Thursday, September 27, 2018

Tafsir al-Shufi al-Isyari

0 comments
KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الرحيم
Puji syukur kami persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dalam menyusun makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Manhaj al-Mufassirin. Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam proses pembuatan makalah ini. Kami menyadari walaupun makalah ini sudah dibuat secara maksimal, namun masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam hal yang perlu disempurnakan. Untuk itu kami mohon maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kami menerima kritik dan saran serta petunjuk dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.











BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Al-Qur`an adalah sumber ajaran Islam Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
Dalam makalah yang singkat ini penulis berusaha membahas tentang Tafsir al-Isyari: Pengertian, karakteristik, corak, pendapat ulama mengenai jenis ini, serta analisis mengenai kelebihan dan kelemahannya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana karakteristik dan pengertian Laun al-Shufiy wa al-Isyari fi al-Tafsir ?
2.      Bagaimana corak Laun al-Shufiy wa al-Isyari fi al-Tafsir ?
3.      Bagaimana pendapat ulama mengenai Laun al-Shufiy wa al-Isyari fi al-Tafsir ?
4.      Apa saja kelebihan dan kelemahannya ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
Tafsir al-Shufi al-Isyari adalah tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian;  tafsir al-Shufi al-Nadzari dan tafsir al-Shufi al-Isyari. Tafsir al-Shufi al-Nadzari adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang shufi seperti renungan filsafat dan ini tertolak. Tafsir al-Shufi al-Isyari adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasysyaf) si penulis seperti Tafsir al-Quran al-‘Adzim karya al-Tustari, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami dan ‘ Arais al-Bayan fi Haqaiq al- Qur’an karya al-Syairazi.[1]
Tafsir al-Isyari disebut juga tafsir Shufi, yaitu penafsiran al-Qur`an dengan melibatkan kapasitas sufistik atau tasawuf; mencoba memahami ayat-ayat dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna zahir ayat.[2]
Tafsir al-Isyari sebagai “Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.[3]
Ulama Aliran tasawuf praktis mengartikan Tasfir al-Isyari sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju


Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu.[4]
Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun).


B.       Karakteristik
Menurut Imam al-Syathibi, karakteristik tafsir isyari adalah sebagai berikut:
1.    Al-Qur’an memiliki makna zhahir dan makna batin Makna zhahir adalah makna umum dan hanya dapat dipahami oleh umumnya orang, sedangkan makna batin adalah makna khusus yang tidak semua orang dapat memahaminya, hanya orang yang dibukakan pintu hatinya oleh Allah saja yang dapat memahaminya.
2.    Meskipun tafsir al-Isyari mengakui tafsir zhahir, namun ia masih menggunakan atsar seperti yang dilakukan tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir bi al-ra’yi dengan cara mengambil istinbath. Tafsir ini juga kadang-kadang menggunakan metode tafsir balaghi (bahasa).
3.    Dalam menafsirkan ayat senantiasa menggunakan istilah-istilah tasawuf.
4.    Kadang-kadang tafsir ini mengangkat makna yang sangat sulit dipahami sehingga menyebabkan kekufuran dan kezindikan.
5.    Sering menggunakan dalil di luar al-Qur’an dan sunah, tidak teliti dalam mencermati kedudukan hadis dan tidak lepas dari fikrah batiniyah.
6.    Tidak menerima israiliyat.[5]
Dan adapun,Tafsir al-shufi al-Isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, sebagai berikut :
1.    Ada dalil syar‘i yang menguatkan
2.    Tidak bertentangan dengan syari’at/ rasio
3.    Tidak menafikan makna zahir teks
4.    Penafsirannya tidak mengakui atau mendakwakan bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.


C.      Corak Tafsir al-Isyari
Corak penafsiran shufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Quran secara potensial mengandung empat tingkatan makna: zhahir, bathin, hadd, dan matla’. Keempat tingkatan makna ini diyakini telah diberikan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Quran kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran  al-Quran melalui sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi, para sahabat, dan pendapat kalangan tabi’in. Di samping itu, selain penafsiran yang didasarkan melalui jalan periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara substansial. Jika para Rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah Ilahiyah kepada ummat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna menyebarkan risalah akhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu pada keluhuran budi pekerti. Sebagai pengemban risalah akhlakiyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para shufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan ma’rifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn ‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang disebutnya sebagai al-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para Rasul dan Nabi yang menerima nubuwwat al-ikhtishash (kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti.
Dalam penafsiran sufi mufasirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan i’tibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan sufi. Kelemahan ini menjadi latar belakang munculnya kontroversi di kalangan ulama untuk menggunakan corak ini.
Contoh karya yang menampilkan corak tafsir al-shufi adalah Tafsir al-Quran al-Azhim, karya Sahl al-Tustari (w. 283 H). Haqa’iq al-Tafsir karya Abu Abd al-Rahman al-Sulami (w. 412 H). Lathaif al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Ara’is al-Bayan fi Haqa’iq al-Quran karya al-Syirazi (w. 606 H).[6]


