PERNIKAHAN WANITA HAMIL
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Segala puji dan
syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Perkawinan
Wanita Hamil”, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik sesuai
dengan waktu yang di tentukan.
Semoga makalah ii
dapat bermanfaat bagi kita semua,makalah ini dibuat denga sedemikian rupa agar
kita bisa dengan mudah mempelajari dengan mudah dan memahami pelajaran yang ada
didalamnya, dan memberi kemudahan bagi kita dalam memahami “Pendapat Para
Ulama Mengenai Kedudukan Wanita Hamil, dan Ketentuan KHI Terkait Perkawinan
Wanita Hamil”. Dan kami juga menyadari , bahwa penyusunan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang berguna dan
bersifat membangun bagi pembuatan dan penyempurnaan selanjutnya sangat
dibutuhkan penulis. Selain it ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada
semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam pembuatan makalah ini.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan sebagai bentuk sakral suami
istri dalam hidup suatu rumah tangga yang menciptakan kehidupan yang sakinah,
mawaddah dan warahmah. Selain itu membina sebuah mahligai rumah tangga atau
hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah.
Kehidupan dan peradapan manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya kesenambungan
perkawinan dari setiap generasi manusia. Karena iu rasulullah Saw menganjurkan
kepada umatnya telah mampu untuk menikah:
“perkawinan adalah sunnahku, siapa
saja yang benci terhadap sunnahkau, maka mereka bukan termasuk umatku” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Perkawinan telah diatur secara jelas oleh
ketentuan-ketentuan hukum Islam yang digali dari sumber-sumbernya baik dari
al-quran dan as-sunnah dan hasil ijtihad para ulama. Bagi seorang gadis tentu
tidak akan hamil tanpa didahului perkawinan dengan seorang laki-laki. Namun
yang menjadi persoalan adalah seorang wanita hamil yang terjadi diluar
perkawinan yang sah. Ini bisa dikatakan sebagai perzinaan yang telah jelas
keharamannya. Akibatnya, dengan berbagai pertimbangan, para pihak mencoba untuk
menutup-nutupinya, dengan melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang
menghamilinya, dan laki-laki tersebut yang lari dari bertanggung jawag, maka
dicari laki-laki lain yang bersedia nikah dengan perempuan ini.
Para ulama berbeda pendapat tentang
perkawinan yang terjadi terhadap wanita yang sedang hamil akibat zina. Dan juga
status anak dalam perkawinan. Tentu yang menjadi ppertanyaaan tentang hal ini
menyangkut kebolehan atau keharaman terjadinya perkawinan terhadap wanita yang
hamil diluar nikah menurut syari’at islam.
Maka berangkat dari persoalan ini, maka
pemakalah akan membahas tentang persoalan wanit.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
status nasab anak yang diakibatkan oleh perkawinan wanita hamil ?
2. Sejauh manakah
pelaksanaan hukum islam di indonesia terhadap perkawinan wanita hamil ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perkawinan Wanita Hamil
Perkawinan
merupakan aqad yang manghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban
serta bertolong-tolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
antara keduanya bukan muhrim.
Sedang
menurut UU No 1 tahun 1974 perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[1]
Selain
itu, perkawinan juga mendirikan suatu keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah. Di dalam perkawinan, adanya saling menjaga dan memelihara satu sama
lain untuk terjaganya keutuhan keluarga dari hal-hal yang membawa kemudaharatan
dan menghindarkan dari api neraka.
Perkawinan
wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah,
kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Istilah perkawinan wanita hamil adalah
perkawinan seorang wanita yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia
tidak sedang dalam status nikah atau masa iddah karena perkawinan yang sah
dengan laki-laki yang mengakibatkan kehamilannya. Oleh karena itu, masalah
kawin dengan perempuan yang hamil diperlukan ketelitian dan perhatian yang
bijaksana terutama oleh pegawai pencatat nikah. Hal itu, dimaksudkan adanya
fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran masyarakat muslim mengenai
kaidah-kaidah moral, agama, dan etika sehingga tanpa ketelitian terhadap
perkawinan wanita hamil memungkinkan seorang pria yang bukan menghamilinya
tetapi ia menikahinya.[2]Wanita
hamil secara tekstual dapat dipahami dua makna, pertama, wanita hamil
oleh akibat suami yang sah, kedua, wanita hamil dengan akibat zina.
