KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الرحيم
Puji
syukur kami persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dalam menyusun makalah ini dapat
terselesaikan. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Manhaj al-Mufassirin. Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi
kita semua.
Pada
kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam proses pembuatan makalah ini. Kami
menyadari walaupun makalah ini sudah dibuat secara maksimal, namun masih
terdapat kekurangan-kekurangan dalam hal yang perlu disempurnakan. Untuk itu
kami mohon maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahan dalam penulisan
makalah ini. Kami menerima kritik dan saran serta petunjuk dari semua pihak
untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pihak-pihak
yang membutuhkan.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur`an
adalah sumber ajaran Islam Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan
tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan
lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam
isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an
mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan
umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali
dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga
lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka
ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin
perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya
sendiri.
Dalam
makalah yang singkat ini penulis berusaha membahas tentang Tafsir al-Isyari:
Pengertian, karakteristik, corak, pendapat ulama mengenai jenis ini, serta
analisis mengenai kelebihan dan kelemahannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik dan pengertian Laun
al-Shufiy wa al-Isyari fi al-Tafsir ?
2. Bagaimana corak Laun al-Shufiy wa
al-Isyari fi al-Tafsir ?
3. Bagaimana pendapat ulama mengenai Laun
al-Shufiy wa al-Isyari fi al-Tafsir ?
4. Apa saja kelebihan dan kelemahannya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir al-Shufi
al-Isyari adalah tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi
dalam dua bagian; tafsir al-Shufi al-Nadzari
dan tafsir al-Shufi al-Isyari. Tafsir al-Shufi al-Nadzari adalah tafsir
yang didasarkan atas perenungan pikiran sang shufi seperti renungan filsafat
dan ini tertolak. Tafsir al-Shufi al-Isyari adalah tafsir yang didasarkan
atas pengalaman pribadi (kasysyaf) si penulis seperti Tafsir al-Quran
al-‘Adzim karya al-Tustari, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami dan ‘
Arais al-Bayan fi Haqaiq al- Qur’an karya al-Syairazi.[1]
Tafsir al-Isyari disebut juga tafsir Shufi, yaitu penafsiran
al-Qur`an dengan melibatkan kapasitas sufistik atau tasawuf; mencoba memahami
ayat-ayat dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna zahir ayat.[2]
Tafsir al-Isyari sebagai “Penafsiran al-Qur`an
yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat
dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang
mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)”
dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau
rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan
perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa
menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari
ayat al-Qur`an.[3]
Ulama Aliran tasawuf praktis mengartikan Tasfir al-Isyari
sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan
kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap
oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju
Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran tekstual
dan penafsiran isyarat itu.[4]
Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu
tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang
tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh
setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh
Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai
pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun).
B.
Karakteristik
Menurut Imam al-Syathibi,
karakteristik tafsir isyari adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an memiliki makna zhahir dan
makna batin Makna zhahir adalah makna umum dan hanya dapat dipahami oleh
umumnya orang, sedangkan makna batin adalah makna khusus yang tidak semua orang
dapat memahaminya, hanya orang yang dibukakan pintu hatinya oleh Allah saja yang
dapat memahaminya.
2. Meskipun tafsir al-Isyari
mengakui tafsir zhahir, namun ia masih menggunakan atsar seperti yang dilakukan
tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir bi al-ra’yi dengan cara
mengambil istinbath. Tafsir ini juga kadang-kadang menggunakan metode tafsir balaghi
(bahasa).
3. Dalam menafsirkan ayat senantiasa
menggunakan istilah-istilah tasawuf.
4. Kadang-kadang tafsir ini mengangkat
makna yang sangat sulit dipahami sehingga menyebabkan kekufuran dan kezindikan.
5. Sering menggunakan dalil di luar
al-Qur’an dan sunah, tidak teliti dalam mencermati kedudukan hadis dan tidak lepas
dari fikrah batiniyah.
6. Tidak menerima israiliyat.[5]
Dan adapun,Tafsir al-shufi al-Isyari ini bisa diterima
(diakui) dengan beberapa syarat, sebagai berikut :
1.
