BAB I
PENDAHULUAN
A. A. Latar
Belakang
Melalui
shalat seorang hamba mendapatkan ampunan dosa dan meraih kemenangan. Shalat
juga dapat memperdalam rasa disiplin diri dan membuat seseorang bersikap jujur
dan berpendirian, menampilkan pribadi yang berakhlak mulia, dan memberikan
kekuatan lahir batin dan ketenangan jiwa di dalam menghadapi berbagai godaan
dunia. Dan shalat dalam pelaksanaannya tidak dapat diganti oleh orang lain.
Bagi orang yang bermukim atau menetap, tentu tidak ada penghalang dan wajib baginya
untuk melaksanakan shalat dengan sempurna, lalu bagaimana dengan orang yang
melakukan safar (perjalanan)? Untuk orang yang melakukan safar maka boleh
dilakukan dengan menjama’ shalat atau mengqashrnya. Maka kami sebagai pemakalah
akan membahas tentang jama’ dan qashr tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian shalat jama’, apa dalilnya, apa saja yang membolehkan shalat jama’,
dan apa syarat jama’ taqdim dan ta’khir?
2.
Apa
pengertian shalat qashar, apa dalilnya, dan apa syarat-syarat sahnya qashar?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Shalat
Jama’
1.
Pengertian
Shalat jama’
Defenisi
jama’ secara etimologi bahasa arab adalah kumpul, gabung,
mengumpulkan, menggabungkan. Sedangkan defenisi shalat jama’ menurut istilah
adalah menggabungkan dua Shalat fardhu dalam satu waktu dengan taqdim (pada
waktu awal) atau ta’khir (pada waktu kedua/akhir). Oleh karena itu shalat jama’
ada dua macam. Pertama, jama’ taqdim yaitu menggabungkan shalat dzuhur dan asar
yang dilakukan di waktu dzuhur atau menggabungkan shalat magrib dan isya yang
dilakukan di waktu magrib. Kedua, jama’ ta’khir, yaitu menggabungkan shalat
dzuhur dan asar yang dilakukan di waktu ashar atau menggabungkan shalat magrib
dan isya yang dilakukan di waktu isya.[1]
2.
Dalil
Shalat Jama’
Dasar
hukum bagi dibolehkannya shalat jama’ adalah beberapa hadits fi’li (perbuatan
Nabi saw) saat melaksanakan ibadah haji. Hadits shahih bahwa Rasulullah
menjama’ shalat zuhur dan shalat ashar ketika di Arafah dengan satu adzan dan
dua iqamah, dan ketika di Muzdalifa beliau menjama’ shalat magrib dan shalat
isya’ dengan satu adzan dan dua iqamah. (HR. Muslim [1218]).
Dan
dua Hadits Shahih Muslim di bawah ini memberikan bukti bahwa Nabi saw pernah
melakukan shalat jama’ saat sedang bepergian (musafir) dan tidak musafir:
عن ابن عمر قال : كان رسول الله اذا عجل به السير
جميع بين المغرب والعشاء
Artinya: “Dari sahabat Ibn Umar RA. Berkata:
bahwasanya Nabi saw jika tergesa dalam sebuah perjalanan,maka beliau menjama’
antara shalat magrib dan isya.”
عن ابن
عباس قال:صلي رسول الله الظهر و العصر جميعا والمغرب والعشاء جميعا في غير خوف ولا
سفر
Artinya:“Dari Ibn Abbas RA. Berkata: Bahwasanya Nabi
saw pernah menjama’ shalat zuhur dan ashar juga menjama’ antara shalat magrib
dan isya bukan karena takut (sedang kondisi perang) atau karena bepergian.”[2]
3.
Yang
Membolehkan Shalat Jama’
Boleh
menjama’ shalat bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut:
a.
Menjama’
Shalat di Arafah dan Muzdalifah
Para
ulama sependapat bahwa di sunahkan menjama’ taqdim shalat dzuhur dan ashar di
Arafah dan menjama’ ta’khir shalat magrib dan isya di Muzdalifah. Hal ini
berdasarkan praktik Rasulullah saw.
b.
