Monday, October 22, 2018

MAKALAH HADIS MUTABI' DAN SYAHID

0 comments
KATA PENGANTAR


Bismillahirrahmanirrahim...

            Puji syukur pemakalah ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan ketabahan kepada hamba-Nya. Serta memberikan ilmu pengetahuan yang banyak agar kita tidak merasa kesulitan. Shalawat serta salam tidak lupa pemakalah sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menyampaikan wahyu kepada hamba-Nya yang setia sampai akhir zaman.
            Makalah ini berjudul “Macam-macam musytarak bain al-shahih wa al-hasan wa al-dha’if” yang disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits. Dalam penyusunan makalah ini pemakalah banyak mendapatkan bantuan dan sumbangan pemikiran, serta dorongan dari berbagai pihak, tetapi tidak luput dari kendala yang begitu banyak. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi pemakalah, amin yaa robbal ‘alamiin.





                                                                                                         Padang,  Desember 2016



                                                                                                                       Pemakalah








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

                        Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Hadits merupakan segala perkataan (sabda), perbuatan, dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW, yang dijadikan pegangan atau hukum dalam agama islam.
Suatu hadits bisa dikatakan menjadi hadits shahih, hasan, dha’if, karena beberapa alasan. Suatu hadits bisa terangkat derajatnya dari hasan menjadi shahih apabila syarat-syarat hadits shahih itu telah terpenuhi, begitu juga hadits yang semula diyakini shahih namun bisa saja, kemudian hadits tersebut ternyata masuk kategori hasan juga ditemukan kejanggalan dalam hadits itu, baik berupa sanadnya maupun matannya. Atau bisa saja suatu hadits disebut hasan shahih dengan beberapa persyaratan.
Maka penulis akan membahas makalah ini untuk memudahkan dalam memahami suatu hadits yang banyak kita temui dalam lingkungan masyarakat. Kami sebagai pemakalah akan membahas tentang hadits mutabi’, syahid, serta ‘ali dan nazil.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hadits mutabi’ dan contoh?
2.      Apa yang dimaksud dengan hadits syahid dan contohnya?
3.      Apa yang dimaksud dengan hadits ‘ali dan nazil serta contohnya?












BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hadits Mutabi’ dan Contohnya

Kata Mutabi’ berasal dari تبع-يتبع-تبعا فهو متابع yang artinya mengikut, menurut, dan patuh.[1] Yang dimaksud dengan mutabi’ dalam kitab ‘Ajjaj al-Khatib adalah:
متا بعة : هي مشاركة راو راويا أخر في رواية حديث عن شيخه أو عمن فوقه من المشايخ
Artinya:” Hadits mutabi’ adalah kebersamaan seorang perawi dengan perawi lain dalam meriawyatkan suatu hadits dari gurunya atau orang yang diatasnya”.[2]
Dalam bukunya A. Qadir Hasan mutabi’ artinya: yang mengiringi atau yang mencocoki.atau satu hadits yang sanadnya mengutkan sanad lain dari hadits itu juga.[3]
Hadits mutabi’ adalah hadits yang perawinya diikuti oleh perawi lain yang pantas mentakhrij haditsnya. Jelasnya, orang lain itu meriwayatkan hadits tersebut dari guru perawi pertama atau dari gurunya lagi, dengan lafaz yang berdekatan.[4]
Hadits Muttabi’ terbagi dua macam yaitu:
1.      Mutabi’ Tamm
Mutabi’ tamm adalah hadits yang mutaba’ahnya (tindakan mengikuti periwayatan) pada perawi yang sama.
Contoh Tam
  (الشافعي) قال أخبرنا ما لك عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: الشهر تسع وعشرون, لا تصوموا حتي تروا الهلال ولا تفطرواحتي تروه فان غم عليكم فأكملواالعدة ثلا ثين.
Artinya: Dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:” Bulan itu bilangannya 29 hari; jangan kamu shaum sebelum kamu lihat bulan, dan jangan kamu berbuka sebelum kamu melihat dia; maka jika gelap udara atas kamu, sempurnakanlah bilangannya 30 hari”.[5]

