MAKALAH
ADDAKHIL FII AL-TAFSIR
Disusun Oleh :
Fauzan : 1515030046
Jendri : 1515030037
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Rusydi, AM. Lc., M. Ag
Oktari Kanus, S. Th. I., M. Ag
Prof. Dr. H. Rusydi, AM. Lc., M. Ag
Oktari Kanus, S. Th. I., M. Ag
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1438H/2017M
PENDAHULUAN
Al Quran sebagai
pedoman hidup kaum muslim, tidak menjelaskan secara rinci berbagai aspek
kehidupan. Hal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh hadis. Namun, ternyata
ada beberapa hal yang bisa ditafsirkan bermacam-macam, bahkan hingga kini masih
ada hal-hal yang tidak dijelaskan secara tegas oleh kedua sumber hukum Islam
tersebut (Al Quran dan hadis) sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di antara
kaum muslim.
Dari sisi metologis
hukum islam dapat dipahami sebagai hukum yang bersumber dari Al-Quran Dan
sunnah nabi melalui peroses penalaran atau ijtihad, ia diyakini sebagai hukum
yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal. Ruang
gerak metologi antara wahyu sebagai sumber hukum yang memuat petunjuk-petunjuk
global Dan kedudukan ijtihad sebagai fungsi pengembangannya, memungkinkan hukum
islam memiliki sifat elastis Dan akomodatif sehingga keyakinan diatas tidaklah
berlebihan.
Apabila kita
memperhatikan sejarah islam serta menyelidiki perjalanan perjuangan Rasul
saw.yang membaawa syariat islam Dan undang-undangnya untuk dikembangkan
ditengah-tengah masyarakat dunia maka diutuslah Rasulullah saw. Guna menyusun
Dan mengatur amal usaha, ibadah Dan mualamah, beliau mensyariaykan aneka rupa
hukum yang dibahas oleh ilmu Fiqh, yaitu:”ilmu yang sangat besar manfaatnya,
buat menjadi pedoman bagi kitaa dalam segala langkah kita, baik menyangkut
politik ekonomi Dan sosial”.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah mashdar dari fi`il madi yaitu Ijtihada.
Penambahan hamzah dan ta` pada kata ja-ha-da menjadi Ijtihada pada wajan if-ta-a`-la berarti usaha itu lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya
ka-sa-ba menjadi iktasaba yang berarti usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh. Oleh
sebab itu, Ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus` atau badzl al-wus`). Dengan demikian, Ijtihad berarti usaha maksimal untuk
mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan
tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut Ijtihad,
melainkan daya nalar biasa, ar-ra`y atau
at-tafkir.[1]
Adapun mengenai pengertian Ijtihad secara istilah banyak
terjadi perbedaan mengenai definisi Ijtihad secara istilah. Berikut ini
beberapa definisi Ijtihad secara istilah :
1. Menurut Abu Zahrah definisi Ijtihad secara istilah adalah Upaya
seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah
yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
2. Al-Amidi dalam al-ihkam fi al-ushul al-ahkam, yang dikutip oleh
Khoriyah menjelaskan bahwa Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan
dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas
sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya.
3. Menurut ulama Hanafiah, Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau persoalan dalam berbagai bidang.[2]
4. Sedangkan dalam kitab Al-Bayan ijtihad Yaitu meluangkan waktu yang
sangat luas dalam mencapai atau menggali hukum syariat
dengan cara mengistimbatkan dari kitab (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul SAW.[3]
Dari beberapa definisi Ijtihad
secara istilah yang sudah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa Ijtihad
merupakan aktivitas berpikir yang tidak dapat dilakukan oleh orang biasa,
karena merupakan keluar biasaan, sehingga membutuhkan tingkat keilmuan yang
tinggi dalam mendapatkan satu buah hasil pemikiran yang tidak bertentangan
dengan nash dan berguna bagi kemaslahatan umum.
