Bismillahirrahmanirrahim...
Puji syukur
pemakalah ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan
ketabahan kepada hamba-Nya. Serta memberikan ilmu pengetahuan yang banyak agar
kita tidak merasa kesulitan. Shalawat serta salam tidak lupa pemakalah
sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menyampaikan wahyu kepada
hamba-Nya yang setia sampai akhir zaman.
Makalah ini
berjudul “Macam-macam musytarak bain al-shahih wa al-hasan wa al-dha’if” yang
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits. Dalam penyusunan
makalah ini pemakalah banyak mendapatkan bantuan dan sumbangan pemikiran, serta
dorongan dari berbagai pihak, tetapi tidak luput dari kendala yang begitu
banyak. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama
bagi pemakalah, amin yaa robbal ‘alamiin.
Padang, Desember 2016
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Hadits
merupakan segala perkataan (sabda), perbuatan, dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW, yang dijadikan pegangan atau hukum dalam agama islam.
Suatu hadits bisa dikatakan menjadi hadits shahih, hasan, dha’if,
karena beberapa alasan. Suatu hadits bisa terangkat derajatnya dari hasan
menjadi shahih apabila syarat-syarat hadits shahih itu telah terpenuhi, begitu
juga hadits yang semula diyakini shahih namun bisa saja, kemudian hadits tersebut
ternyata masuk kategori hasan juga ditemukan kejanggalan dalam hadits itu, baik
berupa sanadnya maupun matannya. Atau bisa saja suatu hadits disebut hasan
shahih dengan beberapa persyaratan.
Maka penulis akan membahas makalah ini untuk memudahkan dalam
memahami suatu hadits yang banyak kita temui dalam lingkungan masyarakat. Kami
sebagai pemakalah akan membahas tentang hadits mutabi’, syahid, serta ‘ali dan
nazil.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan hadits mutabi’ dan contoh?
2.
Apa
yang dimaksud dengan hadits syahid dan contohnya?
3.
Apa
yang dimaksud dengan hadits ‘ali dan nazil serta contohnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Mutabi’ dan Contohnya
Kata Mutabi’ berasal dari تبع-يتبع-تبعا فهو متابع yang artinya mengikut, menurut, dan patuh.[1]
Yang dimaksud dengan mutabi’ dalam kitab ‘Ajjaj al-Khatib adalah:
متا بعة : هي
مشاركة راو راويا أخر في رواية حديث عن شيخه أو عمن فوقه من المشايخ
Artinya:” Hadits mutabi’ adalah kebersamaan seorang perawi
dengan perawi lain dalam meriawyatkan suatu hadits dari gurunya atau orang yang
diatasnya”.[2]
Dalam bukunya A. Qadir Hasan mutabi’ artinya: yang
mengiringi atau yang mencocoki.atau satu hadits yang sanadnya mengutkan sanad
lain dari hadits itu juga.[3]
Hadits mutabi’ adalah hadits yang perawinya diikuti oleh perawi
lain yang pantas mentakhrij haditsnya. Jelasnya, orang lain itu meriwayatkan hadits
tersebut dari guru perawi pertama atau dari gurunya lagi, dengan lafaz yang
berdekatan.[4]
Hadits Muttabi’ terbagi dua macam yaitu:
1.
Mutabi’
Tamm
Mutabi’
tamm adalah hadits yang mutaba’ahnya (tindakan mengikuti periwayatan) pada
perawi yang sama.
Contoh
Tam
(الشافعي) قال أخبرنا ما لك عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر ان رسول
الله صلي الله عليه وسلم قال: الشهر تسع وعشرون, لا تصوموا حتي تروا الهلال ولا
تفطرواحتي تروه فان غم عليكم فأكملواالعدة ثلا ثين.
Artinya:
Dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:” Bulan itu bilangannya
29 hari; jangan kamu shaum sebelum kamu lihat bulan, dan jangan kamu berbuka
sebelum kamu melihat dia; maka jika gelap udara atas kamu, sempurnakanlah
bilangannya 30 hari”.[5]
Hadits
dengan lafaz ini oleh banyak orang diduga diriwayatkan sendirian oleh Imam
Syafi’I dari Imam Malik. Mereka memasukkannya kedalam hadits gharib. Sebab,
murid-murid Imam Malik meriwayatkan melalui sanad ini dengan lafaz:” jika hilal
itu tidak jelas atas kalian, maka perkirakanlah”. Namun, para ulama menemukan
adanya mutabi’ (yang mengikuti) Imam Syafi’I, yaitu Abdullah bin Maslamah
al-Qa’anbi. Demikian yang ditakhrijkan oleh Imam Bukhari dari al-Qa’anbi dari
Imam Malik.
2.
