Friday, October 19, 2018

Makalah Tafsir Pada Masa Tabi’in

0 comments
BAB I
PENDAHULUAN

  

      A. Latar Belakang

Kitab suci Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang diturunkan melalui malaikat Jibril. al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi yang Ummy (tidak bisa baca tulis), begitu juga dengan masyarakatnya. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan untuk memahaminya. Ketika wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW., beliau langsung menjelaskan isi kandungan wahyu tersebut mesti sulit untuk dipahami. Setelah wahyu diturunkan dengan sempurna maka muncullah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, as-Sunnah, sahabat, dan perkataan tabi’in. Karena yang ditafsirkan pada saat itu hanya yang sulit dipahami saja, ketika masa tabi’in sudah banyak permasalahan yang muncul dan membutuhkan penjelasan. Jadi karena tidak ada dalam penjelasan yang sebelumnya, maka muncullah tafsir al-Qur’an dengan perkataan sahabat.
Untuk itu kami selaku pemakalah akan membahas tentang tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in. Untuk lebih lanjutnya mari kita simak makalah berikut ini.

  

      B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tafsirf pada masa tabi’in?
2.      Bagaimana corak tafsir pada masa tabi’in?
3.      Apa kelebihan tafsir tabi’in?


 





BAB II
PEMBAHASAN

            A.   Tafsir Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana kita ketahui sahabat terkenal dengan ahli tafsir, karena generasi sahabat yang paling dekat dengan Nabi SAW., maka sebagian tabi’in terkenal dengan ahli tafsir dimana para tabi’in mengambil tafsir dari mereka (sahabat) yang sumber-sumbernya berpegang kepada sumber-sumber yang ada pada masa sebelumnya, disamping adanya ijtihad dan penalaran.

1.      Sumber-sumber tafsir pada masa tabi’in
Menurut Ustadz Muhammad Husain Adz-Dzahabi: para mufassir dalam memahami Kitabullah Ta’ala adalah berpegang kepada:
a.       Kitabullah
b.      Riwayat dari sahabat dari rasulullah saw.
c.       Riwayat dari sahabat dari penafsiran mereka sendiri
d.      Pengambilan dari ahlil kitab berdasar apa yang datang di dalam kitab mereka
e.       Ijtihad dan pemahaman yang diberikan  Allah kepada para Tabi’in untuk mengetahui makna Al-Qur’an.
Para tabi’in dalam mempelajari dan memahami isi-isi Al-Qur’an adalah melangsungkan tindakan-tindakan yang dipraktikkan para sahabat, yaitu mereka ada yang menerima dan ada yang menolak tafsir bil ijtihad. Diantara yang menerima dasar ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Mujahid, Ikrimah dan sahabat-sahabatnya. Mereka ini melarang bagi orang-orang yang tidak sempurna alat-alat tafsirnya untuk menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
a.       Orang yang kurang pengetahuan bahasa Arabnya
b.      Orang yang belum mampu mempelajari Al-Qur’an dalam segi hubungan mujmal dan mufashshalnya. [1]

