Sunday, January 13, 2019

Keutamaan Orang Yang Menuntut Ilmu

1 comments



PENDAHULUAN

Islam mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu, hal ini menunjukkan betapa pentingnya menuntut ilmu. Dengan ilmu, manusia dapat menjadi  hamba Allah yang beriman dan beramal shaleh, dengan ilmu pula manusia mampu mengolah kekayaan alam yang Allah berikan kepadanya. Dengan demikian, manusia juga mampu menjadi hamba-Nya yang bersyukur, dan hal itu memudahkan menuju surga.
Di sisi lain, manusia yang berilmu memiliki kedudukan yang mulia tidak hanya disisi manusia, tetapi juga disisi Allah. Sebagaimana dijelaskan bahwa dalam firman Allah dalam Q.S. Al-Mujadilah : 11, yang artinya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Oleh karena itu, Islam memandang bahwa menuntut ilmu itu sangat penting bagi kehidupan dunia maupun akhirat.
Pada makalah ini dalam pembahasannya akan memaparkan tentang hadis mengenai keutamaan menuntut ilmu.
                                                       










PEMBAHASAN
A.      Hadits Yang Menjelaskan Keutamaan Orang Yang Menuntut Ilmu

1.      Hadis Pertama
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْ لَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى اْلجَنَّةِ وَإِنَّ اْلمَلإَكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًالِطَالِبِ اْلعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ اْلعِلْمِ يَسْتَغْفِرُلَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى اْلحِيْتَانِ فِي اْلمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ اْلعِلْمِ عَلَى اْلعَاِبدِ كَفَضْلِ اْلقَمَرِعَلَى سَاءِرِ اْلكَوَاكِبِ إِنَّ اْلعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرِّثُوْا  اْلعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه احمد و الترمذي وألوداودوابن ماجه)  
Artinya: “Dari Abi Darda dia berkata :”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda”: “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga, dan sesungguhnya para malaikat  membentangkan sayapnya karena ridha (rela) terhadap orang yang mencari ilmu. Dan sesungguhnya orang yang mencari ilmu akan memintakan bagi mereka siapa-siapa yang ada di langit dan di bumi bahkan ikan-ikan yang ada di air. Dan sesungguhnya  keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahli ibadah seperti keutamaan (cahaya) bulan purnama atas seluruh cahaya bintang. Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi, sesugguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan  tetapi mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambil bagian untuk mencari ilmu, maka dia sudah mengambil bagian yang besar.” (H.R. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majjah).

a.      Makna Mufradad:

Menempuh
:
سَلَكَ
Sayapnya
:
أَجْنِحَتَهَا
Suatu jalan
:
طَرِيْقًا
Ikan-ikan
:
الحِيْتَان
Menuntut
:
يَلْتَمِسُ
Keutamaan orang berilmu
:
فَضْلَ اْلعِلْمِ
Mepermudah
:
سَهَّلَ
Pewaris Nabi
:
وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
Pasti meletakkan
:
لَتَضَعُ
Bagian yang banyak
:
بِحَظٍّ وَافِرٍ

