Monday, October 1, 2018

Makalah Tafsir Ayat Thaharah dan Azan

0 comments


KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الرحيم
Puji syukur kami persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dalam menyusun makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Tafsir Maudhu’i. Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam proses pembuatan makalah ini. Kami menyadari walaupun makalah ini sudah dibuat secara maksimal, namun masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam hal yang perlu disempurnakan. Untuk itu kami mohon maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kami menerima kritik dan saran serta petunjuk dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.








Padang,        April 2017

Pemakalah


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam ajaran Islam menegaskan bahwa sebelum mengerjakan beberapa ibadah tertentu, terutama shalat disyaratkan harus suci terlebih dahulu, baik suci pada diri orang yang melakukan ibadah itu sendiri (suci dari hadas) ataupun suci pada tempat dan pakaian yang dia kenakan saat melaksanakan ibadah tersebut (suci dari hadas). Hal ini disyari’atkan karena Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu suci senantiasa membersihkan diri baik lahir dan batin.
Ketika kita akan melaksanakan ibadah khususnya shalat yaitu dilakukannya adzan dan iqamah. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan lafadz-lafadz tertentu. Setelah adzan barulah kemudian iqamah. Sejarah adzan itu sendiri sangat panjang, sewaktu Rasulullah SAW masih berada di Makkah, adzan belum disyari’atkan. Rasulullah SAW menaruh perhatian yang amat besar pada masalah adzan, hingga Allah memperlihatkannya dalam mimpi kepada beberapa sahabatnya. Ketika bangun tidur, Zaid langsung menemui Rasulullah untuk menceritakan mimpinya, kemudian Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandamgkan adzan tersebut, dan Rasulullah sendiri menerima dan mengakui adzan tersebut.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana penjelasan ayat-ayat tentang thaharah?
2.    Bagaimana penjelasan ayat-ayat tentang azan?








BAB II
PEMBAHASAN
A.  Thaharah
1.      Qur’an Surat al-Maidah Ayat : 6
يأيهاالذين أمنوا أذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءوسكم وأرجلكم إلى الكعبين وإن كنتم جنبا فاطهروا وإنكنتم مرضى أوعلى سفر أوجاء أحد منكم من الغائط أو لمستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه مايريدالله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تسكرون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.

a.    Penjelasan al-Mufradad
إذا قمتم : Pengertainnya, yaitu pabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka yang dimaksud mendirikan dalam ayat ini bukanlah perbuatan mendirikan itu sendiri, melainkan hendak melaksanakan perbuatan. فاغسلوا   : Menuangkan air pada sesuatu untuk menghilangkan kotoran dan lain sebagainya. وجوهكم : Adalah bentuk jamak dari kata وجه, sedangkan batasnya memanjang dari dahi paling atas sampai dagu paling bawah, dan melebar dari anak telinga sebelah kanan sampai anak telinga sebelah kiri. وأيديكم : Bentuk jamak dari kata يد yang artinya adalah tangan. الغائط : Tempat yang rendah dan tenang di permukaan bumi. الكعبان : Yaitu dua buah tulang yang menonjol pada kedua sisi mata kaki. Disebut كعب karena menonjol dan mencuat. Dalam anggota