Hadits dengan lafaz ini oleh banyak orang diduga diriwayatkan sendirian oleh Imam Syafi’I dari Imam Malik. Mereka memasukkannya kedalam hadits gharib. Sebab, murid-murid Imam Malik meriwayatkan melalui sanad ini dengan lafaz:” jika hilal itu tidak jelas atas kalian, maka perkirakanlah”. Namun, para ulama menemukan adanya mutabi’ (yang mengikuti) Imam Syafi’I, yaitu Abdullah bin Maslamah al-Qa’anbi. Demikian yang ditakhrijkan oleh Imam Bukhari dari al-Qa’anbi dari Imam Malik.
2.      Mutabi’ Qashir
Mutabi’ qashir ialah hadits yang mutaba’ahnya pada guru perawi atau gurunya lagi.
Contohnya, seperti hadits diatas yang disebutkan dalam shahih Ibn Khuzaimah dari riwayat Ashim bin Muhammad dari bapaknya Muhammad bin Zaid dari kakeknya Abdullah bin Umar dengan lafaz:”…maka sempurnakanlah tiga puluh”. Dan dalam shahih Muslim dari riwayat Ubaidullah bin Umar dari Nafi’ dari Ibn Umar, dengan lafaz:” perkirakanlah tiga puluh”.[6]

Contoh hadits mutaba’ah :
            Imam Muslim meriwayatkan dari Zuhair ibn Harb dari Sufyan dari Abu az-Zanad dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:
 لولا ان اشق علي عمتي لأمر تهم با لسواك عند كل صلاة
Artinya: “ Seandainya aku tidak (merasa) memperberat umatku, niscaya aku akan memerintah mereka bersiwak setiap kali (akan) shalat”.
Sejumlah perawi memperkuat Zuhair ibn Harb dengan mutaba’ah tammah dalam meriwayatkan hadits itu dari gurunya, yaitu Sufyan. Sebagian ulama memperkuatnya dengan mutaba’ah qashirah dalam periwayatan hadits itu dari Abu Salamah dari Abu Hurairah.[7]
  

        B.  Pengertian Hadits Syahid dan Contohnya

Kata syahid berasal dari kata شهد- يشهد- شهادة فهو شهد  yang berarti menyaksikan atau yang menjadi saksi.[8] Yang di maksud hadits syahid dalam kitab Ajjaj Al-Khatib adalah:
 والشهد: هو الحديث الذي يروي عن صحا بي مشا بها لما روي عن صحابي اخر في اللفظ أو المعني.[9]
Artinya:”Hadits syahid adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang sahabat sama(atau hamper sama) dengan yang diriwayatkan dari sahabat lain baik secara lafzhiy maupun ma’nawiy”.[10]
Hadits syahid terbagi menjadi dua:
1.      Syahid Lafdzi
Syahid lafdzi adalah yang menopang matan hadits dalam lafaznya. Misalnya :
  (الشافعي) قال أخبرنا ما لك عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر ان رسول الله ص. قال: الشهر تسع وعشرون, لا تصوموا حتي تروا الهلال ولا تفطرواحتي تروه فان غم عليكم فأكملواالعدة ثلا ثين.
Artinya: Dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:” Bulan itu bilangannya 29 hari; jangan kamu shaum sebelum kamu lihat bulan, dan jangan kamu berbuka sebelum kamu melihat dia; maka jika gelap udara atas kamu, sempurnakanlah bilangannya 30 hari”.[11]
Hadits diatas yang diriwayatkan oleh An-nasa’I dari riwayat Muhammad bin Hunain dari Ibn Abbas dari Nabi SAW, lalu menyebutkan hadits Abdullah bin Dinar dari Ibn Umar dengan secara sama.
2.      Syahid Ma’nawi
Syahid ma’nawi adalah yang menguatkan makna hadits. Contohnya masih tentang hadits diatas , yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah, dengan lafaz: “jika hilal itu tidak jelas atas kalian, makna sempurnakanlah hitungan sya’ban menjadi tiga puluh”.[12]
Contoh Hadits Syahid Tirmizi meriwayatkan dengan sanadnya sendiri dari Salim ibn Abdillah ibn Umar dari ayahnya. Bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda:
           من أتي الجمعة فليغتسل
Artinya : “ Barangsiapa hendak melaksanakan sholat  jum’ah, maka hendaklah mandi terlebih dahulu.
Hadits ini memiliki syahid  berupa hadits Abu Sa’id al-Khudriy ra, ..yang terdapat di dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:
 الغسل يوم الجمعة واجب علي كل محتلم
Artinya:” Mandi pada hari jum’at hukumnya wajib atas setiap yang mimpi basah”[13].

