Wednesday, October 17, 2018

MASA IDAH, ILA' DAN ZIHAR

0 comments
PENDAHULUAN
 
Konflik di dalam rumah tangga memang menimbulkan banyak permasalahan. Entah itu permasalahan di dalam keluarga, maupun yang berada di luar dari keluarga itu sendiri yakni gosip dari para tetangga. Selain itu permasalahan keluarga juga dapat berdampak pada keadaan anak-anak di dalam rumah tangga itu. Semua itu akibat dari konflik rumah tangga yang berujung pada putusnya tali pernikahan.
Maka dari itu, kita harus mengetahui bentuk-bentuk penyebab putusnya pernikahan. Sehingga dengan begitu kita akan tahu bentuk-bentuk putusnya tali pernikahan itu hingga berefek di dalam diri untuk menghindari hal-hal itu, demi langgengnya kehidupan berumah tangga. Yang di antaranya adalah Ila’, Dzhihar, dan iddah.




PEMBAHASAN
 

A. Masa Iddah

1. Surat Al-Baqarah Ayat 228



وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : wanita-wanita yang di thalak hendaklah menunggu tiga kali quru’mereka tidak boleh menyembuyikan apa yang telah diciptakan oleh Allah SWT dalam rahimnya, jika ia beriman dengan Allah dan hari akhir, dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu dan jika para suami menghendaki ishlah, dan perempuan mempunyai hak dan seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf, dan suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Allah maha perkasa lagi maha bijaksana
.
Para mufassir dalam menafsirkan kata quru’ pada ayat tersebut berbeda pendapat, ada yang berpendapat quru’ adalah tiga kali masa suci, ada juga yang berpendapat quru’ adalah tiga kali masa haid dengan alasan untuk mengetahui bersihnya rahim dari kandungan.Dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan tentang iddah tersebut dalam surat Al-Baqarah, surat At-Talaq dan surat Al-Ahzab. Tetapi ayat yang paling banyak membahas tentang iddah ada dalam surat Al-Baqarah yang berkaitan dengan iddah talaq dan iddah kematian.[1]
 
Islam tidak berbuat dzalim kepada seorang istri, karena dengan iddah (masa tunggu) selama tiga bulan untuk mengetahui apakah ada janin yang ada di rahimnya, selama seorang istri masih terikat keadaannya dan iddah istri yang ditinggal mati suaminya agar ikut berkabung atau berduka cita atas kematian suaminya.Hikmah tentang disyariatkannya iddah ini diwajibkan kepada istri yangditalaq (perceraian dan kematian) untuk meyakinkan bersihnya kandungan istri, karena tujuan pokok iddah adalah kebersihan rahim.[2]
 
Dan diharapkan hubungan perkawinan mereka dapat diteruskan kembali. Pada masa iddah istri tetap berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal serta jaminan keamanan dari pihak suaminya.Iddah dan talaq sangat berkaitan, karena akibat dari talaq istri harus melaksanakan iddah, Dalam Al-Qur’an sudah diterangkan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan talaq dan iddah seperti surat Al-Baqarah, At-Thalaq dan Al-Ahzab tetapi dalam surat Al-Baqarah ayat yang membahas iddah lebih jelas.Masalah iddah istri yang ditinggal mati suami, istri harus melaksanakan iddah selama empat bulan sepuluh hari, karena ikut berkabung dan berduka cita atas kematian suaminya.[3]
 
Sedangkan yang dimaksud dengan wanita-wanita yang ditalak adalah wanita yang pernah bercampur dengan suaminya kemudian ditalak, dan ketika itu dia dalam keadan tidak hamil, ini dipahami demikian karena dalam ayat lain dijelaskan bahwa masa tunggu wanita yang sedang hamil adalah sampai lahir anaknya. (Qs.ath-thala’ ayat 4), wanita yang bercerai akibat kematian suaminya masatunggunya selma empat bulan sepuluh hari. (Qs.al-baqharah ayat 234), dan wanita yang di kawini tampa bercampur tidak diwajibkan atas masa tungunya (Qs.al-ahzab ayat 43).
 