b.         Penjelasan Hadis
Menurut Ibnu Hajar, kata طَرِيْقًا diungkapkan dalam bentuk nakirah, begitu juga dengan kata ilmu yang berarti mencakup semua jalan atau cara untuk mendapatkan ilmun agama baik sedikit maupun banyak. Kalimat سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيْقًا yaitu Allah memudahkan jalan baginya di akhirat kelak atau memudahkan baginya jalan di dunia dengan cara memberi hidayah untuk melakukan perbuatan baik yang dapat mengantarkannya menuju surga.[1]
Dan yang dimaksud ilmu didalam hadits ini adalah Ilmu Agama, bukan Ilmu dunia. Karena ilmu dunia, orang kafir pun bisa menguasai nya. Dengan ilmu agama, seorang muslim bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, seorang muslim bisa mengetahui mana jalan yang dapat mengantarnya menuju surga dan mana jalan yang dapat menjerumuskannya ke neraka dan, bisa mengetahui apa saja yang dapat menyebabkan diterima nya amal dan apa saja yang menyebabkan ditolaknya amal. Intinya, dengan ilmu agama, Allah memudahkan jalan bagi nya jalan menuju surga yakni dengan cara menuntut ilmu dan mengamalkan ilmunya.
“Dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu.” Ini menunjukkan kecintaan, penghargaan, pemuliaan dan penghormatan para malaikat terhadap para penuntut ilmu, para malaikat melebarkan sayap-sayap mereka bagi para penuntut ilmu, karena ridha terhadap penuntut ilmu. Maksud dari meletakkan sayap-sayapnya adalah menjaga, melindungi dan membentengi para penuntut ilmu dengan izin Allah. Seandainya hanya ini saja yang diperoleh seorang penuntut ilmu, tentunya itu sudah merupakan kemuliaan dan kehormatan tersendiri bagi para penuntut ilmu.
Orang yang menuntut ilmu dimintakan ampun oleh makhluk-makhluk Allah lainnya. Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan kesenangan Rasulullah kepada para pencari ilmu.[2]
Hadits di atas memberi gambaran bahwa dengan ilmulah surga itu akan didapat. Karena dengan ilmu orang dapat beribadah dengan benar kepada Allah Swt dan dengan ilmu pula seorang muslim dapat berbuat kebaikan. Oleh karena itu orang yang menuntut ilmu adalah orang yang sedang menuju surga Allah.
Mencari ilmu itu wajib, tidak mengenal batas tempat, dan juga tidak mengenal batas usia, baik anak-anak maupun orang tua.  Dalam menjalankan ibadah kepada Allah, harus dengan ilmu pula. Sebab beribadah tanpa didasarkan ilmu yang benar adalah sisa-sia belaka. Oleh karena itu dengan mengamalkan ilmu di jalan Allah merupakan ladang amal (pahala) dalam kehidupan dan dapat memudahkan seseorang untuk masuk ke dalam surga Allah.
Allah sangat mencintai orang-orang yang berilmu, sehingga orang yang berilmu yang didasarkan atas iman akan diangkat derajatnya oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير
Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah:11)
Keutamaan lainnya dari ilmu adalah dapat mencapai kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits nabi : Artinya : “Barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia, mak ia harus memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan kehidupan akhirat maka itupun harus dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka itupun harus dengan ilmu” (HR. Thabrani)[3]
c.       Kandungan Isi Hadis
Untuk memperoleh kesuksesan atau kebahagian baik di dunia maupun di akhirat bahkan keduanya harus mempergunakan ilmu. Ilmu ibarat cahaya yang mampu menerangi jalan seseorang untuk mewujudkan segala cita-citanya, sementara kebodohan akan membawa seseorang kepada kemadlaratan atau kesengsaraan yang membelenggu hidupnya.
Dalam hadits yang pertama Rasulullah saw menjelaskan :
1)         Allah akan memberikan berbagai kemudahan kepada para pencari ilmu, seperti kemudahan bergaul, kemudahan mendapatkan pekerjaan, termasuk kemudahan untuk menuju surga.
2)         Para malaikat akan memberikan perlindungan kepada para pencari ilmu dengan cara meletakkan sayapnya sebagai bukti kerelaan mereka terhadap apa yang dilakukan oleh para pencari ilmu.
3)         Aktivitas pencarian ilmu adalah aktivitas yang sangat mulia, sehingga kepada para pencari ilmu semua makhluk Allah baik yang ada di langit maupun di bumi bahkan ikan-ikan yang ada di dalam air akan memberikan berbagai bantuan, mereka semua ikut mendoakan agar orang yang mencari ilmu selalu mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
4)         Allah memberikan keutamaan kepada para pencari ilmu melebihi keutamaan yang diberikan kepada para ahli ibadah, ibarat cahaya bulan purnama yang mampu mengalahkan cahaya seluruh bintang.
5)         Para ulama (orang yang berilmu dan selalu menjadi pencari ilmu) adalah pewaris para Nabi, merekalah yang akan meneruskan para nabi dalam menegakan kebenaran dan memerangi kezaliman dengan menyebarkan ilmu yang diterimanya dari nabi kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Semua nabi tidaklah mewariskan harta benda untuk umatnya melainkan mewariskan ilmu untuk kemaslahatan ummatnya. Oleh karena itu siapapun yang berusaha menuntut ilmu dan berhasil menguasainya, maka dia telah berhasil mendapatkan bagian yang sangat besar sebagai modal untuk menghadap Allah swt.
2.      Hadis kedua
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكِ قاَلَ: قَالَ رَسُوْ لُ اللّهِ صَلَىّ اللُّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ اْلعِلْمِ كَانَ فِيْ سَبِيْلِ اللّهِ حَتَّى يَرْجِعُ (رواه الترمذي)
Artinya:“Dari Anas bin Malik berkata, telah bersabda Rasulullah saw : barangsiapa  keluar (pergi) untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah sehingga kembali” (HR. Tirmidzi).

a.      Arti Harfiah Hadis:
Barang siapa
:
مَنْ
Berada di jalan Allah
:
كَانَ فِيْ سَبِيْلِ اللّهِ
Yang keluar
:
خَرَجَ
Hingga kembali
:
حَتَّى يَرْجِعُ

b.     Isi Kandungan Hadis:
Dalam hadits yang kedua Rasulullah menegaskan bahwa menuntut ilmu itu dinilai sebagai berjuang di jalan Allah, sehingga barang siapa yang mencari ilmu dengan sungguh-sungguh dia akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda bahkan bila sesorang meninggal dunia saat mencari ilmu dia akan mendapatkan surganya Allah karena dinilai sama dengan mati syahid.[4]
B.        Keutamaan Menuntut Ilmu
Berikut beberapa keutamaan ilmu yang dapat pemakalah simpulkan berdasarkan penjelasan hadis diatas:
   
      1. Allah akan memberikan berbagai kemudahan kepada para pencari ilmu
            2. Para malaikat akan memberikan perlindungan kepada para pencari ilmu 
            3. Ditinggikan derajatnya oleh Allah  
           4. Orang yang berilmu mereka lebih utama

أَفْضَلُ النَّاسِ الْمُؤْمِنُ الْعَالِمُ إِنِ احْتِيْجَ إِلَيْهِ نَفَعَ وَإِنِ سْتُغْنِيَ عَنْهُ أَغْنَى نَفْسَهُ
Artinya:  “Seutama-utama manusia ialah seorang mukmin yang berilmu. Jika ia dibutuhkan, maka ia memberi manfaat. Dan jika ia tidak dibutuhkan maka ia dapat memberi manfaat pada dirinya sendiri”. (HR. Al-Baihaqi).[5]
   
                5. Sebagai amal yang tak putus
إِذَا مَاتَ ابْنُ اَدَمَ إِنْقَطَعَ عَمَلَهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ, أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ,أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْا لَهُ
Artinya:“Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah semua amalnya kecuali dari tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).[6]
 

              6. Orang yang menuntut ilmu berada di jalan Allah sampai ia kembali pulang






DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ainur Rasyid. 2017. Hadis-hadis Tarbawi. Yokyakarta: DIVA Press.
Bukhari Umar. 2016. Hadis Tarbawi: pendidikan Dalam Perspektif Hadis. Jakarta : Hamzah.
Imam Nawawi. 1999. Terjemah Riyadhus Sholihin, Ter, Achmad Sunarto. Jakarta: Pustaka Amani.
https://ikhwahmedia.wordpress.com/2017/10/20/hadits-mendapatkan-dunia-dan-akhirat-dengan-ilmu/
https://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/579/keutamaan-ilmu-dan-penuntutnya-bag-2/
http://katalogmakalah.blogspot.com/2016/05/hadist-tentang-keutamaan-menuntut-ilmu.html



[1] Bukhari Umar, Hadis Tarbawi: pendidikan Dalam Perspektif Hadis, ( Jakarta : Hamzah, 2016), Ed. 1, Cet. 4, hal. 12-13.

