PENDAHULUAN
Konflik di dalam rumah tangga memang menimbulkan banyak permasalahan. Entah
itu permasalahan di dalam keluarga, maupun yang berada di luar dari
keluarga itu sendiri yakni gosip dari para tetangga. Selain itu
permasalahan keluarga juga dapat berdampak pada keadaan anak-anak di dalam
rumah tangga itu. Semua itu akibat dari konflik rumah tangga yang berujung
pada putusnya tali pernikahan.
Maka dari itu, kita harus mengetahui bentuk-bentuk penyebab putusnya
pernikahan. Sehingga dengan begitu kita akan tahu bentuk-bentuk putusnya
tali pernikahan itu hingga berefek di dalam diri untuk menghindari hal-hal
itu, demi langgengnya kehidupan berumah tangga. Yang di antaranya adalah
Ila’, Dzhihar, dan iddah.
PEMBAHASAN
A. Masa Iddah
1. Surat Al-Baqarah Ayat 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا
يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ
كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ
الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya
: wanita-wanita yang di thalak hendaklah menunggu tiga kali quru’mereka
tidak boleh menyembuyikan apa yang telah diciptakan oleh Allah SWT
dalam rahimnya, jika ia beriman dengan Allah dan hari akhir, dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu dan jika para
suami menghendaki ishlah, dan perempuan mempunyai hak dan seimbang
dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf, dan suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Allah maha perkasa lagi maha
bijaksana
.
Para mufassir dalam menafsirkan kata quru’ pada ayat tersebut berbeda
pendapat, ada yang berpendapat quru’ adalah tiga kali masa suci, ada juga
yang berpendapat quru’ adalah tiga kali masa haid dengan alasan untuk
mengetahui bersihnya rahim dari kandungan.Dalam Al-Qur’an, ayat yang
menerangkan tentang iddah tersebut dalam surat Al-Baqarah, surat At-Talaq
dan surat Al-Ahzab. Tetapi ayat yang paling banyak membahas tentang iddah
ada dalam surat Al-Baqarah yang berkaitan dengan iddah talaq dan iddah
kematian.[1]
Islam tidak berbuat dzalim kepada seorang istri, karena dengan iddah (masa
tunggu) selama tiga bulan untuk mengetahui apakah ada janin yang ada di
rahimnya, selama seorang istri masih terikat keadaannya dan iddah istri
yang ditinggal mati suaminya agar ikut berkabung atau berduka cita atas
kematian suaminya.Hikmah tentang disyariatkannya iddah ini diwajibkan
kepada istri yangditalaq (perceraian dan kematian) untuk meyakinkan
bersihnya kandungan istri, karena tujuan pokok iddah adalah kebersihan
rahim.[2]
Dan diharapkan hubungan perkawinan mereka dapat diteruskan kembali. Pada
masa iddah istri tetap berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal serta
jaminan keamanan dari pihak suaminya.Iddah dan talaq sangat berkaitan,
karena akibat dari talaq istri harus melaksanakan iddah, Dalam Al-Qur’an
sudah diterangkan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan talaq dan iddah
seperti surat Al-Baqarah, At-Thalaq dan Al-Ahzab tetapi dalam surat
Al-Baqarah ayat yang membahas iddah lebih jelas.Masalah iddah istri yang
ditinggal mati suami, istri harus melaksanakan iddah selama empat bulan
sepuluh hari, karena ikut berkabung dan berduka cita atas kematian
suaminya.[3]
Sedangkan yang dimaksud dengan wanita-wanita yang ditalak adalah wanita
yang pernah bercampur dengan suaminya kemudian ditalak, dan ketika itu dia
dalam keadan tidak hamil, ini dipahami demikian karena dalam ayat lain
dijelaskan bahwa masa tunggu wanita yang sedang hamil adalah sampai lahir
anaknya. (Qs.ath-thala’ ayat 4), wanita yang bercerai akibat kematian
suaminya masatunggunya selma empat bulan sepuluh hari. (Qs.al-baqharah ayat
234), dan wanita yang di kawini tampa bercampur tidak diwajibkan atas masa
tungunya (Qs.al-ahzab ayat 43).