wudu’ ia dikenal dengan kedua mata kaki. من حرخ : kesempitan dalam masalah agama.
b.    Sabab al-Nuzul dan al-Munasabah ayat
Diriwayat oleh Bukhari dari Amir bin al-Harits bahwa suatu ketika dalam perjalanan, kalung Aisyah r.a. terjatuh dan hilang di suatu lapangan dekat kota madinah. Kemudian Rasulullah SAW. menghentikan untanya seraya turu guna mencari kalung tersebut. Kemudian beliau beristirahat sehingga tertidur di pangkuan Aisyah. Tidak lama kemudian datanglah Abu Bakar menghampiri Aisyah dan menamparnya sambil berkata, “kamulah yang menyebabkan tertahannya orang banyak hanya karena sebuah kalung”. Nabi Muhammad SAW. terbangun dari tidurnya dan waktu subuh pun tiba. Kemudian ketika beliau mencari air, tetapi tidak mendapatkannya, maka turunlah ayat di atas. Usaid bin Mudhair menyatakan “ Allah telah memberi berkah bagi manusia karena keluarga Abu Bakar”. Ayat ini mewajibkan berwudhu’ atau betayamum sebelum melaksanakan shalat.
Dalam ayat sebelumnya telah menjelaskan tentang hal-hal yang dibolehkan untuk manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan syahwat dan keinginan tersebut, yaang sekaligus hak bagi manusia. Di samping memiliki hak, manusia juga dibebani dengn kewajiban yang harus dipenuhinya sebagai wujud dan rasa patuh kepada Allah SWT. perbutan taat atau patuh yang paling agung dan paling mulia setelah iman, adalah shalat. Sedangkan shalat tidak mungkin dapat dilakukan tanpa bersuci dan dan suci dari hadas. Oleh sebab itu, pada ayat ini Allah SWT. menyari’atkan wudhu’ sebagai salah satu persyaratan untuk dapat diterima shalat, dan merupakan manifestasi dari perbuatan taat kepada Allah.[1]
c.    Penafsiran
Ayat ini mengajak dan menuntun, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat”, yakni telah berniat dan membulatkan hati untuk melaksanakan shalat, sedang saat itu kamu dalam keadaan tidak suci atau berhadas kecil, maka berwudhulah, yakni basuhlah muka kamu seluruhnya dan tangan kamu ke siku, yakni sampai  dengan siku, dan sapulah, sedikit sebagian atau seluruh kepala kamu dan basuhlah atau sapulah kedua kaki-kaki kamu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, yakni keluar mani dengan sebab apapun dan atau berhalangan shalat bagi wanita maka mandilah, yakni basahilah seluruh bagian badanmu.
Setelah menjelaskan cara bersuci wudhu dan mandi dengan menggunakan air, lalu dijelaskan cara bersuci jika tidak mendapatkan air atau tidak dapat menggunakannya. Penjelasan itu adalah jika  kamu sakit, yang menghalangi kamu menggunakan air, karena khawatir bertambah penyakit atau memperlambat kesembuhan kamu atau dalam perjalanan yang dibenarkan agama dalam jarak tertentu, atau kembali dari tempat buang air (kakus) setelah selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni terjadi pertemuan dua alat kelamin, lalu kamu tidak memperoleh air, yakni tidak dapat menggunakan, baik karena tidak ada atau tidak cukup, tau karena sakit, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik, yakni suci. Untuk melaksanakan tayamum sapulah muka kamu dan tangan kamu dangan tanah itu. Allah Yang Maha Kaya dan Kuasa itu tidak menghendaki untuk menjadikan atas kamu sedikitpun, karena itu disyari’atkanNya kemudahan-kemudahan untuk kamu, karena Dia hendak membersihkan kamu lahir dan batin denagan segala macam ketetapnNya, baik yang kamu ketahui hikmahnya maupun tidak dan agar Dia menyempurnakan nikmatNya bagi kamu, dengan meringankan apa yang kamu menyulitkan kamu, memberi izin dan atau mengganti kewajiban dengan sesuatu yang lebih mudah supaya kamu bersyukur.
Firman-Nya: اذا قنتم الى الصلاة  apabila kamu telah akan mengerjakan shalat, menunjukkan perlunyan niat bersuci guna sahnya wudhu, karena kalimat telah akan mengerjakan berarti adanya tujuan mengerjakan, dan tujuan itu adalah niat, dan niat yang dimaksud adalah untuk melaksanakan shalat, bukan untuk membersihkan diri atau semacamnya, baik diucapkan atau tidak
Firman-Nya: فا غسلوا basuhlah, berarti mengalirkan air pada anggota badan yang dimaksud. Sementara ulama menambahkan keharusan menggosok anggota badan saat mengalirkan air.
Firman-Nya : وايديكم الى المرافق  dan tangan kamu sampai dengan siku, dapat dipahami dalam arti sempit dan luas. Para ulama berbeda pendapat tentang kata ila, apakah itu berarti sampai, sehingga siku-siku termasuk yang wajib dibasuh atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa siku-siku wajib dibasuh. Karena itu terjemahan di atas menyatakan sampai dengan sunah Rasul SAW pun menginformasikan beliau berwudhu dengan tangan bersama dengan siku beliau.
Firman-Nya:وامسحوا برءوسكم  sapulah kepala kamu. Setelah disepakati ulama tentang wajibnya menggunakan air ke kepala, mereka berbeda pendapat tentang batas minimal yang wajib.
Firma-Nya:برءوسكم   dengan kepala kamu, dan karena kepala disapu yakni tidak harus dibasuh dan dicuci, maka cukup disapu dengan air walau hanya dengan sedikit air.
Firman-Nya:فامسحوا بوجو هكم وايديكم منه  maka sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, menunjukkan bahwa dalam bertayamum hanya wajah dan tangan ynag harus disapu dengan tanah, apapun sebab bertayamum dan tujuannya apakah sebagai pengganti wudhu atau mandi.[2]
2.    Qur’an  Surat An-Nisa’ Ayat: 43
يايهاالذين أمنوالاتقربوا الصلاة وانتم سكارى حتى تعلمواماتقولون ولاجنباإلاعابري سبيل حتى تغتسلوا وإنكنتم مرضى أوعل سفر أوخاء احدمنكم من الغائط اولمستم النساء فلم تجدوا ماء فتيممواصعيداطيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم ان الله كان غفواغفورا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.
a.    Penjelasan al-mufradad
ولمستم : kata lamasa semakna dengan massa. Kedua kata ini mempunyai dua makna, yaitu menyentuh dan  mempergauli atau mencampuri. صعيد :   kata sha’ida berasal dari kata sha’ada. Makna dasar nya adalah terangkat. Menurut Asy-syafi’I, kata itu bermakna tanah yang mengandung debu. Menurut ishaq berarti permukaan bumi. عابري :   kata ini berasal dari kata ‘abara yang berarti menyebrangi. Jadi kata ‘abiri adalah orang-orang yang menyebrangi jalan kemudian diartikan kepada orang-orang musafir karena mereka telah banyak melewati perjalanan.[3]