    

        C.  Hadits ‘Ali dan Nazil serta Contohnya
Kata ‘ali berasal dari kata علا- يعلو- علوا  yang berarti yang tinggi, sesuatu itu tinggi. [14] Menurut ‘Ajjaj al-Khatib adalah:
 الاسناد العالي هو ما قل عدد رواته الي الر سول صلي الله عليه وسلم.[15]
Artinya:” Isnad ‘Ali yaitu yang jumlah perawinya sampai kepada rasulullah SAW sedikit”.[16]
Dalam buku Drs. Moh. Anwar mengatakan bahwa:
 ما قلت رجا ل سنده
Artinya:” Sesuatu hadits yang tidak banyak orang yang menjadi rawi dalam sanad itu.[17]

Isnad ‘Ali terbagi kepada:
a.       ‘Ali Muthlaq
Yaitu jalur periwayatan kepada Rasulullah SAW sangat dekat dikarenakan sedikitnya jumlah perawinya dikaitkan (dibandingkan) dengan sanad lain yang lebih banyak, atau dibandingkan dengan sanad secara umum. Jenis ini yang paling besar kemungkinannya berstatus shahih.[18]
b.      ‘Ali Nisbiy atau idhafiy
Yaitu isnad yang rijal sanadnya dekat dengan salah seorang imam hadits seperti Al-A’masi, Ibn Juraij, Malik, Syu’bah dan lain-lain disertai sahihnya isnad. Atau dekat kepada salah satu kitab hadits terpercaya, seperti kitab-kitab hadits yang enam, AL-Muwaththa’ dan sebagainya.[19]
                        Kedua ‘ali nisbiy atau idhafiy, yaknu dikaitkan dengan hal-hal tertentu, antara lain:
1)      Dikaitkan dengan kedekatan pada salah seorang imam hadits, seperti Al-A’masy, Hasyim, Malik dan lain-lain, disamping keshahihan sanad itu kepadanya, meski jumlah perawi sampai kepada rasulullah saw. lebih banyak.
2)      Dikaitkan dengan riwayat kitab Mu’tamad, seperti shahih Bukhari, Shahih Muslim, as-Sunan al-Arbah dan sejenisnya. Misalnya, seorang perawi meriwayatkan melalui jalur selain jalur Imam Bukhari suatu hadits yang ditakhrijoleh Imam Bukhari dan bertemu dengan guru Bukhari atau guru-gurunya, apabila perawi-perawi sanadnya dari jalur ini lebih sedikit jumlahnya dari pada bila ia meriwayatkannya melalui jalur Bukhari. Inilah yang dikenal dengan sebutan al-muwafaqah wa al-badal dan al-musawah wa al-mushafahah. Banyak ulama muta’akhirin yang memberikan perhatian serius terhadap jenis ini.
3)       Dikaitkan dengan keterdahuluan wafatnya para perawi. Kadang-kadang ditemukan dua sanad yang sejajar dari segi jumlah perawinya, tetapi salah satunya diasumsikan sebagai yang berstatus ‘ali karena keterdahuluan kewafatan perawi-perawinya disbanding dengan kewafatan perai-perawi lainnya. Minsalnya sesseorang yang mendengar hadist dari Sammak Ibnu Hard (123 H) dari ‘Amir Asy-Sya’biy tahun (103 H) dari Ali Ibnu Abu Thalib (40 H) dinilai lebih tinggi secara nisbiy disbanding dengan orang yang mendengarnya dari Syu’bah Ibnu al Hallaj (160 H) dari al- A’masi (148 H) dari Abdullah Ibnu Abu Aufa (87 H) karena keterdahuluan kewafatan tiga perawi yang pertama daripada tigaperawi yang terakhir.
4)      Dikaitakan dengan keterdahuluan mendengarnya. Orang yang mendengar suatu hadist lebih dahulu dari gurunya dinilai lebih tinggi darpada yang mendengarnya terkemudian. Minsalnya ada dua orang yang mendengar suatu hadist dari yang sama. Tetapi yang pertama telah mendengarnya sejak 60 tahun, sedang yang lainnya 40 tahun, maka yang pertama dinilai lebih tinggi dalam hal mendengar daripada yang kedua, meski jumlah perawi sampai kepada keduannya sama. [20]
            Sedangkan hadits Nazil berasal dari kata نزل- ينزل- نزولا  yang berarti turun. [21]
Nazil dalam ilmu hadits ialah:” satu hadits yang rawi-rawi sanadnya banyak terbanding dengan sanad lain dari hadits itu juga”. Boleh dikatakan: nazil itu, sebalik dari ‘ali.
Contohnya:
 من سمع سمع الله به ومن يرا ئي يرا ئي الله به.
Artinya:” Barangsiapa menyiar-nyiarkan(kebaikan supaya dipuji orang) tentu Allah akan balas menyiarkan (aibnya); dan barangsiapa unjuk-unjukkan (kebaikannya), maka Allah akan balas memperlihatkan(keburukannya)”.
Keterangan:
1)      Sabda Nabi SAW. tersebut, diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Fathul Bahri 11: 265) dari dua sanad:
(I)                                                     (II)
                            Bukhari                                                 Bukhari
                        a. Musaddad                                       a. Abu Nu’aim
                        b. Yahya                                              b. Sufyan
                        c. Sufyan                                             c. Salamah
                        d. Salamah                                          d. Jundab
                        e. Jundab                                             e. Nabi
                        f. Nabi
2)      Dalam sanad yang pertama, antara Bukhari dan Nabi SAW. ada 5 orang rawi.
Dalam sanad yang kedua, antara Bukhari dan Nabi SAW. ada 4 orang rawi.
Karena 4 orang ini sedikit terbanding dengan yang 5 oarang itu, maka sanad yang rawi-rawinya sedikit itu (4 orang), disebut ‘Ali. Sedangkan sanad yang berisi 5 orang itu, dikatakan Nazil, karena banyak terbanding dengan yang 4 orang.[22]

