Sunday, September 8, 2019

DAKWAH KEPADA AHLI KITAB

5 comments


PENDAHULUAN
Berdakwah merupakan kewajiban setiap muslim, namun ironisnya kita kebanyakan hanya berdakwah terhadap sesama muslim sahja, sangatlah jarang kita melakukan dakwah kepada saudara kita yang berbeda keyakinan,  kita tahu bahwa banyak diantara ahlul kitab yang menghina agama, nabi bahkan Allah swt. Tapi apakah kita akan balik menghina sesembahan mereka? Bantahlah hinaan mereka dengan bantahan yang baik dan dengan akhlak yang mulia.Dengan demikian insyaallah diantara mereka (Ahlul kitab) ada hatinya yang terketuk dan diberi hidayah oleh Allah.Allah sangat melarang kita untuk menghina sesembahan mereka., karena jika kita menghina sesembahan mereka , mereka akan balik menghina sesembahan kita dan tidak akan ada dialog yang baik dengan mereka. Serulah mereka ( Ahlul kitab ) ajaklah mereka kedalam islam tentunya dengan jalan yang baik dan penuh hikmah.“ Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan Hikmah  dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125)



PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ahli Kitab
Istilah Ahlul-Kitab, biasanya diartikan “Para pengikut Kitab Suci”. Secara khusus, dalam khazanah keislaman istilah ini digunakan untuk menyebut para penganut agama sebelum datangnya agama Islam. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, istilah itu ditujukan kepada kaum Yahudi dan Kristen.
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa Ahli Kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Isa hanya diutus kepada mereka, bukan kepada bangsa-bangsa lain. Juga karena adanya redaksi min qablikum (sebelum kamu) pada ayat yang membolehkan perkawinan kaum muslim dengan wanita mereka.[1]
B.       Hadis tentang Dakwah Kepada Ahli Kitab
لَمَّا بَعَثَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم مُعَاذًا نَحْوَ الْيَمَنِ قَالَ لَهُ « إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ ، فَإِذَا صَلُّوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ ، فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ.
Artinya:
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman, ia pun berkata padanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah dakwah engkau pertama kali pada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta’ala. Jika mereka telah memahami hal tersebut, maka kabari mereka bahwa Allah telah mewajibkan pada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah shalat, maka kabari mereka, bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka zakat dari harta mereka, yaitu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan disalurkan untuk orang-orang fakir di tengah-tengah mereka. Jika mereka menyetujui hal itu, maka ambillah dari harta mereka, namun hati-hati dari harta berharga yang mereka miliki.” (HR. Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19).