b.    Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengundang makan ‘Ali dan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minumam khamar (arak/minuman keras), sehingga terganggulah otak mereka. Ketika tiba waktu shalat, orang-orang menyuruh ‘Ali menjadi imam, dan pada waktu itu beliau membaca dengan keliru, Qul ya ayyuhal kafirun; la a’budu ma ta’budun; wa nahnu na’budu ma ta’budun (katakanlah: “Hai orang-orang kafir; Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; dan kami akan menyembah apa yang kamu sembah”). Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. An-Nisa’: 43) sebagai larangan shalat dalam keadaan mabuk.(Diriwayatkan oleh Abu Daud , at-Tirmidzi, an-Nasa’I, dan al-Hakim, yang bersumber dari ‘Ali).
c.    Munasabah Ayat
Pada ayat-ayat yang lalu Allah melarang makhluk-Nya berbuat musyrik, karena musyrik merupakan najis. Tetapi Allah SWT. justru mendorong dan mencintai umatnya untuk berbuat kebaikan dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya. Kemudian pada ayat ini, Allah melarang hambanya untuk melakukan shalat dalam keadaan mabuk, atau dalam keadaan junub.[4]
d.   Makna Hukum
Orang mslim mukmin dilarang mengerjakan shalat pada waktu mereka sedang mabuk. Mereka tidak diperbolehkan shalat sehingga mereka menyadari apa yang dibaca dan apa yang dilakukan dalam shalat. Pada waktu dalam keadaan mabuk itu tidak memungkinkan beribadat dengan khusuk. Ayat ini belum mengharamkan khamar secara tegas, namun telah memperingatkan kaum Muslim akan bahaya minum khamar sebelum diharamkan sama sekali.
Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa orang mukmin dilarang melaksanakan shalat pada waktu ia berhadats besar. Larangan ini akan berakhir setelah ia mandi janabah, karena mandi akan membersihkan lahir dan batin. Di antara hikmah mandi, apabila seseorang sedang lesu, lelah dan lemah biasanya akan menjadi segar kembali, setelah ia mandi.[5]
Dapat dimaklumi bahwa orang yang shalat harus suci dari hadats kecil, yaitu hadats yang timbul oleh misalnya: karena buang air kecil atau suci dari hadats besar sesudah bersetubuh. Menyucikan hadats itu adalah dengan wudhu’ atau mandi. Untuk berwudu’ atau mandi kadang-kadang orang-orang tidak mendapatkan air, atau ia tidak boleh terkena air karena penyakit tertentu, maka baginya dalam keadaaan serupa itu diperbolehkan tayammum yaitu mengusap muka dan tangan dengan debu tanah yang suci.
Yang dimaksud dengan ) أولمستم النساءau lamastum an-nisa’) ialah menyentuh perempuan yang bukan mahram. Maka menyentuh perempuan mengakibatkan hadats kecil yang dapat dihilangkan dengan wudhu’ atau tayamum. Apabila seseorang buang air kecil atau besar, maka kedua hal itu menyebabkan hadats kecil yang dapat dihilangkan dengan wudhu’. Setiap orang yang buang air kecil atau besar diwajibkan menyucikan dirinya dengan membersihkan tempat najis itu dengan istinja’. Hal itu dapat dilakukan dengan memakai air atau benda-benda suci yang bersih seperti batu, kertas kasar. Diantara ulama’ ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “menyentuh perempuan” dalam ayat ini adalah bersetubuh, sedang bersetubuh mengakibatkan hadats besar yang dapat dihilangkan dengan mandi jinabah.[6]
Hukum-hukum yang tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah tidak memberati hamba-Nya di luar batas kemampuannya, karena Dia adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
3.      Qur’an Surat al-Muddatstsir Ayat 4-6
وثيابك فكبر والجزفاهجر ولاتمنن تستكسر
Artinya :“Dan bersihkanlah pakaianmu , dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”.
a.       Makna Hukum
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita supaya membersihkan pakaian. Makna membersihkan pakaian menurut sebagian ahli tafsir adalah:
Membersihkan pakaian dari segala najis dan kotoran karena bersuci dengan maksud beribadah hukumnya wajib, dan selain beribadah hukumnya sunah. Mebrsihkan di sini juga termasuk cara memperolehnya yaitu pakaian yang digunakan harus diperoleh dengan cara halal. Ketika ibnu Abbas ditanya orang tentang ayat ini, beliau menjawab bahwa firman Allah tersebut berarti larangan memakai pakaian untuk perbuatan dosa dan penipuan. Jadi menyucikan pakian adalah membersihkannya dari najis dan kotoran. Pengertian yang lebih luas lagi, yakni membersikan tempat tinggal dan lingkungan hidup dari segala bentuk bentuk kotoran, sampah, dal lain-lain. Sebab pakaian, tubuh, dan lingkngan yang kotor banyak terdapt dosa. Sebaliknya dengan membersihkan badan, tempat tinggal, dan lain-lain berarti berusaha menjauhkan diri dari dosa. Demikian para ulama’ Syafi’iyah mewajibkan membersihkan pakaian dari najis bagi orang yang hendak shalat. Begitulah Islam mengharuskan para pengilutnya untuk selalu hidup bersih, karena kebersihan jasmani mengangkat manusia kepada akhlak yang mulia.
Membersihkan pakaian berarti membersihkan rohani dari segala watak dan sifat-sifat tercela. Khusus buat Nabi Muhammad, ayat ini memerintahkan beliau menyucikan nilai-nilai nubuwwah (kenabian) yang dipikulnya dari segala yang mengotorinya (dengki, dendam, pemarah, dan lain-lain). Pengertian kedua ini bersifat kiasan (majazi), dan memang dalam bahasa arab kadang-kadang menyindir orang yang tidak menepati janji dengan memakai perkataan, “Dia suka mengotori (pakaian)-nya”. Sedangkan orang yang suka menepati janji selalu dipuji dengan ucapan, “Dia suka membersihkan baju (pakaian)-nya”.
Secara singkat, ayat ini memerintahkan agar membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan dari segala najis, kotoran, sampah, dan lain-lain. Disamping itu juga berarti perintah memelihara kesucian dan kehormatan pribadi dari segala perangai yang tercela.
Seperti halnya benda-benda yang termasuk najis ialah kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan, nanah, cairan luka yang membusuk, ( ma’ al- quruh ), ‘alaqah, bangkai , anjing, babi ,dan anak keduanya, susu binaang yang tidak halal diamakan kecuali manusia, cairan kemaluan wanita. Jumhur fuqaha juga berpendapat bahwa khamr adalah najis, meski dalam masalah ini banyak sekali perbedaan pendapat dilingkungan ahli Hadits.
