Thursday, October 25, 2018

MAKALAH JARH WA TA'DIL

0 comments
KATA PENGANTAR

                     Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, yang selalu membimbing hamba-Nya dengan penuh kasih sayang dan cinta, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ulumul hadits tentang Ilmu Jarh Wa Ta’dil. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada rasulullah SAW, manusia mulia, penuntun umat, pembawa risalah, serta kelurganya, sahabat, dan siapa saja yang mengikuti sunnahnya dalam mengarungi bahtera alam yang fana ini. Makalah ini menjelaskan tentang cara mengetahui ‘adalah dan jarhnya para periwayat, pertentangan antara jarh wa ta’dil, dan istilah-istilah yang terkait dengan jarh wa ta’dil.
                     Jika dalam penulisan maklah ini terdapat kesalahan dan kekurangan, maka penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.




                                                                                                                        Padang,  Mei 2016



                                                                                                                                    Penulis












BAB I
PENDAHULUAN

  

     A. Latar Belakang
Hadis sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal-ihwal nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran.Hadis sampai kepada kita melalui jalan perawi.Dengan begitu para perawi merupakan pusat utama dalam rangka mengetahui kesahihan hadis.Para ulama memperhatikan para periwayat hadis dalam upaya membedakan antara hadis yang dapat diterima dan hadis yang ditolak, yakni dengan memperhatikan keshalehan, kekuatan ingatan, kecermatan dan akhlak setiap periwayat hadis.Pengalaman para ulama dalam mengkaji keadaan periwayat hadis ini berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah yang pada akhirnya menjadi sebuah ilmu, disebut ‘Ilmu al-Jarh wa at-Ta`dil.
Hal utama yang ditelaah dalam kajian ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil adalah meneliti sanad hadis untuk mengetahui sifat dan prilaku perawi hadis yang berimplikasi kepada diterima atau ditolaknya hadis tersebut dan dapat dipahami bahwa ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil merupakan suatu kajian ilmu hadis yang sangat penting dipelajari dan ditelaah. Beranjak dari itulah dalam makalah ini penulis akan menguraikan sekilas tentang ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil dengan menjelaskan pengertian al-jarh wa at-ta`dil. Normatifitas al-jarh wa at-ta`dil, lafal-lafal al-jarh wa at-ta`dil, kaidah yang berlaku dalam al-jarh wa at-ta`dil, syarat syarat al-jarh wa at-ta`dil, tingkatan al-jarh wa at-ta`dil serta menjelaskan tokoh serta karya yang membahas ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil.

     B.  Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui dan menjelaskan kepada pembacatentang cara mengetahui ‘adalah dan jarhnya para periwayat, pertentangan antara jarh wa ta’dil, dan istilah-istilah yang terkait dengan jarh wa ta’dil.
2) Untuk melengkapi tugas mata kuliah Ulumul Hadits.



BAB II
PEMBAHASAN
       A.  Cara Mengetahui ‘Adalah dan Jarahnya Para Periwayat
Sebagaimana telah dijelaskan, ta’dil (menganggap adil seorang perawi) adalah memuji perawi dengan sifat-sifat yang dapat membuatnya dinilai adil, yakni sifat yang dijadikan dasar-dasar penerimaan riwayat.Keadilan perawi tersebut dapat diketahui dengan cara: Pertama,terkenal sebagai orang yang adil di kalangan ilmuwan, seperti Anasbin Malik, Sofyan al-Tsaury, Syu’bah bin al-Hajaj, al-Syafi’i, dansebagainya. Kedua, pujian dari orang yang adil, yakni ditetapkansebagai adil oleh orang yang adil, yakni yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai perawi yang adil.
Penetapan tentangkecacatan pada perawi juga dapat ditempuh melalui,pertama, berdasarkan berita tentang ketenarannya sebagai orang yangcacat.Perawi yang dikenal sebagai perawi fasik atau pendusta di kalanganmasyarakat tidak perlu dipersoalkan lagi.Cukuplah ketenarannya itudijadikan alasan untuk menetapkannya cacat.Kedua, berdasarkantajrih dari orang yang adil yang telah mengetahui kenapa dia dinilaicacat.Ini menurut pendapat yang dipegang muhaddisin. 
Sedangkanmenurut fuqaha, sekurangnya harus ditajrih oleh orang yang adil.Ta’dil dan tajrih seperti dijelaskan di atas tidak dapat diterimakecuali dari orang-orang yang memenuhi persyaratan.Syaratyang dimaksud adalah mu’addil dan jarih mesti berilmu pengetahuan, takwa,wara’ (selalu menjauhi perbuatan maksiat, subhat, dan dosa kecil sertahal makruh), jujur, menjauhi fanatisme golongan, serta mengetahuisebab ta’dil dan tajrih.Selanjutnya tentang jumlah orang yang dipandang cukup untukmelakukan ta’dil dan tajrih terhadap perawi juga terdapat perselisihanpendapat, antara lain:

1)      Minimal dua orang, baik dalam hal syahadah maupun riwayah.Demikian menurut pendapat kebanyakan fuqaha Madinah danlainnya.
2)      Cukup seorang dalam hal riwayah, bukan syahadah, karenabilangan tidak menjadi syarat dalam penerimaan Hadis, tidak puladisyaratkan dalam ta’dil dan tajrih perawi.
3)      Cukup seorang saja, baik dalam hal riwayah maupun syahadah.Sementara bila keadilannya diperoleh atas dasar pujian orang banyakatau dimasyhurkan oleh ulama, tidak memerlukan orang yangmelakukan ta’dil (muzakki, mu’addil) seperti Malik, al-Syafi’i, Ahmadbin Hambal, al-Laits, Ibn Mubarak, Syu’bah, Ishak, dan lain-lain.

        B.   Pertentangan antara Jarh Wa Ta’dil
            Kadang-kadang pernyataan ‘ulama tentang tarjih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian mentarjihnya, dan sebagian lain menta’dilkannya.Bila demikian maka perlu untuk meneliti lebih lanjut tentang yang sebenarnya.Ternyata, kadang-kadang sebagian pentarjih berdasaran informasi jarh yang dahulu pernah didengarnya mengenai perawi yang bersangkutan. Kemudian perawi itu bertaubat dan diketahui oleh sebagian yang lain yang kemudian menta’dilkannya. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada pertentangan  antara keduanya.
            Kadang kala ia juga dikenal tidak baik hafalannya dari seorang guru yang ia tidak menulis dari guru tersebut karena ia bertumpu pada hafalannya sewaktu masih bisa diandalkan hafalannya, tetapi dikenal hafiz oleh guru lain karena ia bertumpu pada kitab-kitabnya, misalnya. Sehingga dalam kondisi seperti ini juga tidak ada pertentangan.Bila kemungkinan itu bisa diketahui, maka seseorang bisa mengambil sikap yang tegas.Namun bila tidak diketahui, maka jelas terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil. Dalam hal ini ada tiga pendapat dikalangan ulama:
            Pertama, mendahulukan jarh daripada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak dari pada yang mentarjih. Karena yang mentarjih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama.
            Kedua, ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang menta’dil lebih banyak.Karena banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang bersangkutan. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang menta’dil meski lebih banyak jumlahnya tidak memberitahukan apa yang bisa menyanggah pernyataan yang mentarjih.
            Ketiga, bila jarh dan ta’dil bertentangan, maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya.Yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat dintara keduanya.
            Pendapat yang pertamalah yang dipegangi oleh ahli-ahli hadits, baik mutaqaddimin ataupun muta’akhirin.
  

      C. Tingkatan dan Istilah-Istilah yang Terkait dengan Jarh Wa Ta’dil

            Tidak semua perawi berada  meski memiliki tingkat yang sama dalam hal hafalan, ilmu, dan kedhabitan. Ada yang hafidz labi mutqin yang tidak diragukan lagi kehandalannya.Ada yang lebih rendah kedhabitan dan hafalannya.Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski memiliki sifat adil dan jujur.
   
      1.  Tingkat-tingkat at-Ta’dil
a.       Kata-kata yang menunjukkan “mubalaghah” (identitas maksimal) dalam hal ta’dil dengan bentuk “Af al Atfdhil” dan sejenisnya. Misalnya kata-kata:
Yang paling tsiqat : اوثق الناس
Yang paling dhabit:اضبط الناس
Tiada banding:ليس له نظير  dan lain-lain.
b.      Misalnya pernyataan:
Fulan tidak dipertanyakan:فلان لا يسا ل عنه
Orang semisal fulan tidak perlu dipertanyakan:فلان لا يسا ل عن مثله dan lain-lain.
c.       Kata-kata yang mengukuhkan kualitas tsiqat dengan salah satu sifat diantara sekian sifat adil dan tsiqat, baik dengan kata yang sama maupun yang searti. Missal:
ثقة حا فظ , ثفة ما مون , ثقة ثقة
d.      Kata-kata yang menunjukkan sifat adil dengan kata yang menyiratkan kedhabitan. Misalnya:
ثبت
 متقن,dan عدل امام حجه,  dan عدل ضا بط
e.       Kata-kata yang menunjukkan sifat adil, tetapi menggunakan kata yang tidak menyiratkan kedhabitan. Misalnya:
صدوق, dan  مأمون, dan لا بأ س به
Disamakan dengan tingkat ini adalah kata-kata yang menunjukkan kejujuran perawi  dan ketidak dhabitannya. Misalnya:
محله ا لصدق, dan   صا لح ا لحديث
Sebagian ulama menyamakan kedua kata itu dengan tingkat keenam.
f.       Kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tarjih, seperti penyertaan kata-kata diatas dengan kalimat masyi’ah. Misalnya:

 
          2.  Tingkat-tingkat Tarjih
a.       Dengan kata-kata yang menunjukkan mubalaghah dalam hal jarh. Misalnya:
اكذب الناس, dan  ركن الكذب,
b.      Jarh dengan kedustaan atau kepalsuan. Misalnya:
كذاب, dan  وضاع
Yang merupakan kata-kata yang menunjukkan mubalaghah tapi masih dibawah tingkat pertama.
c.       Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pendusta, pemalsu, atau sejenis. Misalnya:
متهم بالكذب, متهم بالو    ataupun   , يسرق الحديث
Disamakan dengan tingkat ini adalah kata-kata yang menunjukkan ditinggalkan haditsnya. Misalnya:
متروك, هالك,  ataupun   ليس بثفة
d.      Dengan kata-kata yang menunjukka kedha’ifan yang sangat. Misalnya:
ردحديثه, ضعيف جدا, ليس بشئ, طرح حديثه, لا يكتب حديثه
e.       Kata-kata yang menunjukkan penilaian dha’if atas perawi atau kerancuan hafalannya. Misalnya:
(ulama menilainya dha’if)مضطرب الحديث, لا يحتج به, ضعفوه,
(ia memiliki hadits-hadits munkar atau yang sejenis) ضعيف, له منا كير
f.       Menyifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kedha’ifannya, akan tetapi dekatdengan ta’dil. Misalnya:
فيه ضعف فيه مقال ليس بحجة ليس بذلك القوي غيره اوثق منه
Terkait dengan susunan lafaz yang digunakan untuk melakukan ta’dil Ibnu Hajar menyusun kedalam 6 tingkatan:
1. Berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdil.
Contoh:
a.       Orang yang paling tsiqah:اوثق الناس
b.      Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya:اثبت الناس حفظاوعدالة
c.       Orang yang terbaik keteguhan hati dan lidahnya:    اليه المنتهى فى الثبت
d.      Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah:ثقة فوق الثقة
2. Berbentuk pengulangan lafaz yang sama atau dalam maknanya saja.
Contoh:
a.       Orang yang teguh lagi teguh:ثبت ثبت
b.      Orang yang tsiqah lagi tsiqah:  ثقة ثقة
c.       Orang yang ahli lagi petah lidahnya:حجة حجة
d.      Orang yang teguh lagi tsiqah:ثبت ثقة
e.       Orang yang hafiz lagi petah lidahnya:حا فظ حجة
f.       Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya:ضا بط متفق
3. Menggunakan lafaz yang mengandung arti kuat ingatan.
Contoh:
a.       Orang yang teguh hati dan lidahnya:ثبت
b.      Orang yang meyakinkan ilmunya:متفق
c.       Orang yang tsiqah:ثقة
d.      Orang yang kuat hafalannya:حا فظا
e.       Orang yang petah lidahnya:حجة
4. Menggunakan lafaz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil.
Contoh:
a.       Orang yang sangat jujur:صدق
b.      Orang yang jujur:مأ منة
c.       Orang yang tidak cacat:لا بأس به
5. Menggunakan lafaz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitan.
Contoh:
a.       Orang yang berstatus jujur:محلة الصدق
b.      Orang yang baik haditsnya:حيد الحديث
c.       Orang yang bagus haditsnya:حسن الحديث
d.      Orang yang haditsnya berdekatan:مقارب الحديث
6. Menggunakan lafaz yang menunjukkan arti mendekati cacat.
Seperti lafaz-lafaz yang diikuti dengan lafaz “insya Allah” atau ditasqitkan atau lafaz tersebut dikaitkan dengan harapan.
Contoh:
a.       Orang yang jujur jika Allah menghendaki:صدوق انشاءالله
b.      Orang yang diharapkan tsiqah:فلان ارجوبأن لا بأس به
c.       Orang yang saleh:فلان صا لح
d.      Orang yang diterima haditsnya:فلان مقبول حديثه