1.    Penjelasan Mufradad
قَوْمٌ : Pada asalnya bermakna sekumpulan laki-laki, tidak mencakup perempuan. Tetapi dalam keumuman al-Qur’an, yang dimaksud dengan kata “kaum” yaitu laki-laki dan perempuan semuanya.
أَهْلُ الْكِتَابِ : Mereka adalah orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kita. Yang dimaksud yaitu kaum Yahudi dan Nashrani. Walaupun di Yaman ada kelompok lain selain ahlul kitab, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka karena mereka mayoritas dan juga memberi perhatian ke mereka karena mereka adalah orang berilmu. Jadi berbicara dengan mereka tidak seperti berbicara dengan para penyembah berhala.
كَرَائِمُ : Jamak dari كَرِيْمَة, yakni berupa barang-barang berharga.حِجَابٌ : Penghalang. Yaitu yang menghalangi sampainya doa seorang hamba kepada Rabb-nya. 
2.      Penjelasan Hadis
Dalam hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa dia akan menghadapi kaum Yahudi dan Nashrani yang berilmu dan pandai berdebat. Pemberitahuan ini bertujuan agar Mu’adz Radhiyallahu anhu siap berdialog dan membantah syubhat-syubhat mereka, kemudian juga memulai dakwah dengan perkara terpenting lalu yang penting. Yang pertama kali adalah menyeru manusia untuk memperbaiki akidahnya karena akidah merupakan pondasi. Jika mereka telah menerima hal tersebut, mereka diperintahkan untuk menegakkan shalat karena shalat adalah kewajiban yang paling agung setelah tauhid. Jika mereka telah melaksanakannya, maka orang-orang kaya diperintahkan untuk membayar zakat harta-harta mereka (yang dibagikan) kepada orang-orang fakir sebagai rasa kebersamaan dan rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan Mu’adz Radhiyallahu anhu agar tidak mengambil harta terbaik dalam zakat karena yang wajib adalah harta yang biasa.
إِنَّكَ سَتَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ Artinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada Mu’adz agar ia siap menghadapi mereka. Karena orang yang berdebat dengan ahlul Kitab harus memiliki hujjah yang lebih banyak dan lebih kuat daripada orang yang berdebat dengan orang-orang musyrik penyembah berhala. Karena orang musyrik itu bodoh, sedangkan mereka yang diberikan al-Kitab memiliki ilmu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberitahu keadaan mereka agar Mu’adz menyesuaikan diri dengan keadaan mereka, sehingga bisa mendebat mereka dengan cara yang lebih baik, mendakwahkan ahlul Kitab, dan mengajak mereka kepada tauhid. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak beribadah kepada selain Allâh dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allâh. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.” (Ali ‘Imrân: 64).
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ Artinya: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengarahan kepada Mu’adz bahwa hal yang pertama kali harus diserukan kepada mereka yaitu tauhid dan kerasulan.
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ (Jika mereka telah mentaati hal itu) yaitu jika mereka telah bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh dan bahwasanya Muhammad adalah Rasûlullâh, maka: فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَـمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ (Maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam). Yaitu shalat wajib yang lima waktu, yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh. Selain kelima shalat tersebut, tidak termasuk dalam shalat wajib. Adapun shalat-shalat sunnah rawatib, shalat witir, shalat dhuha, semua itu tidak wajib. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (an-Nisa: 103)
 فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ (Jika mereka telah mentaati hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir). Artinya: Jika mereka telah melaksanakan shalat wajib yang lima waktu, maka perintahkan kepada mereka untuk menunaikan zakat. Allh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’. (Al-Baqarah :43)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِم Artinya: jika mereka telah tunduk dan sepakat dalam menunaikan zakat, maka janganlah mengambil harta-harta terbaik mereka. Tetapi ambillah yang pertengahan, jangan menzhalimi mereka.
Maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengambil harta terbaik dan berharga yaitu agar hati orang-orang kaya tidak dendam kepada orang fakir karena mengambil dan menerima harta-harta yang berharga dari mereka. Dan juga agar tidak timbul rasa hasad (iri, dengki) dan kebencian di antara individu masyarakat, serta agar seorang Muslim memberikan zakat hartanya dengan hati yang ridha, tangan terbuka yang menginginkan kebaikan dan berbuat baik untuk semua orang.