2 Ibid, hal. 17


[3] https://ikhwahmedia.wordpress.com/2017/10/20/hadits-mendapatkan-dunia-dan-akhirat-dengan-ilmu/
[4]  https://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/579/keutamaan-ilmu-dan-penuntutnya-bag-2/
[5]  http://katalogmakalah.blogspot.com/2016/05/hadist-tentang-keutamaan-menuntut-ilmu.html
[6] Imam Nawawi, Terjemah RiyadhusSholihin, Ter, Achmad Sunarto,  (Jakarta: Pustaka Amani, 1999),  hal. 317
Read more...

Thursday, November 29, 2018

Tantangan Dakwah

0 comments
PENDAHULUAN

Memasuki abad 21 globalisasi seakan tidak bisa dibendung lajunya ketika memasuki setiap sudut negara dan menjadi sebuah keniscayaan. Era ini menghendaki setiap negara beserta individunya harus mampu bersaing satu sama lain baik antar negara maupun antar individu. Persaingan yang menjadi esensi dari globalisasi sering memiliki pengaruh dan dampak yang negatif jika dicermati dengan seksama. Pengaruh yang ada dari globalisasi pada aspek kehidupan meskipun awal tujuannya diarahkan pada bidang ekonomi dan perdagangan serta memberikan dampak multidimensi.
Persoalan yang kita hadapi sekarang adalah tantangan dakwah yang semakin hebat dan semakin kompleks. Tantangan itu muncul dalam berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti perilaku dalam menda­patkan hiburan (enter­tain­ment), kepariwisataan dan seni dalam arti luas, yang semakin mem­buka peluang munculnya kerawanan-kerawanan moral dan etika.




  


PEMBAHASAN

A.    Tantangan dakwah
Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap individu muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ) صحيح مسلم(
Artinya:“Barangsiapa salah seorang diantara kamu melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka hendaklah mengubahnya dengan lidahnya, dan jika belum mampu juga maka ubahlah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya keimanan.” (H.R. Muslim)
Kegiatan dakwah yang kian hari kian mendapat tantangan yang sangat kompleks, mesti ditunaikan dengan beragam kekuatan dan potensi. Paling tidak tantangan yang menghadang lajunya perkembangan dakwah islamiyah di Indonesia menurut karakteristiknya ada dua bagian besar, yaitu klasik dan kontemporer. Klasik berupa praktek-praktek ritual yang bercampur dengan animism, dinamisme, singkritisme, dan pengakuan sebagai nabi (palsu). Sedangkan yang kontemporer berbentuk paham-paham keagamaan yang bercorak sekularisme, pluralism, liberalism, dan feminism.
Selain itu, ada juga gerakan-gerakan yang sengaja dimunculkan untuk memecah belah persatuan umat Islam, semisal gerakan Syi’ah, Ahmadiyah, dan NII.
Gerakan-gerakan pemikiran dan aliran-aliran dhal mudhil diatas menjadi problematika dakwah yang cukup serius untuk dihadapi dan diselesaikan oleh para juru dakwah dan juga organisasi-organisasi keagamaan yang tumbuh subur di Indonesia.
Dari sekian tantangan dakwah yang akan diuraikan pada makalah ini hanya yang terkait dengan tantangan kontemporer.
 
B.     Sekuralisme
Sekuralisme merupakan pemahaman mengenai aktivitas keagamaan yang muncul pada abad pertengahan. Paham secular ini menurut M. Natsir tidak sekedar muncul secara alamiah sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan dilakukan juga secara aktif oleh sejumlah kalangan. Menurutnya, seperti dikutip oleh Adian Husaini, sekularisasi otomatis akan berdampak pada pendangkalan aqidah.[1]
Bagi M. Natsir, sekularisasi dipandang sebagai tantangan yang sangat serius bagi kebangkitan Islam. Ia menulis sebuah artikel berjudul “Memudahkan Islam”.
Untuk itu, Mohammad Natsir beserta A. Hassan terus menerus menepis pemahaman secular yang dilontarkan oleh Bung Karno di dalam majalah tersebut. Sebab, pada dasarnya Islam tidak pernah memisahkan antara urusan agama dan Negara. Bahkan, dengan tegas A. Hassan menyebutkan, Ir. Soekarno tidak mengerti bahwa Eropa memisahkan agama Kristen dari Staat (Negara), tidak lain karena di dalam agama Kristen tidak ada ajaran (konsep) tentang pemerintahan. Dari zaman Nabi Isa ‘alaihi al-salâm hingga sekarang ini belum pernah terdengar bahwa suatu Negara menjalankan hokum agama Kristen. Demikian kritik pedas A. Hassan.
Jika dilihat dari akar bahasa, sekularisme berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present age).[2] Sedangkan secara terminology sekularisme mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi Negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefiniskan sebagai “a system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship”. Yang bila diterjemahkan secara bebas berarti, sebuah system doktrin atau praktis yang menolak bentuk apapun dari keimanan dan upacara keagamaan. Jadi secara sederhana bisa dikatakan, sekularisme adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlu al-Din ‘an al-hayat), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari Negara dan politik. Agama hanya diakui eksistensinya pada urusan privat atau pribadi saja, hubungan manusia dengan Tuhannya. Tapi agama tidak boleh dibawa-bawa ke wilayah public, yang mengatur hubungan antarmanusia, seperti masalah social, politik, ekonomi, dan sebagainya.[3]
Dampak pemahaman secular ini yang paling nyata adalah hilangnya sikap amr ma’ruf nahyi munkar. Karena dengan dalih hak asasi individu, orang akan semena-mena untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya dan leluasa melanggar aturan-aturan Allah. Padahal ketika kegiatan amr ma’ruf nahyi munkar ditinggalkan maka yang terjadi adalah lenyapnya keberkahan wahyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا عظَّمَتْ أمتى الدنيا نُزِعَتْ منها هيبةُ الإسلامِ وإذا تَرَكَت الأمرَ بالمعروفِ والنهىَ عن المنكرِ حُرِمَتْ بركةُ الوحى وإذا تسابَّتْ أمتى سقطتْ من عينِ الله (الحكيم عن أبى هريرة)
Artinya:“Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabut kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amr ma’ruf nahyi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka mereka akan jatuh dalam pandangan Allah.” (H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah)
Untuk itu, pantas bila kita diharamkan berpaham secular itu. Berdakwah kepada orang-orang secular kadang jauh lebih berat daripada berdakwah pada orang awam.

