Tuesday, July 25, 2023

MUSHAF IBNU MAS'UD

0 comments

 “Mushaf Ibnu Mas’ud

Oleh: Munim Sirry 


Menyambung status sebelumnya tentang insiden ditemukannya mushaf Ibnu Mas’ud. Seperti dituturkan Ibnu al-Jauzi dalam al-Muntadham, peristiwa itu terjadi pada tgl 11 Rajab tahun 398 H. Tidak tanggung-tanggung, mushaf Ibnu Mas’ud disimpan oleh seorang tokoh Syi’ah dua belas (itsna asyariyyah) bernama Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad al-Nu’man, dikenal dgn Ibn al-Mu’allim.


Mereka yang belajar sejarah Syi’ah akan mengenal tokoh besar ini. Karya-karyanya dalam bidang fikih (Muqni’ah), kalam (awa’il al-maqalat) dan sejarah Syi’ah (al-Irsyad) menjadi rujukan ulama-ulama Syi’ah sesudahnya. Di kalangan Syi’ah, dia lebih dikenal dengan julukan “Syeikh al-Mufid.” Tak berlebihan jika dikatakan, Ibnu al-Mu’allim atau Syeikh al-Mufid termasuk tokoh ulama Syi’ah paling terkemuka pada abad ke-4 dan 5. Konon, nama syeikh al-Mufid” (artinya “yang memberikan faedah”) diberikan oleh al-Qadhi Abdul Jabbar karena kekagumannya.

Disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi (lihat SS), ternyata Ibnu al-Mu’allim ini menyimpang mushaf Ibnu Mas’ud yang (ini kutipan dari Ibnu Jauzi) “berbeda dengan mushaf-mushaf lain (yukhalif al-masahif).” Para tokoh, termasuk hakim-hakim dan fuqaha, berkumpul dan memerintahkan supaya mushaf tersebut dibakar. Ternyata pemusnahan mushaf Ibnu Mas’ud saat itu tidak menyelesaikan masalah, tapi malah berbuntut panjang hingga dilaporkan ke khalifah.


Situasinya menjadi begitu rumit karena seorang yang membakar mushaf itu harus bertanggungjawab dan dibunuh (?). Maka, terjadilah bunuh-bunuhan yang melibatkan kalangan Syi’ah dan ahlus Sunnah. Singkat cerita, di akhir tulisannya Ibnu al-Jauzi mengabarkan bahwa Ibnu al-Mu’allim diusir dari daerah Karkh. Saat itu, Karkh merupakan pusat kubu Syi’ah. Ada artikel bagus tentang ini, berjudul “Al-Karkh: the Development of an Imami-Shi’i Stronghold in Early Abbasid and Buyid Baghdad.”


Insiden itu menggambarkan betapa seriusnya konsekuensi yang harus dihadapi orang yang menyimpan mushaf Ibnu Mas’ud. Mengapa mushaf tersebut begitu “ditakuti”? Ini pertanyaan sentral yang tak mudah dijawab. Peristiwa yang diceritakan Ibnu al-Jauzi di atas terjadi sekitar 300 tahun setelah Hajjaj mengancam akan memenggal kepala siapapun yang masih menggunakan mushaf seorang sahabat agung itu.


Karena itu, bagian dari jawaban untuk pertanyaan di atas terkait keberhasilan kebijakan khalifah Abdul Malik dan gubernur Hajjaj dalam ancaman mereka terhadap siapapun yang menggunakan mushaf Ibnu Mas’ud. Kampanye Hajjaj dilakukan secara masif. Ada riwayat (saya kira saya sebutkan dalam buku “Rekonstruksi Islam Historis”) menyebutkan bahwa Hajjaj menggunakan mesjid untuk mengumumkan larangan mushaf Ibnu Mas’ud.


Lebih dari itu, Hajjaj juga mengkampanyekan agitasi anti Ibnu Mas’ud. Ada banyak riwayat yang menukil kebencian Hajjaj terhadap Ibnu Mas’ud. Salah satunya dia mengatakan seandainya Ibnu Mas’ud masih hidup, maka dialah yang akan mencabut nyawanya. Saya kira, agitasi semacam ini perlu dipahami dalam konteks pelarangan keras terhadap penggunaan mushafnya.


Bagian lain dari jawaban untuk pertanyaan sentral di atas berhubungan dengan “mushaf Utsmani” yang sudah diterima secara luas, sehingga tak ada lagi versi mushaf lain yang boleh digunakan. Bahkan kalangan Syi’ah yang menyebut-nyebut Ali bin Abi Thalib sebagai pengumpul mushaf pertama dan relatif kritis terhadap mushaf Utsmani tak (lagi) dikabarkan menolak mushaf Utsmani. Maka menarik ternyata ada seorang tokoh Syi’ah secara diam-diam masih menyimpan mushaf Ibnu Mas’ud, jika insiden yang melibatkan Ibnu al-Mu’allim itu benar adanya.