C.      Metode Berdakwah kepada Non Muslim atau Ahli kitab
Dakwah, menyampaikan pesan Islam kepada non-Muslim, adalah kewajiban umat Islam. Allah SWT memerintahkan dan menuntun kita dalam Al Qur'an untuk melakukan dakwah (dengan aturan-aturan tertentu):
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. 16:125)
Bagi mereka, mengundang seseorang untuk masuk Islam berarti dengan lembut mengajak, peduli, santun, dan sebagainya. Sebagai contoh, kita tidak bisa “mengundang” seorang non-Muslim untuk memahami tentang Islam, atau belajar Islam, atau membuat dia tertarik kepada Islam, dengan memanggilnya kafir, manusia najis, atau nama-nama buruk lainnya. Rasulullah s.a.w bahkan tidak membolehkan para penyembah berhala (yang bukan saja menentang ajaran Rasulullah, tapi juga melemparinya dengan kotoran unta, mengasingkan umat Muslim selama tiga tahun dan membunuh sahabat-sahabat terdekatnya, dan sebagainya) dicela dalam sebuah puisi bernada sarkasme oleh Hassan bin Tsabit yang mengatakan “Bagaimana kalau sebenarnya aku bersaudara dengan mereka.
Kita harus mengikuti sunnah Rasulullah s.a.w dengan tidak menghina orang lain. Dengan begitu, kita harus memiliki akhlaq yang baik, seperti yang diajarkan oleh Islam, dan dengan demikian menjadi penyeru-penyeru Islam yang terbaik, dan begitulah seharusnya sifat para da’i sejati. Seorang Muslim yang membuat nama Islam menjadi buruk dengan berperilaku ekstrim, keras, emosinya tinggi, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berpikiran sempit, dogmatis, dan hal-hal lain yang tidak diajarkan dalam Islam, hanya akan membuat pekerjaan para da’i menjadi lebih sulit. Orang-orang seperti itu hanya membuat nama Islam semakin buruk di zaman sekarang, dimana banyak orang yang berpandangan negatif terhadap Islam.
Cara-cara berdakwah kepada non muslim dapat pemakalah simpulkan sebagai berikut:
1.         Menjelaskan tentang kebaikan, kesempurnaan dan keindahan agama Islam dari segi akidah, ibadah dan muamalah. Syaikh ‘Abdul `Azîz bin Bâz rahimahullâh pernah mengatakan, “Kaum muslimin dan seluruh manusia di dunia pada saat ini sangat membutuhkan penjelasan tentang agama Islam dan penampakan keindahan-keindahan Islam serta dijelaskan hakikat Islam. Demi Allah! Seandainya orang-orang pada saat ini mengenal agama Islam dan seluruh alam pun mengenal hakikat Islam, niscaya mereka akan berbondong-bondong untuk masuk Islam.
2.         Menyebutkan bukti-bukti kebenaran ajaran Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar siapa saja yang menghendaki kebenaran dan jujur (terhadap kebenaran itu) akan mendapatkan petunjuk, dan agar dapat menegakkan hujjah atas para penentangnya.
3.         Mematahkan syubhat orang-orang kafir terhadap agama ini dan membantah semua hal yang mereka jadikan sebagai hujjah atau segala sesuatu yang mereka gunakan untuk mendebat kaum muslimin. Al-Qur’ân telah menunjukkan bukti yang paling jelas dan hujjah yang paling kuat dan cukup untuk menunjukkan kebenaran dan menumpas kebatilan.
4.         Mengingatkan orang-orang kafir akan hukuman yang telah diperoleh umat terdahulu dan kebinasaan yang Allah timpakan kepada umat yang membangkang dengan berbagai bentuk hukuman dan berbagai jenis siksaan.
5.         Memberikan peringatan kepada mereka terhadap apa-apa yang telah Allah siapkan untuk orang-orang kafir berupa hukuman-hukuman di dunia dan akhirat.
6.         Memadukan antara metode targhîb (pemberian motivasi) dan tarhîb (peringatan dengan menyampaikan ancaman) dengan cara menyebutkan apa yang akan mereka peroleh jika mereka masuk Islam, berupa: faidah yang agung, hasil yang bermanfaat, dan kebaikan yang terus menerus di dunia dan akhirat. Dan menyebutkan apa yang akan mereka peroleh jika mereka tetap berada dalam kekafiran, berupa: keburukan-keburukan yang banyak, bahaya-bahaya yang mengkhawatirkan dan kerusakan yang berkesinambungan di dunia dan akhirat.[2]



Demikian pembahasan kali ini semoga bermanfaat dan, bisa memberi manfaat, menambah wawasan kita tentang Keutamaan Menuntut Ilmu, dan kami harapkan kepada pembaca untuk mencari sumber yang lain untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang pembahasan ini. Sebagai pemakalah, kami ucapkan terima kasih.







DAFTAR KEPUSTAKAAN

Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Mutakhir Dr.Yusuf Qardawi. 1996. alih bahasa H.M.H. al-Hamid al-Husaini. Jakarta: Yayasan al-Hamidy.
https://kajiansaid.wordpress.com/2012/11/21/cara-mendakwahi-orang-kafir-agar-mau-masuk-islam/



[1] Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Mutakhir Dr.Yusuf Qardawi, alih bahasa H.M.H. al-Hamid al-Husaini (Jakarta: Yayasan al-Hamidy, 1996), hlm. 580.
[2] https://kajiansaid.wordpress.com/2012/11/21/cara-mendakwahi-orang-kafir-agar-mau-masuk-islam/
Read more...

Sunday, January 20, 2019

Syarah Hadis Materi Dakwah

0 comments


PENDAHULUAN

            Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia sebagai rahmad bagi seluruh alam. Kemajuan iptek telah membawa banyak perubahan bagi masyarakat, baik cara berfikir, sikap, maupun tungkah laku. Segala persoalan kemasyarakatan yang semakin rumit yang dihadapi oleh umat manusia merupakan masalah yang harus dihadapi dan diatasi oleh para pendukung dan pelaksana dakwah.
            Karena tujuan utama dakwah adalah untuk mengajak mad’u kejalan yang benar yang diridhai Allah. Maka materi dakwah harus bersumber dari sumber pokok ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist. Namun karena luasnya materi dari kedua sumber tersebut, maka perlu adanya pembatasan yang disesuaikan dengan kondisi mad’u. Dalam hal ini, kami akan membahas tentang materi dakwah  khususnya yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.








