Saturday, October 20, 2018

Shalat Jama' dan Qashar

1 comments
BAB I
PENDAHULUAN

A.                           A. Latar Belakang
Melalui shalat seorang hamba mendapatkan ampunan dosa dan meraih kemenangan. Shalat juga dapat memperdalam rasa disiplin diri dan membuat seseorang bersikap jujur dan berpendirian, menampilkan pribadi yang berakhlak mulia, dan memberikan kekuatan lahir batin dan ketenangan jiwa di dalam menghadapi berbagai godaan dunia. Dan shalat dalam pelaksanaannya tidak dapat diganti oleh orang lain. Bagi orang yang bermukim atau menetap, tentu tidak ada penghalang dan wajib baginya untuk melaksanakan shalat dengan sempurna, lalu bagaimana dengan orang yang melakukan safar (perjalanan)? Untuk orang yang melakukan safar maka boleh dilakukan dengan menjama’ shalat atau mengqashrnya. Maka kami sebagai pemakalah akan membahas tentang jama’ dan qashr tersebut.

             B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian shalat jama’, apa dalilnya, apa saja yang membolehkan shalat jama’, dan apa syarat jama’ taqdim dan ta’khir?
2.      Apa pengertian shalat qashar, apa dalilnya, dan apa syarat-syarat sahnya qashar?









BAB II
PEMBAHASAN

              A. Shalat Jama’
1.      Pengertian Shalat jama’
Defenisi jama’ secara etimologi bahasa arab adalah kumpul, gabung, mengumpulkan, menggabungkan. Sedangkan defenisi shalat jama’ menurut istilah adalah menggabungkan dua Shalat fardhu dalam satu waktu dengan taqdim (pada waktu awal) atau ta’khir (pada waktu kedua/akhir). Oleh karena itu shalat jama’ ada dua macam. Pertama, jama’ taqdim yaitu menggabungkan shalat dzuhur dan asar yang dilakukan di waktu dzuhur atau menggabungkan shalat magrib dan isya yang dilakukan di waktu magrib. Kedua, jama’ ta’khir, yaitu menggabungkan shalat dzuhur dan asar yang dilakukan di waktu ashar atau menggabungkan shalat magrib dan isya yang dilakukan di waktu isya.[1]

2.      Dalil Shalat Jama’
Dasar hukum bagi dibolehkannya shalat jama’ adalah beberapa hadits fi’li (perbuatan Nabi saw) saat melaksanakan ibadah haji. Hadits shahih bahwa Rasulullah menjama’ shalat zuhur dan shalat ashar ketika di Arafah dengan satu adzan dan dua iqamah, dan ketika di Muzdalifa beliau menjama’ shalat magrib dan shalat isya’ dengan satu adzan dan dua iqamah. (HR. Muslim [1218]).
Dan dua Hadits Shahih Muslim di bawah ini memberikan bukti bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat jama’ saat sedang bepergian (musafir) dan tidak musafir:
عن ابن عمر قال : كان رسول الله اذا عجل به السير جميع بين المغرب والعشاء

Artinya: “Dari sahabat Ibn Umar RA. Berkata: bahwasanya Nabi saw jika tergesa dalam sebuah perjalanan,maka beliau menjama’ antara shalat magrib dan isya.”

عن ابن عباس قال:صلي رسول الله الظهر و العصر جميعا والمغرب والعشاء جميعا في غير خوف ولا سفر


Artinya:“Dari Ibn Abbas RA. Berkata: Bahwasanya Nabi saw pernah menjama’ shalat zuhur dan ashar juga menjama’ antara shalat magrib dan isya bukan karena takut (sedang kondisi perang) atau karena bepergian.”[2]