Masa tunggu diperlukan untuk membuktikan kosongnya janin dari rahim. Namun
demikian, untuk kasus yang dibicarakan dalamayat ini, disamping tujuan
tersebut juga memberikan waktu kepada sang suami untuk mempertimbanggan
keputusannya, bercerai atau rujuk, sekaligus untuk merenung dan
mengintropeksi diri oleh kedua belah pihak.
Tiga kuru’ ulama hanafi memahami tiga kuru’ itu adalah tiga kali haid, jika
demikian itu yang dicerai oleh suaminya sedangkan ia telah pernah bercampur
dengannya dan dalam saat yang sama dia belum emasuki masa monopos, maka
setelah cerai tidak boleh kawin dangan pria lain kecuali setelah mengalami
tiga kali haid. Dalam hal ini imam syafi’i dan maliki berbeda memahami tiga
kali kuru’ mereka mereka memahaminya dengan tiga kali suci. Suci yang
dimaksut disini adalah masa antara dua kali haid. [4]
2. Surat Al-baqarah ayat 234-235
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ
أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ
تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ
يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي
أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya:
orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri hendaklah para isteri itu menangguhkan dirinya (der
iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya
maka tiada dosa bagimu(para wali) membiarkanmereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut allah mengetahui apa yang kamu
perbuat(234). Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu menyembunyikan dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, karena itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia kecuali sekedar
mengucapkan perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam untuk
berakat nikah sebelum habis iddahnya dan ketahuilah bahwa sanya allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu maka takutlah kepada allah dan
ketahuilah bahwa allah maha pengampun lagi maha penyantun.(235)
Surat Al-baqarah ayat 234 berbicara tentang perceraian yaitu perceraian
akibat kematian . dengan demikian penempatannya setelah ayat-ayat yang lalu
cukup beralasan, apa lagi pada ayat yang lalu menyinggung kewajiban waris
dan hak anak apa bila ayah meninggal dunia.
Albiqai berpendapat bahwa ayat 233 membicarakan tentang penyusuan anak,
sengajak ditempatkan antara uraian percerai akibat talak dan perceraian
akibat kematian, karena pernikahan yang dibicarakan pada awal kelompok ayat
ini dapat membuat anak, ini mengundang pembicaraan tentang penyusuan.
Selanjutnya uang menyusui bisa jadi ibu kandung si anak atau wanita lain,
jika ibu kandung si anak masih berstatus istri, bisa jadi telah bercerai. [5]
Ini merupakan perintah Allah bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya, yaitu hendaklah mereka menjalani masa iddah selama empat bulan
sepuluh hari.Dan menurut ketetapan ijma’, ketentuan itu berlaku bagi isteri
yang sudah dicampuri maupun yang belum dicampuri.
Yang menjadi sandaran berlakunya ketentuan ini bagi wanita yang belum
dicampuri adalah pengertian umum dari ayat dan hadits yang diriwayatkan
Imam Ahmad dan para penulis kitab as-Sunan, dan yang dishahihkan oleh Imam
at-Tirmidzi, Bahwasanya Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seorang
laki-laki yang menikahi seorang wanita, lalu ia meninggal sebelum sempat
bercampur dengannya dan belum menyerahkan kepadanya mahar yang menjadi
kewajibannya. Kemudian orang-orang berulang kali datang untuk
mempertanyakan hal itu kepadanya.Maka Ibnu Masud berkata,
“Aku akan jawab berdasarkan pendapatku sendiri, jika benar maka
demikian berasal dari Allah, dan jika salah maka hal itu berasal dari
diriku sendiri dan syaitan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya terlepas dari
kesalahan tersebut.Yaitu, wanita itu berhak menerima mahar secara
penuh”.
Sedangkan dalam lafazh yang lain juga di-katakan,
“Baginya mahar seperti yang diberikan kepada wanita semisalnya. Tidak
boleh kurang atau lebih, serta berlaku pula baginya iddah dan menerima
waris”
.
Kemudian Ma’qil bin Yasar al-Asyja’i berdiri seraya berujar: “Aku pernah
mendengar Rasulullah memutuskan masalah Buru’ binti Wasyiq dengan ketentuan
tersebut”. Mendengar hal itu, Abdullah bin Mas’ud pun gembira sekali.
Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, maka orang-orang dari kabilah
Asyja’ berdiri seraya berucap, “Kami bersaksi bahwa Rasulullah memutuskan
demikian dalam kasus Buru’ bin Wasyiq.” Tidak dikecualikan dari ketentuan
tersebut selain isteri yang ditinggal mati suaminya ketika ia sedang hamil.
Maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Hal itu didasarkan pada keumuman
firman Allah Ta’ala: “Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddahnya mereka
itu adalah sampai mereka melahirkan.” (QS. Ath-Thalaq ayat 4).
Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat, bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya
dalam keadaan hamil harus menunggu dalam masa yang lebih panjang dari dua
macam masa iddah yaitu, antara masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh
hari. Hal itu didasarkan pada pemaduan antara kedua ayat diatas, Yang
demikian itu merupakan pendapat yang baik dan kuat yang diperkuat dengan
hadits yang diriwayatkan dari Subai’ah al-Aslamiyah yang disebutkan dalam
Kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) dari beberapa jalan: “Bahwa
Subai’ah ditinggal mati suaminya yang bernama Sa’ad bin Khaulah sedang ia
dalam keadaan hamil. Dan tidak lama setelah suaminya meninggal, ia pun
melahirkan.[6]
Surat al-baqarah ayat 235 menguraikan tentang masa tunggu bagi wanita, yang
disusul dengan larangan kawin maka pada ayat ini dijelaskan batas-batas
yang dibenarkan dalam kontek perkawinan. Tidak ada dosa bagi kamu yang
meminag wanita-wanita itu pada saat masa iddah mereka dengan syarat
pinangan itu disampaikan dengan sindiran, yakni tidak tegas dan
terang-terangan menyebut maksut menukahinya.
Kalaulah tidak dosa meminang dengan sindiran pada masa iddah, maka itu
berarti berdosa meminang wanita yang perceraiannya bersifat bain dengan
terang-terangan dan dosa pula meminang wanita-wanita yang perceraiannya
bersifaf raj’i.
Ayat ini tidak secara mutlak melarang para pria mengucapkan segala sesuatu
kepada wanita yang sedang menjalankan masa iddah tetapi kalau ingin
mengucapkan kata-kata kepadanya ucapkanlah kata-kata yang makruf dan
terhormat sesuai dengan ajaran agama. Memang masa tunggu wanita sangat
panjang bagi yang ingi mengawininya sehingga izin melamarnya dengan
sindiran dapat mengundang langkah terlarang untuk bercampur dengannya, atau
paling tidak melakukan sekedar akat nikah walau belum bercampur. [7]
B. Ilak dan zihar
1. Pengertian ila’ dan zihar
Ila’ adalah sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya
dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’
merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti
istrinya dengan cara tidak menggauli, dan membiarkan istrinya menderita
berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak. Setelah Islam
datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling
lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah
lewat, suami harus memilih rujuk atau talak.Apabila yang dipilih rujuk,
suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan
jatuh talak sugra. Seperti hadis nabi yang berbunyi:
عن عائشة ر.ض. قالت : آلى رسول الله صلعم. من نسائه وحرّم، فجعل الحرام
حلالا،
وجعل لليمين كفّارة(رواه التّرمذىّ، ورواته ثقات)
Artinya : Aisyah r.a. berkata,
“Rasulullah Saw. Telah bersumpah Ila’ diantara istrinya dan
mengharamkan berkumpul dengan mereka.Lalu beliau menghalalkan yang
telah diharampkan dan membayar kafarat bagi yang bersumpah.”
(HR. Tirmidzi dan para rawinya dapat dipercaya). [8]
2. Zihar
Zihar adalah ucapan suami kepada istrinya bahwa istrinya menyerupai
ibunya.Contohnya : “Engkau tampak olehku seperti punggung ibuku.” Zihar
pada zaman jahiliyah merupakan cara untuk menceraikan istrinya. Setelah
Islam datang, Islam melarang perbuatan itu. Apabila zihar terlanjur
dilakukan oleh suami, ia wajib membayar kafarat dan dilarang mencampuri
istrinya sebelum kafarat terbayar.