Ahli tafsir kalangan tabi’in lainnya seperti Sa’id bin Jubair, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha bin Abu Rabbah, Al-Hasan Al-Basri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Al-Aliah, Ar-Rafi’ bin Anas, Qadatah, Adh-Dhahhak bin Muzahim, kalangan tabi’in lainnya, tabi’it tabi’in, dan generasi sesudahnya.
Pendapat mereka tentang tafsir ayat sering mengemuka, lalu memunculkan keberagaman redaksi, yang dianggap perbedaan (ikhtilaf) oleh orang yang tidak berilmu. Selanjutnya, ia meriwayatkan tafsir tersebut dalam beberapa pendapat. Sebenarnya tidak demikian. Sebab, di antara tabi’in ada yang mengungkapkan tafsir ayat berdassarkan kelaziman atau analognya, dan ada juga yang mengemukakan tafsir ayat apa adanya. Dalam banyak kasus, seluruh tafsir ini memiliki makna yang sama.
Al-Allamah Ibnu Utsaimin mengatakan:
Jika mereka berselisih pendapat, pernyataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan hujjah bagi yang lain. Melalui pendapat ini Ibn Taimiyah memberi isyarat bahwa, ulama berbeda pendapat megenai kehujjahan pernyataan tabi’in dalam bidang tafsir. Kalangan tabi’in sering berbeda pandangan dalam menanggapi suatu kasus. Tabi’in yang belajar tafsir Al-Qur’an secara langsung dari sahabat tentu berbeda dengan mereka yang tidak mengkaji Al-Qur’an. Bersamaan dengan itu, apabila tabi’in tidak menyandarkan pendapatnya pada sahabat, pendapat tersebut tidak dapat dijadikan hujjah bagi generasi sesudahnya, ketika tidak sependapat dengan mereka. Alasannya, tabi’in tidak selevel dengan sahabat, tetapi pendapatnya lebih mendekati kebenaran.
Semakin dekat satu generasi pada masa kenabian, ia semakin dekat pada kebenaran dibanding generasi sesudahnya. Generasi paska ulama generasi awal didominasi oleh hawa nafsu, di samping antara masa mereka dan masa Rasulullah terpisah oleh waktu yang cukup panjang. [2]
Metode tafsir Al-Qur’an ada empat, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, pendapat para sahabat, dan pendapat tabi’in. Namun, metode yang terakhir masih diperdebatkan. Ibn Taimiyah berpendapat, apabila tabi’in bersepakat atas suatu hal maka pendapatnya bisa dijadikan pedoman. Sebaliknya, jika tabi’in berselisi pendapat, hal itu belum bisa dijadikan pedoman.
Al-Allamah Ibnu Jibrin menyatakan:
Apabila anda tidak menemukan tafsir (penjelasan suatu ayat) dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, juga tidak ditemukan dalam pendapat sahabat, mayoritas imam dalam kasus ini merujuk pada pendapat tabi’in. Karena tabi’in adalah murid-murid sahabat. Tabi’in belajar langsung dari sahabat. Para sahabat menyampaikan apa yang telah mereka pelajari. Sementara itu, sahabat belajar kepada Rasulullah. Murid-murid mereka, kalangan tabi’in, belajar kepada sahabat. Jadi tafsir tabi’in lebih valid dibanding tafsir generasi sesudahnya yang mengkaji dan menafsirkan Al-Qur’an tanpa dalil.
Seperti Mujahid Bin Jubair. Ia seorang mantan budak, maula. Tetapi, Allah telah membuka pikiran dan mengaruniai ilham kepadanya. Ia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas. Ia mendapat julukan ayat fit tafsir, orang yang paling menguasai ilmu Al-Qur’an dan tafsir.
Asy-Syafi’i sering berpedoman pada tafsir Mujahid. Beliau menjadikan tafsir Mujahid sebagai rujukan dalam bidang hukum, sastra, akhlak, kisah, amtsal, dan sebagainya.[3]
Diantara tabi’in ada yang mengungkapkan tafsir ayat berdasarkan kelaziman atau analognya. Maksudnya, kata yang menyerupai, kata yang diserupakan, atau dengan kata yang sejenis, dan sebagainya.
Ketika Ibn Jarir menafsirkan firman Allah, yang artinya: “Harta benda yang bertumpuk” (Ali Imran: 14), beliau mencantumkan perbedaan para ahli tafsir tentang kata al-qinthar dalam surat Ali Imram ayat 75:
وَمِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مَنۡ إِن تَأۡمَنۡهُ بِقِنطَارٖ يُؤَدِّهِۦٓ ...
