KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, yang selalu membimbing hamba-Nya
dengan penuh kasih sayang dan cinta, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ulumul hadits tentang Ilmu Jarh Wa Ta’dil. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada rasulullah SAW, manusia mulia, penuntun umat, pembawa
risalah, serta kelurganya, sahabat, dan siapa saja yang mengikuti sunnahnya
dalam mengarungi bahtera alam yang fana ini. Makalah ini menjelaskan tentang
cara mengetahui ‘adalah dan jarhnya para periwayat, pertentangan antara jarh wa
ta’dil, dan istilah-istilah yang terkait dengan jarh wa ta’dil.
Jika
dalam penulisan maklah ini terdapat kesalahan dan kekurangan, maka penulis
mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Padang, Mei 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis sebagai
pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal-ihwal nabi Muhammad SAW merupakan sumber
ajaran Islam yang kedua setelah Alquran.Hadis sampai kepada kita melalui jalan
perawi.Dengan begitu para perawi merupakan pusat utama dalam rangka mengetahui
kesahihan hadis.Para ulama memperhatikan para periwayat hadis dalam upaya
membedakan antara hadis yang dapat diterima dan hadis yang ditolak, yakni
dengan memperhatikan keshalehan, kekuatan ingatan, kecermatan dan akhlak setiap
periwayat hadis.Pengalaman para ulama dalam mengkaji keadaan periwayat hadis
ini berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah yang pada akhirnya menjadi sebuah
ilmu, disebut ‘Ilmu al-Jarh wa at-Ta`dil.
Hal utama yang
ditelaah dalam kajian ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil adalah meneliti sanad hadis
untuk mengetahui sifat dan prilaku perawi hadis yang berimplikasi kepada
diterima atau ditolaknya hadis tersebut dan dapat dipahami bahwa ‘ilmu al-jarh
wa at-ta`dil merupakan suatu kajian ilmu hadis yang sangat penting dipelajari
dan ditelaah. Beranjak dari itulah dalam makalah ini penulis akan menguraikan
sekilas tentang ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil dengan menjelaskan pengertian
al-jarh wa at-ta`dil. Normatifitas al-jarh wa at-ta`dil, lafal-lafal al-jarh wa
at-ta`dil, kaidah yang berlaku dalam al-jarh wa at-ta`dil, syarat syarat
al-jarh wa at-ta`dil, tingkatan al-jarh wa at-ta`dil serta menjelaskan tokoh
serta karya yang membahas ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil.
B. Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui dan menjelaskan kepada pembacatentang cara
mengetahui ‘adalah dan jarhnya para periwayat, pertentangan antara jarh wa
ta’dil, dan istilah-istilah yang terkait dengan jarh wa ta’dil.
2) Untuk melengkapi tugas mata kuliah Ulumul Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Cara Mengetahui ‘Adalah dan Jarahnya Para Periwayat
Sebagaimana telah dijelaskan, ta’dil (menganggap adil seorang
perawi) adalah memuji perawi dengan sifat-sifat yang dapat membuatnya dinilai
adil, yakni sifat yang dijadikan dasar-dasar penerimaan riwayat.Keadilan perawi tersebut dapat
diketahui dengan cara: Pertama,terkenal sebagai orang yang adil di
kalangan ilmuwan, seperti Anasbin Malik, Sofyan
al-Tsaury, Syu’bah bin al-Hajaj, al-Syafi’i, dansebagainya. Kedua,
pujian dari orang yang adil, yakni ditetapkansebagai adil oleh orang yang adil,
yakni yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai perawi yang adil.
Penetapan tentangkecacatan pada perawi juga dapat
ditempuh melalui,pertama, berdasarkan berita tentang ketenarannya
sebagai orang yangcacat.Perawi yang dikenal sebagai perawi fasik atau pendusta
di kalanganmasyarakat
tidak perlu dipersoalkan lagi.Cukuplah ketenarannya itudijadikan alasan untuk
menetapkannya cacat.Kedua, berdasarkantajrih
dari orang yang adil yang telah mengetahui kenapa dia dinilaicacat.Ini menurut
pendapat yang dipegang muhaddisin.
Sedangkanmenurut fuqaha, sekurangnya harus ditajrih oleh orang
yang adil.Ta’dil dan tajrih seperti dijelaskan di atas tidak dapat
diterimakecuali dari orang-orang yang memenuhi persyaratan.Syaratyang dimaksud
adalah mu’addil dan jarih mesti berilmu pengetahuan, takwa,wara’ (selalu
menjauhi perbuatan maksiat, subhat, dan dosa kecil sertahal makruh), jujur,
menjauhi fanatisme golongan, serta mengetahuisebab ta’dil dan
tajrih.Selanjutnya tentang jumlah orang yang dipandang cukup untukmelakukan
ta’dil dan tajrih terhadap perawi juga terdapat perselisihanpendapat, antara
lain:
1)
Minimal dua orang, baik dalam hal syahadah
maupun riwayah.Demikian menurut pendapat kebanyakan fuqaha Madinah danlainnya.
