Thursday, October 11, 2018

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP FILSAFAT ISLAM DAN TASAWUF

0 comments
KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, yang selalu membimbing hamba-Nya dengan penuh kasih sayang dan cinta, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Orientalis . Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada rasulullah SAW, manusia mulia, penuntun umat, pembawa risalah, serta kelurganya, sahabat, dan siapa saja yang mengikuti sunnahnya dalam mengarungi bahtera alam yang fana ini. Makalah ini menjelaskan tentang pandangan orientalis terhadap tasawuf dan filsafat Islam.
            Jika dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan, maka penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.




                                                                                          Padang,   Desember 2017

                                                                                    Penulis





PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan agama yang paling unggul dan tidak akan pernah diungguli oleh agama manapun, karena Islam merupakan agama yang hak dan tidak akan pernah menjerumuskan pengikutnya ke lembah kesesatan dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia dan sebagai acuan untuk bagaimana membekali diri menuju ke alam yang kekal yaitu alam akhirat. Karena keunggulan itulah timbul kedengkian pada agama Islam untuk dapat menyaingi dan meruntuhkan ajaran agama Islam dengan berbagai cara yang dilakukan yang ada pada pikiran mereka. Termasuk dengan cara perang dingin yaitu bereperang dengan cara yang halus melalui mempelajari berbagai macam khazanah keIslaman yang berpusat pada dunia Timur, yang mana tujuannya adalah untuk menyerang umat Islam secara perlahan-lahan dan melalui perang pemikiran yang mereka selewengkan akan kebenarannya demi kepentingan yang akan mereka capai. Karena itu mereka terus mencari-cari kelemahan-kelemahan umat islam dengan cara melemahkan aqidah umat islam dengan menimbulkan fitnah terhadap nabi Muhammad SAW. dan mengarang cerita-cerita palsu, dan juga melemah-lemahkan pemikiran umat islam seperti dalam bidang filsafat dan tasawuf, semua itu mereka lakukan atas dasar mereka dendam dan cemburu terhadap umat Islam. Kaum orientalis ini akan terus berupaya untuk melemah-lemahkan umat salah satunya yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu mengenai pandangan positif dan negatif orientalis terhadap filsafat islam dan tasawuf.