Berbagai tempat yang harus dibersihkan lantaran najis, ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian dan masjid. Kewajiban membersihkan pakaian didasarkan pada firman Allah pada surat al- Mudatsir ayat 4.
Benda yang dipakai untuk membersihkan najis yaitu air. Umat Islam sudah mengambil kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa dipakai untuk membersihkan najis untuk ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya menyatakan bahwa najis tidk bisa dibersihkan (dihilangkan ) kecuali dengan air. Selain itu bisa dengan batu, sesuai dengan kesepakatan ( imam malik dan asy- syafi’I ).
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara membersihkan najis adalah dengan membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan air. Perihal menyipratkan air, sebagian fuqaha hanya mangkhususkan untuk membersihkan kencing bayi yang belum menerima tambahan makanan apapun.
Cara membersihkan badan yang bernajis karena jilatan anjing adalah dengan membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah. Hal ini berdasarkan Hadits Rasul SAW, yang artinya “ menyucikan bejana seseorang kamu, apabila anjing minum di dalam bejana itu , ialah dengan membasuhnya tujuh kali , yang pertama diantaranya dengan tanah.
Selanjutnya Allah menyuruh supaya meninggalkan perbuatan dosa seperti menyembah berhala atau patung. Kata ar-rujz yang dimaksud adalah perintah menjauhkan segala sebab yang mendatangkan siksaan, yakni perbuatan maksiat. Termasuk yang dilarang oleh ayat ini ialah mengerjakan segala macam perbuatan yang menyebabkan perbuatan maksiat.
Membersihkan diri dari dosa apalagi bagi seorang dai adalah suatu kewajiban. Sebab, kalau pada diri sang dai sendiri diketahui ada cela dan aib oleh masyarakat, tentu perkataan dan nasihatnyasulit diterima orang.
B.     Azan
Qur’an Surat al-Maidah Ayat : 58
وإذاناديتم الى الصلاة اتخذوهاهزواواولعبا ذلك بأنهم قوم لايعقلون
Artinya: “Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal”.
1.      Penjelasan Mufradad
ناديتم  : Asal kata نداء  yang berarti panggilan, yakni panggilan (dapat didengar melalui telinga) yang berisikan do’a yang dilakukan dengan mengeraskan suara kepada alam (sekeliling) untuk melakukan shalat. هزوا :  Asal kata هزاء  yang berarti ejekan, cemoohan. Dikatakan bahwa mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) mengejek dan mencemooh panggilan shalat (adzan). لعبا : Asal kataلعب  yang berarti putar. Yang dimaksud putar ini yakni permainan. Mereka (orang-orang Yahudi & Nasrani) mempermainkan agama Islam dengan mencemooh shalat.
2.      Asbab an-Nuzul QS. Al-Maidah : 58
Al-Kalabi menjelaskan : “Rasulullah SAW menyerukan, ketika ada panggilan bagi orang-orang Muslim  untuk mendirikan shalat, maka dirikanlah shalat, lalu orang-orang Yahudi berkata  “Berdirilah (orang-orang Muslim) melakukan berdo’a dan berlutut (shalat)”, (mereka berkata) dengan cara mengejek dan menertawakanmu (orang-orang Muslim). Maka turunlah ayat ini.
As-Sudi menjelaskan mengenai ayat ini, bahwa : Dahulu ada seorang Nasrani Madinah (di kota madinah). Jika ia mendengar mu’adzzin berkata : “Asyhadu anna Muhammad Rasulullah”, maka ia berkata : “Semoga terbakar si pendusta itu.”. Lalu, tiba-tiba pada suatu malam pelayannya masuk ke rumahnya membawa api ketika majikannya itu (orang Nasrani) tidur, tiba-tiba percikan api itu jatuh di tengah rumah sehingga terbakarlah seisi rumah itu bersama penghuninya. (Riwayat Ibnu Jarir dan Ibn Abi Hatim).
3.      Munasabah Ayat
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah SWT. melarang orang-orang yang beriman untuk mengambil dan menjadikan orang-orang Yahudi, Nashara, orang-orang munafik dan, musyrikin sebagai pemimpin, karena mereke termasuk orang-orang yang sering mempermainkan dan memperolok-olok agama islam. Kemudian pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa ejekan dan olok-olokan mereka itu dilakukan pula apabila mereka mendengar azan sebagai tanda panggilan shalat.[7]
4.      Pokok Kandungan QS. Al-Maidah : 58
Dalam ayat ini menyebutkan salah satu contoh pelecehan dan olok-olok yang dilakukan oleh kaum Nasrani dan Yahudi terhadap panggilan shalat (adzan) yang dilakukan kaum Muslimin. Mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan. Mereka mengejek dan mengolok-olok dengan tujuan mengelabui orang-orang Muslim yang hendak melaksanakan shalat. Mereka itu disebut kaum yang tidak mau mempergunakan akal sehatnya, yakni mereka mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan sesuatu yang baik yang sesuai dengan akal, sebagaimana dipahami dari kata “qaum”, tetapi mereka pada hakikatnya adalah kelompok yang tidak mau menggunakan akalnya. Begitulah sifat orang yahudi menjadikan adzan sebagai senda gurau dan permainan hal itu di sebabkan karena mereka adalah kaum yang tidak berfikir.
5.      Makna Hukum
Ayat ini menjelaskan sebagian dari ejekan dan permainan orang-orang kafir tentang agama Islam, yaitu apabila umat Islam mengajak mereka untuk untuk sholat maka orang-orang kafir itu menjadikan ajakan itu bahan ejekan dan permainan sambil menertawakan mereka.
Selanjutnya diterangkan bahwa perbuatan orang-orang kafir yang demikian, disebabkan karena mereka adalah kaum yang tidak mau mempergunakan akal dan tidak mau tahu tentang hakikat agama Allah yang mewajibkan mereka mengagungkan dan memuja-Nya.
Andaikata mereka mempergunakan akal secara wajar, tanpa dipengaruhi oleh rasa benci dan permusuhan, maka hati mereka akan khusu’, apabila mereka mendengar adzan dengan suara yang merdu, apabila jika mereka mengerti dan memahami adzan yang dimulai dengan kata-kata yang mengagungkan Allah.
Imam syaf’i berkata bahwa dalam ayat tersebut Allah swt. Menyebutkan adzan sebagai tanda waktu sholat. Rasulullah juga mempraktikkan adzan untuk sholat fardhu, tidak seorang pun pernah tahu bahwa beliau memerintahkan adzan untuk selain shalat fardhu. Akan tetapi, zuhri, meriwayatkan dari Rasulullah swt. bahwa beliau memerintahkan adzan dalam shalat dua hari raya. Dia kemudian berkata, ‘adzan hanya untuk shalat fardhu, demikian pula dengan iqamat.[8]


