Monday, November 26, 2018

BIOGRAFI IBNU THUFAIL

0 comments

KATA PENGANTAR
 
      Puji syukur hanya bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Salawat beserta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Allah SWT, karena dengan hidayah dan taufiq-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Filsafat Islam. Dengan ditulisnya makalah ini, pembaca diharapkan dapat memahami secara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan mata kuliah Filsafat Islam terutama mengenai Ibnu Thufail. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan dan kekhilafan.
Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan teman-teman mahasiswa pada umumnya.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin! 





 



Padang, Mei 2017

 
Penulis 








PENDAHULUAN
  
       Pada zaman pertengahan, Islam di Barat dan Timur telah mencapai puncaknya. Baik dalam pemerintahan maupun ilmu pengetahuan. Tapi Islam di Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika mampu mentranfer khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan mengembangkannya. Filosuf-filosuf yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia, lahir di kota ini. Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ibnu Thufail yang menjadi kajian dalam makalah ini, mampu menyihir para cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya, Hayy Ibnu Yaqzhan. Salah satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau novel alegori yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian. Hayy ibnu Yaqzhan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu Thufail. Dimana karya itu tidak lepas dari pembacaan ulang atau pengaruh dari pemikiran Ibnu Shina. Namun Ibnu Thufail di sini menghadirkan karya yang berbeda.
Melalui kisah “Hayy ibnu Yaqzhan” ini, Ibnu Thufail menunjukkan bahwa dalam mencapai kebenaran, media yang digunakan bukanlah tunggal, akan tetapi banyak dan beragam. Dalam kisah itu, dia menampilkan sebuah novel aligoris yang mengkisahkan seorang bayi yang tedampar di hutan dan di rawat oleh seekor rusa sampai bayi itu dewasa. Tanpa latar belakang sosial budaya, anak itu dapat tumbuh dewasa dengan intelegensi yang tinggi dan mampu mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia mampu menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai titik Musyahadah , akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati. 









PEMBAHASAN
 
A. Riwayat Hidup dan Karyanya
 
         Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Ibnu Thufail termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa Latin ia popular dengan sebutan Abu Bacer.
Sebagaimana filosof-filosof Muslim dimasanya (juga filosof-filosof Yunani), Ibnu Thufail juga memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang (all round). Selain sebagai seorang filosof, ia juga ahli dalam ilmu kedokteran, matematika, astronomi, dan penyair yang sangat terkenal dari Dinasti Al-Muwahhid Spanyol. Ia memulai karirnya sebagai dokter prakter di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi itu.kemudian, ia diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur Geuta dan Tangier oleh putra Al-Mu’min, penguasa Al-Muwahhid Spanyol.selanjutnya ia diangkat menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa Khalifah Abu Ya’cub Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, Khalifah sendiri pencinta ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahan sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R.Briffault, sebagai tempat kelahiran kembali kenegeri Eropa. Adapun posisi Ibnu Thufail disini adalah pakar pemikiran filosofis dan ilmiah (Sains) tersebut.
Ibnu Thufail meletakkan jabatan sebagai dokter pemerintah pada tahun 587 H/1182 M karena alasan usianya yang sudah lanjut. Ia menganjurkan kepada khalifah supaya Ibnu Ruysd, muridnya, menggantikan kedudukannya. Khalifah Abu Yusuf Al-Mansur meluluskan permintaannya dengan langsung menunjuk Ibnu Rusyd sebagai dokter istana. Semasa hidupnya Ibnu Thufail menerima penghargaan dari khalifah.ketika ia meninggal pundi Marokko pada tahun 580 H/1184 M khalifah ikut menghadiri upacara pemakamannya, juga sebagai penghargaan terhadapnya.
Karya tulis Ibnu Thufail yang dikenal orang sedikit sekali. Karyanya yang terpopuler dan masih dapat ditemukan sampai sekarang ialah Hayy ibn Yaqzhan (Roman Philosophique), yang judul lengkapnya Risalat Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat.
        Karya Ibnu Thufail inimerupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran filsafatnya. Sebelumnya, judul ini telah diberikan oleh Ibnu Sina kepada salah satu karya esoteriknya. Demikian juga, nama tokoh Absal dan Salman telah ada dalam buku Ibnu Sina, Salman wa Absal. Kendatipun kisah ini tidak orisinil, bahkan sebelum Ibnu Sina kisah ini sudah ada, seperti kisah Arab Kuno,Hunain ibnu Ishak, Salman dan Absal Ibnu Arabi dan lain-lain namun Ibnu Thufail berhasil menjadikan kisah ini menjadi kisah roman filosofis yang unik. Ketajaman filosofisnya yang menandai kebaruan kisah ini dan ia menjadikannya salah satu kisah yang paling asli dan paling indah pada abad pertengahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Ibrani, Latin,Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol, Jerman, dan Rusia. Bahkan pada ZAman Modern pun minat terhadap karya Ibnu Thufail ini tetap ada. Ahmad Amin (1952) menerbitkannya dalm edisi bahasa Arab, yang diikuti terjemahannya dalam bahasa Persi dan Urdu. [1]
 