2)
Cukup seorang dalam hal riwayah,
bukan syahadah, karenabilangan tidak menjadi syarat dalam penerimaan Hadis,
tidak puladisyaratkan
dalam ta’dil dan tajrih perawi.
3)
Cukup seorang saja, baik dalam hal riwayah
maupun syahadah.Sementara bila keadilannya diperoleh atas dasar pujian orang
banyakatau dimasyhurkan oleh ulama, tidak memerlukan
orang yangmelakukan ta’dil (muzakki, mu’addil) seperti Malik, al-Syafi’i,
Ahmadbin Hambal, al-Laits, Ibn Mubarak, Syu’bah, Ishak, dan lain-lain.
B. Pertentangan antara Jarh
Wa Ta’dil
Kadang-kadang pernyataan ‘ulama tentang
tarjih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian
mentarjihnya, dan sebagian lain menta’dilkannya.Bila demikian maka perlu untuk
meneliti lebih lanjut tentang yang sebenarnya.Ternyata, kadang-kadang sebagian
pentarjih berdasaran informasi jarh yang dahulu pernah didengarnya mengenai
perawi yang bersangkutan. Kemudian perawi itu bertaubat dan diketahui oleh sebagian
yang lain yang kemudian menta’dilkannya. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada
pertentangan antara keduanya.
Kadang kala ia juga dikenal tidak baik
hafalannya dari seorang guru yang ia tidak menulis dari guru tersebut karena ia
bertumpu pada hafalannya sewaktu masih bisa diandalkan hafalannya, tetapi
dikenal hafiz oleh guru lain karena ia bertumpu pada kitab-kitabnya, misalnya.
Sehingga dalam kondisi seperti ini juga tidak ada pertentangan.Bila kemungkinan
itu bisa diketahui, maka seseorang bisa mengambil sikap yang tegas.Namun bila
tidak diketahui, maka jelas terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil. Dalam
hal ini ada tiga pendapat dikalangan ulama:
Pertama, mendahulukan jarh daripada
ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak dari pada yang mentarjih. Karena yang
mentarjih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil. Inilah yang
dipegang oleh mayoritas ulama.
Kedua, ta’dil didahulukan daripada
jarh, bila yang menta’dil lebih banyak.Karena banyaknya yang menta’dil bisa
mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang bersangkutan. Pendapat ini tidak bisa
diterima, sebab yang menta’dil meski lebih banyak jumlahnya tidak
memberitahukan apa yang bisa menyanggah pernyataan yang mentarjih.
Ketiga, bila jarh dan ta’dil
bertentangan, maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya
perkara yang mengukuhkan salah satunya.Yakni keadaan dihentikan sementara,
sampai diketahui mana yang lebih kuat dintara keduanya.
Pendapat yang pertamalah yang dipegangi oleh
ahli-ahli hadits, baik mutaqaddimin ataupun muta’akhirin.
C. Tingkatan dan Istilah-Istilah yang Terkait dengan Jarh Wa Ta’dil
Tidak semua perawi berada meski memiliki tingkat yang sama dalam hal
hafalan, ilmu, dan kedhabitan. Ada yang hafidz labi mutqin yang tidak diragukan
lagi kehandalannya.Ada yang lebih rendah kedhabitan dan hafalannya.Ada juga
yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski memiliki
sifat adil dan jujur.
1. Tingkat-tingkat
at-Ta’dil
a.
Kata-kata
yang menunjukkan “mubalaghah” (identitas maksimal) dalam hal ta’dil dengan
bentuk “Af al Atfdhil” dan sejenisnya. Misalnya kata-kata:
Yang paling tsiqat : اوثق الناس
Yang
paling dhabit:اضبط
الناس
Tiada
banding:ليس له نظير dan
lain-lain.
b.
Misalnya
pernyataan:
Fulan
tidak dipertanyakan:فلان
لا يسا ل عنه
Orang
semisal fulan tidak perlu dipertanyakan:فلان لا يسا ل عن مثله dan lain-lain.
c.
Kata-kata
yang mengukuhkan kualitas tsiqat dengan salah satu sifat diantara sekian sifat
adil dan tsiqat, baik dengan kata yang sama maupun yang searti. Missal:
ثقة حا فظ , ثفة ما مون , ثقة ثقة
d.
Kata-kata
yang menunjukkan sifat adil dengan kata yang menyiratkan kedhabitan. Misalnya:
ثبت
متقن,dan عدل
امام حجه, dan عدل ضا بط
e.