Artinya: “Dan diantara ahli kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak”.
Dan surat An-Nisa’ ayat 20:
...وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا ...
             Artinya:“Sedang kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak”.
                                             Pernyataan para ahli tafsir mengindikasikan bahwa Al-Qinthar adalah “harta yang banyak”, tanpa perlu memperkirakannya dengan bilangan tertentu, yang menunjukkan bolehnya mengungkapkan makna suatu kata dengan analognya, kelazimannya, atau bagiannya.
                                             Dan ada juga yang mengemukakan tafsir ayat apa adanya.  Maksudnya, di antara mufassair dari kalangan tabi’in ada yang mengungkapkan makna suatu kata dengan kelazimannya, ada pula dengan analognya,dan ada juga yang menjelaskan tafsir ayat apa adanya.[4]
Antar para ahli tafsir juga terkadang terjadi oerbedaan pendapat. Contohnya, tafsir kata nusuk yang tercantum dalam firman Allah Ta’ala, Q.S. al-Baqarah: 196
... فَفِدۡيَةٞ مِّن صِيَامٍ أَوۡ صَدَقَةٍ أَوۡ نُسُكٖۚ ...
          Artinya:“Dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban”.
Mayoritas ahli tafsir mengatakan, hewan yang diqurbankan cukup seekor kambing. Sebagian ahli tafsir lain menerangkan, qurbannya harus seekor sapi. Ahli tafsir lainnya menjelaskan nusuk adalah umrah atau ibadah, seperti tercantum dalam Q.S. al-Baqarah: 200:
فَإِذَا قَضَيۡتُم مَّنَٰسِكَكُمۡ ...
Artinyas: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu”.
Sementara ahli tafsir yang mengartikan nusuk dengan dam, berargumendengan firman Allah Ta’ala, Q.S. Al-An’am: 162
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Artinya: “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.
Maksudnya nusuk adalah ibadah. Menurut pendapat lain, nusuk adalah menyembelih hewan kurban.[5]
Pendapat tabi’in dalam masalah furu’ bukan hujjah. Furu’, atau berbagai cabang permasalahan hukum, seperti shalat, haji, jual beli, riba, nikah, dan sebagainya. kemungkinan besar ketentuan ini hanya berlaku jika ikhtilaf antara tabi’in dalam berbagai pendapat tersebut, maka ia tidak bisa dijadikan hujjah. Demikian ini karena ikhtilaf tabi’in merupakan indikator bahwa masalah tersebut bersifat ijtihadi.
Al-Allamah Shalih Alu Syaikh menyatakan: sumber tafsir kalangan tabi’in berasal dari sejumlah orientasi atau kajian berikut ini:
Pertama, kajian tafsir yang bersumber dari para sahabat. Ini yang paling banyak. Seorang tabi’in yang berguru pada  seorang tabi’in akan menafsirkan sesuai tafsirnya. Tabi’in yang belajar kepada Ibn Mas’ud akan menafsirkan Al-Qur’an sesuai tafsir Ibn Mas’ud. Tabi’in yang berguru pada Ubay bin Ka’ab menafsirkan sesuai karya Ubay. Dan seterusnya.
Kedua, ijtihad seorang tabi’in. Tabi’in berusaha keras menafsirkan Al-Qur’an, dan mengeluarkan produk tafsir berdasarkan ijtihadnya.
Ketiga, kondisi tabi’in dalam proses menafsirkan Al-Qur’an. Seorang tabi’in dalam satu kesempatan membatasi diri untuk menjelaskan satu kata saja, karena ia ditanya tentang kata itu.[6]
2.      Nilai tafsir para tabi’in
             Para ulam berbeda pendapat mengenai tafsir yang ditinggalkan dari tabi’in apabila hal itu tidak dinukil dari rasulullah atau sahabat.
a.       Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir mereka tidak diambil karena mereka tidak menyaksikan qarinah-qarinah dan keadaan-keadaanyang mana Al-Qur’an itu turun, maka dalam memahami maksudnya mereka mungkin salah.
b.      Sebagian besar mufassirin berpendapat bahwa tafsir mereka itu diambil karena mereka itu biasanya menerima dari sahabat.
c.       Pendapat yang rajih/ unggul adalah apabila tafsir itu merupakan ijma’/ kesepakatan para tabi’in terhadap suatu pendapat, maka wajib atas kita untuk mengambil (memeganginya) dan kita tidak mengambil pendapat lain.