Analisis lain dapat diajukan terkait jawaban untuk pertanyaan di atas. Yakni, mushaf Ibnu Mas’ud memang berpotensi menjadi “pesaing kuat (strong contender)” dari mushaf Utsmani, karena beberapa alasan. Saya akan menyebut dua saja. Pertama, mushaf Ibnu Mas’ud itu punya pembaca riil. Sepeninggal si empunya, orang-orang Kufah masih setia menggunakan mushaf tersebut hingga dilarang keras oleh gubernur Hajjaj. 


Kedua, dari berbagai riwayat yang dicatat dalam literatur Arab tampak bahwa mushaf Ibnu Mas’ud mengandung elemen-elemen yang berbeda dari mushaf Utsmani. Perbedaan yang dimaksud di sini bukan soal qira’at (bacaan). Poin ini perlu dijelaskan, karena ada orang yang berasumsi perbedaannya (hanya) terkait bacaan. Perbincangan tentang mushaf Ibnu Mas’ud tak ada hubungannya dengan diskursus tentang qira’at, baik qira’at sab’ah (tujuh bacaan), qira’at asyarah (sepuluh bacaan) atau yang empat belas. Ndak ada nama “Ibnu Mas’ud” di situ.


Terkait perbedaan ini, para pengkaji tidak perlu membesar-besarkan atau sebaliknya mengabaikannya sama sekali seolah tak ada apa-apa. Keduanya bukankah sikap kesarjanaan yang baik. Tugas seorang sarjana ialah menelitinya sesuai data-data (bacaan) yang tersedia. Bukan menutup-nutupinya atau membesar-besarkannya dengan klaim-klaim propagandis.


Berbeda dengan mushaf-mushaf sahabat yang lain, melalui sumber-sumber yang tersedia kita mengetahui apa yang membedakan mushaf Ibnu Mas’ud dari mushaf Utsmani. Kalau mushaf Ali, kita hanya tahu bahwa mushafnya disusun sesuai urutan turunnya surat, bukan dari urutan surat-surat panjang ke urutan surat-surat pendek. Pengetahuan kita tentang mushaf Ali tak lebih dari itu.


Perbedaan mushaf Ibnu Mas’ud bukan hanya soal urutan surat, melainkan juga bahwa mushaf tersebut tidak mencakup surat pertama dan dua surat yang terakhir. Sudah banyak penjelasan apologetik diajukan ulama tentang masalah ini. Saya ingin menyebut perbedaan lebih signifikan dengan melihat susunan surat mushaf Ibnu Mas’ud sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam al-Fihrist dan Suyuti dalam al-Itqan.


Ternyata dalam kedua kitab terkenal ini mushaf Ibnu Mas’ud bukan hanya tidak memuat surat pertama dan dua surat terakhir, melainkan juga surat-surat lain. Dalam al-Itqan, tak disebutkan surat ke 50, 57 dan 69 (selaian surat ke 1, 113 dan 114). Dalam al-Fihrist, tak terdapat surat ke 15, 18, 20, 27, 42, dan 99.


Kitab-kitab tafsir juga merekam perbedaan mushaf Ibnu Mas’ud dari mushaf Utsmani yang beredar. Dalam tafsir “al-Bahr al-muhith,” misalnya, Ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat “inna al-dina ‘inda Allah al-Islam” (Q 3:19) tertulis/terbaca “inna al-dina ‘inda Allah al-hanifiyyah.” Hemat saya, mufasir yang paling banyak merekam perbedaan tulisan/bacaan antara mushaf Utsmani dan mushaf Ibnu Mas’ud ialah al-Qurtubi dalam “al-Jami’ li-ahkam al-Quran.” Yang menarik ialah Qurtubi kerapkali menggunakan kalimat “fi mushaf Ibn Mas’ud” (dalam mushaf Ibnu Mushaf), bukan “fi qira’at Ibn Mas’ud,” frase yang banyak digunakan mufassir lain.


Pertanyaan yang biasanya muncul: “Apakah perbedaan itu sampai mengubah makna ayat?” Ini pertanyaan cukup umum. Ya, perlu dipelajari satu-satu, tidak bisa digeneralisasi. Itulah pentingnya melakukan penelitian. Bukan mengabaikan atau menutup-tutupi, dan bukan juga membesar-besarkan. Berbagai status yang saya tulis dimaksudkan untuk mendorong supaya mereka yang punya perhatian pada al-Quran supaya mempelajari dan menelitinya. Jangan membuat kesimpulan sebelum meneliti. Apalagi menganggap kesimpulannya paling benar padahal tidak pernah mempelajarinya secara serius.


Saya berikan satu contoh: Surat Taha ayat 15: إِنَّ ٱلسَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَىٰ.

Qurtubi menulis: وفي مصحف ابن مسعود: أكاد أخفيها من نفسي فكيف يعلمها مخلوق. Dua versi ini jelas berbeda artinya. Tapi apakah signifikan atau tidak, kita dorong para mahasiswa jurusan tafsir untuk mengkajinya. Minimal, kita mendorong mereka menelaah kitab sucinya, bukan malah menghalang-halangi atau menakut-nakuti.

0 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018