Menjama’
Shalat Ketika Safar
Mayoritas ulama berpendapat, musafir boleh menjama’ shalat baik saat berhenti maupun
dalam perjalanan. Mu’adz meriwayatkan, “ Pada saat Nabi saw. berada dalam
perang Tabuk, jika matahari bergeser ke barat (dari posisi atas) sebelum beliau
berangkat, maka beliau menjama’ shalat zuhur dan ashar di waktu dzuhur. Jika
keberangkatannya sebelum matahari bergeser, maka shalat dzuhur dan ashar di
jama’ pada waktu ashar. Begitu juga dengan shalat magrib. Jika beliau berangkat
sesudah matahari tenggelam, beliau menjama’ shalat magrib dengan shalat isya di
waktu magrib. Akan tetapi, kalau keberangkatannya sebelum matahari tenggelam,
beliau mengundurkan magrib itu sampai waktu isya dan di jama’ dengan shalat
isya’.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadits ini hasan)
c.
Menjama’
Shalat di Waktu Hujan
Bukhari
meriwayatkan bahwa nabi saw. menjamak shalat magrib dan isya di malam hujan
lebat.
Para
ulama Syafi’iyah membolehkan seseorang yang mu’min untuk menjama’ shalat zuhur
dengan asar dan magrib dengan isya secara taqdim saja. Ia juga mensyaratkan
adanya hujan ketika membaca takhbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai
selesai dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
Menurut
Maliki, boleh menjamak taqdim di mesjid antara shalat magrib dan isya
disebabkan adanya hujan yang sudah turun, atau diperkirakan akan turun. Juga
dibolehkan menjamak karena terdapat banyak lumpur di tengah jalan dan malam
sangat gelap hingga menyulitkan kaum muslimin memakai sandal. Sedangkan
menjamak shalat dzuhur dengan ashar karena hujan adalah makhruh.
d.
Menjamak
Disebabkan Sakit atau Alasan lain yang Diperbolehkan
Imam
Ahmad, Qadhi Husain, Khaththabi, dan Mutawalli dari kalangan ulama Syafi’iyyah
membolehkan menjamak takdim atau ta’khir disebabkan sakit, karena kesulitan
seawaktu sakit lebih besar daripada kesulitan turun hujan.
Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Mazhab yang paling luas dalam masalah jamak ialah mazhab
Ahmad karena ia membolehkan menjamak bagi seseorang yang sedang sibuk bekerja,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam sebuah hadis marfu’
bersumber dari Nabi saw. sampai-sampai dibolehkan pula menjamak bagi juru masak
atau pembuat roti dan orang-orang yang takut hartanya menjadi rusak.
e.
Menjamak
Shalat Karena Ada Keperluan
Dalam
Syarah Muslim, Nawawi mengatakan, “Sejumlah ulama berpendapat, orang
mukim boleh menjamak shalat jika ada suatu keperluan asalkan tidak menjadi
kebiasaan.
Kemudian
diperkuat oleh Ibnu Abbas bahwa tujuan disyariatkan jamak shalat adalah untuk
tidak menyulitkan umat, sehingga tidak dijelaskan karena sakit atau sebab lain.[3]
4.
Syarat
Jamak Taqdim dan Jamak Ta’khir
Syarat
jamak taqdim:
a.
Dikerjakan
dengan tertib
b.
Niat jamak
dilaksanakan (dilahirkan) pada shalat pertama
c.
Berurutan
antara keduanya: yakni tidak boleh disela dengan shalat sunat atau lain-lain.
Syarat
jamak ta’khir:
a.
Niat jamak
ta’khir dilakukan pada shalat yang pertama
b.
Masih dalam
perjalanan tempat datangnya waktu yang kedua.[4]
B. Shalat
Qashr
1.
Pengertian
Shalat Qashr
Secara etimologi qashr adalah
ringkas, meringkas, pangkas, memangkas. Secara terminologi syara’ adalah
meringkas shalat fardhu yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Maka yang bisa
diqashr hanya shalat dzuhur, ashar, dan isya saja. Shalat Qashr
adalah shalat yang diringkas dari empat raka’at menjadi dua raka’at dengan
tetap membaca al-Fatihah dan surat.[5]
2.