Perkawinan
terhadap wanita hamil, jika dikaitkan dengan wanita yang hamil dalam aqad yang
sah atau ditalak oleh suaminya, maka tidak boleh dinikahi hingga sampai
melahirkan anak yang dikandungnya, sesuai dengan firman Allah QS Ath-Thalaq
ayat 4:
وَٱلَّٰٓـِٔي
يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ
أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Namun,
jika wanita tersebut hamil dalam keadaan talak mati, maka jumhur ulama
berpendapat mengambil iddah terpanjang, sehingga setelah wanita lewat dari masa
iddahnya baru dibolehkan pernikahan.
B.
Pendapat
para Ulama Mengenai Kedudukan Perkawinan Wanita Hamil
Hukum
kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat
sebagai berikut:
1. Ulama
mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa
perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan
ketentuan, bila si pria itu menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
2. Ibnu
Hazm (Zahiriyah)berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh
pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman
dera (cambuk ), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum
yang telah pernah diterapkan oleh sahabat Nabi, antara lain:[3]
a. Ketika
jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang berzina,
beliau berkata”boleh mengawinkan, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki
sifat-sifatnya”
b. Seorang
laki-laki tua mengatakan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya
Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar
keduanya dikawinkan. Ketika itu khalifah
memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukuman dera (cambuk),
kemudian dikawinkannya.
Selanjutnya mengenai pria yang kawin dengan
wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama:
1. Imam Abu
Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan
perkawinannya itu batal . Pendapat beliau berdasarkan firman Allah dalam QS
An-Nur ayat 3.maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang
beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya,
wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.
Ibnu
Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria
tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang
lain, kecuali dengan dua syarat:
a. Wanita
tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak
boleh kawin.
b. Wanita
tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
2. Imam Muhammad
bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram
baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
3. Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena
tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu
boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang
dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan
keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak luar nikah).
Dengan demikian, status anak itu adalah sebagai
anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya.[4]
Namun bila pria yang mengawini ibunya itu, pria
yang menghamilinya, maka terjadi perbedan pendapat:
1. Bayi itu
termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4
bulan keatas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya
yang sah.
2. Bayi itu
termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak diluar nikah, walaupun dilihat
dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan
ovum bapak dari ibunya itu. [5]
Dengan mengambil analogi (qiyas) kepada wanita
hamil yang diceraikan atau ditinggal mati, sebenarnya telah jelas bahwa masa
tunggu (‘iddah) mereka, adalah sampai dia melahirkan. Dengan kata lain, pada
masa wanita tersebut hamil, tidak dibenarkan untuk kawin dengan laki-laki lain.
Dengan demikian alasan kehamilan, cukup konkret bahwa wanita hamil diluar nikah
pun, tidak dibenarkan kawin dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. [6]
C.
Dasar
Hukum Perkawinan Wanita Hamil
1.
Dalam
al-Quran adalah surah An-Nur (24) ayat 3 yang berbunyi:
ٱلزَّانِي
لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ
إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٣
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.
Ayat diatas menunjukkan bahwa kebolehan wanita
hamil kawin dengan laki-laki yang menghamilinya merupakan pengecualian. Oleh
karena itu, laki-laki yang menghamili itulah yang tepat menjadi suaminya.
Selain itu, pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman
wanita yang hamil dimaksud menjadi syarat larangan terhadap laki-laki yang baik
untuk mengawininya.[7]
Menurut salah satu riwayat sebab turunnya ayat
3 surah An-Nur (24) diatas adalah ‘Ata’, Ibn Abi Rabah, dan Qatadah menyebutkan
bahwa ketika orang-orang Muhajirin tiba di Madinah, diantara mereka sebagian
orang-orang fakir, tidak mempunyai harta dan mata pencarian. Sementara
masyarakat di Madinah terdapat wanita-wanita zaniyah yang menyewakan diri
mereka, mereka pada saat itu termasuk wanita yang subur. Setiap orang dari
mereka terdapat tanda papan pengenal di depan rumahnya. Sebagai contoh si A
disini menerima perzinaan. Hal ini dimaksud untuk mempermudah orang-orang yang
ingin melakukan perzinaan sehingga laki-laki pezina dan orang-orang
musyriksilih berganti mendatangi rumah mereka melakukan perzinaan. Oleh karena
itu, orang-orang fakir dari kaum Muhajirin ada yang berpendapat untuk ingin
mengawini pra wanita tersebut untuk mendapat kekayaan dari mereka. Kemudian
kaum Muhajirin yang berpendapat demikian, memohon izin kepada Nabi Muhammad
Saw. , maka turunlah surah An-Nur (24) ayat 3.
