PENDAHULUAN
Sebagai umat manusia
tentunya sangat tidak bisa untuk menghindari perbuatan yang salah yang membuat
orang lain terluka. Memang tidak enak sekali jika seseorang telah melakukan
suatu kesalahan, terlebih lagi tidak meminta maaf. Namun terkadang juga banyak
orang yang sudah meminta maaf kepada seseorang namun tidak bisa dimaafkan.
Atau terkadang orang yang dimintain maaf telah memaafkan, namun orang
tersebut dalam hati tidak ikhlas, sehingga apa sih arti sebuah kata maaf jika
tidak dilandasi keihklasan. Akibatnya tentunya adalah maaf itu akan hampa bagai
tak terucap.
Apapun jenis tingkat
kesalahannya pada hakekatnya jika seseorang yang melakukan kesalahan tersebut
sudah berniat dengan ikhlas dan tulus untuk meminta maaf dan berjanji untuk
tidak melakukannya, maka hendaknya dimaafkan. Karena sesungguhnya tidak ada
keselahan di dunia ini yang tidak bisa dimaafkan jika benar-benar disesali dan
berjanji tidak akan mengulanginya kembali.
Namun begitulah
manusia, sebagian besar masih mengutamakan emosi dibandingkan hati nurani dalam
setiap mengambil keputusan, termasuk dalam hal meminta maaf dan memaafkan.
Hendaknya benar-benar kita tanamkan kepada diri kita bahwa tidak ada di
seluruh dunia ini yang terlepas dari kesalahan. Oleh karena itu sekali lagi,
sudah sewajarnya kita memberikan kata maaf dengan ikhlas untuk orang-orang yang
meminta maaf dengan tulus dan ikhlas pula.
PEMBAHASAN
A.
Hadis Yang Berkaitan Dengan Afwan
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ،
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ
لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ
فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ
“Dari
Abiy Ayûb al-Anshâriy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
‘bersabda; “Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga
malam diamana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling.
Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan
salam. ”(HR. Muslim, Hadits No. 2560).“
Dari hadis di atas Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam
melarang kita untuk meng-hajr
(mendiamkan) saudaranya lebih daripada 3 hari. Para ulama menjelaskan bahwa
yang di maksud dengan hajr ini (yaitu: memboikot saudaranya, tidak
menyalami saudaranya, menjauh dari saudaranya, berpaling tatkala bertemu),
berkaitan dengan perkara dunia.
Dan ada
sebagian yang mengartikan hajr ini sama dengan Lâ tadâbaru” yang dalam
terjemahanya diartikan “Jangan saling menjauhi”. Kata “Lâ
tadâbaru” tersebut bisa diartikan, “al mu’âdâh (saling bermusuhan)“ dan “al-muqâtha’ah (saling
memutuskan tali persaudaraan) ataupun saling membelakangi dan “al-Muhâjarah (saling
mendiamkan). Maksudnya, hadits-hadits yang menjelaskan ketidakhalalan
mendiamkan saudara melebihi tiga hari sebenarnya adalah contoh dari makna “lâ
tadâbaru”, seperti dalam hadis Rasullullah SAW. لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ
تَدَابَرُوا (Janganlah
kalian saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi) Atau dengan kata lain,
ketidakhalalan mendiamkan saudara melebihi tiga hari masuk dalam otoritas larangan
yang terdapat dalam redaksi “lâ tadâbaru” tersebut. Lebih mudahnya jika
di ilustrasikan kedalam bentuk pertanyaan: mengapa mendiamkan saudara kita
lebih dari tiga hari tidak di halalkan (tidak diperbolehkan) karena perbuatan
tersebut termasuk tindakan tadâbur yang secara eksplisit telah
di larang dalam hadits, tepatnya pada redaksi “lâ tadâbaru”
tersebut. Artinya kita dilarang mendiamkan, tidak saling menyapa atau
tidak saling berbicara dengan saudara selama tiga hari karena suatu masalah
atau komplit antara kita dengannya, jadi dalam hadis ini kita hanya di bolehkan
untuk mendiamkan saudara kita selama tiga hari setelah tiga kita di wajibkan
untuk saling memaafkan dan saling mengucapakan salam, dan tentu alangkah
baiknya kita tidak saling mendiamkan saudara kita.
Dalam bahasa Arab, maaf
diungkapkan dengan kata al-afwu. Kata al-afwu, berarti
terhapus atau menghapus. Jadi, memaafkan mengandung pengertian menghapus luka
atau bekas-bekas luka yang terdapat dalam hati. Dengan memaafkan kesalahan
orang lain berarti berhubungan antara mereka yang bermasalah kembali baik dan
harmonis karena luka yang ada di dalam hati mereka, terutama yang memaafkan,
telah sembuh. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata “maaf” memiliki tiga arti, arti yang pertama yaitu
“pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu
kesalahan”, arti yang kedua yaitu “ungkapan permintaan ampun atau penyesalan”
serta arti yang ketiga yaitu “ungkapan permintaan izin untuk melakukan
sesuatu”. Dari ketiga arti tersebut, kita biasanya mengetahui arti maaf sebagai
arti yang kedua, yaitu ungkapan permintaan ampun atau penyesalan.