Masa tunggu diperlukan untuk membuktikan kosongnya janin dari rahim. Namun demikian, untuk kasus yang dibicarakan dalamayat ini, disamping tujuan tersebut juga memberikan waktu kepada sang suami untuk mempertimbanggan keputusannya, bercerai atau rujuk, sekaligus untuk merenung dan mengintropeksi diri oleh kedua belah pihak. 
Tiga kuru’ ulama hanafi memahami tiga kuru’ itu adalah tiga kali haid, jika demikian itu yang dicerai oleh suaminya sedangkan ia telah pernah bercampur dengannya dan dalam saat yang sama dia belum emasuki masa monopos, maka setelah cerai tidak boleh kawin dangan pria lain kecuali setelah mengalami tiga kali haid. Dalam hal ini imam syafi’i dan maliki berbeda memahami tiga kali kuru’ mereka mereka memahaminya dengan tiga kali suci. Suci yang dimaksut disini adalah masa antara dua kali haid. [4]
 
2. Surat Al-baqarah ayat 234-235



وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Artinya: orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri hendaklah para isteri itu menangguhkan dirinya (der iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya maka tiada dosa bagimu(para wali) membiarkanmereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut allah mengetahui apa yang kamu perbuat(234). Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, karena itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia kecuali sekedar mengucapkan perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam untuk berakat nikah sebelum habis iddahnya dan ketahuilah bahwa sanya allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu maka takutlah kepada allah dan ketahuilah bahwa allah maha pengampun lagi maha penyantun.(235)
 
Surat Al-baqarah ayat 234 berbicara tentang perceraian yaitu perceraian akibat kematian . dengan demikian penempatannya setelah ayat-ayat yang lalu cukup beralasan, apa lagi pada ayat yang lalu menyinggung kewajiban waris dan hak anak apa bila ayah meninggal dunia. 
Albiqai berpendapat bahwa ayat 233 membicarakan tentang penyusuan anak, sengajak ditempatkan antara uraian percerai akibat talak dan perceraian akibat kematian, karena pernikahan yang dibicarakan pada awal kelompok ayat ini dapat membuat anak, ini mengundang pembicaraan tentang penyusuan. Selanjutnya uang menyusui bisa jadi ibu kandung si anak atau wanita lain, jika ibu kandung si anak masih berstatus istri, bisa jadi telah bercerai. [5]
 
Ini merupakan perintah Allah bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu hendaklah mereka menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari.Dan menurut ketetapan ijma’, ketentuan itu berlaku bagi isteri yang sudah dicampuri maupun yang belum dicampuri.
Yang menjadi sandaran berlakunya ketentuan ini bagi wanita yang belum dicampuri adalah pengertian umum dari ayat dan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan para penulis kitab as-Sunan, dan yang dishahihkan oleh Imam at-Tirmidzi, Bahwasanya Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, lalu ia meninggal sebelum sempat bercampur dengannya dan belum menyerahkan kepadanya mahar yang menjadi kewajibannya. Kemudian orang-orang berulang kali datang untuk mempertanyakan hal itu kepadanya.Maka Ibnu Masud berkata, “Aku akan jawab berdasarkan pendapatku sendiri, jika benar maka demikian berasal dari Allah, dan jika salah maka hal itu berasal dari diriku sendiri dan syaitan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya terlepas dari kesalahan tersebut.Yaitu, wanita itu berhak menerima mahar secara penuh”. 
 
Sedangkan dalam lafazh yang lain juga di-katakan, “Baginya mahar seperti yang diberikan kepada wanita semisalnya. Tidak boleh kurang atau lebih, serta berlaku pula baginya iddah dan menerima waris” . Kemudian Ma’qil bin Yasar al-Asyja’i berdiri seraya berujar: “Aku pernah mendengar Rasulullah memutuskan masalah Buru’ binti Wasyiq dengan ketentuan tersebut”. Mendengar hal itu, Abdullah bin Mas’ud pun gembira sekali. 
Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, maka orang-orang dari kabilah Asyja’ berdiri seraya berucap, “Kami bersaksi bahwa Rasulullah memutuskan demikian dalam kasus Buru’ bin Wasyiq.” Tidak dikecualikan dari ketentuan tersebut selain isteri yang ditinggal mati suaminya ketika ia sedang hamil. Maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Hal itu didasarkan pada keumuman firman Allah Ta’ala: “Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddahnya mereka itu adalah sampai mereka melahirkan.” (QS. Ath-Thalaq ayat 4). 
Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat, bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil harus menunggu dalam masa yang lebih panjang dari dua macam masa iddah yaitu, antara masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari. Hal itu didasarkan pada pemaduan antara kedua ayat diatas, Yang demikian itu merupakan pendapat yang baik dan kuat yang diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari Subai’ah al-Aslamiyah yang disebutkan dalam Kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) dari beberapa jalan: “Bahwa Subai’ah ditinggal mati suaminya yang bernama Sa’ad bin Khaulah sedang ia dalam keadaan hamil. Dan tidak lama setelah suaminya meninggal, ia pun melahirkan.[6]
 