                     Untuk mentarjih hadits juga ada 6 tingkatan:
1.      Menggunakan lafaz-lafaz af’alut tafdil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa dengannya menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
a.       Orang yang paling dusta:اوضع الناس
b.      Orang yang menunjukkan amat cacatnyaohong:اكذب الناس
c.       Orang yang paling banyak kebohongannya:اليه المتهى فى الوضع
2.      Menggunakan lafaz-lafaz siqhat mubalaghah menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
a.       Orang yang pembohong:كذاب
b.      Orang yang pendusta:وضاع
c.       Orang yang penipu:دجال
3.      Menunjukkan tuduhan dusta, bohong, atau yang lainnya.
Contoh:
a.       Orang yang dituduh bohong:فلان متهم بالكذب
b.      Orang yang dituduh dusta:او متهم بالكذب
c.       Orang yang perlu diteliti:فلان فيه النظر
d.      Orang yang gugur:فلان سا قطا
e.       Orang yang haditsnya telah hilang:فلان ذاهب الحديث
f.       Orang yang ditolak sanadnya:فلان متروك الحديث
4.      Menunjukkan amat lemahnya rawi.
Contoh:
a.       Orang yang dilempar haditsnya:مطرح الحديث
b.      Orang yang lemah:فلان ضعيف
c.       Orang yang ditolak haditsnya:فلان مردود الحديث
5.      Menunjukkan kacaunya hafalan rawi.
Contoh:
a.       Orang yang tidak dapat dibuat hujjah haaditsnya:فلان لا يحتج فيه
b.      Orang yang tidak dikenal identitasnya:فلان مجهول
c.       Orang yang munkar haditsnya:فلان مضطرب الحديث
d.      Orang yang kacau haditsnya:فلان مضطرب الحديث
e.       Orang yang banyak menduga-duga:فلان وات
6.      Menggunakan lafaz-lafaz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahannya.
Contoh:
a.       Orang yang didha’ifkan haditsnya:ضعف حديثه
b.      Orang yang diperbincangkan:فلان مقال فيه
c.       Orang yang disingkiri:فلان فيه خلف
d.      Orang yang lunak:فلان لبن
e.       Orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya:فلان ليس الحجة
f.       Orang yang tidak kuat:فلان ليس بالقوي












BAB III
PENUTUP

  

         A.  Kesimpulan
Dalam ilmu jarh wa ta’dil, untuk mengetahui keadilan perawi tersebut dapat diketahui dengan cara: Pertama, terkenal sebagai orang yang adil di kalangan ilmuwan, seperti Anasbin Malik, Sofyan al-Tsaury, Syu’bah bin al-Hajaj, al-Syafi’i, dansebagainya. Kedua, pujian dari orang yang adil, yakni ditetapkansebagai adil oleh orang yang adil, yakni perawi yang di-ta’dil-kanbelum dikenal sebagai perawi yang adil.
Penetapan tentangkecacatan perawi juga dapat ditempuh melalui, pertama, berdasarkan berita tentang ketenarannya sebagai orang yang cacat.Perawi yang dikenal sebagai fasik atau pendusta di kalangan masyarakat tidak perlu dipersoalkan lagi.Cukuplah ketenarannya itu dijadikan alasan untuk menetapkannya cacat.Kedua, berdasarkan tajrih dari orang yang adil yang telah mengetahui kenapa dia dinilai cacat.
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta,dil maka mayoritas ulama lebeih mendahulukan seorang perawi kena jarh daripada ta’dil. Dan istilah-istilah yang digunakan dalam jarh dan ta’dil juga sangat beragam.Mulai yang paling tinggi sampai ke tingkatan yang paling rendah baik itu istilah jarh maupun istilah ta’dil.

       B. Kritik dan Saran
           Kami menyadari dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan, hal ini karena kurangnya sumber bacaan dan keterbatasan pemakalah. Oleh karena itu kami sebagai pemakalah berharap akan kritik dan saran yang membangun dan berguna untuk makalah yang mendatang.












DAFTAR PUSTAKA

Al-Khathib, Muhammad Ajaj. 1998. Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2005. Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Shaleh, Muhammad Abd. 1399. Lamhat Fi Ushul al-Hadits. Beirut: Al-Maktabah al-Islamy.
Ar-Razi, Ibnu Abi Hatim.Kitab al-Jarh Wa Ta’dil. Beirut: Daral Fikri.
Solahuddin, Muhammad Agus. dkk. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018