C.    Liberalisme
Istilah liberalism berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feudal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded). Dalam politik liberalism dimaknai sebagai system dan kecenderungan yang berlawanan dengan, dan menentang mati-matian sentralisasi dan absolutism kekuasaan. Menurut Syamsuddin Arif, pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto Revolusi Prancis pada 1789 – kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberisme modern. Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalism yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas –apapun namanya – adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan, dan harga diri manusia – yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya.[4]
Dengan demikian, tidak berlebihan jika pada akhirnya liberalism yang kebablasan tersebut mengajarkan tiga hal, yaitu: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Dan ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion). Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir koq dilarang,” ujar golongan ini. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah ‘sufasta’iyah”, yang terdiri dari skeptisisme, agnostisme, dan relativisme. Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah menisfestasi nifaq, dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama.[5]
Menurut Nirwan Safrin, benih kemunculan liberalisasi di dunia Islam bisa ditelusuri ketika Daulah Utsmaniyah mulai mengadopsi beberapa pemikiran Barat. Ketika Kerajaan ini gagal mempertahankan beberapa wilayah kekuasaannya, para pemegang kekuasaan telah berusaha membawa masuk segala kemajuan teknologi militer Barat ke Negara mereka. Ini disebabkan adanya dugaan bahwa kekalahan mereka yang mereka alami disebabkan lemahnya kekuatan militer mereka. Tetapi importasi alat-alat militer saja tidak cukup, karena mereka juga memerlukan tenaga-tenaga mahir untuk mengendalikan peralatan tersebut. Akhirnya merekapun mengirimkan putra terbaik mereka ke institute-institut pendidikan di Barat. Sekembalinya ke tanah air, mereka mendapati bahwa keahlian yang mereka miliki tidak dapat dipraktekkan melainkan system pendidikan yang ada juga diperbaharui. Akhirnya, dilakukan pembaruan pendidikan. Tapi itu saja tidak cukup, karena ia juga menuntut pembaruan politik. Begitulah seterusnya hingga akhirnya Kemal Attartuk membubarkan Daulah Islamiyyah ‘Utsmaniyyah dan mendirikan Negara Turki berideologikan sekularisme. Proses westernisasi pun berjalan dan segala yang berbau agama segera dihabisi. Hamper satu abad Negara Turki secular sudah berdiri namun hingga hari ini sebuah Turki tidak ada bedanya dengan Negara dunia ketiga yang lain, terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi.[6]
Dari kasus Turki ini kita mendapat pelajaran bahwa sekularisasi dan liberisasi ala Barat tidak akan mengundang barakah hidup, sehingga alih-alih memperoleh kemajuan, malah yang terjadi keterpurukan dan ketertinggalan dalam berbagai lini kehidupan.

D.    Pluralisme
Tantangan dakwah yang tidak kalah berbahaya selain sekularisme dan liberalism adalah pluralism.
Menurut Anis Malim Thoha dalam Tren Pluralisme Agama, kata pluralism berasal dari plural yang berarti jamak atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris, pluralism memiliki tiga pengertian, yaitu (1) Pengertian kegerejaan, dengan makna sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, dan atau  memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. (2) Pengertian filosofis, yaitu system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. (3) Pengertian sosio-politis, yaitu suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik bercorak ras, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.
Namun pada tataran implikasinya, pluralism agama didasarkan pada asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Dengan kata lain, menurut mereka, agama adalah persepsi relative terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga dengan demikian setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya sendiri yang benar.[7]
Pemahan seperti ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an ayat 18 yang mengatakan bahwa agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam. Allah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ 
Artinya:“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Q.S. Ali Imran, ayat 19)
Dengan demikian, jelas kesesatan dan kekeliruan pluralism agama itu. Bagi kita semua harus menjadi keyakinan yang sebenar-benarnya bahwa hanya Islam agama yang benar, dan tidak sama dengan agama-agama yang lain.