PEMBAHASAN
           A.    Pengertian Materi
Materi adalah sebuah subtansi dari sebuah hal yang dibuat atau disusun, komponen atau bahan baku bahan penyusunnya. Maka hadis tentang materi dakwah badalah hais yang di dalamnya mengandung subtansi yang akan didakwahkan kepada masyarakat agar seorang da’i dapat lebih mudah dalam menyampaikan dakwahnya, untuk mengajak manusia menyembah Allah dan tidak menyembah selain Allah.
           B.     Hadis Tentang Materi Dakwah
Rasulullah bersabda ketika akan melepas Mu’ad berangkat ke Yaman. “serulah mereka supaya mereka naik saksi, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan aku adalah Raasulullah, bila mereka sudah menta’ati itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan bila itu telah mereka ta’ati beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (pengeluaran zakat) dari harta mereka, (yakni) diambil dari yang kaya dari mereka dan diserahkan kepada yang miskin diantara mereka”. (HR Al-Bukhari).
Penjelasan
Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa materi-materi yang harus disampaikan dimulai dari materi tentang aqidah yakni seruan untuk beriman kepada Allah. Setelah itu tentang shalat, zakat, dan shadaqah. Maka sebagai seorang da’i harus lebih dahulu mengerti dan memahami materi-materi sebelum terjun untuk menyampaikan kepada masyarakat. Supaya ketika masyarakat ada yang bertanya dan kurang mengerti dapat menjelaskan dengan mudah serta bisa dipahami oleh masyarakat. Mengenai materi-materi ada yang menagatakan bahwa zakat tidak termasuk pada dulu. Sebab zakat dimasukkan dalam shadaqah.[1]

 Hadis Tentang Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ».

Artinya:”Dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”.