B. Pandangan Ulama Tentang
Ijtihad dalam Penafsiran
Sebagian ulama
membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan akal, dan sebagian ulama yang lain
melarang adanya penafsiran dengan akal atau tafsir bir-ra’yi. Berikut
adalah beberapa pendapat ulama yang membolehkan tafsir bir-ra’yi:
Ulama’ yang membolehkan
tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang menyebutkan beberapa alasan
yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Allah telah manganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti
Al-Qur’an, seperti dalam firman-Nya:
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ
إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ
ٱلۡأَلۡبَٰبِ
Artinya :“ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami
rahasia-rahasia Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami artinya.
b.
Allah SWT. membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan
kelompok ulama (cerdik cendekiawan). Allah memerintahkan mengembalikan segala
persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum, firman Allah:
وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى
ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ
يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡ.
Artinya :“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c.
Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka
ijtihad itu sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang
terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad
dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam
ijtihadnya.[4]
Sedangkan beberapa pendapat para ulama yang melarang adanya tafsir bir-ra’yi
adalah sebagai berikut:
Pendapat tentang larangan berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya
karena berdasarkan hadis Nabi SAW :
من قال في القرأن يرأيه فأصاب فقدأخطأ
“Siapa yang berbicara
tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya, kemudian benar,maka itu tetap di anggap
salah”.
Menurut Al-Qurthubi,
maksud hadis di atas yakni orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan
kecenderungan hawa nafsunya.
Menafsirkan Al-Qur’a dengan ra’yu
(rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, berdasarkan
firman Allah SWT :
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ
لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ
كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا
Artinya :“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra: 36).
Juga hadis nabi
مَنْ قَالَ فِي القُرأَنِ بِرَأْيِهِ – أَوْ بِمَالَايَعْلَم –
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an menurut
pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak di ketahuinya, hendaklah ia
menempati tempat duduk di dalam neraka” (HR. At-Tirmidzi).
Menurut Ath-Thabari, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak diketahui
maknanya kecuali dengan penjelasan Rasulullah secara jelas dan tegas, tidak
seorangpun diizinkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri. Bahkan
apabila tepat dan benar sekalipun ia tetap di pandang telah melakukan sebuah
kesalahan. Orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaannya,
berarti ia mengatakan sesuatu yang pada dasarnya tidak tahu. Allah telah
mengharamkan perbuatan demikian.
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ
وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ
يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
Artinya :“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" (QS.
Al-A’raaf 33).
Kemudian Ath-Thabari menjelaskan bahwa mufassir yang dapat di katakan
handal yang dapat di jamin keshahihan argumentasinya yaitu mereka yang
menggunakan kaidah-kaidah bahasa, baik menggunakan rujukan syair-syair Arab
baku maupun dengan memperhatikan tutur kata dan ungkapan mereka.
C. Pembagian Tafsir
Menggunakan Ijtihad
Tafsir menggunakan ijtihad atau dikenal dengan tafsir bi
al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut :
1.
Tafsir al-Maḥmudah
Tafsir al-maḥmudah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak
syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari
kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta
berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
Tafsir bi al-ra’yi al-maḥmd memiliki kemungkinan benar karena
menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya
(menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang
kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka
penafsiran itu telah patut disebut tafsir al–maḥmūd atau tafsir al-masyru’.
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud Salah satu contoh
penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh imam al-Mahalli
dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”,
mengenai surat al-Isra’ ayat 85:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya
: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit".
Imam al-Mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu
adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke
dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi
memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab
itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik. Karena tafsir
ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut
memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat
tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
2.
Tafsir al-Madzmumah
Tafsir al-madzmum adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau
mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah
bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang
rusak maupun bid’ahnya yang tersesat, seperti kitab tafsir al-Kashshaf karya
al-Zamakhshāriy.[5]
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Madzmum Penafsiran sebagian orang
terhadap QS. 55 : 33 adalah:
يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا
مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْا ۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا
بِسُلْطٰنٍ
Artinya
: “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali
dengan kekuatan”.
