Cara Kerja Para Peneliti
Penafsiran al-Qurtubi tentang Nabi Perempuan: Potret Bagaimana Kalangan ‘Alim dan Akademisi Berpikir dan Bekerja
Nabi perempuan? Memangnya ada? Bukankah 25 nabi yang diajarkan kepada kita sejak kecil semuanya adalah laki-laki?
Pandangan tentang sosok nabi perempuan barangkali terdengar asing dan aneh di telinga kita hari ini. Tetapi, 8 abad yang lalu, beberapa ulama besar Andalusia mendiskusikan kemungkinan adanya nabi dari kaum hawa. Imam al-Qurtubi (w. 1273), seorang penulis tafsir al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, berpendapat bahwa Maryam adalah seorang nabi dalam penafsirannya atas surah Ali Imran ayat 42.
Ayat tersebut menginformasikan, lanjut al-Qurthubi, bahwa Allah memberikan wahyu kepada Maryam melalui perantara malaikat Jibril sebagaimana Allah menurunkan wahyu kepada para nabi sebelumnya.
Al-Qurthubi juga mengutip hadis yang menyebutkan bahwa Maryam adalah satu di antara empat perempuan yang mencapai ‘kesempurnaan’, dan kesempurnaan tertinggi bagi manusia adalah derajat kenabian. Bahkan, al-Qurthubi cenderung berpandangan bahwa Maryam lebih tinggi derajatnya daripada nabi Zakariya karena yang disebut terakhir ini meminta tanda (ayat) kepada Allah atas kabar gembira yang diberitakan kepadanya, sedangkan Maryam tidak memintanya.
***
Saya akan menggunakan kasus penafsiran di atas untuk mendeskripsikan cara kerja seorang peneliti atau akademisi. Agar lebih mudah memahaminya, saya akan mengkontraskan cara berpikir dan bekerja seorang peneliti dengan cara seorang tokoh agama merespon tafsiran tersebut.
Saat di Qatar, saya menghadirkan tafsir al-Qurtubi yang tidak lazim tersebut kepada seorang ‘alim yang juga berprofesi sebagai dosen. Sebagai tokoh agama – yang memikul kewajiban menjaga aqidah umat, ia pun berusaha menjelaskan bahwa kata “nabi” yang dimaksud oleh al-Qurthubi adalah nabi dalam pengertian lughowi (etimologi), artinya orang yang mendapat kabar (naba’), bukan dalam pengertian isthilahi (terminologi).
Begitu juga dengan kata “wahyu” dalam ayat tersebut, yang menurutnya, harus dipahami secara lughowi bukan isthilahi, sebagaimana dalam surah al-Nahl ayat 68 tentang Allah ‘mewahyukan’ kepada lebah.
Menurut keyakinannya – dan ia juga ingin jamaah meyakininya – tidak ada nabi perempuan. Pendapat adanya nabi perempuan adalah pendapat keliru yang harus ditolak. Cara kerja seperti ini menghiasi karya-karya para mufassir kita. Sebagai contoh, untuk menolak argumen kenabian perempuan. para mufassir sering mengutip surah Yusuf ayat 109 “dan Kami tidak mengutus (wa mā arsalnā) sebelummu (Muhammad) melainkan laki-laki yang Kami berikan wahyu.”
Singkat kata, para tokoh agama (dai, ustadz, syaikh, ‘alim) berpikir dan bekerja untuk ‘meyakinkan umat untuk mengikuti pandangan keagamaan yang ia yakini benar’ dan memang seperti itu peran yang mereka mainkan dari dahulu hingga sekarang.
Lalu, bagaimana cara berpikir dan bekerja seorang peneliti? Bagaimana ia menyikapi tafsiran al-Qurthubi di atas?
Seorang peneliti tidak di-training untuk masuk ke wilayah pemberian ‘judgment’ untuk menilai mana tafsiran yang benar dan yang salah. Ia tidak berkepentingan untuk masuk ke wilayah teologis tersebut dan mungkin memang tidak punya otoritas untuk itu.
Cara kerja peneliti lebih didorong oleh ‘rasa keingin tahuannya’ (curiosity) terhadap fenomena yang ia kaji. Terhadap kasus tafsiran al-Qurthubi di atas, ia akan mencari tahu mengapa tafsiran tersebut bisa muncul? Dari mana al-Qurthubi mengambil pendapat tersebut? Dalam konteks sosial-budaya-politik-intelektual seperti apa pandangan ini bisa muncul di Andalusia? Siapa saja yang mendukung dan menentang? Lalu mengapa pandangan ini, meski dikampanyekan oleh tokoh sebesar al-Qurthubi, bisa meredup dan akhirnya menghilang dari ingatan umat Muslim hari ini? serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa dikembangkan.
Beberapa peneliti (Mirza, Fierro, Abboud, dll) telah menunjukkan bahwa al-Qurthubi bukan satu-satunya ulama yang berpandangan demikian. Dua abad sebelumnya di Andalusia, Ibn Hazm (w. 1064) lebih dahulu mendukung pendapat kenabian Maryam dan beberapa perempuan lainnya.
Ia menuliskan tema ini secara khusus dalam bab nubuwwah al-nisā’ (kenabian perempuan) dalam kitabnya al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Di dalam bab ini, Ibn Hazm menceritakan bahwa para ulama Kordoba di abad ke-11 M terpecah menjadi tiga kelompok besar: yang mendukung kenabian perempuan, yang menolak, dan yang memilih tawaqquf.