B. Latar belakang dan tujuan kisah Hayy ibn Yaqzhan
 
        Untuk memaparkannya pandangan-pandangan filsafatnya, Ibnu Thufail memilih metode khusus dalam bentuk filsafat, dalam bukunya yang terkenal hayy ibn yaqzhan. Kisah ini ditulis oleh Ibnu Thufail sebagai jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran (al-Hikmat al-Masyriqiyyat). Selain itu, berat dugaan tulisan Ibnu Thufail ini erat kaitannya dengan serangan Al-Ghazali terhadap dunia filsafat. Al-Ghazali, menurut Ibnu Thufail banyak menulis buku yang ditujukan bagi orang-orang awam. Akibatnya, ia mempunyai pendirian “dua muka” (munafik). Dalam buku Tahafut al-Falasifat, Al-Ghazali mengafirkan para filosof Muslim yang berpendapat bahwa di akhirat nanti yang akan menerima pembalasan kesenangan (surga) atau kesengsaraan (neraka) adalah rohani semata. Namun, dalam buku al-Mizan dan al-munqiz min al-Dhalal, ia membenarkan dan menerima pendapat para filosof Muslim yang ia kafirkan itu. Dengan demikian, berarti Al-Ghazali mengkafirkan dirinya sendiri. Dikala itu, orang-orang takut berfilsafat dan usaha-usaha para filosof Muslim yang telah mendamaikan filsafat dengan agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafat yang selama ini hanya untuk orang-orang tertentu, sekarang telah dapat pula dipahami oleh orang-orang awam. Karena itu, amat logis buku Ibnu Thufail ini ingin menetralisasi keadaan dan ingin mengembalikan filsafat ketempat semula, yakni filsafat bukanlah “barang” haram. Pada sisi lain, agar filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang awam, filsafat di komunikasikan lewat kisah yang amat menarik. Biasanya komunikasi melalui kisah (cerita), diminati, dan dapat diterima. Dengan demikian, bila hal ini dapat diterima, tujuan yang hendak dicapai Ibnu Thufail melebihi akibat serangan Al-Ghazali, yakni ingin memasyarakatkan filsafat. Dalam kisah tersebut dapat dilihat pendirian Ibnu Thufail tentang hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan berhubungan antara akal dan agama.
        Sebelum filsafat Ibnu Thufail dipaparkan lebih jauh, ada baiknya dikemukakan kisah Hayy ibn Yaqzhan sebagai berikut:
Di kepulauan India ada sebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia. Pulau itu sepi dan terpencil,beriklim sedang, dan terletak digaris khatulistiwa yang oleh Harun Nasution dikatakan kepulauan Indonesia. Pendapat ini ada benarnya karena kepulauan yang dilewati khatulistiwa memang Indonesia. Selain itu, kebiasaan masa lalu menyebut kepulauan Timur ini dengan kepulauan India. Di pulau ini lahir seorang bayi secara alamiah, tanpa ayah dan ibu. Berarti lewat tulisannya ini Ibnu Thufai lmendukung teori evolusi.
Riwayat lain menyebutkan, seorang perempuan telah kawin rahasia dengan seorang laki-laki dan memperoleh seorang bayi laki-laki. Karena takut kepada kakaknya yang menjadi Raja ditempat itu, perempuan ini memasukkan bayinya ke dalam peti dan melemparkannya ke laut. Dengan hempasan ombak, peti itu tersangkut di pulau terpencil yang tidak berpenghuni manusia. Baik yang dimaksud adalah Hayy. Seekor rusa yang anaknya baru saja mati segera mendekati peti. Bayi yang ada dalam peti itu ia kira anaknya.sebagai lazimnya seorang Ibu rusa menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu memandang rusa yang menyusuinya sebagai ibunya.
Hayy tumbuh dengan sehat. Sejalan dengan pertumbuhan jasmaninya, jiwa dan pemikirannya semakin berkembang. Ia memperhatikannya dan mulai berfikir tentang segala sesuatu yang ada disekitarnya. Ia menemukan cara memenuhi kebutuhan hidupnya. Perasaan dan fikirannya mendorongnya untuk mengambil keputusan bahwa alat kelaminnya perlu ditutup. Lebih dari pada itu, ia mampu mempergunakan akalnya sedemikian rupa sehingga dapat memahami hakikat alam empiris dan mampu berfikir hal-hal yang bersifat metafisis. Berkat rahmat Allah ia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Pemikirannya yang mendalam tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap panca indra, menimbulkan keyakinan adanya Allah, pencipta alam semesta. Keyakinan akan adanya Allah sebagai kebenaran yang hakiki, mendorong Hayy untuk berusaha berhubungan dan dekat dengan-Nya. Melalui pemikiran falsafi, ia mengetahui hakikat-hakikat alam. Ia pun memperoleh ma’rifah hakiki dan kebahagiaan yang sejati.untuk mencapai maksud tersebut, ia melatih diri dengan puasa selama 40 hari dalam sebuah gua. Dengan penuh kesungguhan (ber- mujahadat) dan keikhlasan, ia berusaha membebaskan dirinya dari dunia empiris melalui kontemplasi penuh kepada Allah. Akhirnya ia memperoleh apa yang ia kehendaki, yakni ittihad (menunggal dengan Allah) atau ittishal (berhubungan langsung) dengan Allah. Ittishal inilah kebahagiaan yang tertinggi karena dapat melihat Allah terus-menerus. Ibnu Thufail berusaha mendramatisasikan perkembangan nalar teoritis manusia dari persepsi rasa yang masih kasar menjadi visi indah tentang Allah.
Disaat ia berada dalam situasi dan pengalaman esoteris seperti itu, ia berjumpa dengan seorang laki-laki, namanya Absal. Absal datang dari suatu pulau yang tidak begitu jauh dari pulau tempat tinggal Hayy. Absal mengira bahwa pulau dimana Hayy berada, tidak berpengghuni manusia dan ia kira cocok untuk mengasingkan diri dari masyarakat. Di pulau ini ia berusaha untuk menjalankan ketakwaan dan keshalehan. Hayy tidak memahami bahasa manusia. Setelah Absal mengajarinya, keduanya berkomunikasi secara lancar, saling menceritakan pengalaman masing-masing, dan saling bertukar fikiran. Absal memberitahu Hayy tentang konsep-konsep Qur’ani, yang berkenaan dengan Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi, hari akhirat, dan lain-lain.
Melalui informasi yang diperoleh dari Absal, Hayy menyadari bahwa metode falsafi yang ia miliki telah membawa dirinya ketingkat pengetahuan dan ma’rifat yang sejalan dengan ajaran agama yang diceritakan Absal. Ia pun tahu bahwa orang yang membawa keterangan-keterangan dengan ucapan yang benar itu adalah rasul dan ia percaya kepadanya dan mengakui kerasulannya. Sebaliknya, Hayy juga menjelaskan pengalamannya dengan Allah kepada Absal. Keterangan Hayy ini memperkuat keyakinan Absal tentang ajaran agama yang diterimanya dan bertemulah akal dan wahyu (al-manqul wa ma’qul). Atas ajakan Hayy, Absal setuju pergi berdua kepulau dari mana Absal datang.Hayy bermaksud memberitahukan ma’rifah hakiki yang ia peroleh kepada penhuni pulau itu.
Pulau itu diperintah oleh seorang Raja yang bernama Salman, sahabat Absal. Salman menerima ajaran agama seperti yang disampaikan Nabi, dengan kata lain Salman lebih tertarik pada arti lahir (eksoteris) nash. Ia menyukai hidup ditengah masyarakat dan melarang orang lain untuk hidup menyepi, ‘uzlah.
Setelah Absal mengemukakan ilmu ma’rifat hakiki yang dialami Hayy, penduduk pulau itu menerima Hayy dengan penuh antusias. Namun, setelah Hayy menjelaskan pengetahuan dan pemikiran filsafatnya, ternyata penduduk pulau mencemoohkannya. Hayy mendapat pelajaran dari pengalamannya bahwa orang awam tidak memahami dan tidak mampu menerima ma’rifat sejati. Ma’rifat hanya dapat dipahami oleh orang-orang khusus, yang dalam agama telah mencapai martabat lebih tinggi dibandingkan dengan orang awam. Orang awam tidak mampu mencapai konsep-konsep murni. Hayy pun menyadari bahwa pergaulan membawa kerusakan-kerusakan bagi masyarakat dan untuk memperbaikinya sangat diperlukan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi. Karena Nabi lah yang paling mengenal jiwa manusia pada umumnya. Ia mohon maaf pada Salman dan warganya, dan mengakui kekeliruannya sendiri karena memaksa mereka mencari makna yang tersembunyi dalam kitab suci (Al-Qur’an). Pesan perpisahannya adalah mereka harus berpegang teguh kepada ketentuan hukum syari’at yang telah mereka yakini selama ini. Akhirnya, Hayy dan Absal kembali kepulau tempat Hayy berasal mereka mengisi sisa umur dengan beribadah sepenuhnya kepada Allah. [2]
 