SYARAH HADITS
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya.[2]
Di antara keutamaan amar ma’rûf nahi munkar yaitu:
a.       Termasuk kewajiban paling penting dalam Islam.
b.      Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan kebaikan bagi masyarakat.
c.       Menghidupkan hati.
d.      Sebagai faktor yang bisa mengundang pertolongan, kemuliaan dan kekuasaan dibumi.
e.       Amar ma’rûf nahi munkar termasuk shadaqah.
f.       Menolak marabahaya.
g.      Orang yang mencegah dari perbuatan mungkar akan diselamatkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
h.      Amar ma’rûf nahi mungkar termasuk sifat-sifat orang mukmin yang shalih.
i.        Amar ma’rûf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.
j.        Amar ma’rûf nahi munkar termasuk sebab dosa diampuni.
k.      Amar ma’rûf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan seutama-utama amal.
 Akibat dan Pengaruh Jelek Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
a. Mendapat laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , celaan dan kehinaan
b. Kerusakan akan semakin parah.
c. Mendapat hukuman dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
d. Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
e. Do’a tidak dikabulkan.
f. Akan dibinasakan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
g. Akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.
h. Jatuh dalam kebinasaan, membuat hati sakit atau bahkan mematikannya.
Dari penjelasan dapat diketahui bahwa mengingkari kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap Muslim dalam semua kondisi, sedang mengingkarinya dengan tangan dan lidah itu sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana dalam hadits Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْـمَعَاصِيْ يَقْدِرُوْنَ عَلَـى أَنْ يُغَيِّرُوْا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوْا إِلَّا يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ.
Tidaklah suatu kaum yang dikerjakan ditengah-tengah mereka berbagai kemaksiatan yang mampu mereka mencegahnya namun tidak mereka cegah, melainkan Allâh pasti akan menurunkan hukuman kepada mereka semua.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ : يَا رَبِّ ، رَجَوْتُكَ ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.
Sesungguhnya Allâh pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allâh telah mengajarkan hujjah kepada hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-Mu, dan aku tinggalkan manusia.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam khutbahnya,
أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رُجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ
Ingatlah, janganlah sekali-kali rasa segan kepada manusia menghalangi seseorang untuk mengatakan kebenaran jika ia mengetahuinya.
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu menangis kemudian berkata, “Sungguh, demi Allah, kita melihat banyak hal kemudian kita segan.”
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad dengan tambahan,                             
فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ مِنْ أَجَلٍ وَلَا يُبَاعِدُ مِنْ رِزْقٍ أَنْ يُقَالَ بِحَقٍّ أَوْ يُذْكَرَ بِعَظِيْمٍ
Karena mengucapkan yang haq atau mengingatkan tentang suatu yang besar tidak mendekatkan kepada ajal dan tidak menjauhkan dari rezeki.
Hadits tersebut ditafsirkan bahwa penghalang untuk mengingkari kemungkaran itu hanya sekedar segan dan bukannya takut yang menghapus kewajiban mengingkari kemungkaran.
Bagaimana Hukum Mengingkari Kemungkaran Kepada Penguasa?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الْـجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ (وفي رواية: عَدْلٍ) عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad terbaik ialah mengatakan kalimat yang haq (dalam riwayat lain: adil) kepada pemimpin yang zhalim.
Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anuhma, ‘Aku memerintah kebaikan kepada penguasa dan melarangnya dari kemungkaran?’ Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Jika engkau takut dia membunuhmu, jangan engkau lakukan.’ Aku mengulangi perkataanku itu tadi, namun Ibnu ‘Abbâs c menjawab seperti jawaban semula. Aku mengulangi perkataanku namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tetap berkata seperti semula dan berkata, ‘Jika engkau memang harus melakukannya, maka kerjakan secara empat mata dengannya.’
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya.
Sedangkan membelot dari penguasa dengan mengangkat pedang (senjata) maka dikhawatirkan menimbulkan sejumlah fitnah yang menyebabkan pertumpahan darah kaum Muslimin. Jika seseorang ingin maju mengingkari kemungkaran para penguasa namun pada saat yang sama dikhawatirkan tindakannya akan membawa dampak negatif kepada keluarga dan tetangganya, maka ia sebaiknya tidak melakukannya. Karena tindakannya akan menimbulkan gangguan bagi orang lain. Itulah yang dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyâdh t dan yang lainnya. Jika seseorang khawatir dirinya dibunuh, atau dicambuk, atau dipenjara, atau diborgol, atau diasingkan, atau hartanya dirampas, dan ancaman-ancaman lainnya, maka kewajiban menyuruh para penguasa melakukan kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran menjadi gugur darinya. Ini ditegaskan para imam, diantaranya Imam Mâlik rahimahullah, Ahmad rahimahullah, Ishâq rahimahullah dan lain-lain.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau, “Barangsiapa meneliti fitnah besar dan kecil yang terjadi dalam Islam, dia akan tahu bahwa fitnah itu disebabkan karena melalaikan pokok kaidah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemungkaran. Menuntut hilangnya kemungkaran, tetapi lahir darinya kemungkaran yang lebih besar. Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat satu kemungkaran besar di Makkah dan Beliau n tidak bisa mengubahnya. Bahkan ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala taklukkan Makkah menjadi negeri Islam, Beliau bertekad mengubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai pondasi bangunan Nabi Ibrahim Alaihissallam , tetapi tercegah (walaupun Beliau mampu) oleh kekhawatiran munculnya keburukan yang lebih besar, yaitu khawatir orang-orang Quraisy tidak bisa menerimanya karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu, tidak diizinkan mengingkari penguasa dengan tangan, karena menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.”
