Tuesday, October 16, 2018

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER PENAFSIRAN

0 comments
MAKALAH
ADDAKHIL FII AL-TAFSIR

Tentang



Disusun Oleh :
Fauzan : 1515030046
Jendri   : 1515030037


Dosen Pengampu : 
Prof. Dr. H. Rusydi, AM. Lc., M. Ag
Oktari Kanus, S. Th. I., M. Ag


JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1438H/2017M




PENDAHULUAN
Al Quran sebagai pedoman hidup kaum muslim, tidak menjelaskan secara rinci berbagai aspek kehidupan. Hal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh hadis. Namun, ternyata ada beberapa hal yang bisa ditafsirkan bermacam-macam, bahkan hingga kini masih ada hal-hal yang tidak dijelaskan secara tegas oleh kedua sumber hukum Islam tersebut (Al Quran dan hadis) sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di antara kaum muslim.
Dari sisi metologis hukum islam dapat dipahami sebagai hukum yang bersumber dari Al-Quran Dan sunnah nabi melalui peroses penalaran atau ijtihad, ia diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal. Ruang gerak metologi antara wahyu sebagai sumber hukum yang memuat petunjuk-petunjuk global Dan kedudukan ijtihad sebagai fungsi pengembangannya, memungkinkan hukum islam memiliki sifat elastis Dan akomodatif sehingga keyakinan diatas tidaklah berlebihan.
Apabila kita memperhatikan sejarah islam serta menyelidiki perjalanan perjuangan Rasul saw.yang membaawa syariat islam Dan undang-undangnya untuk dikembangkan ditengah-tengah masyarakat dunia maka diutuslah Rasulullah saw. Guna menyusun Dan mengatur amal usaha, ibadah Dan mualamah, beliau mensyariaykan aneka rupa hukum yang dibahas oleh ilmu Fiqh, yaitu:”ilmu yang sangat besar manfaatnya, buat menjadi pedoman bagi kitaa dalam segala langkah kita, baik menyangkut politik ekonomi Dan sosial”.










PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah mashdar dari fi`il madi yaitu Ijtihada. Penambahan hamzah dan ta` pada kata ja-ha-da menjadi Ijtihada pada wajan if-ta-a`-la berarti usaha itu lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba yang berarti usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh. Oleh sebab itu, Ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus` atau badzl al-wus`). Dengan demikian, Ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut Ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra`y atau at-tafkir.[1]
Adapun mengenai pengertian Ijtihad secara istilah banyak terjadi perbedaan mengenai definisi Ijtihad secara istilah. Berikut ini beberapa definisi Ijtihad secara istilah :
       1. Menurut Abu Zahrah definisi Ijtihad secara istilah adalah Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
        2.   Al-Amidi dalam al-ihkam fi al-ushul al-ahkam, yang dikutip oleh Khoriyah menjelaskan bahwa Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya.
      3. Menurut ulama Hanafiah, Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau persoalan dalam berbagai bidang.[2]
       4. Sedangkan dalam kitab Al-Bayan ijtihad Yaitu meluangkan waktu yang sangat luas dalam mencapai atau menggali hukum syariat dengan cara mengistimbatkan dari kitab (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul SAW.[3]

Dari beberapa definisi Ijtihad secara istilah yang sudah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa Ijtihad merupakan aktivitas berpikir yang tidak dapat dilakukan oleh orang biasa, karena merupakan keluar biasaan, sehingga membutuhkan tingkat keilmuan yang tinggi dalam mendapatkan satu buah hasil pemikiran yang tidak bertentangan dengan nash dan berguna bagi kemaslahatan umum.
B.       Pandangan Ulama Tentang Ijtihad dalam Penafsiran
Sebagian ulama membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan akal, dan sebagian ulama yang lain melarang adanya penafsiran dengan akal atau tafsir bir-ra’yi. Berikut adalah beberapa pendapat ulama yang membolehkan tafsir bir-ra’yi:
Ulama’ yang membolehkan tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang menyebutkan beberapa alasan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.    Allah telah manganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti  Al-Qur’an, seperti  dalam firman-Nya: 
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