Nazil terbagi menjadi:
Pertama, sanad yang bilangan rawinya sampai kepada Nabi SAW. banyak, dibandingkan dengan sanad lain dari hadits itu juga.
Kedua, sanad yang bilangan rawinya banyak samapi kepada salah seorang imam hadits, kalu dibandingkan dengan sanad lain dari riwayat itu juga.
Ketiga, sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah satu kitab hadits yang teranggap, banyak, dibandingkan dengan sanad yang lain.
Keempat, sanad yang didalamnya ada rawi yang terima dari seorang syeikh yang meninggal kemudian dar rawi lain yang juga terima dari syeikh itu.
Kelima, sanad yang didalamnya ada rawi yang mendengar dari seorang syeikh kemudian (belakangan) dari pada rawi lain yang mendengar dari syeikh itu.[23]

           








BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadits mutabi’ adalah hadits yang perawinya diikuti oleh perawi lain yang pantas mentakhrij haditsnya. Jelasnya, orang lain itu meriwayatkan hadits tersebut dari guru perawi pertama atau dari gurunya lagi, dengan lafaz yang berdekatan. Hadits Muttabi’ terbagi dua macam yaitu:  Mutabi’ Tamm dan Mutabi’ qashir.
                                    Hadits syahid adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang sahabat sama(atau hampir sama) dengan yang diriwayatkan dari sahabat lain baik secara lafzhiy maupun ma’nawiy. Hadits ini terbagi dua yaitu: syahid lafzhi dan syahid maknawi.
                        Hadits ‘Ali adalah  sesuatu hadits yang tidak banyak orang yang menjadi rawi dalam sanad itu. Hadits ‘ali terbagi dua macam yaitu ‘ali mutlak dan ‘ali nisbi.
Nazil dalam ilmu hadits ialah:” Satu hadits yang rawi-rawi sanadnya banyak terbanding dengan sanad lain dari hadits itu juga”. Boleh dikatakan: Nazil itu, sebalik dari ‘Ali.