D.      Pendapat Ulama Mengenai Tafsir al-Isyari
Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
1.    Al-Nasafi
Beliau berkomentar  di dalam kitab al-‘Aqa’id menegaskan bahwa kaum shufiy al-Isyari yang dianggap sebagai bid’ah karena mereka menganggap al-Qur’an tidak berdasarkan makna lahirnya (eksternal), yaitu makna yang sebenarnya tersembunyi dan tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah SWT. Tujuan mereka untuk mengesampingkan dan menolak Syari’ah dengan memunculkan penafsiran yang mengabaikan aspek-aspek eksternal.
2.      Al-Suyuthi
Beliau menjelaskan berdasarkan riwayat dari ‘Atha’, bahwa tafsir menurut kelompok tafsir al-isyari mengenai Kalam Allah dan sabda Nabi Muhammad SAW, dengan makna bahasa arabnya tidak seluruhnya menyimpang dari makna eksternalnya dan dapat di pahami.
3.      Al-Zarqani
Menurut penjelasan beliau sebagian orang menciptakan perselisihan dalam menanggapi kajian tentang indikasi-indikasi, ide-ide dan gagasan-gagasan. Dalam benak mereka,  al-Qur’an dan sunah adalah sesuatu yang berbeda. Tetapi dengan pandangan seperti itu, Islam tidak lain hanyalah sebagai ide-ide dan gagasan-gagasan yang muncul dari sumber penafsiran yang sama. Mereka tidak pernah membatasi pada perintah-perintah syari’at, tidak pula menghargai kaidah-kaidah bahasa arab dalam memahami teks al-Qur’an.[7]
E.       Analisa Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Al-Isyari
Beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
1.    Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir atau tekstual.
2.    Apabila Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadis.
3.    Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
4.    Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
5.    Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.[8]
Kelemahan Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :
1.    Apabila Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
2.    Tafsir Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
3.    Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya.
4.    Penafsiran secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana ungkapan Ibnu Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buatmereka.[9]


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Tafsir al-Shufi al-Isyari adalah tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian;  tafsir al-Shufi al-Nadzari dan tafsir al-Shufi al-isyari. Dan adapun,Tafsir al-shufi al-Isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, sebagai berikut : Ada dalil syar‘i yang menguatkan, Tidak bertentangan dengan syari’at/ rasio, Tidak menafikan makna zahir teks, Penafsirannya tidak mengakui atau mendakwakan bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu. Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
B.       Saran
Kepada pembaca makalah ini supaya dapat memahami dan mencari sumber lain untuk memperluas wawasan kita tentang makalah yang berhubungan dengan Laun al-Shufiy wa al-Isyari fi al-Tafsir. Kami selaku pemekalah mengakui banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna, dan sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan.
Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kami pemakalah, kami mengucapkan terima kasih.





KEPUSTAKAAN
al-Zahabi, Muhammad Husein, Penyimpangan-penyimpangan Dalam Penafsiran al-Qur`an, Terj. Hamim Ilyas , Machnun Husein, Jakarta : Rajawali, 1991.
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2000.
Ash-Shabuny, M. Aly, “At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an”, Terj. M. Chudlori Umar, dkk, Bandung: Pengantar Studi Al-Qur’an Al-Ma’arif, 1987.
Hasan Basri, Talhas, Spektrum Sainfikasi al-Qur’an, Jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001.
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/viewFile/707/658
https://plus.google.com/117853523803568320254/posts/J8aMUVPus6G
Ushama, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Qur’an(Kajian Kritis,Objektif dan Konprehensif) Diterjemahkan Oleh Drs. Hasan Basri, MA & Drs. Amroeni, M.Ag , Jakarta:Riora Cipta, 2000.


