Tuesday, October 2, 2018

MakalahTafsir Birra'yi

0 comments
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Segala puji dan syukur bagi Allah swt yang dengan ridho-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Sholawat dan salam tetap kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw dan untuk para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia mendampingi beliau. Terima kasih kepada keluarga teman-teman dan yang terlibat dalam pembuatan makalah ini yang dengan do'a dan bimbingannya makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar.
Dalam makalah ini, kami menguraikan tentang ”Tafsir bi R’yi” yang kami ambil dari berbagai sumber, diantaranya buku-buku. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang selama ini kita cari. Kami berharap bisa dimanfaatkan semaksimal mugkin.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.











BAB I
PENDAHULUAN
    A. Latar Belakang
Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun elektronik. Yang mana dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Tafsir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari argument diatas kami tertarik membahas “ TAFSIR BI RA’YI “.
           
     B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian tafsir bi ra’yi?
2.      Bagaimana pandangan ulama tentang tafsir bi ra’yi?
3.      Apa-apa saja pembagian tafsir bi ra’yi?
4.      Bagaimana kedudukan tafsir bi ra’yi?
5.      Apa-apa saja kitab yang termashur tafsir bi ra’yi?





BAB II
PEMBAHASAN

    A.  Pengertian Tafsir bi Ar- Ra’yi
Secara etimonologi, Ra’yi berarti keyakinan (I’tigad), analogi (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi ra’yi (disebut juga tafsir bi ad-dirayah) sebagaimana didefinisakan oleh Husen Adz Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan diambil pemikiran mufasir setelah ia megetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukan, serta problema penafsiran, seperti asbabun nuzul, nasikh wa mansukh dan sebagainya. Al Farmawi menjelaskan tafsir bi ra’yi ialah menafsirkan Al-Quran dengan ijtihad setelah terlebih dahulu  mufasir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata arab beserta muatan-muatan artinya.[1]
Ulama salaf sangat berhati-hati dalam menafsirkan sesuatu. Mereka khawatir akan terjerumus kedalam ijtihat yang mazmum (tercela). Oleh sebab itu, banyak ulama salaf yang menulis kitab tafsir dari para pendahulu dengan cara mengutip tanpa disertai penjelasan tambahan, seperti Abdurrazaq bin Abi Hatim dan Sufyan bin Uyainah.[2]
Tafsir bi Ra’yi muncul sebagai sebuah “corak” penafsiran belakangan setelah tafsir bil matsur. Diantara sebab yang memicu kemunculan “corak” tafsir bi ra’yi adalah disiplin ilmu, karya-karya dibidangnya masing-masing, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar dibidangnya masing-masing.

Akibatnya, karya tafsir seorang mufasir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Kemunculan tafsir bi ra’yi dipicu pula oleh hasil interaksi umat islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, didalam tafsir bi ra’yi, peranan akal sangat dominan.[3]

     B. Pandangan Ulama tentang Tafir bi Ra’yi
Pertama: Sekelompok orang melarangnya. Bahkan, menjelang abad 2 H “corak” penafsiran ini belum mendapatkan legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolaknya penggunaan “corak” tafsir ini mengemukakan berikut ini:
1.      Menafsirkan Al-quran berdasarkan rayi berarti membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsiran hanya bersifat perkiraan semata. Pada hal Allah berfirman:
Artinya:
“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu  tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”

2.      Yang berhak menjelaskan Al-quran hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah:
Artinya:
“ Dan kami turunkan kepadamu Al-quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannnya.”

3.      Rasulullah bersabda,
Artinya:
“Siapa saja menafsirkan Al-quran atas dasar pemikirannya semata, atau dasar sesuatu yang belum deketahuinya, persiapkanlah tempatnya dineraka. “Siapa saja menafsirkan Al-Quran atas dasar pikirannya semata, maka penafsirannya dianggap keliru walaupun secara kebetulan hasil penafsirannya itu benar.

Kedua: Kelompok yang membolehkan. Mereka mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1.      Didalam Al-quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan Al-quran. Umpamanya firman Allah:
Artinya:
  Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-quran ataukah hati mereka terkunci ?