Ayat ini di tafsirkan dengan berdasarkan dugaan, bahwa ayat diatas
mengisyaratkan kemungkinan para scientis mendarat dibulan dan planet-planet
lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat
itu diberi pengertian demikian, sebab ayat sebelumnya berbunyi:
“Kepada kamu (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan
tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri dari padanya”.
Kedua ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang konteks hari kiamat. Oleh karena itu penafsiran seperti diatas sangat jauh dari konteks ayat itu sendiri. Penafsiran sebagian orang terhadap QS. 104 : 6-7 adalah :
Kedua ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang konteks hari kiamat. Oleh karena itu penafsiran seperti diatas sangat jauh dari konteks ayat itu sendiri. Penafsiran sebagian orang terhadap QS. 104 : 6-7 adalah :
“Yaitu api yang disediakan Allah yang dinyalakan, yang (naik)
sampai ke hati”. Mereka berpendapat, ayat ini menunjukkan macam-macam sinar
yang berhasil ditemukan pada abad 20 dan mampu mendeteksi bagian tubuh manusia.
Terlihat jelas kalau mereka membawa ayat diatas kepada makna yang tidak
memungkinkan, padahal bila dihubungkan dengan ayat sebelumnya, maka yang
dimaksud ayat diatas adalah neraka Jahanam pada hari kiamat. Penafsiran-penafsiran
diatas adalah contoh-contoh penafsiran bi al-Ra’yi yang haram, oleh karena
penafsiran itu merupakan pemerkosaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dan sangat
jauh dari tujuan syar’i.
D. Dasar Hukum dan
Hukum Ijtihad dalam Islam dan Syarat-Syarat
Ijtihad
1.
Dasar Hukum Ijtihad
Ada dua sumber utama
terkait dengan penjelasan tentang Ijtihad, yaitu:
a.
Al-Qur`an
إِنَّا أَنزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ
اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu
(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa
yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang
(orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S.
An-Nisa: 105).
b.
As-Sunnah
Hadits yang
diriwayatkan oleh Umar:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا
حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر
Artinya: “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapat
dua, dan bila salah, maka ia mendapat satu pahala.”
Dan hadits Mu`adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman
untuk menjadi hakim di Yaman.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
لِمُعَادٍ: بِمَ تَقْضِى؟ قَالَ: بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ
تَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: أَقْضِى بِمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ.
قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ
بِرَأْيِي. قَالَ: الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَفَقَّ رَسُوْلَ رَسُوْلِهِ.
Artinya: “Rasulullah SAW bertanya, dengan apa kamu menghukumi?, Ia
menjawab, dengan apa yang ada di dalam Kitab Allah. Bertanya Rasulullah, jika
kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Dia menjawab, aku memutuskan dengan
apa yang diputuskan Rasulullah. Rasul bertanya lagi, jika tidak mendapatkan
dalam ketetapan Rasulullah? Berkata Mu`adz, aku ber-Ijtihad dengan
pendapatku. Rasulullah bersabda, Alhamdulillah, yang telah menyepakati utusan
dari Rasul-Nya.”
2. Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa,
atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara`,
maka hukum Ijtihad bagi orang itu bias wajib `ain, wajib
kifayah, sunnah atau bahkan haram. Ini bergantung kepada
kapasitas orang tersebut. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Wajib `ain, yaitu bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang
dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir
peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri
mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nash.
b. Wajib kifayah, yaitu bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang
diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia
mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya.
c. Sunnah, yaitu apabila di lakukan pada persoalan-persoalan yang tidak atau belum
terjadi.