3.      Yang Membolehkan Shalat Jama’
Boleh menjama’ shalat bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut:
a.       Menjama’ Shalat di Arafah dan Muzdalifah
Para ulama sependapat bahwa di sunahkan menjama’ taqdim shalat dzuhur dan ashar di Arafah dan menjama’ ta’khir shalat magrib dan isya di Muzdalifah. Hal ini berdasarkan praktik Rasulullah saw.
b.      Menjama’ Shalat Ketika Safar
Mayoritas ulama berpendapat, musafir boleh menjama’ shalat baik saat berhenti maupun dalam perjalanan. Mu’adz meriwayatkan, “ Pada saat Nabi saw. berada dalam perang Tabuk, jika matahari bergeser ke barat (dari posisi atas) sebelum beliau berangkat, maka beliau menjama’ shalat zuhur dan ashar di waktu dzuhur. Jika keberangkatannya sebelum matahari bergeser, maka shalat dzuhur dan ashar di jama’ pada waktu ashar. Begitu juga dengan shalat magrib. Jika beliau berangkat sesudah matahari tenggelam, beliau menjama’ shalat magrib dengan shalat isya di waktu magrib. Akan tetapi, kalau keberangkatannya sebelum matahari tenggelam, beliau mengundurkan magrib itu sampai waktu isya dan di jama’ dengan shalat isya’.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadits ini hasan)
c.       Menjama’ Shalat di Waktu Hujan
Bukhari meriwayatkan bahwa nabi saw. menjamak shalat magrib dan isya di malam hujan lebat.
Para ulama Syafi’iyah membolehkan seseorang yang mu’min untuk menjama’ shalat zuhur dengan asar dan magrib dengan isya secara taqdim saja. Ia juga mensyaratkan adanya hujan ketika membaca takhbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
Menurut Maliki, boleh menjamak taqdim di mesjid antara shalat magrib dan isya disebabkan adanya hujan yang sudah turun, atau diperkirakan akan turun. Juga dibolehkan menjamak karena terdapat banyak lumpur di tengah jalan dan malam sangat gelap hingga menyulitkan kaum muslimin memakai sandal. Sedangkan menjamak shalat dzuhur dengan ashar karena hujan adalah makhruh.
d.      Menjamak Disebabkan Sakit atau Alasan lain yang Diperbolehkan
Imam Ahmad, Qadhi Husain, Khaththabi, dan Mutawalli dari kalangan ulama Syafi’iyyah membolehkan menjamak takdim atau ta’khir disebabkan sakit, karena kesulitan seawaktu sakit lebih besar daripada kesulitan turun hujan.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mazhab yang paling luas dalam masalah jamak ialah mazhab Ahmad karena ia membolehkan menjamak bagi seseorang yang sedang sibuk bekerja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam sebuah hadis marfu’ bersumber dari Nabi saw. sampai-sampai dibolehkan pula menjamak bagi juru masak atau pembuat roti dan orang-orang yang takut hartanya menjadi rusak.
e.       Menjamak Shalat Karena Ada Keperluan
Dalam Syarah Muslim, Nawawi mengatakan, “Sejumlah ulama berpendapat, orang mukim boleh menjamak shalat jika ada suatu keperluan asalkan tidak menjadi kebiasaan.
Kemudian diperkuat oleh Ibnu Abbas bahwa tujuan disyariatkan jamak shalat adalah untuk tidak menyulitkan umat, sehingga tidak dijelaskan karena sakit atau sebab lain.[3]

4.      Syarat Jamak Taqdim dan Jamak Ta’khir
Syarat jamak taqdim:
a.       Dikerjakan dengan tertib
b.      Niat jamak dilaksanakan (dilahirkan) pada shalat pertama
c.       Berurutan antara keduanya: yakni tidak boleh disela dengan shalat sunat atau lain-lain.
Syarat jamak ta’khir:
a.       Niat jamak ta’khir dilakukan pada shalat yang pertama
b.      Masih dalam perjalanan tempat datangnya waktu yang kedua.[4]

               B. Shalat Qashr
1.      Pengertian Shalat Qashr
Secara etimologi qashr adalah ringkas, meringkas, pangkas, memangkas. Secara terminologi syara’ adalah meringkas shalat fardhu yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Maka yang bisa diqashr hanya shalat dzuhur, ashar, dan isya saja. Shalat Qashr adalah shalat yang diringkas dari empat raka’at menjadi dua raka’at dengan tetap membaca al-Fatihah dan surat.[5]