B. Saran
                        Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Hal ini di karenakan kurangnya sumber dan keterbatasan makalah. Oleh karena itu kami sebagai pemakalah berharap akan kritik dan saran yang membangun dan berguna untuk yang akan datang.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, M. ‘Ajjaj. Ushulul Hadits ‘Umuluhu wa Mushthalah. Libanon: Dar al-Fikr Beirut.
Al-Khatib, M. ‘Ajjaj. 2007.Ushul al-Hadits-Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Anwar, Moh. 1981. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.
Hasan, A. Qadir. 1996. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV. Diponegoro.
Ash-Shahih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Yunus, Mahmud. 2010. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah.


           
           

           


[1] Mahmud Yunus, kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah,2010 ) hal. 76
[2] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, ‘Ulumuhu wa Mushthalah, (Libanon: Dar al Fkr ) hal. 241
[3] A. Qadir Hasan, Ilmu Mushtalah Hadits, (Bandung: CV. Dipenegoro, 1996) hal. 301-302
[4] Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995) hal. 210
[5] Op Cit, A. Qadir Hasan, hal. 303
[6] Op cit, Subhi ash-Shalih, hal 311
[7] M. ‘ajjaj al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Penerjemah H. Nur Ahmad Musyafiq, Ushul al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) hal. 332
[8] Op cit, Mahmud Yunus, hal. 206
[9] Op cit, M. ‘Ajjaj al-Khatib, hal. 241
[10] Op cit, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, hal. 332
[11] Op cit A. Qadir Hasan, hal. 303
[12] Op cit, Subhi ash-Shalih, hal. 211
[13] Op cit, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, hal. 332-333
[14] Op cit, Mahmud Yunus, hal. 278
[15] Op cit, M. ‘Ajjaj al-Khatib, hal. 242
[16] Op cit, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, hal. 333
[17] Moh Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981) hal. 187
[18] Op cit,  Pokok-Pokok Ilmu Hadits, hal. 333
[19] Op cit, Subhi ash-Shalih, hal. 206
[20] Op cit Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Hal, 333-334
[21] Op cit, Mahmud Yunus, hal. 448
[22]Op cit,  A. Qadir Hasan, hal 332-333
[23] Ibid, hal. 334
Read more...

Makalah Ibadah Haji

0 comments

BAB I 
PENDAHULUAN

             A. Latar Belakang
Menunaikan ibadah haji adalah memenuhi panggilan Allah SWT, sebagai kewajiban seorang muslimkarena merupakan rukun islam. Tetapi banyak umat muslim yang menganggap remeh, meskipun dalam segi bekal dan kondisi keamanan memungkinkan, namun ada sebagian yang enggan melaksanakannya. Padahal mereka tahu kalau itu adalah perintah Allah SWT. Maka dari itu kami sebagai pemakalah akan membahas tentang haji.

           B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan haji?
2.      Apa dasar hukum  dan hukum haji?
3.      Apa tujuan haji?
4.      Apa sejarah haji?













BAB II
PEMBAHASAN

IBADAH HAJI


             A. Pengertian Haji
Haji (asal maknanya) adalah menyengaja sesuatu. Haji menurut syarak adalah sengaja mengunjugi Ka’bah (Rumah Suci) untuk melaksanakan beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang tertentu.[1]
Haji adalah pergi menuju kota Mekkah untuk mengerjakan ibadah thawaf, sa’i, wukuf di Arafah dan seluruh manasik lainnya, dalam rangka menjalankan perintah Allah dan mencapai keridhaan-Nya.
Haji merupakan salah satu rukun diantara lima rukun Islam dan salah satu diantara sekian kewajiban agama yang diketahui secara pasti. Artinya, apabila seseorang mengingkarinya, maka dia menjadi kafir dan keluar (murtad) dari Islam.[2]
Menurut pendapat kebanyakan (jumhur) ulama, haji diwajibkan pada tahun 6 Hijriah, karena pada tahun itulah turun firman Allah swt. “dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah”. Ini berdasarkan pengertian bahwa maksud Al-Itman dalam ayat di atas adalah permulaan kewajiban. Kesimpulan ini diperkuat oleh bacaan (qira’at) ‘Alqamah, Masruq dan Ibrahim An-Nakh’i, “wa aqimu (dan lakukanlah)”. Sebagaimana diriwayatkan oleh Thabrani denagn sanad yang shahih. Sementara Ibnul Qayyim lebih memilih pendapat yang menyatakan bahwa haji baru diwajibkan pada tahun 9 atau 10 Hijriah.[3]