Tingkatan Dalam Mencegah Kemunkaran Amar ma’rûf nahi munkar memiliki tingkatan yang harus diketahui oleh pelakunya sehingga apa yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan syari’at dan adab-adab yang mesti diperhatikan. Tingkatan ini telah diterangkan oleh para Ulama dahulu dan yang sekarang, dan mereka senantiasa menasihati para pelaku amar ma’rûf nahi mungkar dengannya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya syari’at ini berdiri di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan dunia-akhirat bagi hamba-hamba Allah. Syari’at ini, seluruhnya adil, rahmat, maslahat dan hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat ke lawannya, dari maslahat ke mafsadat dan dari hikmah kepada kekerasan, maka itu tidak termasuk syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab takwil. Syari’at adalah cermin keadilan Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya diantara hamba-hamba-Nya, pemeliharaan-Nya di bumi dan hikmah Allah yang merupakan petunjuk paling sempurna yang membuktikan keberadaan Allâh Azza wa Jalla dan kejujuran Rasûl-Nya.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada ummatnya untuk mengingkari kemungkaran agar terealisasi perbuatan ma’rûf yang dicintai Allâh dan Rasûl-Nya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar daripadanya dan lebih dimurkai oleh Allâh dan Rasûl-Nya maka tidak diperbolehkan untuk mengingkarinya meskipun Allâh membenci dan memurkai pelakunya. Ini seperti mengingkari para raja dan pemimpin dengan cara memberontak kepada mereka, karena hal itu adalah sumber dari setiap kejelekan dan fitnah sampai akhir masa.”
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Menghilangkan kemungkaran memiliki empat tingkatan:
1. Kemungkarannya hilang dan digantikan dengan lawannya, yaitu kebaikan.
2. Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.
3. Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.
4. Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih berat (lebih besar).
Tingkatan yang pertama dan kedua disyari’atkan (untuk dilakukan). Tingkatan yang ketiga –tentang kebolehannya masuk ke area ijtihad-, dan tingkatan yang keempat haram (untuk dilakukan).
Berikut tingkatan mengubah kemungkaran yang harus diketahui :
a. Mengetahui kemungkaran.
b. Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya.
Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu.
c. Mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tahapan-tahapannya.
Tahapan pertama, memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
Tahapan kedua, melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat.
Tahapan ketiga, tegas dalam memberikan nasihat.
Tahapan keempat, mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
d. Mengingkari kemungkaran dengan hati
e. Mengingkari kemungkaran dengan pedang atau senjata
 Perbedaan Tingkatan Tanggung Jawab Manusia Dalam Mengingkari Kemungkaran. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan semua kita melakukan amar ma’rûf nahi munkar sesuai dengan kemampuan. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah manusia itu berbeda-beda tingkatannya dalam kewajiban ini. Seorang muslim yang awam (minim ilmu) wajib mengerjakan kewajiban ini sesuai kemampuannya. Ia harus menyuruh istri dan anak-anaknya dengan perkara-perkara agama yang telah diketahuinya.
Sedang para ulama memiliki kewajiban yang tidak dimiliki selain mereka karena mereka adalah pewaris para nabi. Jika mereka meremehkan tugas ini maka berbagai kekurangan akan menimpa umat ini, sebagaimana terjadi pada Bani Israil.
Sementara kewajiban pemerintah pada tugas ini sangat besar karena mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa banyak orang untuk kembali dari kemungkaran. Sebab orang yang terpengaruh dengan nasihat dan wejangan itu sangat sedikit. Apabila pemerintah menyepelekan tugas ini, maka ini merupakan bencana besar karena akan menyebabkan tersebarnya kemungkaran serta para pelaku kebatilan dan kefasikan semakin berani melakukan aksi-aksi batil mereka terhadap orang-orang yang berpegang pada kebenaran dan orang-orang yang mengadakan perbaikan.[3]
           C.   Macam-macam Materi Dakwah
Secara umum, Materi Dakwah dikasifikasikan menjadi empat masalah pokok yaitu:
1.       Masalah Aqidah 
Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang akan membentuk karakter ber-taqarrub (medekatkan diri pada Allah) seorang hamba dengan haq (benar). Sebab, jika seorang hamba tidak memiliki pengetahuan tentang akidah yang benar, dikhawatirkan jalan menuju Allah bisa salah atau bahasa lumrahnya, bisa sesat. Oleh sebab itu, bagi seorang da’i, materi akidah ini harus diutamakan dalam berdakwah.
Aspek aqidah adalah yang akan membentuk moral (akhlak) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah adalah masalah aqidah atau keimanan.