Dalil
Shalat Qashr
Apabila seseorang dalam perjalanan
menuju tempat yang jauh, maka ia dibolehkan memendekkan shalat atau qashr
adalah boleh. Firman Allah swt. QS. An-Nisa’: 101
وَإِذَا
ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ
ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ إِنَّ
ٱلۡكَٰفِرِينَ كَانُواْ لَكُمۡ عَدُوّٗا مُّبِينٗا ١٠١
Artinya: “Dan
apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar
shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang
kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Dan juga berdasarkan
sabda Rasulullah saw. yang artinya: “Dari Ibn Abbas r.a., ia berkata: Allah
mewajibkan shalat melalui Nabi Muhammad saw. empat raka’at bagi yang muqim dan
dua raka’at bagi musafir dalam perjalanan”.(HR. Muslim).
3.
Syarat-Syarat
Sahnya Shalat Qashr
a.
Karena dalam
perjalanan
b.
Perjalanan
yang ditempuh bukan perjalanan maksiat
c.
Jarak
perjalanan yang membolehkan qashr yaitu 3 mil atau tiga farsakh
d.
Berniat mengqashrkan
shalat.[6]
e.
Harus masih
berstatus musafir mulai shalat qashr sampai selesai
f.
Harus tidak
boleh bermakmum di belakang imam yang itmam (lengkap, tidak qashr)
shalatnya, walau di sebagian kecil raka’at
g.
Harus tidak
bermakmum di belakang imam yang diragukan status musafirnya
h.
Tujuan
berpergiannya harus tujuan yang shahih (benar secara syariat), seperti haji,
umrah, pendidikan, perdagangan, dan lain-lain, maka tidak sah qashr bagi
niat perjalanan tamasya dan pelancong atau sejenisnya.
i.
Shalat qashrnya
harus sudah melewati batas kota atau desa, maka tidak boleh shalat qashr
saat masih di rumah, walaupun mau pergi/ safar.[7]
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abbas
Arfan. Fiqh Ibadah Praktis Perspektif Perbandingan Madzhab Fiqh. Malang: UIN Maliki Press. 2012.
Sayyid Sabiq. terjemahan fiqih sunah. Jakarta, Al-I’tishom. 2008.
Moh.
Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap. PT. Karya Toha Putra Semarang.
Isni
Bustami. Fiqh I Thaharah dan Shalat Menurut Ajaran Islam. Padang, IAIN
IB Press. 2001.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Defenisi
jama’ secara etimologi bahasa arab adalah kumpul, gabung,
mengumpulkan, menggabungkan. Sedangkan defenisi shalat jama’ menurut istilah
adalah menggabungkan dua Shalat fardhu dalam satu waktu dengan taqdim (pada
waktu awal) atau ta’khir (pada waktu kedua/akhir).
Dasar
hukum bagi dibolehkannya shalat jama’ adalah beberapa hadits fi’li (perbuatan
Nabi saw) saat melaksanakan ibadah haji. Yaitu HR. Muslim [1218].
Boleh
menjama’ shalat bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut: menjama’ shalat
di Arafah dan Muzdalifah, menjama’ shalat ketika safar, menjama’ shalat di
waktu hujan, menjamak disebabkan sakit atau alasan lain yang diperbolehkan,
menjamak shalat karena ada keperluan.
Secara
etimologi qashr adalah ringkas, meringkas, pangkas, memangkas. Secara terminologi
syara’ adalah meringkas shalat fardhu yang empat raka’at menjadi dua
raka’at. Dasarnya QS. An-Nisa’ ayat 101. Dan hadits Nabi saw.
B. Saran
Kepada
pembaca makalah ini supaya dapat memahami dan mencari sumber lain untuk
memperluas wawasan kita tentang jamak dan qashar.
[1] Abbas
Arfan, Fiqh Ibadah Praktis Perspektif Perbandingan Madzhab Fiqh,
(Malang: UIN Maliki Press 2012), h. 95.
[2]Ibid. h. 96-97.
[3]
Sayyid Sabiq, terjemahan fiqih sunah, (Jakarta, Al-I’tishom, 2008), jilid
I, hlm. 424-428.
[4] Moh.
Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (PT. Karya Toha Putra Semarang), hlm. 165.
[5] Abbas
Arfan, op,cit. Hlm. 95-96.
[6] Isni
Bustami, Fiqh I Thaharah dan Shalat Menurut Ajaran Islam, (Padang, IAIN
IB Press, 2001), cet. I, hlm. 194-195.
[7] Abbas
Arfan, op.cit. hlm. 100-101.