[1] http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/viewFile/707/658
[2] Talhas  Hasan Basri, Spektrum Sainfikasi al-Qur’an, (jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase), hal 15.
[3] M. Aly Ash-Shabuny, “At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an”, Terj. M. Chudlori Umar, dkk, (Bandung: Pengantar Studi Al-Qur’an Al-Ma’arif) hal.279
[4] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir,(Bandung : Pustaka Setia), hal. 166
[5] https://plus.google.com/117853523803568320254/posts/J8aMUVPus6G
[6] http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/viewFile/707/658

[7] Dr. Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Kajian Kritis,Objektif dan Konprehensif) Diterjemahkan Oleh Drs. Hasan Basri, MA & Drs. Amroeni, M.Ag , (Jakarta:Riora Cipta), Cet.I.hal.26-27
[8] Muhammad Husein al-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran al-Qur`an, Terj. Hamim Ilyas , Machnun Husein, (Jakarta : Rajawali) hal.40
[9] Muhammad Husein al-Zahabi, Ibid, hal. 41
Read more...

Waktu Shalat

0 comments



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dalam menyusun makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Fiqih Ibadah. Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam proses pembuatan makalah ini. Kami menyadari walaupun makalah ini sudah dibuat secara maksimal, namun masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam hal yang perlu disempurnakan. Untuk itu kami mohon maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kami menerima kritik dan saran serta petunjuk dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.










Padang,        Oktober 2017

Penulis







BAB I
PENDAHULUAN
   A. Latar Belakang

            Mengingat shalat begitu pentingnya dalam agama islam, maka ibadah ini tentu harus menjadi perhatian sungguh-sungguh umat islam, termasuk meperhatikan waktu-waktu pelaksanaannya.
Shalat adalah ibadah yang tidak bisa di tinggalkan, baik dalam keadaan apapun dan tidak ada istilah dispensasi, kecuali bagi orang-orang tertentu, seperti wanita sedang haid. Shalat merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim dan merupakan perintah langsung dari Allah swt. yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw., ketika melaksanakan misi suci yaitu Isra’ Mi’raj, yang terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 12 sesudah kenabian.
 Dalam makalah ini, kami akan memberikan sedikit penjelasan mengenai waktu-waktu shalat.

     B. Rumusan Masalah
1.    Apakah dasar penetapan waktu-waktu sholat fardhu?
2.    Bagaimana pendapat para ulama tentang waktu-waktu shalat fardhu?
3.    Kapankah waktu yang dilalang melaksanakan shalat ?















BAB II
PEMBAHASAN

      A. Waktu Shalat

Shalat fardu yang di wajibkan oleh Allah SWT. dalam sehari semalam ada lima, setiap shalat memiliki waktu tertentu di mana ia harus dilaksanakan. Alllah SWT. berfirman :

ان الصلاة كانت على المؤمنين كتبا موقوتا
Artinya :“Sungguh, shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(an-Nisa’ ayat : 103)

Artinya, shalat adalah kewajiban yang sangat jelas, sebuah kewajiban yang didasarkan kepada al-qur’an. Al-qur’an telah menjelaskan waktu-waktu tersebut. Allh SWT. berfirman :

واقم الصلاة طرفي النهاروزلفا من اليل أن الحسنت يذهبن السيات ذلك ذكرى للذا كرين
Artinya :“Dan laksanakanlah shalat pada ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (Hud ayat : 114)

اقم الصلاة لدلوك الشمس الى غسق اليل وقران الفجر ان قران الفجركان مشهودا
Artinya :“Laksanakan shalat sejak matahari matahari tergelincir samoai gelapnya malam dan (laksanakan pula shalat) subuh. Sungguh, shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (al-Isra’ ayat : 78)

وسبح بحدربك قبل طلوع الشمس وقبل غروبها ومن انائ اليل فسبح واطراف النهارلعلك ترضى
Artinya :“Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenam, dan bertasbihlah (pula) pada


waktu tengah malam dan diujung siang hari, agar engkau merasa tenang.” (Taha ayat : 130)

Itulah ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan waktu-waktu shalat.[1] Dan hadis Rasulullah SAW. adalah sebagai berikut :
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم  قل : وقت الظهر إذا زالت الشمس وكنا ظل الرجل كطوله ما لم يحضر العصر ووقت العصر ما لم تصفر الشمس ووقت صلاة المغرب ما لم يغب الشفق ووقت صلاة العشاء الى بصف اليل الأوسط ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر ما لم  تطلع الشمس