Bahkan, Ibn Hazm menolak penggunaan surah Yusuf ayat 109 di atas sebagai dalil tidak adanya nabi perempuan karena, menurut Ibn Hazm, ayat tersebut berbicara tentang risalah (kerasulan) bukan nubuwwah (kenabian).
Lalu, kenapa dan bagaimana pendapat ini bisa muncul di Andalusia dan tidak di dunia Islam bagian Timur?
Para peneliti berbeda pendapat. Abboud, akademisi dari American University in Beirut (AUB), mengajukan pandangan bahwa wacana ini bisa muncul disebabkan struktur masyarakat Andalusia yang memberikan status sosial yang lebih tinggi kepada perempuan dibandingkan di dunia Muslim belahan Timur. Iklim sosial seperti ini memungkinkan para ulamanya merumuskan wacana kenabian perempuan.
Kelompok peneliti yang lain berpendapat bahwa wacana tersebut muncul dalam iklim polemik sektarianisme. Untuk menghalau gerakan Syiah yang kerap membawa nama Fatimah, sebagian ulama Andalusia berusaha menunjukkan posisi Maryam yang lebih tinggi daripada Fatimah. Sebagian sarjana mengajukan hipotesa bahwa kontak dengan Kristen lah yang membuat agamawan Andalusia memberikan penghormatan yang lebih tinggi kepada Maryam sampai-sampai menobatkannya sebagai nabi.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Maribel Fierro, peneliti asal Spanyol. Menurut hasil risetnya, wacana kenabian Maryam muncul dalam iklim perdebatan seputar karamat wali. Bagi para pendukung adanya karamat wali, ayat al-Qur’an yang mengisahkan bahwa Maryam mendapat rezeki (dari langit) adalah bukti gamblang adanya karamat wali. Bagi para penolaknya, ayat tersebut dijadikan dalil bahwa Maryam adalah nabi, dan rezeki yang diterimanya dari langit adalah mukjizatnya sebagaimana mukjizat para nabi lainnya.
Sementara para peneliti masih berdebat mengenai asal-usul wacana kenabian Maryam, Younus Mirza, peneliti di Georgetown University, lebih tertarik mencari penjelasan mengapa tafsiran ini tidak populer bahkan cenderung terhapus dari memori kebanyakan umat Islam. Mirza mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan ‘kekalahan’ tafsir al-Qurthubi dari tafsir al-Baidhawi di abad pertengahan dan dari tafsir Ibn Katsir di era modern ini. Al-Baidhawi dan Ibn Katsir, keduanya mufassir dari dunia Islam bagian Timur, sepakat menolak kenabian perempuan.
Mirza pun membayangkan jika seandainya tafsir al-Qurthubi lah yang memenangkan medan pertempuran tafsir dan menjadi karya yang paling populer, tentu kini wacana kenabian Maryam akan lebih masyhur.
Tetapi, kita juga menemukan bahwa wacana kenabian Maryam tidak benar-benar lenyap, hilang, dan terlupakan dari literatur tafsir. Seandainya Mirza bisa berbahasa Indonesia dan membaca tafsir al-Azhar karya alm. Hamka, ia akan mendapati bahwa wacana kenabian Maryam ini masih muncul dan ‘hidup’ dalam tafsir al-Azhar tersebut.
Ketika suatu ide (dalam kasus ini ide kenabian Maryam yang dibawa oleh mufassir al-Qurthubi) sudah masuk dan menjadi bagian integral dari tradisi tafsir maka ide tersebut akan sulit untuk dihilangkan atau dilupakan dari tradisi penafsiran al-Qur’an. Hal ini karena tradisi tafsir yang bersifat ‘genealogis’ dan ‘ensiklopedis’, sebagaimana sering dijelaskan oleh peneliti tafsir tersohor era ini Prof. Walid Saleh dari University of Toronto.
Semoga satu contoh di atas sudah cukup untuk mengilustrasikan bagaimana seorang peneliti berpikir dan bekerja serta perbedaannya dengan cara bekerja para tokoh agama. Kami yang kuliah studi Islam di Barat di-training untuk menjadi peneliti seperti itu, jadi tidak perlu menyimpan kecurigaan yang berlebihan kepada kami.
Oh ya, jangan tanya pendapat saya tentang kampus yang ‘mengintegrasikan’ kurikulum pendidikan bagi ‘alim dan akademisi di bawah satu atap.
Saya termasuk kalangan yang kurang sepakat. Untuk menjadi ‘alim, seseorang perlu dididik secara intensif dan dalam waktu yang panjang di lembaga khusus, seperti pesantren atau sebagian universitas di Timur Tengah. Begitu juga, untuk menjadi peneliti profesional, seseorang perlu di-training secara intensif dan dalam waktu yang panjang di universitas riset seperti kampus di Barat.
Menggabungkan keduanya, padahal model berpikir dan bekerjanya saja sudah berbeda, akan mengaburkan identitas dan membuat goal masing-masing sulit tercapai. Pandangan ‘dikotomis’ ini tidak begitu disukai oleh sebagian akademisi dan ustadz di tanah air, tetapi tidak sedikit juga yang mendukungnya 😊
Katanya jangan tanya, kok malah berargumen. Baik, kita cukupkan saja sampai di sini, hehe 😃
Salam,
Oleh: Annas Rolli Muchlisin (Alumni Islamic Studies Toronto University dan Khalifa University Qatar)
0 comments:
Post a Comment