2.      Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukan bahwa mereka pun menafsirkan Al-quran dengan akalnya.[4]

    C.  Pembagian Tafsir bi Ra’yi
1.      Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
a.       Pengertian Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud adalah ihktiar untuk menemukan pemahaman Al-quran dengan menggunakan berbagai pengetahuan seperti pemahaman bahasa Arab atau kontteks ayat tanpa dilandasi pada riwayat dari generasi sebelumnya.
Contoh Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud adalah instinbath dan ijtihad yang dihasilkan oleh sahabat dan tabiin. Sehubungan dengan itu, Abu Bakar As-Shiddiq ditanya tentang al-kallah(orang yang meninggal yang tidak memiliki anak dan orang tua). Ia  menjawab,”Aku berpendapat dengan ijihat. Apabila itu benar, semata mata dari Allah. Akan tetapi, apabila itu salah, itu murni dariku dan dari syaitan.
Ijtihad yang dilakukan oleh sahabat seperti yang dilakukan Abu Bakar merupakan Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud karna berdasarkan pengetahuan yang memadai.

b.      Hukum Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
Menurut ulama, boleh menafsirkan ayat-ayat Al-quran berdasarkan bahasa dan nilai-nilai syariat. Hal itu dilandasi oleh ayat berikut:  
Artinya:
“Dan sungguh, telah kami mudahkan Alquran untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran ?”

Disamping itu, ada ayat lain menganjurkan kita ber istinbath untuk menemukan solusi.
“(Padahal) apabiila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Ulil Amri).
c.       Syarat diterimanya Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
1). Memiliki kutipan dari Rasulullah yang terjaga dari riwayat dhaif dan maudhuk
2). Berpegang pada pendapat sahabat. Pendapat tersebut berkedudukan hukum marfuk, terlebih lagi yang berkaitan dengan sebab turun ayat.
3). Berpegang pada petunjuk yang disyaratkan oleh struktur kalam dan berpegang pada hal-hal yang ditunjukan oleh syariat.
2. Tafsir bi Ar-Ra’yi Al-Madmazmun
a. Pengertian tafsir bi Ar-Ra’yi Al-madzmum
Tafsir bi Ar-ra’yi Al-Madmazmun ialah tafsir yang menggunakan pendapat semata,mengikuti hawa nafsu, tidak menggunakan ilmu ,dan tidak melihat pendapat ulama lain atau pendapat yang sesuai dengan ketentuan.
Tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum dilarang ulama salaf. pelakunya dikecam karena tafsir itu dilakukan atas dasar kepanatikan terhadap suatu mazhab dan mengorbankan agama. Dengan kata lain, jika menafsirkan Alquran hanya berdasarkan hawa nafsu, ikhtiar tersebut termasuk tafsir bi ar-rayi al-madzmum yang harus ditolak.
b. Kemunculan tafsir bi Ar-Ra-yi Al-madzmum
Tafsir ini pada mulanya digunakan ulama untuk membela mazhab yang diikuti. Selanjutnya, mereka mencari-cari sejumlah ayat Alquran yang dapat menguatkan pendapat mereka.Tidak hanya itu, mereka bahkan memaksakan ayat-ayat alquran agar dapat sesuai dengan mazhab yang diikuti.
Tafsir bi ar-ra’yi sebenarnya telah muncul sejak masa sahabat. Ketika itu  muncul bermacam-macam mazhab serta wilayah kekuasaan Islam belum begitu luas sehingga tafsir belum diwarnai dengan beragam kepentingan. Namun, waktu terus berjalan dan mazhab yang di anggap menyimpangpun muncul. Hal itu mengakibatkan Al-Qur’an di tafsirkan dengan ijtihad yang menyimpang serta tidak menggunakan tinjauan kebahasaan yang benar. Oleh sebab itu muncullah istilah tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum.
c.    Hukum tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum
               Hukum tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum itu haram dan hasilnya tidak boleh dipraktikkan karena banyak memberikan mudharat dan bahkan menyesatkan manusia.
               Ibn taimiyyah menyatakan, menafsirkan Al-qur’’an hanya berdasarkan ijtihad hukumnya haram. Ia juga berpendapat diriwayatkan dari ulama bahwa sahabat sangat hati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an, lebih lanjut ia menyatakan, barang siapa menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, ia telah memaksakan sesuatu yang tidak ia ketahui dan melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan. Apabila ia memperoleh makna yang tepat, ia tetap melakukan kesalahan. Ia bagaikan seorang hakim yang memberikan keputusan kepada seseorang, sementara ia sendiri tidak mengerti isi keputusan tersebut.
Dengan demikian, nerakalah yang lebih pantas baginya, meskipun pendapatnya sesuai dengan syari’at, hanya saja dosanya lebih ringan dari pada mereka yang salah.
Oleh sebab itu, ulama salaf merasa salah jika menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu. Hal ini sebagaimana ungkapan Abu Bakar, “Bumi manakah yang akan menjadi tempat tinggalku dan langit manakah yang akan menaungiku apabila aku menjelaskan tentang kitab Allah dengan hal-hal yang tidak aku ketahui.
Berikut ini adalah alasan-alasan yang menunjukkan haramnya tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum.
1). Dalil dari Al-Qur’’an
Ÿوَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’(17) :36).
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ 
Artinya:
“Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah.” (QS. Al-Baqarah (2) :169).
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
“Mereka kami utus dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (QS. An-Nahl (16): 44).