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, Thaharah merupakan syarat shahnya shalat baik dengan air di kala ada serta mampu menggunakannya ataupun dengan tanah dikala tidak ada.Thaharah tidak diwajibkan secara terus-menerus kecuali bila mempunyai hadas, baik kecil maupun besar.
Haram hukumnya bagi orang yang sedang mabuk untuk melakukan shalat sehingga ia sadar dan kembali ingatannya. Bagi orang yang sedang junub diharamkan untuk memasuki mesjid dan tinggal di dalam mesjid apa lgi shalat dan membaca al-quran sampai ia mandi terlebih dahulu.Tanah atau debu merupakan sarana bersuci bagi kaum muslimin dalam kondisi tidak ada air.
Orang yang akan melakukan shalat disunnahkan untuk melakukan adzan dan ikamah lebih. Disunnahkan bagi orang yang mendengar adzan untuk diam dan tenang serta mengikutinya dalam hati apa yang diucapkan seorang muadzin
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara membersihkan najis adalah dengan membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan air. Perihal menyipratkan air, sebagian fuqaha hanya mangkhususkan untuk membersihkan kencing bayi yang belum menerima tambahan makanan apapun.
B.  Saran
Kepada pembaca makalah ini supaya dapat memahami dan mencari sumber lain untuk memperluas wawasan kita tentang makalah yang berhubungan dengan Ayat-ayat Thaharah dan Azan. Kami selaku pemekalah mengakui banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna, dan sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan.
Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kami pemakalah, kami mengucapkan terima kasih.