Ada dalil
syar‘i yang menguatkan
2.
Tidak
bertentangan dengan syari’at/ rasio
3.
Tidak menafikan
makna zahir teks
4.
Penafsirannya
tidak mengakui atau mendakwakan bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang
dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
C.
Corak Tafsir
al-Isyari
Corak penafsiran shufi ini didasarkan pada argumen
bahwa setiap ayat al-Quran secara potensial mengandung empat tingkatan makna: zhahir,
bathin, hadd, dan matla’. Keempat tingkatan makna ini diyakini telah
diberikan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru,
bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Quran kepada Rasulullah SAW,
sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada
penafsiran al-Quran melalui sumber-sumber
Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi, para sahabat, dan pendapat
kalangan tabi’in. Di samping itu, selain penafsiran yang didasarkan melalui
jalan periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat
dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian.
Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara substansial.
Jika para Rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah Ilahiyah kepada
ummat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas
guna menyebarkan risalah akhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu
pada keluhuran budi pekerti. Sebagai pengemban risalah akhlakiyah
memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para shufi mampu menerima pengetahuan
Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan ma’rifat dalam
tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn
‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang
disebutnya sebagai al-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian
umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para Rasul dan Nabi yang
menerima nubuwwat al-ikhtishash (kenabian khusus) ketika mereka dipilih
oleh Allah sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja,
bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti.
Dalam penafsiran sufi mufasirnya tidak menyajikan
penjelasan ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan i’tibari dengan menelaah
makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada menyuarakan signifikansi
moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan
penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya seperti
dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan
isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh
kalangan sufi. Kelemahan ini menjadi latar belakang munculnya kontroversi di
kalangan ulama untuk menggunakan corak ini.
Contoh karya yang menampilkan corak tafsir al-shufi
adalah Tafsir al-Quran al-Azhim, karya Sahl al-Tustari (w. 283 H). Haqa’iq
al-Tafsir karya Abu Abd al-Rahman al-Sulami (w. 412 H). Lathaif
al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Ara’is al-Bayan fi Haqa’iq al-Quran
karya al-Syirazi (w. 606 H).[6]
D.
Pendapat Ulama
Mengenai Tafsir al-Isyari
Para Ulama berbeda pendapat
mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan
menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan
menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan
iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu
penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
1.
Al-Nasafi
Beliau berkomentar di dalam kitab al-‘Aqa’id
menegaskan bahwa kaum shufiy al-Isyari yang dianggap sebagai bid’ah
karena mereka menganggap al-Qur’an tidak berdasarkan makna lahirnya
(eksternal), yaitu makna yang sebenarnya tersembunyi dan tidak ada yang
mengetahui kecuali hanya Allah SWT. Tujuan mereka untuk mengesampingkan dan
menolak Syari’ah dengan memunculkan penafsiran yang mengabaikan aspek-aspek
eksternal.
2. Al-Suyuthi
Beliau menjelaskan berdasarkan riwayat
dari ‘Atha’, bahwa tafsir menurut kelompok tafsir al-isyari mengenai
Kalam Allah dan sabda Nabi Muhammad SAW, dengan makna bahasa arabnya tidak
seluruhnya menyimpang dari makna eksternalnya dan dapat di pahami.
3. Al-Zarqani
Menurut penjelasan beliau sebagian orang
menciptakan perselisihan dalam menanggapi kajian tentang indikasi-indikasi,
ide-ide dan gagasan-gagasan. Dalam benak mereka, al-Qur’an dan sunah
adalah sesuatu yang berbeda. Tetapi dengan pandangan seperti itu, Islam tidak
lain hanyalah sebagai ide-ide dan gagasan-gagasan yang muncul dari sumber
penafsiran yang sama. Mereka tidak pernah membatasi pada perintah-perintah
syari’at, tidak pula menghargai kaidah-kaidah bahasa arab dalam memahami teks
al-Qur’an.[7]
E.