وعنه رضي الله عنه انّ رجلا ظاهر من امرأته، ثمّ وقع عليها فا تى النّبيّ
صلّى الله عليه وسلّم، فقال انّى وقعت عليها قبل ان اكفّر، قال "فلاتقربها
حتّى تفعل ما امرك الله به" (رواه الاربعة، وصحّحه التّرمذيّ، ورجّع
النّسا ئيّ ارساله)ورواه البزّار من وجه اخر عن ابن عبّاس رضي الله تعالى
عنهما وزاد فيه "كفّر ولاتعد
Artinya : Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasannya seorang laki-laki telah
bersumpah zhihar terhadap istrinya, kemudian ia mempergaulinya. Ia
menghadap Nabi Saw. Dan berkata, “Sesungguhnya aku telah mempergauli
istriku sebelum membayar kafart.”Beliau bersabda, “Janganlah kamu
mendekati istrimu sebelum kamu melakukan apa yang diperintahkan oleh
Allah.”
(HR. Imam empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi. Nasai merajihkan
mursalnya hadis)
Al-Bazzar meriwayatkan dari jalur lain dari Ibnu Abbas r.a. dan ia
menambahkan, “Bayarlah Kafarat dan janganlah kamu ulangi.”
[9]
3. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 226-227
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا
الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Artinya:
Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya, diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Dan jika mereka
ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ini termasuk sumpah khusus terhadap istri tentang suatu perkara yang khusus
yaitu sumpahnya seorang suami untuk meninggalkan jima’ dengan istrinya
secara mutlak maupun terbatas dengan masa kurang dari empat bulan atau
lebih. Barangsiapa yang mengila’ istrinya khususnya di bawah empat bulan
maka hal ini adalah seperti sumpah-sumpah lainnya apabila dia melanggar,
maka dia wajib membayar kafarat, dan bila ia mempertahankan sumpahnya, maka
tidak ada apa-apa, istrinya tidaklah berhak apa-apa atasnya, karena ia
menjadikan hal itu sebagai haknya selama empat bulan. Apabila untuk
selamanya atau suatu masa yang melebihi empat bulan, dijadikan untuknya
empat bulan lamanya dari sejak sumpahnya, apabila istrinya meminta hal itu
karena merupakan haknya.
Apabila telah genap masa sumpahnya, maka diperintahkan untuk kembali yaitu
berjima’, dan bila ia berjima’ dengan istrinya, maka tidak ada hukuman
atasnya kecuali membayar kafarat sumpahnya, dan bila ia tidak mau berjima’,
ia harus dipaksa untuk mentalak istrinya. Bila ia tidak mau juga mentalak,
maka hakim terpaksa menjatuhkan talak untuknya. Akan tetapi kembali dan
ruju’ kepada istrinya lagi adalah lebih disukai oleh Allah Ta’ala. Karena
itu Allah berfirman,فَإِنْ فَآءُ و “Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya)”, artinya, mereka
kembali dari apa yang mereka sumpahkan untuk meninggalkannya yaitu
berjima’, فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ “maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun” mengampuni mereka dari
apa yang terjadi di antara mereka karena sumpah itu, sumpah yang disebabkan
oleh kembalinya mereka, رَّحِيم “Lagi Maha Penyayang”, di mana Allah menjadikan (untuk
menggugurkan) sumpah-sumpah kalian kafaratnya dan dendanya dan ia tidak
menjadikannya harus dilakukan oleh mereka yang tidak dapat dirubah-rubah.
Dan Dia Maha Penyayang terhadap mereka yang kembali kepada istri-istri
mereka, mengasihi, dan menyayangi istri-istri mereka.
Sedangkan ayat 227 وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ “Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak”, artinya,
mereka tidak mau kembali (dan melakukan jima’) yang merupakan tanda
kebencian mereka terhadap istri-istri mereka dan ketidak sukaan terhadap
mereka. Ini tidaklah terjadi kecuali karena ketetapan hati yang kuat untuk
talak.Apabila ini terjadi, maka ini adalah hak yang wajib dilaksanakan
secara langsung dan bila tidak, hakimlah yang memaksanya untuk melakukan
talak atau melakukannya untuknya.
فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
. Ayat ini merupakan ancaman dan peringatan bagi orang yang bersumpah
dengan sumpah seperti ini dan ia bermaksud itu menyusahkan dan memberatkan
dengan sumpahnya.
Ayat ini dapat dijadikan dalil bahwa ila’ itu khusus untuk istri
berdasarkan firmanNya “istrinya”, dan juga bahwa berjima’ itu wajib pada
setiap empat bulan sekali, karena setelah empat bulan itu ia harus dipaksa
baik untuk berjima’ atau melakukan talak, dan hal ini tidaklah seperti itu
kecuali karena ia meninggalkan suatu yang wajib. [10]
4. Tafsiran Surat Al-Mujadilah Ayat 2-4
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ
أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ
وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ
اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ
ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ
سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيم
Artinya: Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu
(menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal)
tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka
sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang
men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka
(wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka
siapa yang tidak kuasa
(wajiblah atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman
kepada Allah dan RasulNya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ
نِسَائِهِم
Kata يُظَاهِرُون diambil dari kata ظهر
yang berarti punggung. menurut Ibn Asyur seperti dikutip Quraish Shihab
menjelaskan bahwa dalam ajaran agama Yahudi, terdapat larangan menyetubuhi
istri dari belakang seperti menunggangi kendaraan. Hal tersebut dapat
mengakibatkan kecacatan pada anaknya apabila lahir nanti.Oleh sebab itu,
zihar pun dianggap sebagai keharaman.ظهر inilah yang
kemudian digunakan oleh orang-orang muslim Madinah yang –yang saat itu
berinteraksi dengan orang-orang Yahudi- untuk menzihar istrinya.
Orang-orang muslim Madinah menjadikan zihar dengan pengertian: menggauli
istri mereka seperti menggauli ibu dan menggauli istri mereka dari
belakang.[11]
Dalam ayat ini Rasulullah menegaskan bahwa Khaulah telah haram bagi Aus
untuk digauli.Jika seorang suami telah mengatakan “Engkau bagiku adalah
seperti tulang punggung ibuku”, maka berarti “Engkau telah haram
untukku”.Hal ini mengacu bahwa seorang anak yang menikahi ibunya adalah
haram.Perintah ini sejalan dengan surah Nisa ayat 23.
وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
Setelah Allah menjelaskan larangan zihar dan menunjukkan bahwa hal tersebut
adalah merupakan dosa, Allah memberi ampunan bagi hambanya yang bertaubat.
Sebagaimana diterangkan diakhir ayat ini bahwa Allah maha pemberi ampunan.
وَالَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُون
Pada ayat ketiga ini Allah menjelaskan hukuman bagi suami yang menjatuhkan
zihar kepada istrinya. Beberapa mufassir seperti Wahbah dan Hasbi
as-Siddiqie mengutip beberapa pandangan ulama tentang pencabutan zihar yang
telah dinyatakan seorang suami. Menurut Al-Syafi’i, cara mencabut zihar
adalah dengan memeluk istri. Sementara menurut Mazhab Hanafi, suami yang
kembali hidup normal dengan istri (seperti layaknya keluarga) adalah sebuah
bentuk dari pencabutan zihar.Hasbi juga mengutip pendapat yang menyatakan
bahwa mendekati istri sebelum memerdekakan budak adalah dibolehkan.Hal yang
tidak boleh dilakukan adalah mempersetubuhi istri. [12]
Sedangkan menurut Mazhab Maliki seperti dikutip al-Baghawi, tercabutnya zihar adalah pada saat suami-istri tersebut telah melakukan persetubuhan.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki seperti dikutip al-Baghawi, tercabutnya zihar adalah pada saat suami-istri tersebut telah melakukan persetubuhan.
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَتَمَاسّا
Ayatkeempat menerangkan pengganti hukuman bagi orang yang tidak sanggup
memerdekakan budak. Mereka yang tidak sanggup harus melaksanakan puasa
selama dua bulan berturut-turut.Terdapat dua pandangan yang berbeda terkait
pelaksanaan puasa. Pertama, apabila dalam masa puasa dua bulan, kemudian
seorang yang mencabut zihar berhalangan sesuai dengan syariat agama, maka
ia harus menggantinya dengan puasa berturut-turut kembali selama dua bulan.
