail tentang hubungan manusia dengan Allah,
manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan berhubungan
antara akal dan agama.
Sebelum filsafat Ibnu Thufail dipaparkan lebih jauh, ada baiknya
dikemukakan kisah Hayy ibn Yaqzhan sebagai berikut:
Di kepulauan India ada sebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia. Pulau
itu sepi dan terpencil,beriklim sedang, dan terletak digaris khatulistiwa
yang oleh Harun Nasution dikatakan kepulauan Indonesia. Pendapat ini ada
benarnya karena kepulauan yang dilewati khatulistiwa memang Indonesia.
Selain itu, kebiasaan masa lalu menyebut kepulauan Timur ini dengan
kepulauan India. Di pulau ini lahir seorang bayi secara alamiah, tanpa ayah
dan ibu. Berarti lewat tulisannya ini Ibnu Thufai lmendukung teori evolusi.
Riwayat lain menyebutkan, seorang perempuan telah kawin rahasia dengan
seorang laki-laki dan memperoleh seorang bayi laki-laki. Karena takut
kepada kakaknya yang menjadi Raja ditempat itu, perempuan ini memasukkan
bayinya ke dalam peti dan melemparkannya ke laut. Dengan hempasan ombak,
peti itu tersangkut di pulau terpencil yang tidak berpenghuni manusia. Baik
yang dimaksud adalah Hayy. Seekor rusa yang anaknya baru saja mati segera
mendekati peti. Bayi yang ada dalam peti itu ia kira anaknya.sebagai
lazimnya seorang Ibu rusa menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu
memandang rusa yang menyusuinya sebagai ibunya.
Hayy tumbuh dengan sehat. Sejalan dengan pertumbuhan jasmaninya, jiwa dan
pemikirannya semakin berkembang. Ia memperhatikannya dan mulai berfikir
tentang segala sesuatu yang ada disekitarnya. Ia menemukan cara memenuhi
kebutuhan hidupnya. Perasaan dan fikirannya mendorongnya untuk mengambil
keputusan bahwa alat kelaminnya perlu ditutup. Lebih dari pada itu, ia
mampu mempergunakan akalnya sedemikian rupa sehingga dapat memahami hakikat
alam empiris dan mampu berfikir hal-hal yang bersifat metafisis. Berkat
rahmat Allah ia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Pemikirannya yang
mendalam tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap panca indra,
menimbulkan keyakinan adanya Allah, pencipta alam semesta. Keyakinan akan
adanya Allah sebagai kebenaran yang hakiki, mendorong Hayy untuk berusaha
berhubungan dan dekat dengan-Nya. Melalui pemikiran falsafi, ia mengetahui
hakikat-hakikat alam. Ia pun memperoleh ma’rifah hakiki dan kebahagiaan
yang sejati.untuk mencapai maksud tersebut, ia melatih diri dengan puasa
selama 40 hari dalam sebuah gua. Dengan penuh kesungguhan (ber- mujahadat) dan keikhlasan, ia berusaha membebaskan dirinya dari
dunia empiris melalui kontemplasi penuh kepada Allah. Akhirnya ia
memperoleh apa yang ia kehendaki, yakni ittihad (menunggal dengan
Allah) atau ittishal (berhubungan langsung) dengan Allah. Ittishal inilah kebahagiaan yang tertinggi karena dapat melihat
Allah terus-menerus. Ibnu Thufail berusaha mendramatisasikan perkembangan
nalar teoritis manusia dari persepsi rasa yang masih kasar menjadi visi
indah tentang Allah.
Disaat ia berada dalam situasi dan pengalaman esoteris seperti itu, ia
berjumpa dengan seorang laki-laki, namanya Absal. Absal datang dari suatu
pulau yang tidak begitu jauh dari pulau tempat tinggal Hayy. Absal mengira
bahwa pulau dimana Hayy berada, tidak berpengghuni manusia dan ia kira
cocok untuk mengasingkan diri dari masyarakat. Di pulau ini ia berusaha
untuk menjalankan ketakwaan dan keshalehan. Hayy tidak memahami bahasa
manusia. Setelah Absal mengajarinya, keduanya berkomunikasi secara lancar,
saling menceritakan pengalaman masing-masing, dan saling bertukar fikiran.
Absal memberitahu Hayy tentang konsep-konsep Qur’ani, yang berkenaan dengan
Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi, hari akhirat, dan lain-lain.
Melalui informasi yang diperoleh dari Absal, Hayy menyadari bahwa metode
falsafi yang ia miliki telah membawa dirinya ketingkat pengetahuan dan
ma’rifat yang sejalan dengan ajaran agama yang diceritakan Absal. Ia pun
tahu bahwa orang yang membawa keterangan-keterangan dengan ucapan yang
benar itu adalah rasul dan ia percaya kepadanya dan mengakui kerasulannya.
Sebaliknya, Hayy juga menjelaskan pengalamannya dengan Allah kepada Absal.
Keterangan Hayy ini memperkuat keyakinan Absal tentang ajaran agama yang
diterimanya dan bertemulah akal dan wahyu (al-manqul wa ma’qul).
Atas ajakan Hayy, Absal setuju pergi berdua kepulau dari mana Absal
datang.Hayy bermaksud memberitahukan ma’rifah hakiki yang ia peroleh kepada
penhuni pulau itu.
Pulau itu diperintah oleh seorang Raja yang bernama Salman, sahabat Absal.