PEMBAHASAN
A.      Sikap Dan Pandangan Orientalis Terhadap Filsafat Islam
1.      Sekilas Tentang Pengertian Filsafat
Secara Etimologis, filsafat merupakan terjemahan dari Philolophy (Bahasa Inggris) atau Philosophia dari bahasa Yunani. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu Philo dan Shopia. Philo yang berarti suka atau cinta, dan Shopia berarti kebijaksanaan. Jadi, Philoshopia berarti suka atau cinta pada kebijaksanaan. Menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. [1]
2.      Pandangan Orientalis Terhadap Filsafat Islam
Orang-orang orientalis sering memutar balikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan membuat kesimpulan yang menyesatkan. Di antara bentuk penyimpangan yang sering dilakukan kalangan orientalis ini adalah memutarbalikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang tidak ada hubungannya dengan nash tersebut. Bentuk penyimpangan lainnya adalah dengan cara menambah atau menghilangkan beberapa kalimat, sehingga nash tersebut memberikan makna yang tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu sendiri.
Hal ini digambarkan oleh Montgomery watt mengungkapkan dalam bukunya. Ia mengatakan sebagi berikut: sesungguhnya aqidah ajaran Islam  terdiri dari bentuk penyimpangan dari ajaran kristen. Islam adalah sebuah agama yang ganas dan tersebar melalui pedang. Agama Islam mengajak manusia agar menyibukkan diri dalam dunia nafsu, terutama nafsu seksual. Dan dalam pribadi Muhammad sendiri terdapat kelemahan akhlaq. Berarti Muhammad adalah seorang pendiri agama yang menyimpang. Karena itu hendaknya dijadikan prinsip bahwasanya muhammad merupakam senjata atau tangan kananya setan. Bahkan bangsa eropa pemeluk masehi pada abad pertengahan menamakanya setan.[2]
Terdapat beragam argumentasi orientalis dalam mengomentari peran kaum muslimin ketika melibatkan diri untuk mempelajari filsafat Islam. Berikut dikemukakan pendapat sebagian di antara mereka:
a.         Tenneman
Mengatakan; kegiatan untuk mempelajari filsafat pada bangsa Arab memang sudah ada, tetapi mereka mengalami rintangan-rintangan yang menyebabkan mereka tidak dapat berfilsafat sendiri. Rintangan tersebut ialah: Adanya golongan ahlus-Sunnah yang selalu berpegang teguh kepada bunyi nash-nash agama, Pemujaan terhadap pikiran-pikiran Aristoteles, di samping mereka tidak dapat memahami baik-baik pikiran-pikirannya, Kitab suci mereka (al-Quran) menghalang-halangi kebebasan berpikir, Tabiat mereka yang mudah terpengaruh oleh angan-angan.
b.        E. Renan
Dalam bukunya Averroes et Averroisme, mengatakan bahwa; Bangsa Semit yang umatnya paling maju adalah umat Arab, tidak mampu berfilsafat meski pun mereka memiliki agama yang tinggi nilainya. Filsafat yang ada pada mereka tidak lain hanyalah kutipan semata-mata dari filsafat Yunani.
c.         L. Gauthier
Dalam bukunya, Introduction al Etude de la Philosophie Musulmane (Pengantar Studi tentang Filsafat Islam), mengatakan, bahwa; batas pemisah antara pemikiran Semit dengan pemikiran Aria, sehingga keduanya tidak mungkin bisa bertemu. Agama Islam adalah agama yang kuat sekali corak kesemitannya, dan tidak ada sistem lain kecuali Islam yang lebih kuat perlawanannya terhadap filsafat Yunani yang kuat sekali corak keariaannya.
d.        E. Brihier
Dalam bukunya, Histoire de la Philosophie menulis, bahwa; filsuf-filsuf Arab adalah orang-orang yang memeluk agama Islam, dan mereka menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab. Akan tetapi mereka kebanyakan bukan keturunan Aria. Karena itu, mereka mencari-cari obyek pemikirannya pada buku-buku Yunani yang mulai diterjemahkan oleh orang-orang Mesir Nestorian sejak abad ke-6 Masehi dari bahasa Suriani ke dalam bahasa Arab.
Pandangan-pandangan subysektif negatif orientalis atas dibenarkan Zaqzuq, bahwa: kaum orientalis cenderung menjauhkan mentalitas Islam dari segala macam bentuk penemuan baru, mereka juga tidak mempercayai superioritas filsafat Islam, mereka menganggap itu hanya nukilan atau jiplakan dari filsafat Yunani saja. Faktor yang mendorong mereka untuk memberikan penilaian seperti itu adalah faktor rasial yang telah membagi bangsa di dunia ini menjadi dua jenis, yaitu: bangsa Saam (Smith) dan Aria. Bangsa Arab termasuk ras bangsa Saam, bangsa ini tidak mampu berfilsafat, mereka hanya bisa menerima masalah apa adanya. Berbeda dengan suku bangsa Aria (termasuk dalam rangkuman ini bangsa Yunani Kuno), menurut mereka, bangsa ini sajalah yang mampu berfilsafat.
Al-Bahiy, dalam karyanya, menulis, bahwa mereka yang berpendapat bahwa bangsa Arab bukan termasuk bangsa yang mempunyai sifat memperdalam pemikiran dan ciptaan dalam meninjau dan memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Mereka mengetahui, bahwa filsafat Islam ialah pandangan-pandangan filsafat Greek, yang dimasukkan ke dalam jamaah Islam melalui jalan terjemahan dan pemindahan. Dengan memperhatikan pandangan-pandangan orientalis di atas, yang sasaran bidikan di arahkan pada eksistensi filsafat Islam dan para filosof muslim, yang diragukan kapasitas keintelektualannya atau rasionalitasnya. Maka ketika pemikiran mereka memasuki kawasan abad ke-20, lambat laun argumentasi mereka berubah secara lunak, yakni dari tuduhan yang bersifat subyektif negatif, berbalik menjadi tuduhan sekaligus responsibilitas bersifat obyektif positif. Seperti pada hal-hal berikut: Pertama, pendapat yang mengatakan, bahwa filsafat Arab atau filsafat Islam hanya merupakan kutipan semata-mata dari filsafat Aristoteles dan ulasan-ulasanya, berangsur-angsur menjadi hilang dan timbullah pengakuan akan adanya filsafat Islam yang mempunyai kepribadian sendiri, karena selain pikiran- pikiran Aristoteles, di dalamnya juga terdapat unsur-unsur India, Iran, dan lain lain, yang kesemuanya menggambarkan kepribadian filsafat Islam.
Kedua, juga berangsur-angsur hilang pula pendapat yang mengatakan, bahwa tabiat Islam dan al-Quran menghalang-halangi kebebasan berpikir dan berfilsafat. Kebudayaan Islam pada masa kebesarannya tidak pernah menghalang-halangi ilmu dan filsafat, bahkan selalu mencari dan memajukannya serta melapangkan dada terhadap aneka pendapat dan aliran. Sebagai agama yang mengajak memikirkan langit dan bumi, serta ayat ayat kebesaran Tuhan, tidak mungkin Islam melarang penyelidikan akal dan membatasi kebesarannya. E. Renan sendiri, yang mengatakan, bahwa Islam memerangi ilmu pengetahuan dan filsafat, mengakui adanya toleransi dan perlakuan yang tidak ada taranya dari kaum muslimin ini terhadap negeri-negeri baru yang didatanginya .