KEPUSTAKAAN
Dahlan, Q.Shaleh. Asbabun Nuzul. Bandung: cv Penerbit Ponogoro.
Al-farrhan, Ahmad Musthafa. 2008. Tafsir Imam Syafii, ter.ferdian hasmad. Jakarta: Almahira.
M. Yusuf, Kadar. 2013. Tafsir Ayat Ahkam, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Hukum. Jakarta: Hamzah.
Syarja, Syibli. 2008. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
http://kumpulan-makalah-islami.blogspot.co.id/2010/03/ayat-taharah-dan-adzan.html



[1] Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, (Jakarta : Raja Wali Pers), hlm. 54-56
[2] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati), hal.34-39
[3]Kadar  M. yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta : Hamzah), hal. 17-18
[4] Syibli Syarjaya, hlm. 90
[5] http://kumpulan-makalah-islami.blogspot.co.id/2010/03/ayat-taharah-dan-adzan.html
[6] Q. Saleh, A.A. Dahlan, Asbabun nuzul, (Bandung: CV Penerbit Diponogoro,),  hal. 185
[7] Syibli Syarjaya, hlm. 106
[8] Ahmad Musthafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’I, terj. Ferdian Hasmad, Fuad (Jakarta: Almahira) cet. 1, hal. 381-382

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018