 Artinya :“ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami rahasia-rahasia Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami artinya.
b.    Allah SWT.  membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan kelompok ulama (cerdik cendekiawan). Allah memerintahkan mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum, firman Allah: 
وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡ.
Artinya :“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c.    Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya.[4]
Sedangkan beberapa pendapat para ulama yang melarang adanya tafsir bir-ra’yi adalah sebagai berikut:
Pendapat tentang larangan berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya karena berdasarkan hadis Nabi SAW :
من قال في القرأن يرأيه فأصاب فقدأخطأ
“Siapa yang berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya, kemudian benar,maka itu tetap di anggap salah”.
Menurut Al-Qurthubi, maksud hadis di atas yakni orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kecenderungan hawa nafsunya.
 Menafsirkan Al-Qur’a dengan ra’yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, berdasarkan firman Allah SWT :
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا
Artinya :“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra: 36).
Juga hadis nabi
مَنْ قَالَ فِي القُرأَنِ بِرَأْيِهِ – أَوْ بِمَالَايَعْلَم – فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak di ketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduk di dalam neraka” (HR. At-Tirmidzi).
Menurut Ath-Thabari, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan Rasulullah secara jelas dan tegas, tidak seorangpun diizinkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri. Bahkan apabila tepat dan benar sekalipun ia tetap di pandang telah melakukan sebuah kesalahan. Orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaannya, berarti ia mengatakan sesuatu yang pada dasarnya tidak tahu. Allah telah mengharamkan perbuatan demikian.
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
Artinya :“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" (QS. Al-A’raaf 33).
Kemudian Ath-Thabari menjelaskan bahwa mufassir yang dapat di katakan handal yang dapat di jamin keshahihan argumentasinya yaitu mereka yang menggunakan kaidah-kaidah bahasa, baik menggunakan rujukan syair-syair Arab baku maupun dengan memperhatikan tutur kata dan ungkapan mereka.
C.      Pembagian Tafsir Menggunakan Ijtihad
Tafsir menggunakan ijtihad atau dikenal dengan tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut :
1.      Tafsir al-Maḥmudah
Tafsir al-maḥmudah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
Tafsir bi al-ra’yi al-maḥmd memiliki kemungkinan benar karena menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al–maḥmūd atau tafsir al-masyru’.
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud Salah satu contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh imam al-Mahalli dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”, mengenai surat al-Isra’ ayat 85:
šوَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Imam al-Mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik. Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
2.       Tafsir al-Madzmumah
Tafsir al-madzmum adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat, seperti kitab tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshāriy.[5]
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Madzmum Penafsiran sebagian orang terhadap QS. 55 : 33 adalah:

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْا ۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍ
Artinya : “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”.