Ketiga, Istilah filsafat Islam atau filsafat Arab, meliputi yang disebut filsafat murni dan ilmu kalam, bahkan ada kecenderungan untuk memasukkan tasawuf sebagai salah satu cabang filsafat terutama pada akhir-akhir ini, ketika ahli-ahli ketimuran banyak tertarik pada peneyelidikan tasawuf.
L. Gauthier, juga mengakui kemampuan orang-orang Arab untuk berpikir seperti halnya bangsa-bangsa lain. Selanjutnya ia melihat Islam sebagai agama yang kuat sekali.
Dan Max Horten mengatakan bahwa, berbicara tentang filsafat Islam tidak sewajarnya bila dibatasi obyek persoalannya pada pikiran-pikiran yang dikenal sebagai kelompok filosof saja, melainkan harus Pula diikutsertakan karya-karya mutakallimin. Pikiran-pikiran mereka, terutama menyangkut pembahasan-pembahasan mengenai keadaan wujud dan pengenalan terhadap alam telah mendahului pandangan kelompok filosof tersebut, Max Horten mengakui bahwa Para filosof Islam telah melengkapi kekurangan-kekurangan Aristoteles, suatu hal yang menunjukkan kreativitas yang patut dihargai. Dari segi lain ia melihat keorisinilan filsafat Islam karena keimanan yang teguh dimiliki oleh tokoh-tokohnya, yakni bahwa Islam adalah agama wahyu yang mutlak kebenarannya.[3]
B.       Pandangan Orientalis Terhadap Tasawuf
1.    Sekilas Tentang Pengertian Tasawuf
Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni. Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal dari katasaff, artinya saff atau baris. Dinamakan sebagai para sufi, karena berada pada baris ( saff ) pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia dan kecenderungan hati mereka terhadap- Nya. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari katasuffah atau suffah al Masjid, artinya serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat tinggal. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari katasuf, yaitu bulu domba atau wol. Hal ini karena mereka ( para sufi ) tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa. Mereka memakai pakaian yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang terbuat dari kain wol kasar (suf ).
Al-Junaid al-Bagdadi ( 289 H ), tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan, menekan sifat basyariah ( kemanusiaan ), menjauhi hawa nafsu, selalu bersikap fitri, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW.
2.    Pendapat Para Tokoh Orientalis
Beberapa pandangan para tokoh orientalisis terhadap tasawuf diantaranya:
a.    Nicholson
Ia mengatakan : “Selama ini timbulnya tasawuf islam telah dibahas dengan cara yang salah. Akibatnya, banyak peneliti yang mengatakan bahwa hidup dan kekuatanya berasal dari semua bangsa dan golongan yang membentuk suatu kerajaan islam, yang memungkinkan penafsiran pertumbuhanya dengan penafsiran ilmiah yang cermat dengan pengembalianya pada satu asal, seperti Wedanata Hindu, atau Neo-Platonisme, atau menetapkan pemikiran dari sebagian hakikat yang bukan sepenuh hakikat”.
b.    Louis Masignom
Ia mengatakan : Meskipun materi tasawuf islam adalah Arab yang asli, ada baiknya bila kami dapat mengetahui kebaikan pengaruh islam yang dimasukkan kedalamnya dan tumbuh dalam lingkunganya”.
Dan juga berbeda pendapat mengenai asal sumber Tasawuf. Pertama, kelompok yang menganggap bahwa Tasawuf berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Di samping itu, sebagian pendiri aliran-aliran sufi berasal dari keturunan orang Majusi, seperti Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid Busthami.
Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa Tasawuf berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O'lery. Alasannya : adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam dan, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufi, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyadlah) dan mengasingkan diri (khalwat), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.
Ketiga, kelompok yang beranggapan bahwa Tasawuf ditimba dari India, seperti pendapat Horten dan Hartman. Alasannya, kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf) pertama kali adalah di Khurasan, kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham , Syaqiq al-Balkh dan Yahya ibn Muadz. Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat. Mereka memberi warna mistisisme lama ketika memeluk Islam. Konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, kelompok yang menganggap Tasawuf berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya Neo-Platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O'leary dan Nicholson. Alasannya, ‘Theologi Aristoteles' yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus telah dikenal baik dalam filsafat Islam. Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains Hellenistik.
Menurut Jabiri, Tasawuf diadopsi dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks Al-Qur`an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqamat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari Al-Qur`an (QS.Al-Fusilat 164), identik dengan konsep Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata maqamat dalam Al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan atau tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri.[4]







PENUTUP
Demikian makalah kami paparkan semoga bisa memberi manfaat dan menambah wawasan kita tentang Pandangan kaum Orientalis Terhadap Filsafat dan Tasawuf Islam, dan kami harapkan kepada pembaca untuk mencari sumber yang lain untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang pembahasan ini. Sebagai pemakalah, kami ucapkan terima kasih.








KEPUSTAKAAN
Ibrahim Madkur, Fil Falsafati 1-Islamiyati, jilid I cetakan III, Qairo: Darul 1-Matarif, 1976.
Zulhelmi, Filsafat Umum, Palembang:IAIN


[1] Zulhelmi.,Filsafat Umum, (Palembang:IAIN Raden Fatah Press, 2004), hal. 1-2
[2] https://dhayassamaronjie.wordpress.com/artikel/sikap-dan-pandangan-orientalis-terhadap-filsafat-islam/ diakses pada tanggal 30 november 2017.
[3] Ibrahim Madkur, Fil Falsafati 1-Islamiyati, jilid I (cetakan III, Qairo: Darul 1-Matarif, 1976), hal.  212.

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018