MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
Kata Pengantar
Alhamdulillahhirrabbil’alamin, puji syukur kami
ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga pada akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam
kami ucapkan untuk Nabi Muhammad SAW semoga selalu tercurah untuk beliau. Amin
Terima kasih kepada seluruh pihak-pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, yang telah mencurahkan ide-ide
dan pemikiran yang membangun. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah banyak sekali membimbing kami dalam penyelesaian makalah
ini. Makalah ini membahas tentang Al-muhkam dan Al-mutasyabih.
Kami menyadari makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, hal itu karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami.
Untuk itu, kami memintak kritik dan saran yang membangyn dari pembaca. Semoga
malah ini bemanfaat bagi kita semua baik dalam pembelajaran maupun dalam
kehidupan sehari-hari.
Akhir kata kami ucapakan maaf kepada pembaca
apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan.
Padang,16
november 2015
Pemakalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
ii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih……………………………………..1
B. Pembagian Ayat-Ayat Mutasyabih………………………………………..4
1.Mutasyabih
dari segi lafazh
2.
Mutasyabih dari segi maknanya
3.
Mutasyabihdari segi lafazh dan maknanya
C. Sikap
Para Ulama terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih……….6
D. Hikmah
adanya Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih…………………...10
BAB III PENUTUPAN
DAFTAR
PUSTAKA
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ayat-ayat
dalam yang terkandung dalam Al-quran adakalanya berbentuk lafazd, ungkapan, dan
uslup yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang Yang
membacanya. Disamping ayat yang sudah jelas tersebut, ada lagi ayat-ayat Al-quran
yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang
membacanya sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para
mujtahid untuk dapat mengembalikan ke[ada makna yang jelas dan tegas.
Kelompok
ayat pertama, yang telah jelas maksudnya itu disebut dengan muhkam, sedangkan
kelompok ayat kedua yang masih samar-samar disebut dengan mutasyabih, kedua
macam inilah yang akan menjadi pembahasan pada bagian ini.
Pada
sisi lain Al-qathan menyatakan bahwa Al-quran seluruhnya muhkam dan mutasyabih.
Pendapat ini karena memandang muhkam dan mutasyabih secara umum. Seluruh
Al-quran adalah muhkam jika kata muhkam itu berarti kokoh, kuat dan membedakan
antara yang hak dengan yang bathil, yang benar dan salah. Dan Al-quran itu
mutsyabih jika kata itu berarti kesempurnaan dan kebaikan. Al-quran satu ayat
dengan ayat yang lainnya saling menyempurnakan dan memperbaiki ajaran-ajaran
yang salah yang selalu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
B. Rumusan Makalah
1.
Apa
pengertian muhkam dan mutasyabih ?
2.
Bagaimana
cara mengetahui muhkan dan mutasyabih ?
3.
Apa ciri
spesifik muhkam dan mutasyabih ?
4.
Bagaiman
klasifikasi ayat-ayat dan surat-surat Alquran ?
5.
Apa
urgensi pengetahuan tentang muhkam dan mutasyabih ?
C. Tujuan
penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian muhkamah dan mutasyabih
2.
Untuk mengetahui
cirri-ciri spesifik muhkamh dan mutasyabih
3.
Untuk mengetahui
bagaiman klasifikasi ayat-ayat muhkamah dan mutasyabih
4.
Untuk
mengetahui urgensi pengetahuan tentang muhkamah dan mutasyabih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Muhkam dan Mutasyabih
Menurut bahasa, muhkamat berasal dari kata-kata
احكم-يحكم-احكاما Mengandung
arti kekokohan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Sedangkan
musytasyabihat berasal dari kata تشابه-يتشابه-تشابـها yang berarti التما ثيل kemiripan, keserupaan, kesamaan.[1]
Adapun tentang pengertian muhkam dan mutastabih
secara istilah, para ulama mengemukakanpendapat yang bermacam-macam. Hal ini
dikarenakan dimensi makna yang dikandung oleh kata muhkam dan mutasyabih itu
cukup jelas dan beragam. Penjelasannya adalah seperti uraian berikut ini:
1.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gemblang baik melalui
takwil (metafora) ataupun tidak. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang
maksudnya hanya dapat diketahui oleh Allah SWT., seperti kedatangan hari kiamat,
keluarnya Dajjal, dan huruf-huruf muqata’ah yang terdapat di awal surat-surat
tertentu. Defenisi ini dikemukakan oleh kelompok ahlus sunnah.