E.     Syi’ah
Selain kesesatan dan tantangan pemikiran seperti diuraikan diatas, gerakan-gerakan penghambat dakwah dan perusak aqidah umat pun bisa berbentuk aliran-aliran (sekte-sekte) yang sengaja dibuat agar umat menjadi kacau pemikiran dan aqidahnya. Dan di antara aliran dimaksud adalah Syi’ah.
Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok. Kata syiah dinisbahkan kepada kelompok-kelompok di masa sahabat. Awal mulanya setelah Rasulullah SAW wafat, benih-benih perpecahan mulai ada, sehingga saat itu ada kelompok-kelompok atau syiah-syiah yang mendukung seseorang, tapi sifatnya dukungan politik.. Misalnya sebelum Sayyidina Abu Bakar di baiat sebagai Khalifah, pada waktu itu ada satu kelompok dari orang-orang Ansor yang berusaha ingin mengangkat Saad bin Ubadah sebagai Khalifah. Tapi dengan disepakatinya Sayyidina Abu Bakar menjadi Khalifah, maka bubarlah kelompok tersebut.
Istilah syiah pada saat itu tidak hanya dipakai untuk pengikut atau kelompok Imam Ali saja, tapi pengikut atau kelompok Muawiyah juga disebut syiah.
Kembali kepada pengertian Syiah yang dalam bahasa Arabnya disebut Syiah lughatan (menurut bahasa), sebagaimana yang kami terangkan di atas, maka sekarang ini ada orang-orang Sunni yang beranggapan bahwa dirinya otomatis Syiah. Hal mana tidak lain dikarenakan kurangnya pengetahuan mereka akan hal tersebut. Sehingga mereka tidak tahu bahwa yang sedang kita hadapi sekarang ini adalah Madzhab Syiah atau aliran syiah atau lengkapnya adalah aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (pengakuannya-Ja’fariyyah) yang sering juga disebut Syiah-Rafidhiyah.
Oleh karena itu, istilah Syiah – lughatan tersebut tidak digunakan oleh orang-orang tua kita (Salafunassholeh). Mereka takut masyarakat awam tidak dapat membedakan antara kata syiah dengan arti kelompok atau pengikut dengan aliran syiah atau Madzhab Syiah. Hal mana karena adanya aliran-aliran syiah yang bermacam-macam, yang kesemuanya telah ditolak dan dianggap sesat oleh Salafunassholeh.
Selanjutnya salafunassholeh menggunakan istilah Muhibbin bagi pengikut dan pecinta Imam Ali dan keturunannya dan istilah tersebut digunakan sampai sekarang. Ada satu catatan yang perlu diperhatikan, oleh karena salafunassholeh tidak mau menggunakan kata Syiah dalam menyebut kata kelompok atau kata pengikut dikarenakan adanya aliran-aliran Syiah yang bermacam-macam, maka kata syiah akhirnya hanya digunakan dalam menyebut kelompok Rofidhah, yaitu orang-orang Syiah yang dikenal suka mencaci maki Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar.  Sehingga sekarang kalau ada yang menyebut kata Syiah, maka yang dimaksud adalah aliran atau madzhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah. Memang dengan tidak adanya penerangan yang jelas mengenai Syiah Lughotan dan Syiah Madhhaban, maka mudah bagi orang-orang Syiah untuk mengaburkan masalah, sehingga merupakan kesempatan yang baik bagi mereka dalam usaha mereka mensyiahkan masyarakat Indonesia yang dikenal sejak dahulu sebagai pecinta keluarga Rasulullah SAW.
Perkembangan selanjutnya para ulama memberi nama kelompok syiah yang ekstrem dengan sebutan Rafidhah dikarenakan mereka mendatangi Zaid bin Ali bin Al- Hussain seraya berkata “Berlepas dirilah kamu dari Abu Bakar dan Umar, dengan demikian kami akan bergabung bersamamu” kemudian Zaid menjawab “mereka berdua adalah sahabat kakek saya, saya tak akan bias berlepas diri dari mereka, bahkan akan selalu bergabung dengannya, dan berloyalitas kepadanya”, kemudian mereka berkata “kalau demikian kami menolakmu, dengan demikian mereka diberi nama “Rafidhah” artinya golongan penolak, yaitu menolak pernyataan Imam Zaid bin Ali yang sengaja datang ke Kufah yang pengikutnya menjelek-jelekkan sehat-sahabat Rasulullah saw, seperti Abu Bakar ra dan Umar ra, seperti tersebut diatas, sehinnga beliau menyatakan, “Rafadhtumuni…….dan  orang-orang yang berbaiat dan setuju dengan Zaid diberi nama “Zaidiyyah”.  Dalam suatu pendapat dikatakan mereka diberi nama Rafidhah dikarenakan penolakannya akan keimaman Abu Bakar dan Umar.  Memang sekte Syiah Rafidhah  banyak sekali yang sampai “seratus” (menurut Ali Kasyif al-Ghitha) lebih dan yang dinilai besar adalah Syiah Itsna Asyriyah, Qaramithah (pernah mencuri Hajar Aswad dan dibawa ke darah Ahsa selama 20 tahun), Sabiyah, Ghulath,  Sabaiyah, dan lain-ain, seperti akan diternagkan kemudian. Syiah Tujuh terpecah-pecah juga menjadi Syah Fathimiyah, Druziyah pendirinya Abdullah ad-Darazi (sekarang di Libanon).
Perlu dicatat tentang type Syiah di Indonesia, dalam kesimpulan Prof. Dr. Mohammad Baharun dalam penelitian Syi’ah di Jawa Timur,  bahwa lahirnya tipe-tipe Syi’ah itu tergantung seberapa banyak mereka menyerap doktrin imamah yang diajarkan. Ada tiga tipe yang ditemukan Prof. Baharun:
Pertama, Syi’ah ideologis. Jama’ah Syi’ah imamah ini dididik secara sistematis, intens, serius melalui program kaderisasi. Ada yang dikader melalui pesantren ada pula di lembaga pendidikan formal. Materi-materinya meliputi mantiq, filsafat dan akidah-akidah penopang seperti konsep imamah. Kader ini ini biasanya menjadi pengikut yang militant yang tidak saja memahami teologi namun sekaligus ideology yang bersumber dari imamah. Banyak dari kader tipe ini yang disekolahkan ke pusat Syi’ah di kota Qom Iran.
Kedua, Syi’ah “Su-Si”. Jama’ah Syi’ah model ini diperkenalkan melalui pengajian dan selebaran. Sasarannya biasanya para santri di pondok pesantren. Ada pula yang semula bersimpatik kepada Syi’ah. Model pendekatannya tidak terlalu intensif bahkan kadang setengah-setengah. Rata-rata mereka tidak memahami referensi-referensi penting Syi’ah. Pemahamannya setengah-setengah. Saya pernah menjumpai tipe ini di sebuah daerah di Pasuruan. Orang tersebut mengaku Sunni, akan tetapi ia juga mengikuti ritual-ritual yang diadakan oleh Syi’ah, seperti Karbala, menghormati para dua belas Imam, dan mengkultuskan Khomeini. Ketika shalat orang itu mengikuti cara ala Sunni. “Syi’ah sama saja, yang berbeda kulitnya. Maka saya ambil yang sekiranya baik dari Syi’ah dan Sunni”, begitu alasan tipe Su-Si. Namun tetap orang tersebut mengimani dua belas Imam sebagai pemimpin pengganti Nabi SAW. Ada pula tipe ini adalah calon kader militant, seperti sebuah tahapan untuk meningkat ke jenjang berikutnya.
Ketiga, Syi’ah Simpatisan. Biasanya mereka pemuda yang gemar pemikiran filsafat Syi’ah. Jama’ah ini mengenal Syiah imamah melalui buku-buku, seminar yang diadakan di kampus-kampus dan pendekatan individual. Mereka juga mengagumi Revolusi Iran yang dipelopori Khomeini tahun 1979. Mereka memahami pemikiran aja. Mereka juga disebut Syi’ah pemikiran. Mereka bersifat lebih adaptif dengan Sunni tapi mereka elaboratif dalam memahami Syi’ah dua belas.[8]