Surat al-baqarah ayat 235 menguraikan tentang masa tunggu bagi wanita, yang disusul dengan larangan kawin maka pada ayat ini dijelaskan batas-batas yang dibenarkan dalam kontek perkawinan. Tidak ada dosa bagi kamu yang meminag wanita-wanita itu pada saat masa iddah mereka dengan syarat pinangan itu disampaikan dengan sindiran, yakni tidak tegas dan terang-terangan menyebut maksut menukahinya. 
Kalaulah tidak dosa meminang dengan sindiran pada masa iddah, maka itu berarti berdosa meminang wanita yang perceraiannya bersifat bain dengan terang-terangan dan dosa pula meminang wanita-wanita yang perceraiannya bersifaf raj’i. 
Ayat ini tidak secara mutlak melarang para pria mengucapkan segala sesuatu kepada wanita yang sedang menjalankan masa iddah tetapi kalau ingin mengucapkan kata-kata kepadanya ucapkanlah kata-kata yang makruf dan terhormat sesuai dengan ajaran agama. Memang masa tunggu wanita sangat panjang bagi yang ingi mengawininya sehingga izin melamarnya dengan sindiran dapat mengundang langkah terlarang untuk bercampur dengannya, atau paling tidak melakukan sekedar akat nikah walau belum bercampur. [7]
 

B. Ilak dan zihar

1. Pengertian ila’ dan zihar 
Ila’ adalah sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli, dan membiarkan istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak. Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk atau talak.Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra. Seperti hadis nabi yang berbunyi: 

عن عائشة ر.ض. قالت : آلى رسول الله صلعم. من نسائه وحرّم، فجعل الحرام حلالا،
وجعل لليمين كفّارة(رواه التّرمذىّ، ورواته ثقات)
 
Artinya : Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah Saw. Telah bersumpah Ila’ diantara istrinya dan mengharamkan berkumpul dengan mereka.Lalu beliau menghalalkan yang telah diharampkan dan membayar kafarat bagi yang bersumpah.” (HR. Tirmidzi dan para rawinya dapat dipercaya). [8]
 
2. Zihar
Zihar adalah ucapan suami kepada istrinya bahwa istrinya menyerupai ibunya.Contohnya : “Engkau tampak olehku seperti punggung ibuku.” Zihar pada zaman jahiliyah merupakan cara untuk menceraikan istrinya. Setelah Islam datang, Islam melarang perbuatan itu. Apabila zihar terlanjur dilakukan oleh suami, ia wajib membayar kafarat dan dilarang mencampuri istrinya sebelum kafarat terbayar. 
وعنه رضي الله عنه انّ رجلا ظاهر من امرأته، ثمّ وقع عليها فا تى النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم، فقال انّى وقعت عليها قبل ان اكفّر، قال "فلاتقربها حتّى تفعل ما امرك الله به" (رواه الاربعة، وصحّحه التّرمذيّ، ورجّع النّسا ئيّ ارساله)ورواه البزّار من وجه اخر عن ابن عبّاس رضي الله تعالى عنهما وزاد فيه "كفّر ولاتعد
 
Artinya : Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasannya seorang laki-laki telah bersumpah zhihar terhadap istrinya, kemudian ia mempergaulinya. Ia menghadap Nabi Saw. Dan berkata, “Sesungguhnya aku telah mempergauli istriku sebelum membayar kafart.”Beliau bersabda, “Janganlah kamu mendekati istrimu sebelum kamu melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah.” (HR. Imam empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi. Nasai merajihkan mursalnya hadis) Al-Bazzar meriwayatkan dari jalur lain dari Ibnu Abbas r.a. dan ia menambahkan, “Bayarlah Kafarat dan janganlah kamu ulangi.” [9]
 
3. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 226-227 
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
 
Artinya: Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya, diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 
 