2.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan ayat-ayat mutasyabih
sebaliknya.
3.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi lain, sedangkan
ayat-ayat mutasyabih mempunyai kemungkinan sisi arti banyak. Defenisi ini
dikemukakan oleh Ibnu Abbas.
4.
Ayat-ayat
muhkam adalah yang maknanya dapat dipahami akal, seperti bilangan rakaat
sholat, kekhusukan bulan Ramadhan untuk pelaksanaan puasa wajib, sedangkan
ayat-ayat mutasyabih sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam al-Mawardi.
5.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknannya), sedangkan
ayat-ayat mutasyabih bergantung pada ayat lain.
6.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa pentakwilan,
sesangkan ayat mutasyabih memerlukan pentakwilan untuk mengetahui maksudnya.
7.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang lafazh-lafazhnya tidak berulang-ulang, sedangkan ayat
mutasyabih sebaliknya.
8.
Ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kewajiban-kewajiban, ancaman, dan
janji, sedangkan ayat muitasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan
perumpamaan-perumpamaan.
9.
Ibnu Abi
Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang menghapus (nasikh),
berbicara tentang halal-haram, ketentuan-ketentuan (hudud),
kewajiban-kewajiban, serta hal-hal yang harus diimani dan diamalkan. Adapun
ayat mutaysabih adalah yang berkenaan dengan perumpamaan-perumpamaan (amtsal),
sumpah (qasam), dan hal-hal yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
10. Abdullah
bin Hamid mengluarkan sebuah riwayat dari adh-Dhahak bin al-Muzahim yang
mengatakan bahwa ayat-ayat mukam adalah ayat-ayat yang menghapus (nasikh),
sedangkan ayat-ayat mutaysabih yang dihapus (mansukh).
11. Ibnu Abi
Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Muqathil bin Hayyan yang menyatakan
bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah huruf-huruf pembuka surat (fawathih as-suwar)
seperti alif lam mim, alif lam ra, dan alif lam mim ra.
12. Ibnu Abi
Hatim menyatakan bahwa ‘Ikrimah, Qatadah bin Di’amah, dan lainnya menyatakan
bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani dan diamalkan, sedangkan
ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang harus diimani saja dan tidak harus
diamalkan.[2]
13. As-suyuthi
muhkam adalah sesuatu yang sudah jelas artinya, sedangkan muhtasyabih
sebaliknya
14. Imam
Ar-Razi muhkam adalah ayat yang dalalahnya kuat baik maksud maupun lafaznya,
sedangkan muhtasyabih adalah ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal,
memerlukan takwil, dan sulit dipahami
15. Manna’
Al Qaththan muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung
tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mustasyabih tidak seperti itu, ia
memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dari
pendapat – pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ayat muhkamat adalah ayat
yang sudah jelas baik, lafaz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan
keraguan dan kekeliruan bagi orang yang yang memahaminya[3].
Yang termasuk kedalam kategori muhkam
adalah nash(kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan
tegas, dan memang untuk makna itu ia disebutkan) dan zhahir(makna lahir).
Sedangkan
ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat- ayat yang kurang jelas atau samar-samar maknanya
sehingga sulit mengetahui maksudnya secara pasti. Yang termaksuk dalam kategori
mutasyabih adalah kata-kata yang bersifat mujmal (global), mu’awwal (harus
ditakwil), musykil (ambigu), dan mubham(samar).[4]
B. Pembagian
ayat-ayat mutasyabih
1. Mutasyabih
dari segi lafazh
a. Yang
dikembalikan kepada lafazh yang sulit pemaknanannya, seperti الأبّ dan يزفون . Dan yang dilihat dari segi gandanya lafazh itu
dalam pemakaian, seprti lafazh اليد dan العين .
b. Lafazh
yang dikembalikan kepada bilangan susuna kalimatnya, yang seperti ini ada tiga
macam.
1) Mutasyabih
karena ringkasan kalimat, seperti firman Allah:
و ان خفتم ألا تقسطوا في اليتامى
Yang
dimaksdu dengan اليتامى di sini adalah juga mencakup اليتيمات.