Islam mendorong Muslim
untuk memiliki sikap pemaaf. Sifat ini muncul karena keimanan, ketakwaan,
pengetahuan dan wawasan mendalam seorang Muslim tentang Islam. Seorang Muslim
menyadari bahwa sikap pemaaf menguntungkan, terutama mebuat hati lapang dan tidak
dendam terhadap orang yang berbuat salah kepadanya, sehingga jiwanya menjadi
tenang dan tentram. Apabila ia bukan pemaaf, tentu akan menjadi orang
pendendam. Dendam yang tidak terbalas menjadi beban bagi dirinya. Ini penyakit
berbahaya karena selalu membawa kegelisahan dan tekanan negatif bagi orang yang
bersangkutan. Hanya orang-orang bodoh yang tidak memiliki sikap pemaaf. Allah
Subhanahu wa Ta-ala berfirman, "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang baik, serta berpalinglah dari orang-orang yang
bodoh." (Q.S. al-A’raf : 199)
Sikap pemaaf yang
menjadi tradisi Muslim jauh lebih baik dari sedekah yang diberikan dengan
diiringi oleh ucapan atau sikap yang menyakitkan bagi orang yang
menerimanya. Allah Subhanahu wa Ta-ala berfirman, "Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha
Penyatun." (Q.S. al-Baqarah : 263).
Suka memberi maaf
kepada orang yang berbuat salah merupakan ciri orang bertakwa. Orang yang
demikian akan memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya, meskipun yang
bersalah tidak pernah minta maaf kepadanya.
B. Keutamaan Saling
Memaafkan
Seorang Muslim bukan hanya dituntut untuk meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya
tetapi juga memberikan maaf. Ia juga diperintahkan berbuat baik kepada yang
pernah berbuat salah kepadanya. Mereka yang mampu berbuat demikian mendapat
kedudukan tinggi, pujian dan pahala yang baik. Dengan demikian ada beberapa
keutamaan dari saling memaafkan, sebagai berikut : Pertama, dapat menyelesaikan perselisihan atau perseteruan.
Perselisihan atau perseteruan mungkin timbul lantaran ada pihak yang melakukan
perbuatan aniaya dan pihak lain merasa teraniaya. Jika pihak yang bersalah
tidak mau meminta maaf, dan pihak yang merasa teraniaya juga enggan
memaafkannya, maka perselisihan tersebut akan sulit diselesaikan. Tetapi dengan
adanya sifat pemaaf niscaya perselisihan dan perseteruan tersebut dapat
didamaikan.
Kedua, dapat menghilangkan rasa benci, dengki dan dendam. Benci,
dengki dan dendam mungkin timbul karena suatu perseteruan yang belum bisa
diselesaikan, lalu mendorong pihak-pihak yang berseteru untuk melakukan balas
dendam, mencederai dan menghancurkan pihak lawan. Jika masing-masing pihak
berlapangdada serta dengan tulus mau berdamai dan saling memaafkan, insya Allah
rasa benci, dendam dan dengki tersebut akan bisa dihilangkan.
Ketiga, dapat menyambung silaturrahim yang telah putus. Dua orang
bersaudara atau bertetangga, bisa jadi terganggu komunikasinya sehingga
bertahun-tahun tidak saling bertegur-sapa. Padahal, pemicunya mungkin sepele,
katakanlah gara-gara masalah anak. Namun karena keduanya merasa berada di pihak
yang benar dan tidak ada yang mau mengalah, akibatnya silaturrahim antara
keduanya menjadi terputus.
Keempat, dapat memperkokoh ukhuwah Islamiyah (persatuan dan
kesatuan umat). Di dalam kehidupan umat Islam banyak terjadi perbedaan faham
dan pendapat, baik di bidang fikih maupun bidang-bidang lainnya.
Perbedaan-perbedaan tersebut kadang sampai menimbulkan konflik dan benturan
yang cukup keras. Maka, bila setiap Muslim bersikap pemaaf terhadap saudaranya,
berlapang dada dan saling menghormati pendapat yang berbeda tersebut, insya
Allah persatuan dan kesatuan umat akan bisa diperkokoh.
Kelima, pemaaf itu dapat menghilangkan rasa permusuhan dan
memperbanyak teman. Islam melarang permusuhan antar sesama. Sebaliknya, Islam
sangat menganjurkan membangun persahabatan sebanyak mungkin. Untuk itulah Islam
menganjurkan sifat pemaaf dan ketulusan hati kepada para pemeluknya, karena
sifat pemaaf yang tulus itu akan menghilangkan sifat benci dan dendam,
menghilangkan rasa permusuhan dan mempersubur persahabatan.