3.      Mengenai cerita israiliyat dan nasraniyat
             Pada periode ini tidak banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam. Para tabi’in senang sekali mendengarkan cerita-cerita Yahudiyah dan Nasraniyah. Mereka menerima berita-berita dari orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam, lalu memasukkannya ke dalam tafsir tanpa dikoreksi lebih dahulu. Mereka mempermudah dalam mengambil berita tersebut, berita-berita itu tidak ada hubungannya dengan hukum syara’, sehingga tidak akan mempengaruhi didalam istimbat hukum syara’, karena sangat gemarnya sebahagiaan tabi’in kepada israiliyat dan nasraniyat, maka bertambah padatlah tafsir dengan cerita israiliyat nasraniyat.[7]

      B.  Corak Tafsir Masa Tabi’in
            Dalam menafsirkan, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya. Di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
            Menurut Adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para mufasir dari kalangan tabi’in berpegang pada Al-Qur’an itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabatyang berasal dari Rasulullah, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.
            Ketika penakhlukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke daerah-daerah taklukan. Mereka membawa ilmu masing-masing. Dari tangn merekalah tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai mazhab dan perguruan tafsir.
            Di Makkah, misalnya, berdiri perguruan Ibnu Abbas. Diantara muridnya yang terkenal adalah Ikrimah. Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal dibanding tafsir dari orang lain. Di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas’ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab
Ahli ra’yi.
            Itulah para mufassir terkenal dari kalangan tabi’in yang ada di berbagai wilayah Islam, dan dari mereka pulalah generasi setelah tabi’in belajar. Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Tetapi setelah banyak ahli kitab masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita israiliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. Pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.[8] 

      C. Keistimewaan Tafsir Tabi’in
1.      Tafsir tabi’in tidak terkontaminasi oleh pemahaman akidah yang sesat.
2.      Kalimat yang digunakan cukup singkat namun maknanya padat, seperti gaya tafsir sahabat
3.      Tafsir tabi’in tidak bertentangan dengan bahasa
4.      Sebagian besar tafsir tabi’in dikodifikasi dan diriwayatkan melalui lembaran buku atau melalui jalur sanad yang kuat dan masyhur.[9]
                       






BAB III
PENUTUP
      A. Kesimpulan
Sebagaimana sebagian sahabat terkenal dengan ahli tafsir, maka sebagian tabi’in terkenal dengan ahli tafsir dimana para tabi’in mengambil tafsir dari mereka yang sumber-sumbernya berpegang kepada sumber-sumber yang ada pada masa sebelumnya, disamping adanya ijtihad dan penalaran.
Ahli tafsir kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Jubair, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha bin Abu Rabbah, Al-Hasan Al-Basri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Al-Aliah, Ar-Rafi’ bin Anas, Qadatah, Adh-Dhahhak bin Muzahim, kalangan tabi’in lainnya, tabi’it tabi’in, dan generasi sesudahnya. 
Al-Allamah Shalih Alu Syaikh menyatakan: sumber tafsir kalangan tabi’in berasal dari sejumlah orientasi atau kajian berikut ini: Pertama, kajian tafsir yang bersumber dari para sahabat. Kedua, ijtihad seorang tabi’in.  Ketiga, kondisi tabi’in dalam proses menafsirkan Al-Qur’an.
Keistimewaan tafsir tabi’in adalah: Tafsir tabi’in tidak terkontaminasi oleh pemahaman akidah yang sesat, kalimat yang digunakan cukup singkat namun maknanya padat, seperti gaya tafsir sahabat, tafsir tabi’in tidak bertentangan dengan bahasa, sebagian besar tafsir tabi’in dikodifikasi dan diriwayatkan melalui lembaran buku atau melalui jalur sanad yang kuat dan masyhur.
      B. Saran
            Dengan memaparkan makalah ini, kami selaku pemakalah menyarankan kepada para pembaca agar mempelajarinya lebih banyak lagi, dan mendapatkan sumber-sumber yang lain. Dan tidak puas dengan makalah yang kami buat ini. Supaya kita bisa lebih mengetahui tentang tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in dengan lebih dalam lagi.



DAFTAR KEPUSTAKAAN  

Amanah. 1993. Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang, CV. Asy-Syifa’.
Manna Al-Qaththan. 2005. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. jakarta, pustaka Al-Kautsar.
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, dkk. 2014. Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.







[1] Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang, CV. Asy-Syifa’, 1993), cet. I. Hlm. 294-195.
[2] Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, dkk, Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2014), hlm. 405-406.
[3] Ibid., hlm. 406-409.
[4] Ibid., hlm. 410-411.
[5] Ibid., hlm. 411-412.
[6] Ibid., 413-414.
[7] Amanah, op.cit. hlm. 296-297.
[8] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (jakarta, pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 425-428.
[9] Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, op.cit., hlm. 416-417.

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018