2) Mutasyabih
karena luasnya kalimat, seperti firman Allah:
ليس كمثله شىء niscaya akan lebih mudah dipahami jika
diungkapkan dengan kalimatليس مثله
شيىء
3) Mutasyabih
karena susunan kalimatnya, seperti
firman Allah:
انزل على عبده الكتاب و لم يجعل له عوجا قيّما akan
mudah dipahami bila diungkapkan dengan:
انزل على عبده الكتاب قيما يجعل له عوجا
2. Mutasyabih
dari segi maknanya
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat
Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya. Semua sifat yang
demikian
tidak dapat digambarkan secara konkret karena
kejadiannya belum pernah dialami oleh siapapun.
3. Mutasyabih
dari segi lafazh dan maknanya
Mutasyabihat dari segi maknanya ini menurut
as-suyuti ada lima macam, yaitu;
a)
Mutasyabihat
dari segi kadarnya, seperti lafaz yang umum dan khusus.
b)
Mutsyabihat
dari segi cara, seperti perintah wajib dan sunnah
c)
Mutasyabihat
dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh.
d) Mutasyabihat
dari segi tempat dan suasananya dimana ayat itu di turunkan.
e)
Mutasyabihat
dari segi syarat-syarat, sehingga suatu amalan itu tergantung dengan atau tidaknya syarat
dibutuhkan, misalnya ibadah shalat dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika
tidak cukup syarat.[5]
C. Sikap
Para Ulama terhadap ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat
mutasyabih dapat diketahui oleh manusia atau hanya Allah saja yang
mengetahuinya. Perbedaan pendapat bermuara pada cara menjelaskan struktur
kalimat ayat berikut:
3
Artinya :“….Padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:
"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,…“(Q.S.Ali-Imran:7)
Ungkapan
wa Al-rasikhuna vi Al-‘ilm di-athaf-kan pada lafaz Allah sementara lafaz
yaquluna sebagai hal. Artinya bahwa ayat mutasyabih diketahui orang yang
mendalam ilmunya. Ungkapan wa
Al-rasikhuna vi Al-‘ilm sebagai mubtada’, sedangkan lafaz yaquluna
sebagai khabar. Artinya ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah sedangkan
orang yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.
Sebagian besar sahabat, tabi’in dan
generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah, berpihak pada penjelasan
gramatikal. Merupakan riwayat yang paling shahih dari Ibn Abbas.
As-Suyuthi
mengatakan bahwa pendapat ini diperkuat oleh riwayat berikut ini:
1. Riwayat ‘Abd
Ar-Razzaq dalam tafsirnya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Ibn
Abbas. Ketika membaca surat ali-Imran;7, Ibn ‘Abbas memperlihatkan bahwa huruf wawu pada ungkapan wa ar-rasikhuna
berfungsi sebagai isti’naf (tanda kalimat baru).
2. Ibn Abu
Daud, dalam Al-Mashahif mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy.
Menyebutkan bahwa diantara qiraah Ibn Mas’ud disebutkan:
“
Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih bnayak milik Allah semata,
sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat
yang mutasyabih.”
3. Al-Bukhari,
Muslim, dan lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengtakan
bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda ketika mengomentari surat Ali-Imran:7
sebagai berikut,
“ jika engkau menyaksikan orang-orang yang
mengikuti ayat mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya, orang itulah yang dicela Allah maka berhati-hatilah menghadap
mereka.”
4. Ath-Thabrani,
dalam Al-Kabir mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al-Asyu’ari.
Ia mendengar Rasulullah bersabda:
“Ada 3
hal yang aku khawatirkan dari umatku, yaitu pertama, menumpuk harta sehingga
memunculkan sifat hasad dan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Kedua, mencari
takwil ayat mutasyabih, padahal hanya Allah-lah yang mengetahuinya…”
5. Ibn
Al-Hatim mengeluarkan riwayat dari Aisyah yang dimaksud dengan kedalaman ilmu
pada surat Ali-imran:7 adalah mengimani ayat mutasyabih, bukan berusaha untuk
mengetahuinya.
6. Ad-Darimi
dalam Musnad-nya, mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yassar
mengatakan bahwa seorang pria bernama Shabigh tiba dimadinah. kemudian, ia
bertyanya tentang takwil ayat mutasyabih. Ia diperintahkan menemui ‘Umar. Umar
sedang memasang tangga kepohon kurma ketika orang itu menemuinya. “Siapakah
engkau?” tanya ‘Umar.
“ Saya adalah ‘Abdullah bin Shabigh.” ‘Umar
memukul orang itu dengan beberapa kayu dari tangga sehingga kepala orang itu
berdarah.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Umar itu
memukul dengan cambuk sehingga meninggalkan bekas pada punggungnya.