Analisa Kelebihan dan Kelemahan Tafsir
Al-Isyari
Beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari,
yaitu :
1.
Tafsir Isyari
mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai
beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas
terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam
kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir
atau tekstual.
2.
Apabila
Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah
disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan
terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadis.
3.
Penafsiran
secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu
pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada
orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
4.
Penafsiran Isyari
mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli
tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian
ma`rifat.
5.
Tafsir Isyari
atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna
tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara
isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama,
menguasai makna lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.[8]
Kelemahan Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir
terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari
tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan
khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa
kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :
1.
Apabila
Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di
sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau
rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
2.
Tafsir Isyari
yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh
aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah
ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang
yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa
nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu
termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah
menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan
ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
3.
Penafsiran
secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama
yang sudah qath`i atau pasti keharamannya.
4.
Penafsiran
secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang
berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana
ungkapan Ibnu Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buatmereka.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Tafsir al-Shufi
al-Isyari adalah tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi
dalam dua bagian; tafsir al-Shufi al-Nadzari
dan tafsir al-Shufi al-isyari. Dan adapun,Tafsir al-shufi al-Isyari ini
bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, sebagai berikut : Ada dalil
syar‘i yang menguatkan, Tidak bertentangan dengan syari’at/ rasio, Tidak
menafikan makna zahir teks, Penafsirannya tidak mengakui atau mendakwakan bahwa
hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian
tekstual ayat terlebih dahulu. Para Ulama berbeda pendapat
mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan
menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan
menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman
dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu
penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
B.
Saran
Kepada pembaca makalah ini supaya dapat memahami dan
mencari sumber lain untuk memperluas wawasan kita tentang makalah yang berhubungan
dengan Laun al-Shufiy wa al-Isyari fi al-Tafsir. Kami
selaku pemekalah mengakui banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah
ini jauh dari kata sempurna, dan sebagai manusia biasa tidak luput dari
kesalahan.
Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat
bagi kita semua terutama bagi kami pemakalah, kami mengucapkan terima kasih.
KEPUSTAKAAN
al-Zahabi,
Muhammad Husein, Penyimpangan-penyimpangan Dalam Penafsiran al-Qur`an, Terj. Hamim Ilyas , Machnun Husein, Jakarta : Rajawali, 1991.
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2000.
Ash-Shabuny,
M. Aly, “At-Tibyan
fi ‘Ulum al-Qur’an”, Terj. M. Chudlori Umar, dkk, Bandung: Pengantar Studi Al-Qur’an
Al-Ma’arif, 1987.
Hasan
Basri, Talhas, Spektrum
Sainfikasi al-Qur’an, Jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001.
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/viewFile/707/658
https://plus.google.com/117853523803568320254/posts/J8aMUVPus6G
Ushama, Thameem,
Metodologi Tafsir Al-Qur’an(Kajian Kritis,Objektif dan Konprehensif)
Diterjemahkan Oleh Drs. Hasan Basri, MA & Drs. Amroeni, M.Ag , Jakarta:Riora
Cipta, 2000.
[1]
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/viewFile/707/658
[2] Talhas Hasan Basri, Spektrum
Sainfikasi al-Qur’an, (jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase), hal 15.
[3] M. Aly Ash-Shabuny, “At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an”, Terj. M.
Chudlori Umar, dkk, (Bandung: Pengantar Studi Al-Qur’an Al-Ma’arif) hal.279
[5]
https://plus.google.com/117853523803568320254/posts/J8aMUVPus6G
[6]
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/viewFile/707/658
[7] Dr.
Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Kajian Kritis,Objektif dan
Konprehensif) Diterjemahkan Oleh Drs. Hasan Basri, MA & Drs. Amroeni, M.Ag
, (Jakarta:Riora Cipta), Cet.I.hal.26-27
[8] Muhammad Husein al-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran al-Qur`an, Terj. Hamim Ilyas ,
Machnun Husein, (Jakarta : Rajawali) hal.40