Ayat ini di tafsirkan dengan berdasarkan dugaan, bahwa ayat diatas mengisyaratkan kemungkinan para scientis mendarat dibulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian, sebab ayat sebelumnya berbunyi:
“Kepada kamu (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri dari padanya”.
Kedua ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang konteks hari kiamat. Oleh karena itu penafsiran seperti diatas sangat jauh dari konteks ayat itu sendiri. Penafsiran sebagian orang terhadap QS. 104 : 6-7 adalah :
“Yaitu api yang disediakan Allah yang dinyalakan, yang (naik) sampai ke hati”. Mereka berpendapat, ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil ditemukan pada abad 20 dan mampu mendeteksi bagian tubuh manusia. Terlihat jelas kalau mereka membawa ayat diatas kepada makna yang tidak memungkinkan, padahal bila dihubungkan dengan ayat sebelumnya, maka yang dimaksud ayat diatas adalah neraka Jahanam pada hari kiamat. Penafsiran-penafsiran diatas adalah contoh-contoh penafsiran bi al-Ra’yi yang haram, oleh karena penafsiran itu merupakan pemerkosaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dan sangat jauh dari tujuan syar’i.
D.      Dasar Hukum dan Hukum Ijtihad dalam Islam dan Syarat-Syarat Ijtihad
1.      Dasar Hukum Ijtihad
Ada dua sumber utama terkait dengan penjelasan tentang Ijtihad, yaitu:
a.       Al-Qur`an
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. An-Nisa: 105).
b.      As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan oleh Umar:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر
Artinya: “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah, maka ia mendapat satu pahala.”
Dan hadits Mu`adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِمُعَادٍ: بِمَ تَقْضِى؟ قَالَ: بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: أَقْضِى بِمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِي. قَالَ: الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَفَقَّ رَسُوْلَ رَسُوْلِهِ.
Artinya: “Rasulullah SAW bertanya, dengan apa kamu menghukumi?, Ia menjawab, dengan apa yang ada di dalam Kitab Allah. Bertanya Rasulullah, jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Dia menjawab, aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah. Rasul bertanya lagi, jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah? Berkata Mu`adz, aku ber-Ijtihad dengan pendapatku. Rasulullah bersabda, Alhamdulillah, yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.”
2.      Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara`, maka hukum Ijtihad bagi orang itu bias wajib `ain, wajib kifayah, sunnah atau bahkan haram. Ini bergantung kepada kapasitas orang tersebut. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a.       Wajib `ain, yaitu bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nash.
b.      Wajib kifayah, yaitu bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya.
c.       Sunnah, yaitu apabila di lakukan pada persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
d.      Haram, yaitu apabila dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath`i, baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah atau bahkan atas persoalan-persoalan yang sudah ada hasil Ijma` para ulama.[6]
3.      Syarat-syarat ijtihad
Syarat-syarat yang mesti diisi seorang mujtahid sebelum mengerjakan ijtihad. Dalam urusan ini Sya’ban Muhammad Ismail mengetengahkan kriteria-syarat tersebut inilah ini :
a.    Mengetahui Bahasa Arab
b.    Mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai Al Quran
c.    Memiliki pengetahuan yang mencukupi tentang Al Sunnah
d.   Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
e.    Mengetahui Maqashid al-Syariah
f.     Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar
g.    Memiliki pengetahuan mengenai Ushul Fiqih
h.    Niat dan I’tikad yang benar
E.       Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
Muhammad Ma’ruf Ad Dawalibi menyimpulkan Rasulullah saw. menempatkan ijtihad sebagai sumber hukum ketiga dalam ajaran Islam setelah Al Quran dan sunah. Kedudukan ijtihad begitu penting dalam ajaran Islam karena ijtihad telah dapat dibuktikan kemampuannya dahrr menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi umat Islam mulai dari zaman Nabi Muhammad saw. sampai sekarang. Melalui ijtihad, masalah-masalah baru yang tidak dijelaskan oleh Al Quran maupun sunah dapat dipecahkan. Melalui ijtihad, ajaran Islam telah berkembang sedemikian rupal menuju kesempurnaannya, bahkan ijtihad merupakan daya gerak kemajuan umat Islam. Artinya ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam. Dalilnya adalah Al-Qur’an dan Hadist. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidil Haram dan dimana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu kearahnya.” (Q.S. Al-Baqarah 150).
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah (Ka’bah) Masjidil Haram, apabila hendak mengerjakan shalat, ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat shalat itu (Masjidil Haram) melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.
Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi di antaranya sebagai berikut :
1.      Terciptanya suatu keputusan bersama antara para ulama dan ahli agama (yang berwenang) untuk mencegah kemudharatan dalam penyelesaian suatu perkara yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Qur’andanHadist.
2.      Tersepakatinya suatu keputusan dari hasil ijtihad yang tidak bertentangan dengan All Qur’an dan Hadist.
3.      Dapat ditetapkannya hukum terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at berdasarkan prinsip-prinsip umum ajaran Islam.[7]









PENUTUP
Demikian makalah kami paparkan semoga bisa memberi manfaat dan menambah wawasan kita tentang memaafkan kesalahan orang lain, dan kami harapkan kepada pembaca untuk mencari sumber yang lain untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang Ijtihad sebagai sumber penafsiran. Sebagai pemakalah, kami ucapkan terima kasih.




Semoga Bermanfaat, Baca juga


KEPUSTAKAAN
‘Abdu Al-Hamid Hakim, Al-Bayan, jakarta: maktabah sa’adiyyah putra.
Amin Abdulloah,, Falsafat Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997.
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,  Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.


[1] Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Cetakan IV, hlm. 97-98.
[2] Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 3.
[3]‘Abdu Al-Hamid Hakim, Al-Bayan, (jakarta: maktabah sa’adiyyah putra), Jilid.3, hlm. 168
[4]Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 258

[5] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 294
[6] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), Cetakan XV, hlm. 105.
[7] Amin Abdulloah,, Falsafat Kalam di Era Post Modernisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm.

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018