Hal ini berarti puasa yang telah dilakukan telah gugur.Sedangkan pendapat
kedua membolehkan pembatalan puasa orang yang mencabut zihar dan
menggantinya hari selanjutnya dengan alasan yang diterima oleh syariat.
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا
Selanjutnya, ayat ini juga menerangkan pengganti hukuman apabila seseorang
yang mencabut zihar tidak sanggup melakukan puasa selama dua bulan dengan
memberi makan 60 orang miskin. Adapun besaran makanan yang diberikan,
menurut mazhab Syafi’i sebagaimana dikutip Wahbah adalah memberikan atau
menghidangkan makan bagi setiap orang miskin sebesar 8 ons (2564 kg).
Sedangkan menurut mazhab Hanafi setengah sha’ biji gandum atau satu sha’
biji kurma.
ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Ayat ini telah jelas menjelaskan hukum dan kewajiban yang harus dibayar
oleh seorang suami yang menzihar istrinya. Ayat ini juga menegaskan agar
seorang hamba lebih meyakini syariat Allah dan meningkatkan keimanan
kepadaNya dan rasulNya.Segala hukum yang ditepatkan Allah hendaknya tidak
dilanggar.[13]
PENUTUP
Ila’ adalah sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya
dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’
merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti
istrinya dengan cara tidak menggauli, dan membiarkan istrinya menderita
berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak. Setelah Islam
datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling
lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah
lewat, suami harus memilih rujuk atau talak.Apabila yang dipilih rujuk,
suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan
jatuh talak sugra. Seperti hadis nabi yang berbunyi:
Zihar adalah ucapan suami kepada istrinya bahwa istrinya menyerupai
ibunya.Contohnya : “Engkau tampak olehku seperti punggung ibuku.” Zihar
pada zaman jahiliyah merupakan cara untuk menceraikan istrinya. Setelah
Islam datang, Islam melarang perbuatan itu. Apabila zihar terlanjur
dilakukan oleh suami, ia wajib membayar kafarat dan dilarang mencampuri
istrinya sebelum kafarat terbayar.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Hafizh Al-AsqalaniIbnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram.
Dar. Al-Hikmah.
al-MaraghiMustafa. 2006.Tafsîr al-Maraghî. Dar. Fikr. Beirut.
Haddri Choiruddin. 1993. klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Jakarta:
Gema Insani Press.
Jawad MughniyahMuhammad. 1997. Fiqih Lima Madzab.Jakarta
: Lentera.
Katsir Ibn. 2008. Tafsir Al-Qur’an Al_Karim. Dar: Al-‘aqid.
Muhammad ibn Yusuf al-Syahid Abi Hayyan al-Andalusi. 1993. Tafsîr al-Bahru al-Muhîd. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiah.
ShihabQuraish. 2000. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.Jakarta :
Lentera Hati.
[1]
Choiruddin Haddri, klasifikasi Kandungan Al-Qur’an,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1993), hl. 264
[2]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
vol, I, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), hl. 445
[3]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, (Jakarta :
Lentera, 1997), hl. 465
[4]
Quraish Shihab, Op.Cit., hl. 486-488
[5]
Ibid
., hl. 506
[6]
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al_Karim, (Dar: Al-‘aqid,
2008), jild. 1, hl. 438
[7]
Ibid.
510-511
[8]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Mara m, (Dar. Al-Hikmah), hl. 238
[9]
Ibid
[10]
https://ilmuislam2011.wordpress.com/.../tafsir-surat-al-baqarah-ayat-226-227-hukum
.
Jam. 10 wib
[11]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 14, h. 63
[12]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî, (Dar. Fikr,
beirut), vol. 28, h. 6.
[13]
Muhammad ibn Yusuf al-Syahid Abi Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahru al-Muhîd, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Alamiah, 1993),, vol. 8, h. 233.
0 comments:
Post a Comment