PENUTUP

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa tantangan dakwah kontemporer itu beragam bentuknya dan bermacam-macam corak gerakannya. Ada yang berbentuk aliran pemikiran yang dikenal dengan paham sekularisme, liberalism, serta pluralism, dan ada pula yang berbentuk gerakan-gerakan yang terorganisasi dengan rapi berbentuk sekte-sekte sempalan yang menggoroti aqidah umat sehingga mereka tidak lagi berpegang pada tali (agama) Allah yang benar, diantaranya sekte Syi’ah yang sejak zaman dulu sampai kini terus menerus menyesatkan umat Islam. Sebenaarnya, sekte-sekte ini amat banyak jumlahnya hanya yang paling mendunia dan yang baru sempat dibahas pada makalah ini hanya Sy i’ah.






  
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adian Husaini, 2009, Indonesia Masa Depan – Perspektif Peradaban Islam, Jakarta: DDII.

Ardian Husain, 2008, Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Kumpulan Pengantar Kuliah Pasca Sarjana UIKA Bogor.

K.H. Shiddiq Aminullah, 2009, Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisme, Majalah Risalah No. 8.

M. Abdurrahman, 2012, Antara Sunni dan Syi’ah, Studi Banding Aspek Akidah, Ibadah, dan Muamalah,  Bandung: Pustaka Nadwah.

M. Shiddiq Al-Jawi, Mengapa Kita Menolak Sekularisme? Makalah tidak diterbitkan.

Nasrudin Syarif, 2010, Menagkal Virus Islm Liberal, Bandung: Persis Press.


[1] Dr. Adian Husaini, Indonesia Masa Depan – Perspektif Peradaban Islam, (Jakarta: DDII), 2009, hlm. 32.
[2] M. Shiddiq Al-Jawi, Mengapa Kita Menolak Sekularisme? Makalah tidak diterbitkan.
[3] K.H. Shiddiq Aminullah, Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisme, (Majalah Risalah No. 8, September 2009), hal. 55
[4] Nasrudin Syarif, Menagkal Virus Islm Liberal, (Bandung: Persis Press, 2010), hal. 5
[5] Dr. Ardian Husain, Tntangan Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Kumpulan Pengantar Kuliah Pasca Sarjana UIKA Bogor, 2008, hal. 23
[6] Ibid, hal. 28
[7] Ibid, hal 23
[8] M. Abdurrahman, Antara Sunni dan Syi’ah, Studi Banding Aspek Akidah, Ibadah, dan Muamalah,  (Bandung: Pustaka Nadwah, 2012, hal. 5-8
Read more...

Hermeneutika Fazlur Rahman

0 comments

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Pada saat ini kemajuan ilmu pengetahuan tidak berkembang begitu saja. Namun mengalami proses yang sangat panjang, yang banyak melibatkan banyak ilmuan dengan beragam budaya. Pada awalnya perhatian tertuju pada perlunya memahami sejarah awal Islam guna membongkar reifikasi yang menyelimuti pandangan umat Islam terhadap kesejatian Al-Qur’an.
Selanjutnya diperluas menjadi perlunya umat islam membuat pembedaan antara aspek legal spesifik Al-Qur’an dengan aspek ideal moralnya. Dan sunnah ideal dengan sunnah hidup. Belakangan setelah makin meyakinkan akan lemahnya metode penafsiran konvensional, perhatian awal yang dipadukan dengan pembedaan kedua aspek tersebut dikukuhkan dengan teori gerakan ganda. Teori inilah yang mengawali pembahasan Rahman tentang hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi. Untuk itu maka kami akan membahas tentang hermeneutika Fazlur Rahman.

B.       Rumusan Masalah

1.    Apa itu hermeneutika?
2.    Bagaimana sejarahnya?
3.    Bagaimana biografi dan setting historis Fazhur Rahman?
4.    Bagaimana konsep sunnah menurutnya?
5.    Bagaimana aplikasi hermeneutika menurutnya?









BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hermeneutika

Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan istilah ini kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia.
Mitos ini menjelaskan tugas seorang Hermes yang begitu penting, yang bila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang Dewa. Berhasil tidaknya misi itu tergantung dapa cara bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan demikian, hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.[1]

B.       Sejarah Hermeneutika

Benih-benih pembahasan hermeneutika ditemukan dalam Peri Hermeneies karya Aristoteles. Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika.
Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan hermeneutika, bahwa hermeneutika adalah sebuah gerakan interpretasi atau eksegesis di awal perkembangannya. Pada abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang.[2]


C.      Sekilas Tentang Fazlur Rahman dan Setting Historis

Fazlur Rahman lahir di Hazara, kini menjadi bagian dari Pakistan, pada 21 September 1919.[3]Ia yang mengaku dirinya sebagai salah seorang pemikir neo-modernis merupakan pemikir Islam yang paling serius dan produktif pada era kontemporer ini. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir Islam liberalnya, seperti Syah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal. Ia dibesarkan dalam kelurga yang bermazhab Hanafi.
Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, ia juga menimba banyak ilmu tradisi onal dari ayahnya, seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergensi dinanak benua Indo-Pakistan. Menurut ia sendiri , ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh,ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala. Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syari’ah lainya. Ayahnya adalah kyai tradisioal yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia sangat apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karir pendidikannya.
Setelah menamatkan sekolah menengah Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departemen Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Unuversitas tersebut dengan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Pada tahun 1946 ia melanjutkan studi doktornya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951.
Ia juga giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehingga ia menguasai banyak bahasa. Ia juga pernah mengajar di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada. Pada Agustus 1962 ia kembali ke Pakistan. Ia diangkat menjadi direktur pada Institute of Islamic Research. Ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964.
Lembaga tersebut bertujuan untuk menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”.[4]
Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan.
Rahman mengundurkan dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969. Dan ia memutuskan jijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languanges and Civilization, University of Chicago. Baginya tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab.[5]
D.      Konsep Sunnah Dalam Pandangan Fazlur Rahman
Mula-mula tidak terdapat masalah berkaitan dengan hadis Nabi. Namun kemudian muncul suatu fenomena penyebaran hadis-hadis palsu, akhirnya memaksa ulama (terutama ahli hadis) untuk melakukan penyeleksian hadis-hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi dan selainnya. Dalam rangka penyeleksian ini, dibuatlah teori-teori yang dapat menjamin tingkat validitas, reabilitas serta akseptabilitas suatu hadis. Hal ini menjadi sangat wajar mengingat posisi hadis Nabi sebagai eksplanatori bagi Al-Qur’an dalam mengambil istimbat hukum.
 Hadis-hadis yang terformulasikan dalam beberapa kitab hadis tersebut dianggap sebagai sebuah ketentuan yang bersifat pasti, kaku dan tetap. Dengan kata lain sebuah ketentuan yang berlaku sepanjang abad tanpa perlunya penafsiran ulang terhadapnya. Dalam konteks inilah Rahman mencuat dan mengambil langkah yang berbeda dalam mengungkapkan dan memformulasikan konsep sunnah dan hadis, hal ini merupakan respon dan bentuk kritiknya terhadap konsep tersebut.
Untuk menjawab kedua pandangan tersebut, ia terlebih dahulu mengemukakan konsep sunnah. Dalam pandangannya ada dua arti sunnah yang saling berhubungan erat, namun harus dibedakan. Pertama, sunnah berarti perilaku Nabi, dan karenanya, ia memperoleh sifat normatifnya. Dalam hal ini sunnah Nabi atau sunnah normatif ataupun sunnah ideal harus dipandang sebagai sebuah konsep teladan, pedoman dan konsep pengayoman yang umum yang terbungkus dalam ketentuan yang bersifat khusus.
Kedua, sepanjang tradisi (perilaku Nabi) tersebut berlanjut secara diam-diam dan non verbal, maka kata sunnah ini juga diterapkan pada kandungan aktual perilaku generasi sesudah Nabi, sepanjang perilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani pola perilaku Nabi.[6]
Adapun perubahan-perubahan yang terjadi ini adalah hasil dari kesimpulan/interpretasi para sahabat terhadap sunnah normatif Nabi, yang mana kemudian bermetamorfosis menjadi sunnah yang hidup dan sunnah aktual.
Secara teoritis dapat disimpulkan secara langsung bahwa sunnah adalah sebuah tema perilaku (behaviral) yang bercorak situasional, karena di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya, secara moral, psikologis dan material, maka sunnah Nabi tersebut haruslah dapat dikembangkan, diinterpretasikan dan diadaptasikan, pada bagian ini sunnah secara terus-menerus mengalami evolusi dari generasi ke generasi.
Berkaitan dengan penjelasan konsep sunnah para orientalis diatas, Rahman mempunyai dua keberatan, yaitu keberatan logika dan historis. Kebereratan logikanya adalah berkaitan dengan Ignaz yang menganggap sunnah di satu sisi sebagai praktek normatif dari masyarakat muslim awal dan pada sisi lain ia anggap sebagai praktek yang hidup serta aktual.
Sedangkan keberatan historisnya adalah Nabi tidak meninggalkan warisan apapun selain Al-Qur’an. Kedua keberatan ini dijawab Rahman dengan menunjukkan kesalahan mereka terhadap pemahaman konsepsi sunnah. Sekaligus koreksi ini terkait dengan keberatan Rahman terhadap tesisi masyarakat muslim awal. Menurutnya konsep itu tidak benar karena yang normatif dan yang aktual adalah saling bertentangan. Bahkan beberapa penulis modern (para orientalis) menganggap bahwa sampai abad ke-2H/8M istilah sunnah tidak berarti praktek Nabi, tapi praktek masyarakat lokal kaum muslimin Madinah dari Iraq.
Dalam hal ini Rahman menyanggah pandangan orientalis tersebut dengan menegaskan:
1.         Bahwa sementara kisah perkembangan sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan kandungannya, tetapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam hingga masa kini.
2.         Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak.
3.         Bahwa konsep sunnah sesudah Nabi wafat tidak mencakup sunnah Nabi tapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut. Dan sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan proses yang semakin meluas secara terus-menerus.
4.         Bahwa setelah gerakan pemurnian hadis secara besar-besaran hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma’menjadi rusak.[7]
E.       Aplikasi Hermeneutika Fazlur Rahman: Dekontruksi Konsep Hukum
Aplikasi hermeneutika Fazlur Rahman seperti dalam masalah sunat perempuan, beliau mengatakan dalam Al-Qur’an tidak disebutkan sama sekali perihal sunat perempuan, sedangkan dalam hadis disebutkan, tetapi memunculkan penafsiran yang berbeda-beda. Adapun nash yang sering dijadikan pijakan dalil yang artinya: “dari Anas ibnu Malik ra. Rasulullah saw bersabda kepada Ummu Atiyah: apabila kamu mengkhifad, janganlah berlebihan karena yang tidak berlebihan itu akan menambah cantik wajah dan menambah kenikmatan dalam berhubungan dengan suami” (HR. Tabrani)
Dari pemahaman nash tersebut, pelaksanaan sunat perempuan diindikasi pernah dilakukan di zaman Nabi. Hukum pelaksanaannya tidak lebih jelas dibandingkan sunat atau khitan laki-laki(khilafiyah). Ada yang mengatakan bahwa sunat perempuan adalah kewajiban, sebagaimana khitan laki-laki karena jelas tertuang dalam teks. Sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa sunat perempuan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, tetapi lebih dari warisan kebudayaan jahiliyah. Mazhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa sunat laki-laki dan perempuan hukumnya adalah wajib. Sementara Mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa sunat perempuan berhukum mubah yang artinya boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan berbeda dengan pendapat Imam Yusuf al-Qordawi yang mengatakan bahwa pengertian dari sunat perempuan adalah sejenis khitan ringan.
Merespon hal tersebut, pendapat Fazlur Rahman bisa menjadi alternatif perspektif yang menarik. Rahman mengatakan bahwa bagian penting yang harus dilakukan dalam mempelajari pesan al-Qur’an dan hadis secara keseluruhan sebagai pesan yang menyatu adalah memahami secara lengkap latar belakang kemunculannya. Latar belakang yang paling pokok adalah kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan perjuangannya. Termasuk juga kebutuhan memahami kondisi Arab, baik pra Islam maupun ketuka Islam datang, yaitu kebudayannya, realitas sosialnya, istitusi, kehidupan ekonomi dan politiknya. Dalam konteks ini, haruslah dapat memahami semua unsur-unsur ini, bukan hanya dipahami secara persial. Metode persial menurut Amina Wadud akan mengakibatkan termarginalisasinya posisi perempuan, padahal Islam memberi posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki.
Adanya anggapan bahwa Nabi adalah orang yang membenci wanita merupakan hal yang perlu dikaji lebih jauh, perempuan semasa Nabi berada dalam keadaan yang tertindas oleh dominasi kekuasaan laki-laki. Artinya, Nabi tidak bisa dipertanggungjawabkan untuk hal itu. Kedatangannya justru dianggap sebagai pahlawan karena mengangkat citra perempuan yang begitu buruk menjadi makhluk yang patut dihargai. Kasus warisan bisa menjadi contoh. Jika pada awalnya permpuan menjadi objek warisan, setelah Islam datang perempuan memiliki hak mendapatkan warisan. Artinya, sikap sebenarnya Nabi terhadap perempuanadalah menghargai.
Hal ini yang kemudian hendak dirumuskan Fazlur Rahman ketika menafsirkan sebuah nash. Teori gerak ganda menjadi pilihan dengan menggabungkan logika sejarah dengan kondisi kekinian. Dengan menggabungkan kedua prinsip tersebut, apa yang diinginkan secara ideal moral betul-betul muncul. Pemahaman ini memposisikan nash sebagai respon. Respon bisa memiliki makna positif, artinya menolak fenomena tersebut. Model penolakannya tersebut bisa bersifat langsung dan ada yang bersifat bertahap, tergantung keadan sosial-budaya masyarakat pada saat itu.[8]



