KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah yang maha pengasih dan
maha penyayang. Segala puji dan syukur bagi Allah swt yang dengan ridho-Nya
kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Sholawat dan salam
tetap kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw dan untuk
para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia mendampingi beliau.
Terima kasih kepada keluarga teman-teman dan yang terlibat dalam pembuatan makalah
ini yang dengan do'a dan bimbingannya makalah ini dapat terselesaikan dengan
lancar.
Dalam makalah ini, kami menguraikan
tentang ”Tafsir bi R’yi” yang kami ambil dari berbagai sumber, diantaranya
buku-buku. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang
selama ini kita cari. Kami berharap bisa dimanfaatkan semaksimal mugkin.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun
elektronik. Yang mana dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling
pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya
perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah
yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari
kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir,
maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul
sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan
Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Tafsir dengan riwayat dan
juga dengan akal. Maka dari argument diatas kami tertarik membahas “ TAFSIR BI
RA’YI “.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian tafsir bi ra’yi?
2.
Bagaimana pandangan ulama tentang tafsir bi ra’yi?
3.
Apa-apa saja pembagian tafsir bi ra’yi?
4.
Bagaimana kedudukan tafsir bi ra’yi?
5.
Apa-apa saja kitab yang termashur tafsir bi ra’yi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir bi Ar- Ra’yi
Secara etimonologi, Ra’yi berarti
keyakinan (I’tigad),
analogi (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah
ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi ra’yi (disebut juga tafsir bi ad-dirayah)
sebagaimana
didefinisakan oleh Husen Adz Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan diambil pemikiran mufasir setelah ia megetahui bahasa
arab dan metodenya, dalil hukum
yang ditunjukan, serta problema penafsiran, seperti asbabun nuzul, nasikh wa
mansukh dan sebagainya. Al Farmawi menjelaskan tafsir bi ra’yi ialah
menafsirkan Al-Quran dengan ijtihad setelah terlebih dahulu mufasir yang bersangkutan mengetahui metode
yang digunakan orang-orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata arab
beserta muatan-muatan artinya.[1]
Ulama salaf sangat berhati-hati dalam
menafsirkan sesuatu. Mereka khawatir akan terjerumus kedalam ijtihat yang
mazmum (tercela). Oleh sebab itu, banyak ulama salaf yang menulis kitab tafsir
dari para pendahulu dengan cara mengutip tanpa disertai penjelasan tambahan,
seperti Abdurrazaq bin Abi Hatim dan Sufyan bin Uyainah.[2]
Tafsir bi Ra’yi muncul sebagai sebuah
“corak” penafsiran belakangan setelah tafsir bil matsur. Diantara sebab yang
memicu kemunculan “corak” tafsir bi ra’yi adalah disiplin ilmu, karya-karya
dibidangnya masing-masing, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar
dibidangnya masing-masing.
Akibatnya, karya tafsir seorang mufasir
sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Kemunculan
tafsir bi ra’yi dipicu pula oleh hasil interaksi umat islam dengan peradaban
Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, didalam tafsir
bi ra’yi, peranan
akal sangat dominan.[3]
B. Pandangan Ulama tentang Tafir bi Ra’yi
Pertama: Sekelompok
orang melarangnya. Bahkan, menjelang abad 2 H “corak” penafsiran
ini belum mendapatkan legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya.
Ulama yang menolaknya penggunaan “corak” tafsir ini mengemukakan berikut ini:
1.
Menafsirkan
Al-quran berdasarkan rayi berarti membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan.
Dengan demikian, hasil penafsiran hanya bersifat perkiraan semata. Pada hal Allah berfirman:
Artinya:
“
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai
pertanggungjawabannya.”
2.
Yang berhak
menjelaskan Al-quran hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah:
Artinya:
“
Dan kami turunkan kepadamu Al-quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannnya.”
3.
Rasulullah
bersabda,
Artinya:
“Siapa
saja menafsirkan Al-quran atas dasar pemikirannya semata, atau dasar sesuatu
yang belum deketahuinya, persiapkanlah tempatnya dineraka. “Siapa saja
menafsirkan Al-Quran atas dasar pikirannya semata, maka penafsirannya dianggap
keliru walaupun secara kebetulan hasil penafsirannya itu benar.
Kedua:
Kelompok yang membolehkan.
Mereka mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1.
Didalam
Al-quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami
kandungan-kandungan Al-quran. Umpamanya firman Allah:
Artinya:
“ Maka apakah mereka tidak memperhatikan
Al-quran ataukah hati mereka terkunci ?
2.