Salman menerima ajaran agama seperti yang disampaikan Nabi, dengan kata
lain Salman lebih tertarik pada arti lahir (eksoteris) nash. Ia menyukai
hidup ditengah masyarakat dan melarang orang lain untuk hidup menyepi,
‘uzlah.
Setelah Absal mengemukakan ilmu ma’rifat hakiki yang dialami Hayy, penduduk
pulau itu menerima Hayy dengan penuh antusias. Namun, setelah Hayy
menjelaskan pengetahuan dan pemikiran filsafatnya, ternyata penduduk pulau
mencemoohkannya. Hayy mendapat pelajaran dari pengalamannya bahwa orang
awam tidak memahami dan tidak mampu menerima ma’rifat sejati. Ma’rifat
hanya dapat dipahami oleh orang-orang khusus, yang dalam agama telah
mencapai martabat lebih tinggi dibandingkan dengan orang awam. Orang awam
tidak mampu mencapai konsep-konsep murni. Hayy pun menyadari bahwa
pergaulan membawa kerusakan-kerusakan bagi masyarakat dan untuk
memperbaikinya sangat diperlukan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi. Karena
Nabi lah yang paling mengenal jiwa manusia pada umumnya. Ia mohon maaf pada
Salman dan warganya, dan mengakui kekeliruannya sendiri karena memaksa
mereka mencari makna yang tersembunyi dalam kitab suci (Al-Qur’an). Pesan
perpisahannya adalah mereka harus berpegang teguh kepada ketentuan hukum
syari’at yang telah mereka yakini selama ini. Akhirnya, Hayy dan Absal
kembali kepulau tempat Hayy berasal mereka mengisi sisa umur dengan
beribadah sepenuhnya kepada Allah. [2]
C.
Epistemologi
Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai
dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh
pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan
akal intuisi. Ma’rifat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan
akal, seperti yang dilakukan para filosof Muslim, dan kasyf ruhani (tasawuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kaum
sufi. Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemologi
Ibnu Thufail.
Ma’rifat dengan kasyf ruhani, menurut Ibnu Thufail dapat diperoleh
dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi
latihan ini, ma’rifat akan semakin jelas, dan berbagai hakikat akan
tersingkap. Sinar terang yang akan menyenangkan, akan melingkup orang yang
melakukannya. Jiwanya menjadi sadar sepenuhnya dan mengalami apa yang tidak
pernah dilihat mata, didengar telinga, dirasa oleh hati. Kasyf ruhani merupakan ekstase yang tidak dapat dilukiskan dengan
kata-kata sebab kata-kata hanya merupakan simbol-simbol yang terbatas pada
pengamatan indrawi.[3]
Melalui roman filsafat Hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan
bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal
tidak bertentangan dengan wahyu.
Allah tidak hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui
dengan akal. Hayy yang bebas dari pengaruh ajaran Nabi, dapat sampai
ketingkat tertinggi dari ma’rifat terhadap Allah, melalui akalnya dan
melalui kasyf ruhani yang ia peroleh dengan jalan latihan
kerohanian, seperti berpuasa, shalat, dan lainnya.
Ibnu Thufail menokohkan Hayy sebagai personifikasi dari spirit alamiah
manusia yang disinari (illuminated) dari “atas”. Spirit tersebut
mesti sesuai dengan ruh Nabi Muhammad, yang ucapan-ucapannya perlu
ditafsirkan secara metaforis.
Ibnu Thufail menyadari, mengetahui, dan berhubungan dengan Allah melalui
pemikiran akal murni, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus ( ahl al-ma’rifat). Orang awam tidak mampu melakukannya.justru itu,
bagi orang awam sangat diperlukan adanyaajaran agama yang dibawa oleh Nabi.
Agama diturunkan untuk semua orang dalam segala tingkatannya. Filsafat
hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang benalar tinggi yang jumlahnya
sedikit. Agama melambangkan “dunia atas” (divine world) dengan
lambang-lambang eksoteris. Agama penuh dengan perbandingan, persamaan, dan
persepsi-persepsi antropomorfis, sehingga cukup mudah dipahami oleh orang
banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris, yang menafsirkan
lambang-lambang itu agar diperoleh pengertiam-pengertian yang hakiki.
Kenyataannya, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk
merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya,
ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan
Absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang
membawa hakikat (kebenaran). Sementara Salman, ia lambangkan sebagai wahyu
(agama) dalam bentuk eksoteris, yang juga membawa kebenaran. Kebenaran yang
dihasilkan filsafat tidak bertentangan (sejalan) dengan kebenaran yang
dikehendaki agama karena sumbernya sama, yakni Allah SWT. [4]
KESIMPULAN
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibnu
Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi
Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Ibnu Thufail termasuk dalam
keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa Latin ia popular dengan
sebutan Abu Bacer.
Untuk memaparkannya pandangan-pandangan filsafatnya, Ibnu Thufail memilih
metode khusus dalam bentuk filsafat, dalam bukunya yang terkenal hayy ibn yaqzhan.
Diantara filsafat Ibnu Thufail adalah:
1. Epistimologi
Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai
dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh
pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan
akal intuisi.
2. Rekonsiliasi (Tawfiq) antara filsafat dan agama
Melalui roman filsafat Hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan
bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal
tidak bertentangan dengan wahyu.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
0 comments:
Post a Comment