Mutabi’
Qashir
Mutabi’ qashir ialah hadits yang mutaba’ahnya pada guru perawi atau
gurunya lagi.
Contohnya, seperti hadits diatas yang disebutkan dalam shahih Ibn
Khuzaimah dari riwayat Ashim bin Muhammad dari bapaknya Muhammad bin Zaid dari
kakeknya Abdullah bin Umar dengan lafaz:”…maka sempurnakanlah tiga puluh”. Dan
dalam shahih Muslim dari riwayat Ubaidullah bin Umar dari Nafi’ dari Ibn Umar,
dengan lafaz:” perkirakanlah tiga puluh”.[6]
Contoh hadits mutaba’ah :
Imam Muslim
meriwayatkan dari Zuhair ibn Harb dari Sufyan dari Abu az-Zanad dari al-A’raj
dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:
لولا ان
اشق علي عمتي لأمر تهم با لسواك عند كل صلاة
Artinya: “ Seandainya aku tidak (merasa) memperberat umatku,
niscaya aku akan memerintah mereka bersiwak setiap kali (akan) shalat”.
Sejumlah perawi memperkuat Zuhair ibn Harb dengan mutaba’ah tammah
dalam meriwayatkan hadits itu dari gurunya, yaitu Sufyan. Sebagian ulama
memperkuatnya dengan mutaba’ah qashirah dalam periwayatan hadits itu dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah.[7]
B. Pengertian Hadits Syahid dan Contohnya
Kata syahid berasal dari kata شهد- يشهد- شهادة فهو شهد yang berarti menyaksikan atau yang menjadi saksi.[8]
Yang di maksud hadits syahid dalam kitab Ajjaj Al-Khatib adalah:
والشهد:
هو الحديث الذي يروي عن صحا بي مشا بها لما روي عن صحابي اخر في اللفظ أو المعني.[9]
Artinya:”Hadits syahid adalah hadits yang diriwayatkan dari
seorang sahabat sama(atau hamper sama) dengan yang diriwayatkan dari sahabat
lain baik secara lafzhiy maupun ma’nawiy”.[10]
Hadits syahid terbagi menjadi dua:
1.
Syahid
Lafdzi
Syahid
lafdzi adalah yang menopang matan hadits dalam lafaznya. Misalnya :
(الشافعي) قال أخبرنا ما لك عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر ان رسول الله
ص. قال: الشهر تسع وعشرون, لا تصوموا حتي تروا الهلال ولا تفطرواحتي تروه فان غم
عليكم فأكملواالعدة ثلا ثين.
Artinya: Dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:”
Bulan itu bilangannya 29 hari; jangan kamu shaum sebelum kamu lihat bulan, dan
jangan kamu berbuka sebelum kamu melihat dia; maka jika gelap udara atas kamu,
sempurnakanlah bilangannya 30 hari”.[11]
Hadits diatas yang diriwayatkan oleh An-nasa’I dari riwayat
Muhammad bin Hunain dari Ibn Abbas dari Nabi SAW, lalu menyebutkan hadits
Abdullah bin Dinar dari Ibn Umar dengan secara sama.
2.
Syahid
Ma’nawi
Syahid ma’nawi adalah yang menguatkan makna hadits. Contohnya masih
tentang hadits diatas , yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Muhammad
bin Ziyad dari Abu Hurairah, dengan lafaz: “jika hilal itu tidak jelas atas
kalian, makna sempurnakanlah hitungan sya’ban menjadi tiga puluh”.[12]
Contoh Hadits Syahid Tirmizi meriwayatkan dengan sanadnya sendiri
dari Salim ibn Abdillah ibn Umar dari ayahnya. Bahwa ia mendengar Nabi SAW
bersabda:
من أتي الجمعة فليغتسل
Artinya : “ Barangsiapa hendak melaksanakan sholat jum’ah, maka hendaklah mandi terlebih dahulu.
Hadits ini memiliki syahid
berupa hadits Abu Sa’id al-Khudriy ra, ..yang terdapat di dalam shahih
Bukhari dan Shahih Muslim dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:
الغسل يوم الجمعة واجب علي كل محتلم
Artinya:” Mandi pada hari jum’at hukumnya wajib atas setiap yang
mimpi basah”[13].
C. Hadits ‘Ali dan Nazil serta Contohnya
Kata ‘ali berasal dari kata علا- يعلو- علوا yang
berarti yang tinggi, sesuatu itu tinggi. [14] Menurut
‘Ajjaj al-Khatib adalah:
الاسناد
العالي هو ما قل عدد رواته الي الر سول صلي الله عليه وسلم.[15]
Artinya:” Isnad ‘Ali yaitu yang jumlah perawinya sampai kepada
rasulullah SAW sedikit”.[16]
Dalam buku Drs. Moh. Anwar mengatakan bahwa:
ما قلت
رجا ل سنده
Artinya:” Sesuatu hadits yang tidak banyak orang yang menjadi
rawi dalam sanad itu.[17]
Isnad ‘Ali terbagi kepada:
a.