Ini termasuk sumpah khusus terhadap istri tentang suatu perkara yang khusus yaitu sumpahnya seorang suami untuk meninggalkan jima’ dengan istrinya secara mutlak maupun terbatas dengan masa kurang dari empat bulan atau lebih. Barangsiapa yang mengila’ istrinya khususnya di bawah empat bulan maka hal ini adalah seperti sumpah-sumpah lainnya apabila dia melanggar, maka dia wajib membayar kafarat, dan bila ia mempertahankan sumpahnya, maka tidak ada apa-apa, istrinya tidaklah berhak apa-apa atasnya, karena ia menjadikan hal itu sebagai haknya selama empat bulan. Apabila untuk selamanya atau suatu masa yang melebihi empat bulan, dijadikan untuknya empat bulan lamanya dari sejak sumpahnya, apabila istrinya meminta hal itu karena merupakan haknya. 
Apabila telah genap masa sumpahnya, maka diperintahkan untuk kembali yaitu berjima’, dan bila ia berjima’ dengan istrinya, maka tidak ada hukuman atasnya kecuali membayar kafarat sumpahnya, dan bila ia tidak mau berjima’, ia harus dipaksa untuk mentalak istrinya. Bila ia tidak mau juga mentalak, maka hakim terpaksa menjatuhkan talak untuknya. Akan tetapi kembali dan ruju’ kepada istrinya lagi adalah lebih disukai oleh Allah Ta’ala. Karena itu Allah berfirman,فَإِنْ فَآءُ و “Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya)”, artinya, mereka kembali dari apa yang mereka sumpahkan untuk meninggalkannya yaitu berjima’, فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ “maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun” mengampuni mereka dari apa yang terjadi di antara mereka karena sumpah itu, sumpah yang disebabkan oleh kembalinya mereka, رَّحِيم “Lagi Maha Penyayang”, di mana Allah menjadikan (untuk menggugurkan) sumpah-sumpah kalian kafaratnya dan dendanya dan ia tidak menjadikannya harus dilakukan oleh mereka yang tidak dapat dirubah-rubah. Dan Dia Maha Penyayang terhadap mereka yang kembali kepada istri-istri mereka, mengasihi, dan menyayangi istri-istri mereka. 
Sedangkan ayat 227 وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ “Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak”, artinya, mereka tidak mau kembali (dan melakukan jima’) yang merupakan tanda kebencian mereka terhadap istri-istri mereka dan ketidak sukaan terhadap mereka. Ini tidaklah terjadi kecuali karena ketetapan hati yang kuat untuk talak.Apabila ini terjadi, maka ini adalah hak yang wajib dilaksanakan secara langsung dan bila tidak, hakimlah yang memaksanya untuk melakukan talak atau melakukannya untuknya. 
فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” . Ayat ini merupakan ancaman dan peringatan bagi orang yang bersumpah dengan sumpah seperti ini dan ia bermaksud itu menyusahkan dan memberatkan dengan sumpahnya.
Ayat ini dapat dijadikan dalil bahwa ila’ itu khusus untuk istri berdasarkan firmanNya “istrinya”, dan juga bahwa berjima’ itu wajib pada setiap empat bulan sekali, karena setelah empat bulan itu ia harus dipaksa baik untuk berjima’ atau melakukan talak, dan hal ini tidaklah seperti itu kecuali karena ia meninggalkan suatu yang wajib. [10]
 
4. Tafsiran Surat Al-Mujadilah Ayat 2-4 
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيم 
 
Artinya: Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul­Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. 
 
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِم Kata يُظَاهِرُون diambil dari kata ظهر yang berarti punggung. menurut Ibn Asyur seperti dikutip Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam ajaran agama Yahudi, terdapat larangan menyetubuhi istri dari belakang seperti menunggangi kendaraan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kecacatan pada anaknya apabila lahir nanti.Oleh sebab itu, zihar pun dianggap sebagai keharaman.ظهر inilah yang kemudian digunakan oleh orang-orang muslim Madinah yang –yang saat itu berinteraksi dengan orang-orang Yahudi- untuk menzihar istrinya. Orang-orang muslim Madinah menjadikan zihar dengan pengertian: menggauli istri mereka seperti menggauli ibu dan menggauli istri mereka dari belakang.[11]
 
Dalam ayat ini Rasulullah menegaskan bahwa Khaulah telah haram bagi Aus untuk digauli.Jika seorang suami telah mengatakan “Engkau bagiku adalah seperti tulang punggung ibuku”, maka berarti “Engkau telah haram untukku”.Hal ini mengacu bahwa seorang anak yang menikahi ibunya adalah haram.Perintah ini sejalan dengan surah Nisa ayat 23. 
وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ Setelah Allah menjelaskan larangan zihar dan menunjukkan bahwa hal tersebut adalah merupakan dosa, Allah memberi ampunan bagi hambanya yang bertaubat. Sebagaimana diterangkan diakhir ayat ini bahwa Allah maha pemberi ampunan. 
وَالَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُون Pada ayat ketiga ini Allah menjelaskan hukuman bagi suami yang menjatuhkan zihar kepada istrinya. Beberapa mufassir seperti Wahbah dan Hasbi as-Siddiqie mengutip beberapa pandangan ulama tentang pencabutan zihar yang telah dinyatakan seorang suami. Menurut Al-Syafi’i, cara mencabut zihar adalah dengan memeluk istri. Sementara menurut Mazhab Hanafi, suami yang kembali hidup normal dengan istri (seperti layaknya keluarga) adalah sebuah bentuk dari pencabutan zihar.Hasbi juga mengutip pendapat yang menyatakan bahwa mendekati istri sebelum memerdekakan budak adalah dibolehkan.Hal yang tidak boleh dilakukan adalah mempersetubuhi istri. [12]