            B.  Dasar Hukum Haji dan Hukumnya
Ibadah Haji diwajibkan bagi orang yang kuasa, satu kali seumur hidupnya. Firman Allah swt. Q.S Ali Imran ayat 97:
فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ


Artinya:”padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.

Dan juga sabda Rasulullah saw. dari Ibnu Abbas Nabi saw. telah berkata, hendaklah kamu bersegera mengerjakan haji karena sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari suatu halangan yang akan merintanginya.(riwayat Ahmad).[4]
Hukum haji bagi anak kecil. Imam Syafi’i berkata: anak kecil yang belum baligh tidak wajib melaksanakan haji, bagitu juga dengan anak perempuan, kecuali ia haid walaupun usianya masih kecil, atau ia belum haid tapi umurnya sudah mencapai 15 tahun.
Imam Syafi’i berkata: dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. bersama satu kafilah. Lalu ketika beliau sampai di suatu tempat yang bdrnama Rauha’, beliau bertemu dengan serombongan orang yang berkendaraan. Kemudian beliau memberikan salam kepada mereka dan bertanya, dari kaum mana kalian? Mereka menjawab, dari kaum muslimin. Lalu seorang perempuan dari kaum tersebut mengangkat anak kecilnya dari gendongannya dan berkata, ya Rasulullah! Apakah ada haji bagi anak kecil ini? Beliau menjawab, ya dan pahalanya untukmu.[5]

          C.  Tujuan Haji
Ada beberapa tujuan mulia dari ibadah haji untuk pembentukan jiwa dan juga masyarakat. karenanya Allah berfirman dalam ayat yang menerangkan tentang hewan qurban yang disembelih ketika berhaji pada Idul Qurban, “daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. (al- Hajj: 37).
Dan Nabi saw. bersabda,”sesungguhnya thawaf dan sa’i antara Shafa dan Marwa, serta melempar jumrah itu adalah untuk mengingat Allah”. (HR Abu Dawud, no. 1888)
Diantara tujuan ibadah haji adalah:
1.      Menampakkan kerendahan dan ketundukan kepada Allah 
2.      Mensyukuri Nikmat 
Bentuk mensyukuri nikmat dalam ibadah haji bisa dilihat dari dua sisi: pertama, mensyukuri nikmat harta kekayaan. Kedua, mensyukuri nikmat kesehatan anggota tubuh. Kedua hal itu merupakan puncak kenikmatan bagi seorang manusia ketika berada di dunia. Dalam prosesi ibadah haji, dua jenis nikmat ini sangat terasa dan harus disyukuri. Ketika berhaji, seseorang mengorbankan dirinya dan mengeluarkan hartanya . Mensyukuri nikmatIuntuk beribadah, mendekatkan diri kepada Allah  Allah memang wajib hukumnya. Hal ini bisa dipahami secara logis, selain memang hal itu diajarkan oleh Islam. 
3.      Muktamar Umat Islam
Umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul dalam ibadah haji. Maka terjadilah proses saling mengenal dan keakraban antara satu dengan yang lainnya. Semua jenis perbedaan antara yang kaya dan yang miskin; antara yang berkulit putih dan yang berkulit hitam, serta perbedaan bahasa mencair saat haji. Bahasa dalam ibadah haji menjadi sama, yaitu bahasa kebaikan dan ketakwaan, serta saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran. Tujuan akhirnya adalah mengaitkan antara sebab-sebab kehidupan dan sebab-sebab dari langit (yakni dikabulkannya doa). 
4.      Mengingatkan akan Hari Kiamat
Proses ibadah haji mengingatkan seorang muslim akan hari pertemuannya dengan Tuhannya, yaitu ketika dia sudah memakai pakaian ihram, kemudian dia wukuf di bukit Arafah. Dia melihat jutaan orang dengan pakaian putih menyerupai kain kafan. Dengan pemandangan seperti itu, dia akan ingat masa setelah dia meninggal dan akan membuatnya sungguh-sungguh menyiapkan bekal amal shalih sebelum dia bertemu dengan Allah. 
5.      Merefleksikan pengesaan Allah melalui ibadah lisan dan ibadah jasmaniah (perbuatan)
Syiar bagi orang yang beribadah haji adalah talbiyah (Labbaika allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik, innal hamda, wan-ni’mata, laka wal mulku, laa syariika laka): aku sambut panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu, tiada Tuhan selain Engkau, aku sambut panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, nikmat dan kekuasaan hanya untuk-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.
Karena itu, salah seorang sahabat Nabi menerangkan makna dari  sifat dan  yaitu, “Syiarkanlah tauhid.” (HR. Muslim,
rcara talbiyah nabi Muhammad  no. 1218). Syiar tauhid sangat jelas dalam semua proses ibadah haji, baik dalam perbuatan dan perkataan.[6]