Ar-Raghib
Al-Asfahani membagi ayat-ayat mutasyabih dari segi kemungkinan
mengetahui maknanya pada 3 bagian :
1. Bagian yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya hari kiamat, keluar binatang dari bumi, dan sejenisnya.
2. Bagian yang menyebabkan manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti kata-kata asing didalam Alquran
3. Bagian yang terletak diantara keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya.
1. Bagian yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya hari kiamat, keluar binatang dari bumi, dan sejenisnya.
2. Bagian yang menyebabkan manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti kata-kata asing didalam Alquran
3. Bagian yang terletak diantara keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya.
Sikap para ulam terhadap ayat mutasyabih
terbagi kedalam 2 kelompok :
1. Madzhab
salaf, yaitu para ulama ynag mempercayai dan mengimanai ayat mutasyabih dan
menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (Tafwidhilallah). Ibn Ash-Shalah
menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut oleh generasi dan para pemuka umat islam pertama. Kepada mazhab
ini para imam dan pemuka hadist mengajak para pengikutnya. Tidak seorang pun
para teolog dari kalanagan kami yang menolak mazhab ini.
2. Mazhab
Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya penakwilan ayat mutasyabih
yang menyangkut sifat Allah yang melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran
Allah. Umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin. Dalam Ar-Risalah An-Nizhamiyyah,
ia menuturkan bahwa prinsip yang di pegang dalam beragama dalah mengikuti
mazhab salaf sebab mereka memperoleh drajat dengan cara tidak menyinggung
ayat-ayat mutashabih.[6]
D. Hikmah Adanya
Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Para
ulama menyebutkan beberapa hikmah ayat mutasyabihat, empat diantaranya
disebutkan oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan, yaitu :
1. Mengharuskan
upaya yang lebih banyak untuk mengungkapkan maksudnya, dengan akan menambah
pahala.
2. Seandainya
Alquran semuanya muhkamat, niscaya hanya ada mazhab.
3. Apabila
Alquran mengandung ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya diperlukan cara
penafsiran dan tarjih antara yang satu dan lainnya, hal ini memerlukan ilmu
bahasa, gramatika, ma’ani, bayan, ushul fiqh dan lainnya.
4. Alquran
berisi dakwah kepada orang-orang tertentu dan umum.[7]
BAB I11
PENUTUP
KESIMPULAN
Ayat-ayat
muhkam merupakan ayat yang mempunyai makna yang jelas, sehingga tidak perlu
mencari maksud tertentu lainnya. Ayat ini dapat diketahui oleh semua orang dan
tidak ada keraguan dalam mengamalkannya. Ayat-ayat muhkam merupakan ayat yang
mempunyai tujuan yang terarah, walaupun masih ada penafsiran lagi, namun
maknanya tidak ada keraguan lagi.
Ayat
mutasyabuihat merupakan ayat yang masih mempunytai maksud dan makna yang
dikeragui, dibutuhkan penakwilan dan sebetulnya hanya allah yang mengetahui
maksudnya. Namun bagi orang yang menakwilkan hanya tidak ada kecenderungan
kepada kesesatan, lebih baik maksud dari ayat mutasyabihat ditujukan kepada
allah semata yang Maha Mengetahui
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Abu, Ulumul Qur’an: Sebuah Pengantar, Pekanbaru,
Amzah, 2012.
Anwar,
Rosihon, Ulum Al-Quran, Bandung, CV
Pustaka Setia, 2012
Tasman,
Sutrrisno Hadi, Khazanah Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Padang, Hadin Publishing,
Zaini,
Hasan & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum
Al-Qur’an, Batusangkar, STAIN Batusangkar Press, 2011
[1]
Hasan Zaini dan Radhiatul Hasna, Ulum Al-Qur’an, (Batu sangkar: STAIN
Batusangkar Press, 2010), h. 115
[2] Sutrrisno Hadi Tasman, Khazanah Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an,(Padang;Hadin Publishing), h.123-125
[3]
Abu Anwar, op. Cit, h. 78
[4] Sutrisno Hadi Tasman,ibid , h.125
[5]
Abu Anwar, op. Cit, h.78-81
[6]
Rosihon Anwar, ulum alquran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h.
122-128
[7]
Hasan Zaini dan Radhiatul Hasna, op.Cit, h.121-122