2.      Dalil Shalat Qashr
Apabila seseorang dalam perjalanan menuju tempat yang jauh, maka ia dibolehkan memendekkan shalat atau qashr adalah boleh. Firman Allah swt. QS. An-Nisa’: 101

وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ إِنَّ ٱلۡكَٰفِرِينَ كَانُواْ لَكُمۡ عَدُوّٗا مُّبِينٗا ١٠١

Artinya: “Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang artinya: “Dari Ibn Abbas r.a., ia berkata: Allah mewajibkan shalat melalui Nabi Muhammad saw. empat raka’at bagi yang muqim dan dua raka’at bagi musafir dalam perjalanan”.(HR. Muslim).

3.      Syarat-Syarat Sahnya Shalat Qashr
a.       Karena dalam perjalanan
b.      Perjalanan yang ditempuh bukan perjalanan maksiat
c.       Jarak perjalanan yang membolehkan qashr yaitu 3 mil atau tiga farsakh
d.      Berniat mengqashrkan shalat.[6]
e.       Harus masih berstatus musafir mulai shalat qashr sampai selesai
f.       Harus tidak boleh bermakmum di belakang imam yang itmam (lengkap, tidak qashr) shalatnya, walau di sebagian kecil raka’at
g.      Harus tidak bermakmum di belakang imam yang diragukan status musafirnya
h.      Tujuan berpergiannya harus tujuan yang shahih (benar secara syariat), seperti haji, umrah, pendidikan, perdagangan, dan lain-lain, maka tidak sah qashr bagi niat perjalanan tamasya dan pelancong atau sejenisnya.
i.        Shalat qashrnya harus sudah melewati batas kota atau desa, maka tidak boleh shalat qashr saat masih di rumah, walaupun mau pergi/ safar.[7]

                





DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abbas Arfan. Fiqh Ibadah Praktis Perspektif Perbandingan Madzhab Fiqh. Malang: UIN Maliki Press. 2012.
Sayyid Sabiq. terjemahan fiqih sunah. Jakarta, Al-I’tishom. 2008.
Moh. Rifa’i.  Fiqih Islam Lengkap. PT. Karya Toha Putra Semarang.
Isni Bustami. Fiqh I Thaharah dan Shalat Menurut Ajaran Islam. Padang, IAIN IB Press. 2001. 







BAB III
PENUTUP

              A. Kesimpulan 
Defenisi jama’ secara etimologi bahasa arab adalah kumpul, gabung, mengumpulkan, menggabungkan. Sedangkan defenisi shalat jama’ menurut istilah adalah menggabungkan dua Shalat fardhu dalam satu waktu dengan taqdim (pada waktu awal) atau ta’khir (pada waktu kedua/akhir).
Dasar hukum bagi dibolehkannya shalat jama’ adalah beberapa hadits fi’li (perbuatan Nabi saw) saat melaksanakan ibadah haji. Yaitu HR. Muslim [1218].
Boleh menjama’ shalat bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut: menjama’ shalat di Arafah dan Muzdalifah, menjama’ shalat ketika safar, menjama’ shalat di waktu hujan, menjamak disebabkan sakit atau alasan lain yang diperbolehkan, menjamak shalat karena ada keperluan.
Secara etimologi qashr adalah ringkas, meringkas, pangkas, memangkas. Secara terminologi syara’ adalah meringkas shalat fardhu yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Dasarnya QS. An-Nisa’ ayat 101. Dan hadits Nabi saw.
            B.  Saran 
Kepada pembaca makalah ini supaya dapat memahami dan mencari sumber lain untuk memperluas wawasan kita tentang jamak dan qashar.