“Waktu dzuhur adalah saat matahari tergelincir (ke barat) dan bayang-bayang seseorang seperti dirinya sendiri, selagi waktu ashar belum tiba sedangkan waktu ashar (berakhir) adalah saat matahari telah merah. Waktu shalat magrib (masih ada) selama awan merah belum sirna. Waktu isya (memenjang) hingga pertenghan malam, dan waaktu shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar hingga mata hari terbit ”[2]

1.    Shalat Dzuhur
Dari hadis diatas dapat kita ketahui bahwa waktu shalat dzuhur dimulai sejak bergesernya matahari dari pertengahan langit (tengah hari) dan berakhir saat bayang-bayang menjadi sepanjang sesuatu aslinya.
Menurut emapat Mazhab dimulai dari tergelincirnya matahari sampai bayang-bayang sesuatu sama panjangnya dengan sesuatu itu. Apabila lebih walaupun sedikit, berarti waktu Dhuhur sudah habis. Tetapi Syafi’i dan Maliki, batasan ini hanya berlaku khusus bagi orang yang melihatnya, sedangkan bagi orang yang terpaksa, maka waktu Dhuhur itu sampai bayang-bayang sesuatu (benda) lebih panjang dari benda tersebut.
Bila dikaitan dengan kajian tentang peredaran matahari, pada dasarnya waktu-waktu itu dapat dinyatakan dengan merujuk posisi matahari dari zenitnya, waktu dzuhur mulai sejak matahari melampui meridian.[3]
 Namun demikian, disunnahkan untuk mengakhirkan shalat dzuhur dari awal waktu ketika panas benar-benar  menyengat agar kekhusyukan tetap terjaga dan tidak terburu-buru. Berdasarkan hadis Rasulullah SAW. sebagai berikut :
إذا اشتد الحر فأبردوا بالصلاة فإن شدة الحر من فيح جحنم



“Jika panas sangat menyengat, maka tunggulah waktu dingin untuk melaksanakan shalat (dzuhur) karena panas yang menyangat sebagian dari hembusan neraka jahannam.”[4]

2.      Shalat Ashar
Waktu shalat ashar dimulai ketika bayang-bayang benda telah menjadi seperti bentuk aslinya[5],sekitar 50 derajat[6]. Berakhir hingga matahari terbenam. Abu Hurairah r.a. bercerita bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
من أدرك ركعة من العصر قبل أن تغرب الشمس فقد أدرك العصر

Barang siapa yang masih bisa melaksanakan satu rakaat ashar sebelum matahari terbanam, maka ia telah melaksanakan shalat tersebat tepat waktu.”

Waktu shalat ashar menurut Hanafi dan Syafi’i dimulai dari lebihnya bayang-bayang sesuatu (dalam ukuran panjang) dengan benda tersebut sampai terbenamnya matahari. Menurut Maliki, Asar mempunyai dua waktu. Yang pertama disebut waktu Ikhtisari yang dimulai dari lebihnya bayang-bayang suatu benda dari benda tersebut sampai matahari nampak menguning. Sedangkan yang kedua disebut waktu Idhthirari yaitu mulai dari matahari yang tampak menguning sampai terbenamnya matahari. Menurut Hambali yang termasuk yang paling akhirnya shalat Asar adalah sampai bayang-bayang suatu benda lebih panjang dua kali dari benda tersebut, dan pada saat itu boleh mendirikan shalat Asar sampai terbenamnya matahari. Tetapi orang yang shalat pada waktu itu berdosa dan diharamkan sampai mengakhirkannya pada waktu tersebut.

3.      Shalat Magrib
Waktu shalat magrib dimulai sejak matahari terbenam dan malam datang hingga mega merah menghilang. Dan begitu pun menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Abdullah bin Amru r.a. bercerita Rasulullah Saw bersabda,
وقت صلاة المغرب إذا غابت الشمس ما لم يسقط الشفق
“Waktu shalat maghrib adalah ketika matahari terbenam, sebelum mega (merah) sirna.”[7]

Dianjurkan menyegerakan shalat maghrib dan dimakhruhkan untuk mengakhirkannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
لاتزال أمتى بخير او قال على الفطرة ما لم يؤخروا المغرب الى ان تشتبك النجوم
“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh) selama mereka tidak mengakhirkan waktu sholat maghrib hingga munculnya bintang (di langit).” (HR. Abu Daud)                  
4.    Shalat Isya
Waktu shalat isya dimulai dari hilangnya mega merah hingga pertengahan malam.  Aisyah r.a berkata bahwa para sahabat melaksanakan shalat isya mulai dari hilangnya mega merah hingga sepertiga pertama dari malam.
Abu Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم أن يؤجروا العشاء إلى ثلث اليل أونصف
Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan kepada mereka untuk mengakhirkan shalat isya hingga waktu malam atau pertengahan malam.”

