“Alim dan Akademisi”
Oleh: Annas Rolli Mukhlisin
Begitu Dr. Usaama al-Azami mendeskripsikan diri di akun twitternya. Belakangan kita membaca berita bahwa Dr. Usaama akan “segera merumput di Liga Akademik Indonesia, bergabung sebagai dosen UIII,” sebagaimana ditulis Prof. Noorhaidi di halaman facebooknya.
Dr. Usaama adalah dosen Studi Islam Kontemporer di University of Oxford yang meraih gelar PhD dan MA dari Princeton University dan BA dari University of Oxford. Tidak hanya menempuh pendidikan formal di dua universitas modern top tersebut, Dr. Usaama juga mendapat training keilmuan Islam tradisional secara intensif (Alimiyyah Programme) di Al-Salam Institute, yakni lembaga yang diasuh oleh Dr. Mohammad Akram Nadwi, seorang ulama Hanafi berpengaruh asal India.
Sebagai akademisi, Dr. Usaama memiliki minat riset di bidang pemikiran politik Islam modern. Buku pertamanya yang baru saja terbit, Islam and the Arab Revolutions: the Ulama Between Democracy and Autocracy (Oxford University Press, 2022), mengkaji bagaimana ulama-ulama Timur Tengah, seperti Ali Jum’ah, Yusuf al-Qaradawi, Ahmad al-Tayyib, ibn Bayyah, dan lain-lain, merespon peristiwa Revolusi Mesir tahun 2011.
Sebagai seorang ‘alim, Dr. Usaama juga aktif menulis di media online guna merespon persoalan-persoalan yang dihadapi oleh komunitas Muslim di Barat. Baru-baru ini, tulisannya yang berjudul “Why We Need ‘Ulama: Islamic Knowledge in a Secular Age” (kenapa kita membutuhkan ulama: keilmuan Islam di era sekuler) terbit di website yaqeeninstitute.org.
Jika kita perhatikan, nampaknya terjadi pergeseran yang cukup signifikan dalam kultur akademia Barat. Hingga setengah abad yang lalu, studi Islam di universitas Barat diajarkan oleh sarjana Barat non-Muslim dan diperuntukkan bagi audiens Barat non-Muslim pula. Dalam kata pengantar buku Hagarism the Making of the Islamic World yang terbit tahun 1977, Patricia Crone dan Michael Cook menulis, “this is a book written by infidels for infidels” (ini adalah buku yang ditulis oleh orang kafir untuk orang kafir).
Namun kini, beberapa posisi dosen di universitas top Barat diisi oleh Muslim(ah), yang memiliki komitmen keagamaan dan keumatan. Barangkali salah satu tokoh senior dalam hal ini adalah Khaled Abou el Fadl, profesor hukum UCLA yang kerap memberi tausiah melalui Usuli Institute-nya. Dari Indonesia, kita bisa sebut Prof. Nadirsyah Hosen, dosen hukum Monash University yang aktif menulis isu-isu keumatan di website pribadinya.
Dr. Usaama diundang ke Indonesia tentu karena posisinya sebagai akademisi dan peneliti politik Islam modern. Tapi, apakah komitmen keagamaannya juga akan turut memberikan warna pada “Liga Akademik Indonesia”? akan kita lihat nanti.
Sebelumnya, beberapa peneliti memberikan perhatian mendalam atas meningkatnya jumlah akademisi Muslim di universitas Barat. Aaron W. Hughes dan Majid Daneshgar, misalnya, melihat akademisi Muslim cenderung “bermain aman” dan menghindari topik-topik kontroversial yang bisa memicu kemarahan publik, seperti tentang origins (asal-usul) al-Qur’an atau tentang kesarjanaan revisionis yang di Indonesia sering ditulis Prof. Mun’im. Deskripsi ini mengilustrasikan bahwa studi Islam di Barat tidaklah tunggal dan final, tetapi penuh dinamika, pergeseran, negosiasi, dan perdebatan.
Apakah seorang akademisi bisa menjadi ‘alim sekaligus?
Prof. Lena Salaymeh, dosen Oxford ketika mengisi perkuliahan di HBKU, mengatakan tidak bisa. Ia harus memilih salah satunya. Dr. Yasir Qadhi juga mengatakan sulit. Seorang ‘alim sering dianggap oleh pihak kampus mengkampanyekan pandangan subjektifnya. Begitu juga, seorang akademisi yang di-training di universitas Barat dicurigai oleh kelompok ‘alim memiliki pemahaman Islam yang tidak sesuai. “Karena itu, kita memerlukan instansi pendidikan ketiga,” tegas Dr. Yasir.
Di barisan yang lain, beberapa pihak memandang optimis bahwa seseorang bisa menjadi akademisi dan ‘alim sekaligus. Melakukan riset dengan metodologi ilmiah yang ketat ketika berada di kampus; membina masyarakat dan menanamkan paham keagamaan tertentu ketika berada di tengah masyarakat.
Dalam artikel “Why we need ‘Ulama”, Dr. Usaama menulis,
“Individual Islamic scholars can often be recognized by both systems if they have a combination of training in an Islamic institute and a doctorate in Islamic studies at a more secular institution”
“Sarjana Islam bisa diakui oleh kedua sistem tersebut – sistem universitas dan sistem tradisional – jika memiliki kombinasi training dari lembaga Islam tradisional dan mendapat gelar doktor bidang studi Islam dari universitas sekuler.”
Kenapa kombinasi keilmuan ini penting? Dr. Usaama menjawab karena kedua sistem pendidikan tersebut (akademia Barat dan pendidikan Islam) memiliki kekurangan masing-masing.
Tentang akademia Barat, ia menulis:
“A doctorate in Islamic studies from a Western university is in no way an indication that an individual is an ʿālim, because Islamic studies at Western universities overwhelmingly continues to be taught in a secular register—it is usually approached from the perspective of intellectual history.”
“Mendapat gelar doktoral bidang studi Islam dari universitas Barat bukanlah jaminan bahwa seseorang yang meraihnya adalah seorang ‘alim (dalam pengertian sebagai ‘alim-‘ulama) karena studi Islam di Barat diajarkan dalam konteks sekuler. Studi Islam di Barat biasanya didekati dari perspektif sejarah intelektual.”
Adapun tentang pendidikan Islam, ia menyayangkan minimnya infrastruktur dan peluang riset sebagaimana yang dinikmati kampus-kampus modern Barat.
“When it comes to Islamic scholarship in the Muslim world, by contrast, the elaborate postgraduate teaching and research infrastructure that is widely available in the West, alongside the postdoctoral career opportunities that render feasible the emergence of tens of thousands of scholars on a regular basis in Western academia, are lacking in the Muslim world for reasons of economic limitation, but also social and governmental disinterest, if not negligence.”
“Sebaliknya, infrastruktur riset dan pengajaran pascasarjana yang dimiliki kampus Barat, beserta peluang karir posdoktoral yang telah melahirkan puluhan ribu sarjana, sangat minim di dunia Muslim bukan hanya karena alasan keterbatasan finansial, tetapi juga karena ketidaktertarikan, jika bukan pengabaian, masyarakat dan penguasa.”
Anda kelompok mana? Mendukung kombinasi antara kesarjanaan Barat dan pendidikan Islam atau membiarkannya berjalan masing-masing saja? 😊
Sumber: Fokah ala UIN IB Padang
0 comments:
Post a Comment