Para sahabat
sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukan
bahwa mereka pun menafsirkan Al-quran dengan akalnya.[4]
C. Pembagian Tafsir bi Ra’yi
1. Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
a.
Pengertian
Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
Tafsir
bi Ra’yi Al Mahmud adalah ihktiar untuk menemukan
pemahaman Al-quran dengan menggunakan berbagai pengetahuan seperti pemahaman
bahasa Arab atau kontteks ayat tanpa dilandasi pada riwayat dari generasi
sebelumnya.
Contoh
Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud adalah instinbath dan ijtihad yang dihasilkan oleh
sahabat dan tabiin. Sehubungan dengan itu, Abu Bakar As-Shiddiq ditanya tentang
al-kallah(orang yang meninggal yang tidak memiliki anak
dan orang tua). Ia menjawab,”Aku
berpendapat dengan ijihat. Apabila itu benar, semata mata dari Allah. Akan
tetapi, apabila itu salah, itu murni dariku dan dari syaitan.
Ijtihad
yang dilakukan oleh sahabat seperti yang dilakukan Abu Bakar merupakan Tafsir
bi Ra’yi Al Mahmud karna berdasarkan pengetahuan yang memadai.
b. Hukum Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
Menurut
ulama, boleh menafsirkan ayat-ayat Al-quran berdasarkan bahasa dan nilai-nilai
syariat. Hal itu dilandasi oleh ayat berikut:
Artinya:
“Dan
sungguh, telah kami mudahkan Alquran untuk peringatan, maka adakah orang yang
mau mengambil pelajaran ?”
Disamping
itu, ada ayat lain menganjurkan kita ber istinbath untuk menemukan solusi.
“(Padahal) apabiila
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
(secara resmi) dari mereka (Ulil Amri).
c. Syarat diterimanya Tafsir bi Ra’yi Al
Mahmud
1).
Memiliki kutipan dari Rasulullah yang terjaga dari riwayat dhaif dan maudhuk
2). Berpegang pada
pendapat sahabat. Pendapat tersebut berkedudukan hukum marfuk, terlebih
lagi yang berkaitan dengan sebab turun ayat.
3).
Berpegang pada petunjuk yang disyaratkan oleh struktur kalam dan berpegang pada
hal-hal yang ditunjukan oleh syariat.
2.
Tafsir bi Ar-Ra’yi Al-Madmazmun
a.
Pengertian tafsir bi Ar-Ra’yi Al-madzmum
Tafsir
bi Ar-ra’yi Al-Madmazmun ialah tafsir yang menggunakan pendapat semata,mengikuti
hawa nafsu, tidak
menggunakan ilmu ,dan
tidak melihat pendapat ulama lain atau pendapat yang sesuai dengan ketentuan.
Tafsir
bi ar-ra’yi al-madzmum dilarang ulama salaf. pelakunya dikecam karena tafsir itu dilakukan atas dasar
kepanatikan terhadap suatu mazhab dan mengorbankan agama. Dengan kata lain, jika menafsirkan
Alquran hanya berdasarkan hawa nafsu, ikhtiar tersebut termasuk tafsir bi ar-rayi al-madzmum yang
harus ditolak.
b. Kemunculan tafsir bi Ar-Ra-yi
Al-madzmum
Tafsir ini pada mulanya digunakan
ulama untuk membela mazhab yang diikuti. Selanjutnya, mereka mencari-cari
sejumlah ayat Alquran yang dapat menguatkan pendapat mereka.Tidak hanya itu,
mereka bahkan memaksakan ayat-ayat alquran agar dapat sesuai dengan mazhab yang
diikuti.
Tafsir bi ar-ra’yi sebenarnya
telah muncul sejak masa sahabat. Ketika itu muncul bermacam-macam mazhab serta wilayah
kekuasaan Islam belum begitu luas sehingga tafsir belum diwarnai dengan beragam
kepentingan. Namun, waktu terus berjalan dan mazhab yang di anggap menyimpangpun
muncul. Hal itu mengakibatkan Al-Qur’an di tafsirkan dengan ijtihad yang
menyimpang serta tidak menggunakan tinjauan kebahasaan yang benar. Oleh sebab
itu muncullah istilah tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum.
c.
Hukum tafsir bi
ar-ra’yi al-madzmum
Hukum tafsir bi ar-ra’yi
al-madzmum itu haram dan hasilnya tidak boleh dipraktikkan karena banyak memberikan
mudharat dan bahkan menyesatkan manusia.