[1] Abbas Arfan, Fiqh Ibadah Praktis Perspektif Perbandingan Madzhab Fiqh, (Malang: UIN Maliki Press 2012), h. 95.
[2]Ibid. h. 96-97.
[3] Sayyid Sabiq, terjemahan fiqih sunah, (Jakarta, Al-I’tishom, 2008), jilid I, hlm. 424-428.
[4] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (PT. Karya Toha Putra Semarang), hlm. 165.
[5] Abbas Arfan, op,cit. Hlm. 95-96.
[6] Isni Bustami, Fiqh I Thaharah dan Shalat Menurut Ajaran Islam, (Padang, IAIN IB Press, 2001), cet. I, hlm. 194-195.


[7] Abbas Arfan, op.cit. hlm. 100-101.
Read more...

Friday, October 19, 2018

MAKALAH PERNIKAHAN WANITA HAMIL

0 comments

PERNIKAHAN WANITA HAMIL




KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Perkawinan Wanita Hamil”, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik sesuai dengan waktu yang di tentukan.
Semoga makalah ii dapat bermanfaat bagi kita semua,makalah ini dibuat denga sedemikian rupa agar kita bisa dengan mudah mempelajari dengan mudah dan memahami pelajaran yang ada didalamnya, dan memberi kemudahan bagi kita dalam memahami “Pendapat Para Ulama Mengenai Kedudukan Wanita Hamil, dan Ketentuan KHI Terkait Perkawinan Wanita Hamil”. Dan kami juga menyadari , bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang berguna dan bersifat membangun bagi pembuatan dan penyempurnaan selanjutnya sangat dibutuhkan penulis. Selain it ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam pembuatan makalah ini.












BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Perkawinan sebagai bentuk sakral suami istri dalam hidup suatu rumah tangga yang menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Selain itu membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Kehidupan dan peradapan manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya kesenambungan perkawinan dari setiap generasi manusia. Karena iu rasulullah Saw menganjurkan kepada umatnya telah mampu untuk menikah:
perkawinan adalah sunnahku, siapa saja yang benci terhadap sunnahkau, maka mereka bukan termasuk umatku” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkawinan telah diatur secara jelas oleh ketentuan-ketentuan hukum Islam yang digali dari sumber-sumbernya baik dari al-quran dan as-sunnah dan hasil ijtihad para ulama. Bagi seorang gadis tentu tidak akan hamil tanpa didahului perkawinan dengan seorang laki-laki. Namun yang menjadi persoalan adalah seorang wanita hamil yang terjadi diluar perkawinan yang sah. Ini bisa dikatakan sebagai perzinaan yang telah jelas keharamannya. Akibatnya, dengan berbagai pertimbangan, para pihak mencoba untuk menutup-nutupinya, dengan melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya, dan laki-laki tersebut yang lari dari bertanggung jawag, maka dicari laki-laki lain yang bersedia nikah dengan perempuan ini.
Para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan yang terjadi terhadap wanita yang sedang hamil akibat zina. Dan juga status anak dalam perkawinan. Tentu yang menjadi ppertanyaaan tentang hal ini menyangkut kebolehan atau keharaman terjadinya perkawinan terhadap wanita yang hamil diluar nikah menurut syari’at islam.
Maka berangkat dari persoalan ini, maka pemakalah akan membahas tentang persoalan wanit.
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimanakah status nasab anak yang diakibatkan oleh perkawinan wanita hamil ?
2.        Sejauh manakah pelaksanaan hukum islam di indonesia terhadap perkawinan wanita hamil ?











BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Perkawinan Wanita Hamil
Perkawinan merupakan aqad yang manghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.
Sedang menurut UU No 1 tahun 1974 perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Selain itu, perkawinan juga mendirikan suatu keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Di dalam perkawinan, adanya saling menjaga dan memelihara satu sama lain untuk terjaganya keutuhan keluarga dari hal-hal yang membawa kemudaharatan dan menghindarkan dari api neraka.
Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya.  Istilah perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak sedang dalam status nikah atau masa iddah karena perkawinan yang sah dengan laki-laki yang mengakibatkan kehamilannya. Oleh karena itu, masalah kawin dengan perempuan yang hamil diperlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana terutama oleh pegawai pencatat nikah. Hal itu, dimaksudkan adanya fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran masyarakat muslim mengenai kaidah-kaidah moral, agama, dan etika sehingga tanpa ketelitian terhadap perkawinan wanita hamil memungkinkan seorang pria yang bukan menghamilinya tetapi ia menikahinya.[2]Wanita hamil secara tekstual dapat dipahami dua makna, pertama, wanita hamil oleh akibat suami yang sah, kedua, wanita hamil dengan akibat zina.
Perkawinan terhadap wanita hamil, jika dikaitkan dengan wanita yang hamil dalam aqad yang sah atau ditalak oleh suaminya, maka tidak boleh dinikahi hingga sampai melahirkan anak yang dikandungnya, sesuai dengan firman Allah QS Ath-Thalaq ayat 4:
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤  
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Namun, jika wanita tersebut hamil dalam keadaan talak mati, maka jumhur ulama berpendapat mengambil iddah terpanjang, sehingga setelah wanita lewat dari masa iddahnya baru dibolehkan pernikahan.

B.       Pendapat para Ulama Mengenai Kedudukan Perkawinan Wanita Hamil
Hukum kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1.      Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
2.      Ibnu Hazm (Zahiriyah)berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk ), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah pernah diterapkan oleh sahabat Nabi, antara lain:[3]
a.       Ketika jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang berzina, beliau berkata”boleh mengawinkan, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya”
b.      Seorang laki-laki tua mengatakan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan. Ketika itu khalifah  memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya.
Selanjutnya mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama:
1.      Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal . Pendapat beliau berdasarkan firman Allah dalam QS An-Nur ayat 3.maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.
            Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat:
a.       Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
b.      Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
2.      Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
3.      Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak luar nikah).
Dengan demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya.[4]
Namun bila pria yang mengawini ibunya itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedan pendapat:
1.      Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan keatas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah.
2.      Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak diluar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya itu. [5]
Dengan mengambil analogi (qiyas) kepada wanita hamil yang diceraikan atau ditinggal mati, sebenarnya telah jelas bahwa masa tunggu (‘iddah) mereka, adalah sampai dia melahirkan. Dengan kata lain, pada masa wanita tersebut hamil, tidak dibenarkan untuk kawin dengan laki-laki lain. Dengan demikian alasan kehamilan, cukup konkret bahwa wanita hamil diluar nikah pun, tidak dibenarkan kawin dengan laki-laki yang tidak menghamilinya.  [6]          
        
C.      Dasar Hukum Perkawinan Wanita Hamil
1.         Dalam al-Quran adalah surah An-Nur (24) ayat 3 yang berbunyi:
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٣ 
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.