‘Ali
Muthlaq
Yaitu jalur
periwayatan kepada Rasulullah SAW sangat dekat dikarenakan sedikitnya jumlah
perawinya dikaitkan (dibandingkan) dengan sanad lain yang lebih banyak, atau dibandingkan
dengan sanad secara umum. Jenis ini yang paling besar kemungkinannya berstatus
shahih.[18]
b.
‘Ali
Nisbiy atau idhafiy
Yaitu isnad
yang rijal sanadnya dekat dengan salah seorang imam hadits seperti Al-A’masi,
Ibn Juraij, Malik, Syu’bah dan lain-lain disertai sahihnya isnad. Atau dekat
kepada salah satu kitab hadits terpercaya, seperti kitab-kitab hadits yang enam,
AL-Muwaththa’ dan sebagainya.[19]
Kedua
‘ali nisbiy atau idhafiy, yaknu dikaitkan dengan hal-hal tertentu, antara lain:
1)
Dikaitkan
dengan kedekatan pada salah seorang imam hadits, seperti Al-A’masy, Hasyim,
Malik dan lain-lain, disamping keshahihan sanad itu kepadanya, meski jumlah
perawi sampai kepada rasulullah saw. lebih banyak.
2)
Dikaitkan
dengan riwayat kitab Mu’tamad, seperti shahih Bukhari, Shahih Muslim, as-Sunan
al-Arbah dan sejenisnya. Misalnya, seorang perawi meriwayatkan melalui jalur
selain jalur Imam Bukhari suatu hadits yang ditakhrijoleh Imam Bukhari dan
bertemu dengan guru Bukhari atau guru-gurunya, apabila perawi-perawi sanadnya
dari jalur ini lebih sedikit jumlahnya dari pada bila ia meriwayatkannya
melalui jalur Bukhari. Inilah yang dikenal dengan sebutan al-muwafaqah wa
al-badal dan al-musawah wa al-mushafahah. Banyak ulama muta’akhirin yang
memberikan perhatian serius terhadap jenis ini.
3)
Dikaitkan dengan keterdahuluan wafatnya para
perawi. Kadang-kadang ditemukan dua sanad yang sejajar dari segi jumlah
perawinya, tetapi salah satunya diasumsikan sebagai yang berstatus ‘ali karena
keterdahuluan kewafatan perawi-perawinya disbanding dengan kewafatan
perai-perawi lainnya. Minsalnya sesseorang yang mendengar hadist dari Sammak
Ibnu Hard (123 H) dari ‘Amir Asy-Sya’biy tahun (103 H) dari Ali Ibnu Abu Thalib
(40 H) dinilai lebih tinggi secara nisbiy disbanding dengan orang yang
mendengarnya dari Syu’bah Ibnu al Hallaj (160 H) dari al- A’masi (148 H) dari
Abdullah Ibnu Abu Aufa (87 H) karena keterdahuluan kewafatan tiga perawi yang
pertama daripada tigaperawi yang terakhir.
4)
Dikaitakan
dengan keterdahuluan mendengarnya. Orang yang mendengar suatu hadist lebih
dahulu dari gurunya dinilai lebih tinggi darpada yang mendengarnya terkemudian.
Minsalnya ada dua orang yang mendengar suatu hadist dari yang sama. Tetapi yang
pertama telah mendengarnya sejak 60 tahun, sedang yang lainnya 40 tahun, maka
yang pertama dinilai lebih tinggi dalam hal mendengar daripada yang kedua,
meski jumlah perawi sampai kepada keduannya sama. [20]
Nazil dalam ilmu hadits ialah:” satu hadits yang rawi-rawi sanadnya
banyak terbanding dengan sanad lain dari hadits itu juga”. Boleh dikatakan:
nazil itu, sebalik dari ‘ali.
Contohnya:
من سمع
سمع الله به ومن يرا ئي يرا ئي الله به.
Artinya:” Barangsiapa menyiar-nyiarkan(kebaikan supaya dipuji
orang) tentu Allah akan balas menyiarkan (aibnya); dan barangsiapa
unjuk-unjukkan (kebaikannya), maka Allah akan balas
memperlihatkan(keburukannya)”.
Keterangan:
1)
Sabda
Nabi SAW. tersebut, diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Fathul Bahri 11: 265) dari
dua sanad:
(I) (II)
Bukhari Bukhari
a. Musaddad a.
Abu Nu’aim
b. Yahya b.
Sufyan
c. Sufyan c. Salamah
d. Salamah d. Jundab
e. Jundab e. Nabi
f.