Kata-kata
yang menunjukkan sifat adil, tetapi menggunakan kata yang tidak menyiratkan
kedhabitan. Misalnya:
صدوق, dan مأمون, dan لا
بأ س به
Disamakan
dengan tingkat ini adalah kata-kata yang menunjukkan kejujuran perawi dan ketidak dhabitannya. Misalnya:
محله ا لصدق, dan صا لح ا لحديث
Sebagian
ulama menyamakan kedua kata itu dengan tingkat keenam.
f.
Kata-kata
yang sedikit menyiratkan makna tarjih, seperti penyertaan kata-kata diatas dengan
kalimat masyi’ah. Misalnya:
2. Tingkat-tingkat
Tarjih
a.
Dengan
kata-kata yang menunjukkan mubalaghah dalam hal jarh. Misalnya:
اكذب الناس, dan ركن
الكذب,
b.
Jarh
dengan kedustaan atau kepalsuan. Misalnya:
كذاب, dan وضاع
Yang
merupakan kata-kata yang menunjukkan mubalaghah tapi masih dibawah tingkat
pertama.
c.
Kata-kata
yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pendusta, pemalsu, atau sejenis.
Misalnya:
متهم بالكذب, متهم بالو ataupun
, يسرق الحديث
Disamakan
dengan tingkat ini adalah kata-kata yang menunjukkan ditinggalkan haditsnya.
Misalnya:
متروك, هالك, ataupun ليس
بثفة
d.
Dengan
kata-kata yang menunjukka kedha’ifan yang sangat. Misalnya:
ردحديثه, ضعيف جدا, ليس بشئ, طرح حديثه, لا يكتب حديثه
e.
Kata-kata
yang menunjukkan penilaian dha’if atas perawi atau kerancuan hafalannya.
Misalnya:
(ulama
menilainya dha’if)مضطرب
الحديث, لا يحتج به, ضعفوه,
(ia
memiliki hadits-hadits munkar atau yang sejenis) ضعيف, له منا كير
f.
Menyifati
perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kedha’ifannya, akan tetapi
dekatdengan ta’dil. Misalnya:
فيه ضعف فيه مقال ليس بحجة ليس بذلك القوي غيره اوثق منه
Terkait
dengan susunan lafaz yang digunakan untuk melakukan ta’dil Ibnu Hajar menyusun
kedalam 6 tingkatan:
1. Berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan lain yang setara maknanya
dengan af’alut tafdil.
Contoh:
a.
Orang
yang paling tsiqah:اوثق
الناس
b.
Orang
yang paling mantap hafalan dan keadilannya:اثبت الناس حفظاوعدالة
c.
Orang
yang terbaik keteguhan hati dan lidahnya: اليه المنتهى فى الثبت
d.
Orang
yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah:ثقة فوق الثقة
2. Berbentuk pengulangan lafaz yang sama atau dalam maknanya saja.
Contoh:
a.
Orang
yang teguh lagi teguh:ثبت
ثبت
b.
Orang
yang tsiqah lagi tsiqah: ثقة ثقة
c.
Orang
yang ahli lagi petah lidahnya:حجة
حجة
d.
Orang
yang teguh lagi tsiqah:ثبت
ثقة
e.
Orang
yang hafiz lagi petah lidahnya:حا فظ حجة
f.
Orang
yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya:ضا بط متفق
3. Menggunakan lafaz yang mengandung arti kuat ingatan.
Contoh:
a.
Orang
yang teguh hati dan lidahnya:ثبت
b.
Orang
yang meyakinkan ilmunya:متفق
c.
Orang
yang tsiqah:ثقة
d.
Orang
yang kuat hafalannya:حا
فظا
e.
Orang
yang petah lidahnya:حجة
4. Menggunakan lafaz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan
adil.
Contoh:
a.
Orang
yang sangat jujur:صدق
b.
Orang
yang jujur:مأ منة
c.
Orang
yang tidak cacat:لا
بأس به
5. Menggunakan lafaz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada
kedhabitan.
Contoh:
a.
Orang
yang berstatus jujur:محلة
الصدق
b.
Orang
yang baik haditsnya:حيد
الحديث
c.
Orang
yang bagus haditsnya:حسن
الحديث
d.
Orang
yang haditsnya berdekatan:مقارب
الحديث
6. Menggunakan lafaz yang menunjukkan arti mendekati cacat.
Seperti
lafaz-lafaz yang diikuti dengan lafaz “insya Allah” atau ditasqitkan atau lafaz
tersebut dikaitkan dengan harapan.
Contoh:
a.
Orang
yang jujur jika Allah menghendaki:صدوق انشاءالله
b.
Orang
yang diharapkan tsiqah:فلان
ارجوبأن لا بأس به
c.