Aqidah adalah pokok kepercayaan dalam agama Islam. Aqidah Islam disebut Tauhid dan merupakan inti dari kepercayaan. Dalam Islam, Aqidah merupakan I’tiqad Bathiniyyah yang mencakup masalah-masalah yang erat kaitannya dengan rukun Iman. Allah SWT berfirman dalam Qs. An-Nisaa:36.
Iman ialah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikatnya, Kitab-kitabnya, Rasul-rasulnya, Hari akhir dan percaya adanya ketentuan Allah yang baik maupun yang buruk (HR.Muslim)
 Sebab aqidah (keimanan) ini diturunkan lebih dahulu sebelum diturunkannya perintah dan ajaran Islam tentang ibadah, syariat dan muamalat. Sirah Nabawiyah mengajarkan bahwa materi pertama yang menjadi landasan utama ajaran Islam adalah masalah yang berkaitan dengan pembinaan akidah.
Akidah Islam juga menuntut hanya Rasul Muhammad saw sebagai satu-satunya panutan di antara semua makhluk yang ada. Tidak boleh mengikuti selain Rasulullah Muhammad, dan tidak diterima selain dari beliau. Beliaulah yang telah menyampaikan syari’at Rabbnya. Tidak diperkenankan mengambil syari’at selain dari beliau (siapapun orangnya), atau dari agama dan ideologi selain Islam, atau dari para pakar hukum. Seorang muslim wajib mengikuti dan mengambil hukum hanya dari Rasul saw berdasarkan firman Allah Swt Qs-Al-hasyr:7.
Aqidah dalam Islam adalah bersifat I’tiqadi Batiniyah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Masalah keyakinan atau aqidah ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad, SAW: “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para malaikatnya, Kitab-kitabnya, Para Rasulnya, hari akhir, dan adanya takdir baik dan buruk (yang diciptakan oleh-Nya” (HR. Muslim dari Umar).
Ciri-ciri yang membedakan antara aqidah dengan kepercayaan lain adalah:
a)      Keterbukaan melalui persaksian
b)      Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam.
c)      Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan.
Orang yang memiliki iman yang benar (hakiki) akan cenderung untuk berbuat baik dan akan menjauhi perbuatan jahat, karena perbuatan jahat akan berkonsekuensi pada hal-hal buruk. Iman inilah yang berkaitan dengan dakwah islam dimana amar ma’ruf nahi mungkar dikembangkan yang kemudian menjadi tujuan utama dari suatu proses dakwah.
2.      Masalah Syariat
Secara etimologi kata syari’ah berasal dari bahasa Arab, dari kata syara’a yang berarti jalan. . Secara terminologis, Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariahkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti.
Materi dakwah yang bersifat Syari’ah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Disamping mengandung dan mencakup kemaslahatan sosial dan moral. Materi dakwah in dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang benar dan kejadian secara cermat terhadap hujjah atau dalil-dalil dalam melihat persoalan pembaruan. Sehingga umat tidak terperosok kedalam kejelekan, karena yang diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan.
Hukum atau syari’ah seperti wajib, haram, sunah, makruh dan mubah. Hukum-hukum tersebut tidak saja diterangkan klasifikasinya, melainkan juga hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya. Seorang da’i jangan hanya menyampaikan suatu hukum masalah, bahkan juga harus mampu memberi motivasi dan solusi untuk melaksanakan hukum itu. Semisal, jangan hanya menyampaikan bahwa menjadi PSK hukumnya haram, bahkan juga harus bisa memberi motivasi dengan baik dan bijak, serta memberi solusi yang jitu agar si PSK berhenti dari perbuatannya itu. Semisal, jika si PSK melakukan itu karena masalah ekonomi maka si da’i harus memberi peluang pekerjaan.
3.      Masalah Akhlak
Secara etimologis, kata akhlaq berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku atau tabi’at. Sedangkan secara terminology, pembahasan akhlaq berkaitan dengan masalah tabi’at atau kondisi temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Sabda Rasulullah: sesungguhnya aku diutus dipermuka bumi ini untuk menyempurnakan Akhlak.
Pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak .Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengerti benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata – mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang yang sudah memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.
Berdasarkan pengertian ini, maka ajaran akhlaq dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya, Islam mengajarkan kepada manusia agar berbuat baik dengan ukuran yang bersumber dari Allah SWT.
Pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau kondisi temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya. Akhlak merupakan ekspresi mulia bagi seseorang, lebih-lebih bagi para da’i.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi sifat Allah SWT, pasti dinilai baik oleh manusia sehingga harus dipraktikkan dalam perilaku sehari-hari.
           4.  Masalah Muamalah
Islam merupakan agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Ibadah dalam muamalah disini diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. Statement ini dapat dipahami dengan alasan :
a)      Dalam  Al-Qur’an dan Al-Hadis mencakup proporsi terbesar sumber hukum dengan urusan muamalah. Dalam Al-Qur’an Allah.SWT berirman: Qs-Ali-Imran: 130.
b)      Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan.
c)      melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatkan ganjarn lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Seorang da’i harus menunjukkan sikap yang baik dalam kehidupan berinteraksi. Sebenarnya, dalam hal inilah yang lebih utama dan penting dalam berdakwah. Lebih besar pengaruhnya jika berdakwah melalui sikap dalam bergaul. Dan juga, ibadah seseorang yang baik akan dinilai dari pola interaksi dalam kehidupan sosial.[4]
                    