C. Epistemologi
 
       Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Ma’rifat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal, seperti yang dilakukan para filosof Muslim, dan kasyf ruhani (tasawuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemologi Ibnu Thufail.
Ma’rifat dengan kasyf ruhani, menurut Ibnu Thufail dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi latihan ini, ma’rifat akan semakin jelas, dan berbagai hakikat akan tersingkap. Sinar terang yang akan menyenangkan, akan melingkup orang yang melakukannya. Jiwanya menjadi sadar sepenuhnya dan mengalami apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dirasa oleh hati. Kasyf ruhani merupakan ekstase yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata sebab kata-kata hanya merupakan simbol-simbol yang terbatas pada pengamatan indrawi.[3]
 
D. Rekonsiliasi (Tawfiq) antara Filsafat dan Agama
 
      Melalui roman filsafat Hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu.
Allah tidak hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari pengaruh ajaran Nabi, dapat sampai ketingkat tertinggi dari ma’rifat terhadap Allah, melalui akalnya dan melalui kasyf ruhani yang ia peroleh dengan jalan latihan kerohanian, seperti berpuasa, shalat, dan lainnya.
Ibnu Thufail menokohkan Hayy sebagai personifikasi dari spirit alamiah manusia yang disinari (illuminated) dari “atas”. Spirit tersebut mesti sesuai dengan ruh Nabi Muhammad, yang ucapan-ucapannya perlu ditafsirkan secara metaforis.
Ibnu Thufail menyadari, mengetahui, dan berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal murni, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus ( ahl al-ma’rifat). Orang awam tidak mampu melakukannya.justru itu, bagi orang awam sangat diperlukan adanyaajaran agama yang dibawa oleh Nabi.
Agama diturunkan untuk semua orang dalam segala tingkatannya. Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang benalar tinggi yang jumlahnya sedikit. Agama melambangkan “dunia atas” (divine world) dengan lambang-lambang eksoteris. Agama penuh dengan perbandingan, persamaan, dan persepsi-persepsi antropomorfis, sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang itu agar diperoleh pengertiam-pengertian yang hakiki.
       Kenyataannya, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan Absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara Salman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris, yang juga membawa kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan filsafat tidak bertentangan (sejalan) dengan kebenaran yang dikehendaki agama karena sumbernya sama, yakni Allah SWT. [4]







 
KESIMPULAN
 
         Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Ibnu Thufail termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa Latin ia popular dengan sebutan Abu Bacer.
Untuk memaparkannya pandangan-pandangan filsafatnya, Ibnu Thufail memilih metode khusus dalam bentuk filsafat, dalam bukunya yang terkenal hayy ibn yaqzhan.
Diantara filsafat Ibnu Thufail adalah:
1. Epistimologi
Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi.
2. Rekonsiliasi (Tawfiq) antara filsafat dan agama
Melalui roman filsafat Hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu. 



















DAFTAR KEPUSTAKAAN

 
Zar, Sirajuddin. 2017. Filsafat Islam. Ed. 1-7. Jakarta: Rajawali Pers.



[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Ed. 1-7, (Jakarta: Rajawali Pers), 2017, h. 211-213.
[2] Ibid .,h. 213-218.
[3] Ibid ., 224-225.
[4] Ibid ., 225-226.

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018