Ibn taimiyyah menyatakan, menafsirkan
Al-qur’’an hanya berdasarkan ijtihad hukumnya haram. Ia juga berpendapat
diriwayatkan dari ulama bahwa sahabat sangat hati-hati dalam menafsirkan
Al-Qur’an, lebih lanjut ia menyatakan, barang siapa menafsirkan Al-Qur’an
dengan pendapatnya sendiri, ia telah memaksakan sesuatu yang tidak ia ketahui
dan melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan. Apabila ia memperoleh makna
yang tepat, ia tetap melakukan kesalahan. Ia bagaikan seorang hakim yang
memberikan keputusan kepada seseorang, sementara ia sendiri tidak mengerti isi
keputusan tersebut.
Dengan demikian, nerakalah yang lebih
pantas baginya, meskipun pendapatnya sesuai dengan syari’at, hanya saja dosanya
lebih ringan dari pada
mereka yang salah.
Oleh sebab itu, ulama salaf merasa
salah jika menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu. Hal ini sebagaimana ungkapan Abu
Bakar, “Bumi manakah yang akan menjadi tempat tinggalku dan langit manakah yang
akan menaungiku apabila aku menjelaskan tentang kitab Allah dengan hal-hal yang
tidak aku ketahui.
Berikut ini adalah alasan-alasan yang
menunjukkan haramnya tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum.
1). Dalil dari Al-Qur’’an
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati
nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’(17) :36).
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya (setan) itu hanya
menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu
ketahui tentang Allah.” (QS. Al-Baqarah (2) :169).
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
“Mereka kami utus dengan membawa
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan Adz-Dzikr
(Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (QS. An-Nahl (16): 44).
2). Dalil dari Hadis
Artinya:
“Barangsiapa mengatakan sesuatu
tentang Al-Qur’an tanpa didasari pengetahuan hendaknya ia menempati tempatnya
di neraka.” (HR. At-Tirmidzi).
Artinya:
“Barang siapa yang berkata
sesuatu mengenai kitab Allah SWT. Dengan pendapat sendiri dan sesuai dengan
yang benar, sungguh ia telah melakukan kesalahan.”( HR. Abu Dawud).
2. Pendapat Sahabat
Dari Anas ia berkata bahwa umar
bin Khatab berada diatas mimbar membaca ayat “Wa fakihatan wa abban” (QS.
‘Abasa (80) : 31). Ia mengungkapkan, “Kita telah mengetahui arti al-fakiha.
Akan tetapi, apa arti dari al-abba?” ia kemudian mengembalikan kepada dirinya
dan berujar, sesungguhnya ini merupakan pemaksaan, wahai Umar.
Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ibnu
Abbas ditanya tentang suatu ayat, seandainya sebagian diantara kalian yang
ditanya, niscaya bergegas untuk berpendapat tentang ayat tersebut. Akan tetapi,
(Ibnu Abbas) tidak mau berpendapat tentang ayat tersebut.
4). Pendapat tabi’in
Masruq berkata, takutlah kamu akan
tafsir. Sesungguhnya tafsir itu menyampaikan riwayat tentang Allah. Selain itu,
Asy-Sya’bi berujar, “Demi Allah, semua ayat telah aku tanyakan. Akan tetapi,
menjelaskan tentang pemahaman ayat sama artinya dengan menyampaikan riwayat
(penjelasan dari
Tuhan).
Pernyataan Masruq dan Asy-Sya’bi
menunjukkan bahwa menafsirkan Al-Qur’an sama artinya dengan menjadi juru bicara
Allah. Akan tetapi, tafsir yang disampaikan belum tentu sesuai dengan keinginan
Allah sehingga hal itu menunjukkan bahwa tidak sepantasnya manusia memberikan
penjelasan tentang maksudnya yang ia sendiri belum pernah mendengar penjelasan
langsung dari-Nya.
Di samping itu, Yazid bin Abi
Yazid berkata, kami selalu menayakan tentang halal dan haram kepada Sa’id bin
Al-Musayyad karena ia orang yang paling alim pada masanya. Akan tetapi, apabila
kami menanyakan tentang tafsir Al-Qur’an kepadanya, ia terdiam seolah-olah
tidak mendengar pertanyaan kami.
D .Kedudukan dan Kelebihan Tafsir bi
Ar-Ra’yi
Tafsir bi Ar-Ra’yi memiliki peran
penting dalam mengembangkan khazanah intelektual Islam. Berikut ini
penjelasannya:
1. Kedudukan tafsir bi ar-ra’yi
Tujuan
tafsir adalah memenuhi kebutuhan umat terhadap pemahaman kitab Allah dan
menjelaskan hal-hal yang belum dapat dipahami. Apabila tidak ditemukan riwayat,
mufasir dituntut untuk berijtihad. Sehubungan dengan itu, kelompok yang
mula-mula menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad adalah Madrasah Kuffah yang
dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud.