Ayat diatas menunjukkan bahwa kebolehan wanita hamil kawin dengan laki-laki yang menghamilinya merupakan pengecualian. Oleh karena itu, laki-laki yang menghamili itulah yang tepat menjadi suaminya. Selain itu, pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman wanita yang hamil dimaksud menjadi syarat larangan terhadap laki-laki yang baik untuk mengawininya.[7]
Menurut salah satu riwayat sebab turunnya ayat 3 surah An-Nur (24) diatas adalah ‘Ata’, Ibn Abi Rabah, dan Qatadah menyebutkan bahwa ketika orang-orang Muhajirin tiba di Madinah, diantara mereka sebagian orang-orang fakir, tidak mempunyai harta dan mata pencarian. Sementara masyarakat di Madinah terdapat wanita-wanita zaniyah yang menyewakan diri mereka, mereka pada saat itu termasuk wanita yang subur. Setiap orang dari mereka terdapat tanda papan pengenal di depan rumahnya. Sebagai contoh si A disini menerima perzinaan. Hal ini dimaksud untuk mempermudah orang-orang yang ingin melakukan perzinaan sehingga laki-laki pezina dan orang-orang musyriksilih berganti mendatangi rumah mereka melakukan perzinaan. Oleh karena itu, orang-orang fakir dari kaum Muhajirin ada yang berpendapat untuk ingin mengawini pra wanita tersebut untuk mendapat kekayaan dari mereka. Kemudian kaum Muhajirin yang berpendapat demikian, memohon izin kepada Nabi Muhammad Saw. , maka turunlah surah An-Nur (24) ayat 3.
Berdasarkan sebab turunnya surah An-Nur ayat 3, dapat diketahui bahwa Allah mengharamkan laki-laki yang bukan menghamili mengawini wanita yang hamil karena zina. Hal itu untuk menjaga kehormatan laki-laki yang beriman. Selain itu untuk mengetahui status hukum anak yang lahir sebagai akibat perzinaan, yaitu hanya diakui oleh hukum islam mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sedangkan ayahnya secara biologis (yang menyebabkan perempuan hamil) tidak diakui mempunyai hubungan kekerabatan.[8]
2.         Dalam Hadis
Ayat tersebut diperkuat oleh hadis Nabi:
اِنَّ رَجُلاً تَزَوَّجَ اِمْرَأةَ فَلَمَّا اَصَابَهَا وَ جَدَهَا حُبْلَى, فَرَ جَعَ ذَلِكَ اِلَى اَلنَبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَجَعَلَ لَهَا اَلصَّدَاقَ وَجَلَّدَهَا مِائَة
Artinya: Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinya ia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita it diberi mas kawin, kemudian wanita itu di dera (dicambuk) sebanyak 100 kali.
  
3.         Ketentuan Kompilasi Hukum Islam Terkait Perkawinan Wanita Hamil
Dalam Bab VIII pasal 53 K ompilasi Hukum Islam mengatur tentang kawin hamil, sebagaimana diunkapkan dibawah ini:
1.      Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut dalam ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menuggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.      Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
D.      Status Nasab Anak
Adapun anak zina adalah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, sedang perkawinan yang diakui Indonesia yaitu perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam UU No.1/1974.
Para ulama sepakat bahwa anak zina tidak di nasabkan kepada ayahnya, tetapi dinasabkan kepada ibunya. Ini sesuai dengan pasal 100 KHI “ Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Imam syafi’i berpendapat paling cepat umur kehamilannya itu adalah enam bulan, apabila perkawinan telah lebih dari enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut mempunyai nasab kepada suaminya. Sebaliknya, apabila kurang dari enam bulan, maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya.










BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.         Menurut pendapat imam mazhab, terdapat dua kelompok. Satu kelompok yaitu Hanafi dan Syafi’i membolehkan perkawinan wanita hamil. Kelompok kedua dari Malik dan Ahmad bin Hanbal yang melarang. Sedangkan menurut KHI bahwa wanita hamil dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya.
2.         Tentang status nasab anak yang dilahirkan dalam perkawinan wanita hamil, para imam mazhab berbeda pendapat imam syafi’i berpendapat bahwa dinasabkan kepada laki-laki yang mengawini ibunya jika angka kehamilan diatas enam bulan, tetapi jika lama kehamilan dibawah enam bulan, nasab anak dihubungkan kepada ibunya.  
B.       Saran
Dengan mempelajari makalah ini, penulis menyarankan agar kita mampu mengambil pelajaran bahwa Allah mengharamkan seorang laki-laki yang bukan menghamili mengawini wanita yang hamil karena zina. Begitu juga sebaliknya, wanita beriman diharamkan kawin dengan laki-laki pezina.   











DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,  Cet I. 2006.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet I. 2003.
 Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Manan, Abdul, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Undag-Undang  No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam



[1]Pasal 1UU No 1 Tahun 1974
[2] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 45
[3]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), hlm. 124-125
[4] Loc, Cit , hal, 127
[5]Loc, Cit , hal, 127-128
[6]Ahmad Rafiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 51’

[7]Op, Cit, hlm, 46
[8]Op, Cit, hlm, 46 




fdbeb58802ebc86d8d02656bdba78daa3876df6222135e0861
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018