Keenam, melahirkan sifat tawadu', menghilangkan sifat sombong dan
angkuh. Sifat sombong dan angkuh dapat timbul pada diri seseorang, karena ia
merasa lebih dari yang lain, paling baik, paling benar dan paling mampu dalam
segala hal. Sifat-sifat ini sering membuat orang enggan meminta maaf, karena ia
merasa tidak pernah bersalah, sehingga ia gengsi untuk meminta maaf, bahkan
meminta maaf dianggapnya identik dengan kerendahan diri.
Ketujuh, dapat menghapus dosa dan memudahkan jalan ke surga. Allah
tidak akan mengampuni dosa seseorang dan tidak akan memasukkannya ke surga
sebelum orang tersebut terlebih dulu menyelesaikan urusannya di dunia, sangkut
pautnya dengan orang lain sehingga mereka berdamai dan saling memaafkan.
Kedelapan, menjadikan hati tenang-tenteram. Dosa adalah sesuatu
yang membuat pelakunya gelisah, tidak tenang. Apalagi kalau dia telah menyadari
betul bahwa perbuatannya itu tidak benar, maka bisa dipastikan, maka hidupnya
tidak akan pernah merasa tenang, setiap hari dihantui oleh rasa bersalah atau
berdosa. Jika dia telah meminta maaf, dan kesalahannya dimaafkan oleh orang
lain, barulah hatinya akan tenang.
Kesembilan,
sifat pemaaf itu akan melahirkan pemaaf juga. Ada orang yang ingin semua
kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, sementara dia sendiri enggan memaafkan
kesalahan orang lain. Tentu orang lain akan sulit menerima hal itu. Jika
kesalahan kita ingin dimaafkan oleh orang lain, maka terlebih dahulu maafkanlah
kesalahan-kesalahan orang lain, niscaya orang lain akan memaafkan kesalahan
kita.
C.
Cara Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Memaafkan
kesalahan seseorang adalah tanda orang yang bertakwa. Wajib memberi maaf jika
telah diminta dan lebih baik lagi memaafkan meskipun tidak diminta. Jika kita
mengalami kesulitan untuk memaafkan saudara kita lantaran kesalahan yang mereka
lakukan terhadapkan kita, yang membuat kiata
sulit untuk memaafkannya, dengan beberapa cara di bawah ini kita dapat untuk
memaafkan kesalahan orang lain terhadap kita, sebagai berikut :
1.
Terima apa yang telah dilakukannya dan akui bahwa kita tidak dapat
mengendalikan hal itu. Akan tetapi, kita dapat mengendalikan cara diri kita
bereaksi.
2.
Akui kekurangan diri sendiri dan kemungkinan menyakiti orang lain untuk
membantu menerima kesalahan dan melepaskan kebencian. Semua pernah membuat
kesalahan, dan mengakui kesalahan akan membantu kita memahami kesalahan orang
yang menyakiti perasaan kita.
3.
Menghilangkan kebencian bukanlah upaya yang akan berhasil dalam semalam,
tetapi semakin cepat kita berusaha, hal itu akan semakin menjadi prioritas.
Daripada gelisah, berfokuslah ke masa depan.
Sifat
‘tak kenal maaf’ atau ‘tiada maaf bagimu’ adalah
sifat syaitan. Ia akan membawa keretakan dan kerusakan dalam
pergaulan bermasyarakat. Masyarakat aman damai akan terwujud jika anggota
masyarakat itu memiliki sikap pemaaf dan mengerti bahwa manusia tidak terlepas
dari pada salah dan alpa.
Imam
Al-Ghazali memberi tiga panduan bagi memadamkan api kemarahan dan melahirkan
sifat pemaaf. Apabila marah hendaklah mengucap “A’uzubillahiminassyaitanirrajim” (aku
berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk). Apabila marah itu muncul
ketika berdiri, maka hendaklah segera duduk, jika duduk hendaklah segera
berbaring. Orang yang sedang marah, sunat baginya mengambil wuduk dengan
air yang dingin. Hal ini kerana kemarahan itu berpunca dari pada api, manakala
api itu tidak bisa dipadamkan melainkan dengan air.
KEPUSTAKAAN
Martin, A.D. Emotional
Quality Management: Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan
Emosi. Jakarta: Penerbit Arga, 2003.
https://umayaika.wordpress.com/2012/05/01/larangan-saling-mendiamkan-melebihi-tiga-hari-klarifikasi-status-tiga-hari/
https://saputra51.wordpress.com/2012/02/24/memaafkan-itu-indah/
0 comments:
Post a Comment