Tidak
seluruh ayat Al-Qur’an ditafsirkan oleh generasi awal. Oleh sebab itu, tafsir
bi ar-ra’yi memiliki peran yang sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat yang
belum ditafsirkan. Tidak hanya itu, tafsir bi ar-ra’yi mampu menyuguhkan
pemahaman baru sehingga Al-Qur’an dapat tetap berlaku sepanjang masa.
2. Kelebihan tafsir bi ar-ra’yi
Madrasah
Kuffah jauh dari pusat Islam. Oleh sebab itu, Madrasah tersebut focus pada
tafsir bi ar-ra’yi. Selanjutnya bi ar-ra’yi memiliki beberapa kelebihan.
a).
Melakukan tafsir bi ar-ra’yi sama saja melakukan perintah Allah, yaitu
berijtihad.
b).
Tafsir bi ar-ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna kitab Allah.
c).
Tafsir bi ar-ra’yi menjadikan disiplin ilmu Al-Qu’an terus berkembang.
d).
Tafsir bi ar-ra’yi dapat mengadaptasikan Al-qur’an sesuai dengan kehidupan masa
kini.
Dengan
kata lain, mufasir boleh berijtihad untuk memperoleh pemahaman baru serta
mengistinbatkan makna dan hikmah Al-Qur’’an. sehubungan dengan itu, Abdullah
Syahatah menyatakan bahwa terpengaruhnya tafsir dengan disiplin ilmu yang
digeluti mufasir bukanlah sesuatu yang negative selama tidak menjadikan
Al-Qur’an hanya sebagai kitab pengetahuan. Dengan demikian, segala bentuk yang
tidak membuat manusia berpaling dari Al-Qur’an tidaklah dilarang.[5]
E. Kitab-Kitab yang
Termashur Dalam Tafsir bi Ra’yi
1.
Tafsir ‘abdurrahman ibn kaisan al asshim.
2.
Tafsir ‘ali al jabaai.
3.
Tafsir ‘abdul jabar.
4.
Tafsir zamahksyari (al-kassyaf ‘an haqaiq ghawamidh at-
tanzil wa ‘uyun al-aqawil fi wujuh at-ta’wil).
5.
Tafsir fakhruddin ar- razi (mafatih al-ghaib).
6.
Tafsir faurak.
7.
Tafsir nasafi (madarik at-tanzil wa haqaiq at-ta’wil).
8.
Al-khazin (lubab t-ta’wil fi ma’ani at-tanzil).
9.
Tafsir abi hayyan (al-bahr al-muhith).
10.
Tafsir baidhawi (anwar at-tanzil wa asrar at-tawil).
11.
Tafsir jalalain.
12.
Tafsir qurtubi (al jami’ li ahkam al-quran).
13.
Tafsir abi su’ud (irsyad a-‘ql as-salim ila mazaya al
kitab al quran).
14.
Tafsir alusi (ruh al-ma’ani fi tafsir al-quran al-azhim
wa as-sab al-matsani).[6]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir bi ra’yi adalah tafsir yang
penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan diambil pemikiran mufasir setelah
ia megetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukan,
serta problema penafsiran, seperti asbabun nuzul, nasikh wa mansukh dan sebagainya.
para ulama berbeda
pendapat mengenai tafsir bi ra’yi ada yang membolehkan dan ada juga yang
melarangnya dengan alasan bahwa tafsir ulama yang membolehkan dengan alasan
harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan tafsir, tidak boleh menafsirkan dengan
hawa nafsu saja. Diantara ulama yang melarangnya dengan alasan tafsir bi ra’yi
hanya mengandalakan pemikiran semata.
Diantara pembagian
tafsir bi ra’yi terbagi menjadi dua yaitu tafsir bi ra’yi al-mahmud yaitu
tafsir yang terpuji. Tafsir bi ra’yi madzmum yaitu tafsir yang tercela.
Kelebihan tafsir bi
ra’yi adalah:
Melakukan
tafsir bi ar-ra’yi sama saja melakukan perintah Allah, yaitu berijtihad.
b).
Tafsir bi ar-ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna kitab Allah.
c).
Tafsir bi ar-ra’yi menjadikan disiplin ilmu Al-Qu’an terus berkembang.
d).
Tafsir bi ar-ra’yi dapat mengadaptasikan Al-qur’an sesuai dengan kehidupan masa
kini.
B. Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah
mengharapkan agar pembaca dapat mencari pembahasan ini dari sumber-sumber lain.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Samsurrahman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: amzah.
Anwar rosihan. 2009. Pengantar Ilmu Quran. Bandung: Pustaka
setia.
….Manna’ul Qathann. Haramain.
0 comments:
Post a Comment