            D.  Sejarah Haji
Sejarah ibadah haji tidak terlepas dari kota-kota yang menjadi pusat pelaksanaan haji. Makkah yang merupakan pusat kegiatan ibadah haji adalah tempat Nabi saw. dilahirkan. Termasuk dibesarkannya Nabi Ismail as, dan Siti Hajar yang menjadi awal mula sejarah haji tersebut.
Kewajiban melaksanakan itu semua adalah berawal dari wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi saw. begitupun haji. Diperintahkan haji bermula dari turunnya wahyu surat Ali Imran ayat 97

فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ 

Artinya:”padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.

Ayat ini turun pada tahun ke enam hijriah pada saat Rasulullah di Madinah, namun Rasulullah baru merealisasikan berhaji pada tahun ke sepuluh hujriah yang biasa kita kenal dengan  haji wada’.[7]








BAB III
PENUTUP

          A.  Kesimpulan
Haji (asal maknanya) adalah menyengaja sesuatu. Haji menurut syarak adalah sengaja mengunjugi Ka’bah (Rumah Suci) untuk melaksanakan beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang tertentu. Haji adalah pergi menuju kota Mekkah untuk mengerjakan ibadah thawaf, sa’i, wukuf di Arafah dan seluruh manasik lainnya, dalam rangka menjalankan perintah Allah dan mencapai keridhaan-Nya.
Haji diwajibkan bagi orang yang kuasa, satu kali seumur hidupnya. Firman Allah swt. Q.S Ali Imran ayat 97. Tujuan haji adalah menampakkan kerendahan dan ketundukan kepada Allah, mensyukuri nikmat, muktamar Umat Islam,  mengingatkan akan Hari Kiamat, merefleksikan pengesaan Allah melalui ibadah lisan dan ibadah jasmaniah (perbuatan).
Kewajiban melaksanakan itu semua adalah berawal dari wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi saw. begitupun haji. Diperintahkan haji bermula dari turunnya wahyu surat Ali Imran ayat 97.

          B.   Saran
Kepada pembaca makalah ini supaya dapat memahami dan mencari sumber lain untuk memperluas wawasan kita haji.








DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman Rasjid. 1994.  fiqih Islam. Bandung, Sinar Baru Algensindo.
Sayyid Sabiq.2008. Fiqih Sunnah. Jakarta, Al-I’tishom.
Imam Syafi’I. 2004. Ringkasan Kitab Al-Umm. Jakarta, Pustaka Azzam.
Achmadzannuar.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-haji-dan-umrah.html



[1] Sulaiman Rasjid, fiqih Islam, (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 1994), hal. 247.
[2] Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta, Al-I’tishom, 2008), hal. 695.
[3] Ibid., hal. 695.
[4] Sulaiman Rasjid, op cit., hal. 247-248.
[5] Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2004), hal. 555-556.
[7] Achmadzannuar.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-haji-dan-umrah.html
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018