Orang
yang saleh:فلان صا لح
d.
Orang
yang diterima haditsnya:فلان
مقبول حديثه
Untuk
mentarjih hadits juga ada 6 tingkatan:
1.
Menggunakan
lafaz-lafaz af’alut tafdil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa dengannya
menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
a.
Orang
yang paling dusta:اوضع
الناس
b.
Orang
yang menunjukkan amat cacatnyaohong:اكذب الناس
c.
Orang
yang paling banyak kebohongannya:اليه المتهى فى الوضع
2.
Menggunakan
lafaz-lafaz siqhat mubalaghah menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
a.
Orang
yang pembohong:كذاب
b.
Orang
yang pendusta:وضاع
c.
Orang
yang penipu:دجال
3.
Menunjukkan
tuduhan dusta, bohong, atau yang lainnya.
Contoh:
a.
Orang
yang dituduh bohong:فلان
متهم بالكذب
b.
Orang
yang dituduh dusta:او
متهم بالكذب
c.
Orang
yang perlu diteliti:فلان
فيه النظر
d.
Orang
yang gugur:فلان سا قطا
e.
Orang
yang haditsnya telah hilang:فلان
ذاهب الحديث
f.
Orang
yang ditolak sanadnya:فلان
متروك الحديث
4.
Menunjukkan
amat lemahnya rawi.
Contoh:
a.
Orang
yang dilempar haditsnya:مطرح
الحديث
b.
Orang
yang lemah:فلان ضعيف
c.
Orang
yang ditolak haditsnya:فلان
مردود الحديث
5.
Menunjukkan
kacaunya hafalan rawi.
Contoh:
a.
Orang
yang tidak dapat dibuat hujjah haaditsnya:فلان لا يحتج فيه
b.
Orang
yang tidak dikenal identitasnya:فلان مجهول
c.
Orang
yang munkar haditsnya:فلان
مضطرب الحديث
d.
Orang
yang kacau haditsnya:فلان
مضطرب الحديث
e.
Orang
yang banyak menduga-duga:فلان
وات
6.
Menggunakan
lafaz-lafaz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahannya.
Contoh:
a.
Orang
yang didha’ifkan haditsnya:ضعف
حديثه
b.
Orang
yang diperbincangkan:فلان
مقال فيه
c.
Orang
yang disingkiri:فلان
فيه خلف
d.
Orang
yang lunak:فلان لبن
e.
Orang
yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya:فلان ليس الحجة
f.
Orang
yang tidak kuat:فلان
ليس بالقوي
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ilmu jarh
wa ta’dil, untuk mengetahui keadilan perawi tersebut dapat diketahui dengan cara: Pertama,
terkenal sebagai orang yang adil di kalangan ilmuwan, seperti Anasbin Malik, Sofyan al-Tsaury, Syu’bah bin al-Hajaj,
al-Syafi’i, dansebagainya. Kedua, pujian dari orang yang adil, yakni
ditetapkansebagai adil oleh orang yang adil, yakni perawi yang di-ta’dil-kanbelum
dikenal sebagai perawi yang adil.
Penetapan tentangkecacatan perawi juga dapat ditempuh
melalui, pertama, berdasarkan berita tentang ketenarannya sebagai orang
yang cacat.Perawi yang dikenal sebagai fasik atau pendusta di kalangan masyarakat tidak perlu dipersoalkan
lagi.Cukuplah ketenarannya itu dijadikan alasan untuk menetapkannya cacat.Kedua,
berdasarkan tajrih dari orang yang adil yang telah
mengetahui kenapa dia dinilai cacat.
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta,dil maka
mayoritas ulama lebeih mendahulukan seorang perawi kena jarh daripada ta’dil.
Dan istilah-istilah yang digunakan dalam jarh dan ta’dil juga sangat
beragam.Mulai yang paling tinggi sampai ke tingkatan yang paling rendah baik
itu istilah jarh maupun istilah ta’dil.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari dalam makalah ini masih terdapat
kekurangan dan kekhilafan, hal ini karena kurangnya sumber bacaan dan
keterbatasan pemakalah. Oleh karena itu kami sebagai pemakalah berharap akan
kritik dan saran yang membangun dan berguna untuk makalah yang mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khathib,
Muhammad Ajaj. 1998. Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Qaththan,
Syaikh Manna’. 2005. Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Shaleh,
Muhammad Abd. 1399. Lamhat Fi Ushul al-Hadits. Beirut: Al-Maktabah
al-Islamy.
Ar-Razi,
Ibnu Abi Hatim.Kitab al-Jarh Wa Ta’dil. Beirut: Daral Fikri.
Solahuddin,
Muhammad Agus. dkk. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
0 comments:
Post a Comment