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan 
Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan istilah ini kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.
Fazlur Rahman seorang intelektual muslim, asal pakistan yang mengklaim dirinya sebagai tokoh yang berdiri di barisan neo-modernisasi berpandangan, bahwa umat Islam mengalami krisis metodologybyang tampaknya sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam ke masa depan, karena menurutnya metodologi sebagai titik pusat penyelesaiann krisis intelektual Islam.
B.       Kritik
Demikianlah uraian yang dapat kami tulis dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khusunya dan bagi pembaca pada umumnya. Dan kami menyarankan supaya pembaca mencari sumber lain yang membahas tentang pembahasan ini, serta tidak terhenti sampai disini saja.






DAFTAR PUSTAKA

Rahkman, Arif Kurnia. 2009. Sunat Perempuan Di Indonesia. Vol. 2. No. 1.
Sibawaihi. 2007. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra.
Syamsuddin, Sahiran. 2010. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: ELSAQ Press.







[1] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal. 6
[2] Ibid., hal. 7
[3] Ibid., hal. 17
[4] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hal. 326-329
[5] Ibid., hal. 329-330
[6] Ibid., hal. 330-332
[7] Ibid., hal.333-336
[8] Arif Kurnia Rakhman, Sunat Perempuan Indonesia, Vol. 2. No. 1. 2009. Hal. 71-73
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018