2). Dalil dari Hadis
Artinya:
“Barangsiapa mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an tanpa didasari pengetahuan hendaknya ia menempati tempatnya di neraka.” (HR. At-Tirmidzi).
Artinya:
“Barang siapa yang berkata sesuatu mengenai kitab Allah SWT. Dengan pendapat sendiri dan sesuai dengan yang benar, sungguh ia telah melakukan kesalahan.”( HR. Abu Dawud).

2.      Pendapat Sahabat
Dari Anas ia berkata bahwa umar bin Khatab berada diatas mimbar membaca ayat “Wa fakihatan wa abban” (QS. ‘Abasa (80) : 31). Ia mengungkapkan, “Kita telah mengetahui arti al-fakiha. Akan tetapi, apa arti dari al-abba?” ia kemudian mengembalikan kepada dirinya dan berujar, sesungguhnya ini merupakan pemaksaan, wahai Umar.
Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ibnu Abbas ditanya tentang suatu ayat, seandainya sebagian diantara kalian yang ditanya, niscaya bergegas untuk berpendapat tentang ayat tersebut. Akan tetapi, (Ibnu Abbas) tidak mau berpendapat tentang ayat tersebut.
4). Pendapat tabi’in
Masruq berkata, takutlah kamu akan tafsir. Sesungguhnya tafsir itu menyampaikan riwayat tentang Allah. Selain itu, Asy-Sya’bi berujar, “Demi Allah, semua ayat telah aku tanyakan. Akan tetapi, menjelaskan tentang pemahaman ayat sama artinya dengan menyampaikan riwayat (penjelasan dari Tuhan).
Pernyataan Masruq dan Asy-Sya’bi menunjukkan bahwa menafsirkan Al-Qur’an sama artinya dengan menjadi juru bicara Allah. Akan tetapi, tafsir yang disampaikan belum tentu sesuai dengan keinginan Allah sehingga hal itu menunjukkan bahwa tidak sepantasnya manusia memberikan penjelasan tentang maksudnya yang ia sendiri belum pernah mendengar penjelasan langsung dari-Nya.