Nabi
2)
Dalam
sanad yang pertama, antara Bukhari dan Nabi SAW. ada 5 orang rawi.
Dalam sanad
yang kedua, antara Bukhari dan Nabi SAW. ada 4 orang rawi.
Karena 4 orang ini sedikit
terbanding dengan yang 5 oarang itu, maka sanad yang rawi-rawinya sedikit itu
(4 orang), disebut ‘Ali. Sedangkan sanad yang berisi 5 orang itu, dikatakan
Nazil, karena banyak terbanding dengan yang 4 orang.[22]
Nazil terbagi menjadi:
Pertama, sanad yang bilangan rawinya sampai kepada Nabi SAW.
banyak, dibandingkan dengan sanad lain dari hadits itu juga.
Kedua, sanad yang bilangan rawinya banyak samapi kepada salah
seorang imam hadits, kalu dibandingkan dengan sanad lain dari riwayat itu juga.
Ketiga, sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah satu kitab
hadits yang teranggap, banyak, dibandingkan dengan sanad yang lain.
Keempat, sanad yang didalamnya ada rawi yang terima dari seorang
syeikh yang meninggal kemudian dar rawi lain yang juga terima dari syeikh itu.
Kelima, sanad yang didalamnya ada rawi yang mendengar dari seorang
syeikh kemudian (belakangan) dari pada rawi lain yang mendengar dari syeikh
itu.[23]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits mutabi’ adalah hadits yang perawinya diikuti oleh perawi
lain yang pantas mentakhrij haditsnya. Jelasnya, orang lain itu meriwayatkan
hadits tersebut dari guru perawi pertama atau dari gurunya lagi, dengan lafaz
yang berdekatan. Hadits Muttabi’ terbagi dua macam yaitu: Mutabi’ Tamm dan Mutabi’ qashir.
Hadits
syahid adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang sahabat sama(atau hampir
sama) dengan yang diriwayatkan dari sahabat lain baik secara lafzhiy maupun
ma’nawiy. Hadits ini terbagi dua yaitu: syahid
lafzhi dan syahid maknawi.
Hadits ‘Ali adalah sesuatu
hadits yang tidak banyak orang yang menjadi rawi dalam sanad itu. Hadits ‘ali
terbagi dua macam yaitu ‘ali mutlak dan ‘ali nisbi.
Nazil dalam ilmu hadits ialah:” Satu hadits yang rawi-rawi sanadnya
banyak terbanding dengan sanad lain dari hadits itu juga”. Boleh dikatakan:
Nazil itu, sebalik dari ‘Ali.
B. Saran
Kami menyadari
bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Hal ini di
karenakan kurangnya sumber dan keterbatasan makalah. Oleh karena itu kami
sebagai pemakalah berharap akan kritik dan saran yang membangun dan berguna
untuk yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib,
M. ‘Ajjaj. Ushulul Hadits ‘Umuluhu wa Mushthalah. Libanon: Dar al-Fikr
Beirut.
Al-Khatib,
M. ‘Ajjaj. 2007.Ushul al-Hadits-Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Anwar,
Moh. 1981. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.
Hasan,
A. Qadir. 1996. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV. Diponegoro.
Ash-Shahih,
Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Yunus,
Mahmud. 2010. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa
Dzuriyyah.
[1] Mahmud Yunus, kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT.
Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah,2010 ) hal. 76
[2] Muhammad
‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, ‘Ulumuhu
wa Mushthalah, (Libanon: Dar al Fkr ) hal. 241
[5] Op Cit, A.
Qadir Hasan, hal. 303
[6] Op cit, Subhi
ash-Shalih, hal 311
[7] M. ‘ajjaj
al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Penerjemah
H. Nur Ahmad Musyafiq, Ushul al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
hal. 332
[8] Op cit, Mahmud
Yunus, hal. 206
[9] Op cit, M.
‘Ajjaj al-Khatib, hal. 241
[10] Op cit, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, hal. 332
[11] Op cit A.
Qadir Hasan, hal. 303
[12] Op cit, Subhi
ash-Shalih, hal. 211
[13] Op cit, Pokok-Pokok
Ilmu Hadits, hal. 332-333
[14] Op cit, Mahmud
Yunus, hal. 278
[15] Op cit, M.
‘Ajjaj al-Khatib, hal. 242
[16] Op cit, Pokok-Pokok
Ilmu Hadits, hal. 333
[17] Moh Anwar, Ilmu
Mushthalah Hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981) hal. 187
[18] Op cit, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, hal. 333
[19] Op cit, Subhi
ash-Shalih, hal. 206
[20] Op cit
Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Hal, 333-334
[21] Op cit, Mahmud
Yunus, hal. 448
[22]Op cit, A. Qadir Hasan, hal 332-333
[23] Ibid, hal. 334