Berdasarkan sebab turunnya surah An-Nur ayat 3,
dapat diketahui bahwa Allah mengharamkan laki-laki yang bukan menghamili
mengawini wanita yang hamil karena zina. Hal itu untuk menjaga kehormatan
laki-laki yang beriman. Selain itu untuk mengetahui status hukum anak yang
lahir sebagai akibat perzinaan, yaitu hanya diakui oleh hukum islam mempunyai
hubungan kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya.
Sedangkan ayahnya secara biologis (yang menyebabkan perempuan hamil) tidak
diakui mempunyai hubungan kekerabatan.[8]
2.
Dalam Hadis
Ayat
tersebut diperkuat oleh hadis Nabi:
اِنَّ رَجُلاً تَزَوَّجَ اِمْرَأةَ فَلَمَّا اَصَابَهَا
وَ جَدَهَا حُبْلَى, فَرَ جَعَ ذَلِكَ اِلَى اَلنَبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَفَرَّقَ
بَيْنَهُمَا وَجَعَلَ لَهَا اَلصَّدَاقَ وَجَلَّدَهَا مِائَة
Artinya:
Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia
mencampurinya ia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada
Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita it diberi mas kawin,
kemudian wanita itu di dera (dicambuk) sebanyak 100 kali.
3.
Ketentuan Kompilasi Hukum Islam Terkait
Perkawinan Wanita Hamil
Dalam
Bab VIII pasal 53 K ompilasi Hukum Islam mengatur tentang kawin hamil,
sebagaimana diunkapkan dibawah ini:
1.
Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.
Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut dalam ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menuggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
D.
Status
Nasab Anak
Adapun anak zina adalah anak yang lahir diluar
perkawinan yang sah, sedang perkawinan yang diakui Indonesia yaitu perkawinan
yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam UU No.1/1974.
Para ulama sepakat bahwa anak zina tidak di
nasabkan kepada ayahnya, tetapi dinasabkan kepada ibunya. Ini sesuai dengan
pasal 100 KHI “ Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Imam syafi’i berpendapat paling cepat umur
kehamilannya itu adalah enam bulan, apabila perkawinan telah lebih dari enam
bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut mempunyai nasab kepada suaminya.
Sebaliknya, apabila kurang dari enam bulan, maka nasab anak tersebut
dihubungkan kepada ibunya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.
Menurut pendapat imam mazhab, terdapat dua
kelompok. Satu kelompok yaitu Hanafi dan Syafi’i membolehkan perkawinan wanita
hamil. Kelompok kedua dari Malik dan Ahmad bin Hanbal yang melarang. Sedangkan
menurut KHI bahwa wanita hamil dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki
yang menghamilinya.
2.
Tentang status nasab anak yang dilahirkan dalam
perkawinan wanita hamil, para imam mazhab berbeda pendapat imam syafi’i
berpendapat bahwa dinasabkan kepada laki-laki yang mengawini ibunya jika angka
kehamilan diatas enam bulan, tetapi jika lama kehamilan dibawah enam bulan,
nasab anak dihubungkan kepada ibunya.
B. Saran
Dengan mempelajari makalah ini, penulis
menyarankan agar kita mampu mengambil pelajaran bahwa Allah mengharamkan
seorang laki-laki yang bukan menghamili mengawini wanita yang hamil karena
zina. Begitu juga sebaliknya, wanita beriman diharamkan kawin dengan laki-laki
pezina.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Zainudin, Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
Cet I. 2006.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih
Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet I. 2003.
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Manan, Abdul, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Undag-Undang
No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
[1]Pasal
1UU No 1 Tahun 1974
[2]
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h. 45
[3]Abdul
Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003),
hlm. 124-125
[4] Loc,
Cit , hal, 127
[5]Loc,
Cit , hal, 127-128
[6]Ahmad
Rafiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hlm. 51’
[7]Op,
Cit, hlm, 46
0 comments:
Post a Comment