 Sedangkan menurut Mazhab Maliki seperti dikutip al-Baghawi, tercabutnya zihar adalah pada saat suami-istri tersebut telah melakukan persetubuhan. 
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسّا Ayatkeempat menerangkan pengganti hukuman bagi orang yang tidak sanggup memerdekakan budak. Mereka yang tidak sanggup harus melaksanakan puasa selama dua bulan berturut-turut.Terdapat dua pandangan yang berbeda terkait pelaksanaan puasa. Pertama, apabila dalam masa puasa dua bulan, kemudian seorang yang mencabut zihar berhalangan sesuai dengan syariat agama, maka ia harus menggantinya dengan puasa berturut-turut kembali selama dua bulan. Hal ini berarti puasa yang telah dilakukan telah gugur.Sedangkan pendapat kedua membolehkan pembatalan puasa orang yang mencabut zihar dan menggantinya hari selanjutnya dengan alasan yang diterima oleh syariat. 
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا Selanjutnya, ayat ini juga menerangkan pengganti hukuman apabila seseorang yang mencabut zihar tidak sanggup melakukan puasa selama dua bulan dengan memberi makan 60 orang miskin. Adapun besaran makanan yang diberikan, menurut mazhab Syafi’i sebagaimana dikutip Wahbah adalah memberikan atau menghidangkan makan bagi setiap orang miskin sebesar 8 ons (2564 kg). Sedangkan menurut mazhab Hanafi setengah sha’ biji gandum atau satu sha’ biji kurma. 
ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ Ayat ini telah jelas menjelaskan hukum dan kewajiban yang harus dibayar oleh seorang suami yang menzihar istrinya. Ayat ini juga menegaskan agar seorang hamba lebih meyakini syariat Allah dan meningkatkan keimanan kepadaNya dan rasulNya.Segala hukum yang ditepatkan Allah hendaknya tidak dilanggar.[13]
 
PENUTUP
 
Ila’ adalah sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli, dan membiarkan istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak. Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk atau talak.Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra. Seperti hadis nabi yang berbunyi:
Zihar adalah ucapan suami kepada istrinya bahwa istrinya menyerupai ibunya.Contohnya : “Engkau tampak olehku seperti punggung ibuku.” Zihar pada zaman jahiliyah merupakan cara untuk menceraikan istrinya. Setelah Islam datang, Islam melarang perbuatan itu. Apabila zihar terlanjur dilakukan oleh suami, ia wajib membayar kafarat dan dilarang mencampuri istrinya sebelum kafarat terbayar. 

DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Al-Hafizh Al-AsqalaniIbnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram. Dar. Al-Hikmah.
al-MaraghiMustafa. 2006.Tafsîr al-Maraghî. Dar. Fikr. Beirut.
Haddri Choiruddin. 1993. klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press.
Jawad MughniyahMuhammad. 1997. Fiqih Lima Madzab.Jakarta : Lentera.
Katsir Ibn. 2008. Tafsir Al-Qur’an Al_Karim. Dar: Al-‘aqid.
Muhammad ibn Yusuf al-Syahid Abi Hayyan al-Andalusi. 1993. Tafsîr al-Bahru al-Muhîd. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiah.
ShihabQuraish. 2000. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.Jakarta : Lentera Hati.



[1] Choiruddin Haddri, klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), hl. 264
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol, I, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), hl. 445
[3] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, (Jakarta : Lentera, 1997), hl. 465
[4] Quraish Shihab, Op.Cit., hl. 486-488
[5] Ibid ., hl. 506
[6] Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al_Karim, (Dar: Al-‘aqid, 2008), jild. 1, hl. 438
[7] Ibid. 510-511
[8] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Mara m, (Dar. Al-Hikmah), hl. 238
[9] Ibid
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 14, h. 63
[12] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî, (Dar. Fikr, beirut), vol. 28, h. 6.
[13] Muhammad ibn Yusuf al-Syahid Abi Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahru al-Muhîd, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiah, 1993),, vol. 8, h. 233.

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018