 
PENUTUP
            Kehidupan modern telah memberikan manfaat bagi manusia. Namun, disisi lain kehidupan tersebut memiliki banyak dampak negatif. Untuk memperbaiki dampak negatif tersebut materi dakwah sangat diperlukan, karena tujuan dakwah adalah mengajak manusia ke jalan yang benar, yaitu jalan yang diridhai oleh Allah. Dalam berdakwah, materi dakwah harus disesuaikan dengan kondisi mad’u agar dakwah menjadi berhasil. Untuk itu materi dakwah sangat diperlukan bagi seorang da’i.
























[2] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/245)
[4] Muliadi, Dakwah Inklusif, dalam buku Hafi Anshari, Pemahaman dan pengalaman ilmu Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 140




Read more...

Tuesday, January 15, 2019

Hadis Ahad yang Berlawanan dengan Hadis Ahad Lain yang Diriwayatkan oleh Periwayat yang Lebih Mengetahui Keadaannya

0 comments



 PEMBAHASAN
   A.    Pengertian Kritik Matan Orientasi ke-ma’mulan Hadis tentang Hadis Ahad yang Berlawanan dengan Hadis Ahad Lain yang Diriwayatkan oleh Periwayat yang Lebih Mengetahui Keadaannya

Kritik matan orientasi ke-ma’mulan hadis maksudnya adalah mengkritik matan-matan hadis yang shahih atau hadis ahad yang maqbul sehingga berbeda kema’mulannya (pengamalannya), dikalangan ulama. Dalam hal ini, umumnya ulama fiqh yang berbeda dalam mengamalkan hadis ahad yang maqbul itu karena adanya kriteria tambahan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut dalam hal mengamalkan hadis ahad yang maqbul itu.
Kritik matan orientasi ke-ma’mulan hadis tentang hadis ahad yang berlawanan dengan hadis ahad lain yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih mengetahui keadaanya maksudnya adalah mengkritik matan-matan hadis ahad yang berlawanan dengan hadis ahad lain yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih mengetahui keadaanya, sehingga berbeda ulama hanafi dan ulama syafi’i dalam mengamalkannya atau hadis tersebut ma’mulum bih atau ghairu ma’mulum bih menurut ulama yang berpolemik.

     B.     Contoh Kritik Matan Orientasi Ke-Ma’mulan Hadis tentang Hadis Ahad yang Berlawanan dengan Hadis Ahad Lain yang Diriwayatkan oleh Periwayat yang Lebih Mengetahui Keadaanya
Adapun contoh dari kema’mulan hadis tentang hadis ahad yang berlawanan dengan hadis ahad lain yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih mengetahui keadaanya yaitu hadis tentang tidak sah puasa orang yang masih junub ketika subuh di bulan ramadhan, berikut hadisnya:
عن ابي هريرة انه يقول من اصبح جنبا افطر ذلك اليوم رواه الشفعي
Artinya: “ Hadis dari Abu Hurairah, dia berkat, siapa yang junub sampai pagi hari, batallah puasanya pada hari itu”

Hadis Ahad yang lainnya, yaitu:

عن عائشة ان جلا قال لرسول الله صلى الله عليه و سلم و هو واقف على البب و انا اسمع يا رسول الله انى اصبح جنبا و انا اريد الصوم فقال رسول الله عليه و سلم : و انا اصبح جنبا و انا اريد الصوم فا غتسل و اصوم ذلك اليوم
Artinya: “ Hadis dari Aisyah bahwa seseorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. Beliau ketika itu sedang berdiri didepan pintu dan aku (kata Aisyah) mendengarnya. Laki-laki itu berkata, “ ya Rasulullah, aku junub sampai pagi hari, sedangkan aku ingin sekali meneruskan puasaku.” Dijawab oleh Rasulullah Saw. “Aku juga pernah junub sampai pagi hari. Aku pun ingin terus berpuasa maka aku pun mandi dan terus berpuasa pada hari itu.”

      C.    Ulama yang Berpolemik
1.      Imam Hanafi

Ia lebih mengamalkan hadis Abu Hurairah walaupun berlawanan dengan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah kualitasnya ghairu ma’mul bih karena Imam Hanafi tidak mengkaji mana yang lebih kuat antara hadis yang bertentangan tersebut. Dan yang lebih dahulu adalah hadis dari Abu Hurairah.
2.      Imam Asy-Syafi’i

Diantara dua hadis yang bertentangan diatas dilakukan dalam pendekatan tarjih atau ditarjihlah kedua ayat tersebut atau adanya kriteria yang lain. Dan kualitas hadisnya (kedua hadis tersebut) ma’mul bih. Lalu hadis Aisyahlah yang harus diperpegangi dan diamalkan. Disamping itu junub itu sama dengan kenyang yaitu bekas sesuatu dari perbuatan, ditambah ramadhan karena kalau belum mandi maka subuhnya akan hilang, selain itu yang lebih mengetahui tentang junub itu adalah Aisyah dan Ummu Salamah karena berhubungan juga hadis Aisyah tersebut.
Karna hal ini menyangkut urusan rumah tangga Nabi SAW tentang junubnya Nabi, ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui daripada Abu Hurairah. Jadi Imam Syafi’i mentarjih hadis Abu Hurairah.
Dari segi lain hadis Abu Hurairah adalah hadis Qauli sedangkan hadis ‘Aisyah dan Ummu Salamah adalah hadis fi’li. Jika berlawanan antara hadis qauli dan hadis fi’li maka yang di dahulukan hadis fi’li.



Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018