5.      Shalat Subuh
Waktu shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar hingga terbitnya matahari, seperti yang dijelaskan oleh hadis di atas. Semua Imam Mazhab sepakat bahwa waktu shalat Shubuh yaitu terbitnya fajar sampai terbitnya matahari, tetapi mazhab Maliki berpendapat lain. Bahwa waktu Shubuh ada dua pertama adalah Ikhtar (memilih) yaitu terlihatnya wajah orang yang kita pandang. Sedangkan yang kedua adalah Idhthirari (terpaksa) yaitu terlihatnya wajah tersebut sampai terbitnya matahari.

     B. Waktu Dilarang Shalat
    Waktu-waktu yang dilarang untuk melakukan shalat adalah :
1.      Setalah shalat subuh hingga terbit matahari
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
لا صلاة بعد صلاة العصر حتى تغرب الشمس ولا صلاة بعد صلاة الفجر حتى تطلع الشمس
“Tidak ada shalat sesudah shalat ashar hingga matahari terbenam. Dan tidak ada shalat sesudah shalat subuh hingga matahari terbit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2.      Ketika matahari terbit hingga meninggi seukuran satu tombak
3.      Ketika matahari tepat diatas kepala hingga tergelincir kearah barat
4.      Setelah shalat ashar hingga matahari terbenam
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir r.a. ia berkata,
ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهنانا أنصلي أو أن نقبرفيهن موتانا حين تطلع الشمس بازعة حتى ترتفع وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تميل الشمس وحين تضيف الشمس للغرب حتى تغرب
“ada tiga waktu yang Rasulullah SAW. melarang kami melakukan shalat atau memakamkan orang yang meninggal dunia diantara kami (yaitu) ketika matahari terbit hingga meninggi (setinggi tombak), ketika matahari  tepat berada di atas kepala hingga tergelicir, dan ketika matahari akan terbenam hingga benar-benar terbenam.”(HR. Abu Daud)








BAB III
PENUTUP
    A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa waktu shalat dzuhur dimulai sejak bergesernya matahari dari pertengahan langit (tengah hari) dan berakhir saat bayang-bayang menjadi sepanjang sesuatu aslinya, waktu shalat ashar dimulai ketika bayang-bayang benda telah menjadi seperti bentuk aslinya berakhir hingga matahari terbenam, waktu shalat magrib dimulai sejak matahari terbenam dan malam datang hingga mega merah menghilang, waktu shalat isya dimulai dari hilangnya mega merah hingga pertengahan malam dan, waktu shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar hingga terbitnya matahari,

     B. Saran
Kepada pembaca makalah ini supaya dapat memahami dan mencari sumber lain untuk memperluas wawasan kita tentang makalah yang berhubungan dengan waktu-waktu shalat. Kami selaku pemekalah mengakui banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna, dan sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan.
Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kami sendiri, kami ucapkan terima kasih.










KEPUSTAKAAN

Hasan, M. Ali, perbandingan mazhab,  jakarta : PT raja grafindo persada. 2003
Ibnu Hajar as-Qalani, bulughul maram
Nasution, Lahmuddin fiqih 1, jakarta.2013
Sayyid Sabiq, terjemahan fiqih sunnah, depok-jawa barat : publishing. 2015


[1] Sayyid Sabiq, terjemahan fiqih sunnah, (depok-jawa barat : publishing), jilid 1, hlm. 110-112
[2] Ibnu Hajar as-Qalani, bulughul maram, bab shalat, hlm. 42
[3] Drs. Lahmuddin Nasution, fiqih 1, (jakarta), hlm. 60
[4] Sayyid Sabiq, loc. Cit.
[5] Sayyid Sabiq, terjemahan fiqih sunnah, (depok-jawa barat : publishing), jilid 1, hlm.114
[6] Lahmuddin Nasution, loc. cit.
[7] Sayyid Sabiq, Ibid, hlm. 115
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018