Di samping itu, Yazid bin Abi Yazid berkata, kami selalu menayakan tentang halal dan haram kepada Sa’id bin Al-Musayyad karena ia orang yang paling alim pada masanya. Akan tetapi, apabila kami menanyakan tentang tafsir Al-Qur’an kepadanya, ia terdiam seolah-olah tidak mendengar pertanyaan kami.
D .Kedudukan dan Kelebihan Tafsir bi Ar-Ra’yi
Tafsir bi Ar-Ra’yi memiliki peran penting dalam mengembangkan khazanah intelektual Islam. Berikut ini penjelasannya:
1.      Kedudukan tafsir bi ar-ra’yi
Tujuan tafsir adalah memenuhi kebutuhan umat terhadap pemahaman kitab Allah dan menjelaskan hal-hal yang belum dapat dipahami. Apabila tidak ditemukan riwayat, mufasir dituntut untuk berijtihad. Sehubungan dengan itu, kelompok yang mula-mula menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad adalah Madrasah Kuffah yang dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud.
Tidak seluruh ayat Al-Qur’an ditafsirkan oleh generasi awal. Oleh sebab itu, tafsir bi ar-ra’yi memiliki peran yang sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat yang belum ditafsirkan. Tidak hanya itu, tafsir bi ar-ra’yi mampu menyuguhkan pemahaman baru sehingga Al-Qur’an dapat tetap berlaku sepanjang masa.
2.      Kelebihan tafsir bi ar-ra’yi
Madrasah Kuffah jauh dari pusat Islam. Oleh sebab itu, Madrasah tersebut focus pada tafsir bi ar-ra’yi. Selanjutnya bi ar-ra’yi memiliki beberapa kelebihan.
a). Melakukan tafsir bi ar-ra’yi sama saja melakukan perintah Allah, yaitu berijtihad.
b). Tafsir bi ar-ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna kitab Allah.
c). Tafsir bi ar-ra’yi menjadikan disiplin ilmu Al-Qu’an terus berkembang.
d). Tafsir bi ar-ra’yi dapat mengadaptasikan Al-qur’an sesuai dengan kehidupan masa kini.
Dengan kata lain, mufasir boleh berijtihad untuk memperoleh pemahaman baru serta mengistinbatkan makna dan hikmah Al-Qur’’an. sehubungan dengan itu, Abdullah Syahatah menyatakan bahwa terpengaruhnya tafsir dengan disiplin ilmu yang digeluti mufasir bukanlah sesuatu yang negative selama tidak menjadikan Al-Qur’an hanya sebagai kitab pengetahuan. Dengan demikian, segala bentuk yang tidak membuat manusia berpaling dari Al-Qur’an tidaklah dilarang.[5]
    E. Kitab-Kitab yang Termashur Dalam Tafsir bi Ra’yi
1.      Tafsir ‘abdurrahman ibn kaisan al asshim.
2.      Tafsir ‘ali al jabaai.
3.      Tafsir ‘abdul jabar.
4.      Tafsir zamahksyari (al-kassyaf ‘an haqaiq ghawamidh at- tanzil wa ‘uyun al-aqawil fi wujuh at-ta’wil).
5.      Tafsir fakhruddin ar- razi (mafatih al-ghaib).
6.      Tafsir faurak.
7.      Tafsir nasafi (madarik at-tanzil wa haqaiq at-ta’wil).
8.      Al-khazin (lubab t-ta’wil fi ma’ani at-tanzil).
9.      Tafsir abi hayyan (al-bahr al-muhith).
10.  Tafsir baidhawi (anwar at-tanzil wa asrar at-tawil).
11.  Tafsir jalalain.
12.  Tafsir qurtubi (al jami’ li ahkam al-quran).
13.  Tafsir abi su’ud (irsyad a-‘ql as-salim ila mazaya al kitab al quran).
14.  Tafsir alusi (ruh al-ma’ani fi tafsir al-quran al-azhim wa as-sab al-matsani).[6]






BAB III
PENUTUP
    A. Kesimpulan
Tafsir bi ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan diambil pemikiran mufasir setelah ia megetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukan, serta problema penafsiran, seperti asbabun nuzul, nasikh wa mansukh dan sebagainya.
para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir bi ra’yi ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya dengan alasan bahwa tafsir ulama yang membolehkan dengan alasan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan tafsir, tidak boleh menafsirkan dengan hawa nafsu saja. Diantara ulama yang melarangnya dengan alasan tafsir bi ra’yi hanya mengandalakan pemikiran semata.
Diantara pembagian tafsir bi ra’yi terbagi menjadi dua yaitu tafsir bi ra’yi al-mahmud yaitu tafsir yang terpuji. Tafsir bi ra’yi madzmum yaitu tafsir yang tercela.
Kelebihan tafsir bi ra’yi adalah:
Melakukan tafsir bi ar-ra’yi sama saja melakukan perintah Allah, yaitu berijtihad.
b). Tafsir bi ar-ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna kitab Allah.
c). Tafsir bi ar-ra’yi menjadikan disiplin ilmu Al-Qu’an terus berkembang.
d). Tafsir bi ar-ra’yi dapat mengadaptasikan Al-qur’an sesuai dengan kehidupan masa kini.
    B. Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah mengharapkan agar pembaca dapat mencari pembahasan ini dari sumber-sumber lain.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Samsurrahman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: amzah.
Anwar rosihan. 2009. Pengantar Ilmu Quran. Bandung: Pustaka setia.
….Manna’ul Qathann. Haramain.



[1] Rosihon Anwar.  2009.Pengantar Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia). Hlm.188.

[2] Samsurrohman. 2014. Pengantar ilmu tafsir. Jakarta: amzah. Hlm. 159.
[3] Rosihon Anwar. Op.cit. hlm.189.
[4] Ibid. Hlm. 190-191.
[5] Samsurrohman. Op.cit. hlm. 163-170
[6] Manna’ul qathan.haramain. hlm. 366-367

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018