d. Haram, yaitu apabila dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas
hukumnya secara qath`i, baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah
atau bahkan atas persoalan-persoalan yang sudah ada hasil Ijma` para
ulama.[6]
3. Syarat-syarat ijtihad
Syarat-syarat yang
mesti diisi seorang mujtahid sebelum mengerjakan ijtihad. Dalam urusan ini
Sya’ban Muhammad Ismail mengetengahkan kriteria-syarat tersebut inilah ini :
a. Mengetahui Bahasa Arab
b. Mempunyai pengetahuan
yang mendalam mengenai Al Quran
c. Memiliki pengetahuan
yang mencukupi tentang Al Sunnah
d. Mengetahui letak ijma’
dan khilaf
e. Mengetahui Maqashid
al-Syariah
f. Memiliki pemahaman dan
penalaran yang benar
g. Memiliki pengetahuan
mengenai Ushul Fiqih
h. Niat dan I’tikad yang
benar
E. Kedudukan dan Fungsi
Ijtihad
Muhammad Ma’ruf Ad
Dawalibi menyimpulkan Rasulullah saw. menempatkan ijtihad sebagai sumber hukum
ketiga dalam ajaran Islam setelah Al Quran dan sunah. Kedudukan ijtihad begitu
penting dalam ajaran Islam karena ijtihad telah dapat dibuktikan kemampuannya dahrr
menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi umat Islam mulai dari zaman Nabi
Muhammad saw. sampai sekarang. Melalui ijtihad, masalah-masalah baru yang tidak
dijelaskan oleh Al Quran maupun sunah dapat dipecahkan. Melalui ijtihad, ajaran
Islam telah berkembang sedemikian rupal menuju kesempurnaannya, bahkan ijtihad
merupakan daya gerak kemajuan umat Islam. Artinya ijtihad merupakan kunci
dinamika ajaran Islam. Dalilnya adalah
Al-Qur’an dan Hadist. Allah Swt berfirman:
Artinya:
“Dan
dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidil Haram dan
dimana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu kearahnya.”
(Q.S.
Al-Baqarah 150).
Dari
ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari
Baitullah (Ka’bah) Masjidil Haram, apabila hendak mengerjakan shalat, ia dapat
mencari dan menentukan arah kiblat shalat itu (Masjidil Haram) melalui ijtihad
dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.
Adapun ijtihad memiliki
beberapa fungsi di antaranya sebagai berikut :
1.
Terciptanya suatu keputusan bersama antara para ulama dan ahli agama (yang
berwenang) untuk mencegah kemudharatan dalam penyelesaian suatu perkara yang
tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Qur’andanHadist.
2.
Tersepakatinya suatu keputusan dari hasil ijtihad yang tidak bertentangan
dengan All Qur’an dan Hadist.
3.
Dapat ditetapkannya hukum terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas
pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at
berdasarkan prinsip-prinsip umum ajaran Islam.[7]
PENUTUP
Demikian makalah kami paparkan semoga bisa memberi manfaat dan
menambah wawasan kita tentang memaafkan kesalahan orang lain, dan kami harapkan
kepada pembaca untuk mencari sumber yang lain untuk menambah dan memperdalam
pengetahuan tentang Ijtihad sebagai sumber penafsiran. Sebagai pemakalah, kami ucapkan terima
kasih.
Semoga Bermanfaat, Baca juga
Semoga Bermanfaat, Baca juga
KEPUSTAKAAN
Amin Abdulloah,,
Falsafat
Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997.
Atang
Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Jaih
Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Muhammad Ali Ash Shaabuniy,
Study Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Rachmat
Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2010.
[2] Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005), hlm. 3.
[3]‘Abdu Al-Hamid
Hakim, Al-Bayan, (jakarta: maktabah sa’adiyyah putra), Jilid.3, hlm. 168
[4]Muhammad Ali Ash
Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), hlm. 258
[5] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an, terj.
Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 294
[6] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), Cetakan XV, hlm. 105.
[7] Amin Abdulloah,, Falsafat Kalam di Era Post Modernisme,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm.
0 comments:
Post a Comment