BAB I
PENDAHULUAN
Membicarakan mengenai nikah dan persoalan yang terkait dengannya termasuk
aktual dan selalu menarik untuk dibahas. Hal ini bukan semata karena nikah
terkait erat dengan persoalan mendasar dalam kehidupan manusia, tetapi juga
selalu ada masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari tentang nikah. Sejak
dikeluarkan UU perkawinan No. 1 Tahun 1974 kesadaran masyarakat untuk melakukan
penctatan perkawinan semakin meluas dikalangan Muslim Indonesia.
Meskipun masih banyak
kalangan Muslim yang tidak mencatatkan perkawinannya sebagaimana yang dituntut
UU tersebut atau berpendapat bahwa perkawinan tidak harus dicatatkan pada
lembaga negara. Disamping itu ruang gerak poligami di Indonesia semakin
diperketat dengan adanya ketentuan izin untuk poligami dari pengadilan agama
merupakan masalah tersendiri.
Diantara solusi yang ditempuh
oleh kalangan muslim tertentu untuk keluar dari masalah yang disebutkan tadi
dengan melakukan nikah siri. Timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan nikah
siri dan poligami, kemudian bagaimana hukum nikah siri, dan alasan-alasan
berpoligami, serta prinsip dasar dalam perkaminan.
Makalah ini sengaja dibuat
untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
NIKAH SIRI
1.
Pengertian
Nikah siri juga
di kenal dengan Kawin kampung, nikah siri/kawin kampung adalah perkawinan yang
dilangsungkan diluar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), karenanya perkawinan
itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami-istri tersebut tidak mempunyai
surat nikah yang sah.[1]
Perkawinan siri
atau perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak
memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan.[2]
Biasanya orang
yang dipercaya menikahkandalam nikah siri adalah ulama atau kiai atau mereka
yang dipandang telah mengetahui hukum-hukum munakahat
(perkawinan).Alasan pernikahan siri biasanya untuk menjaga
hal-hal yang tidak di inginkan dalam hubungan pria dan wanita yang sudah saling
mencinta, sementara mereka belum siap berumah-tangga, atau karena masing-masing
masih mempunyai tugas dan kesibukan yang belum terselesaikan.Bahkan
sementara kalangan berpendapat, nikah siri merupakan bentuk alternatif
pemecahan yang paling baik dalam mengatasi pergaulan muda-mudi yang menjurus
pada hal-hal yang dilarang agama.[3]
2.
Hukum Nikah Siri Tanpa Sepengetahuan Orang Tua
Hal pertama
yang harus diketahui tentang nikah siri, bahwa nikah siri adalah suatu
perkawinan yang dilakukan tanpa catatan dan
laporan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga pemerintah, penghulu dan pegawai KUA
Kamenag tidak tahu atas berlangsungnya perkawinan tersebut. Adapun selain dari itu
maka perkawinan siri tidak berbeda dengan perkawinan yang lain yang bukan siri
yakni perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan oleh wali dan dihadiri oleh
minimal (2) orang saksi. Oleh karena itu, nikah siri yang model begini sah
secara agamawalaupun resmi secara Negara.[4]
Pendapat mazhab
Hanafi dalam pernikahan tanpa wali
bukanlah pendapat mayoritas dalam mazhab Hanafi sendiri, akan tetapi sebagian ulamanya.
Sedangkan 3 mazhab yang lainnya yaitu Syafi’I,Maliki dan Hambali, semua melarang
perkawinan tampa wali.[5]
3.
Dalil Yang Mengharuskan Adanya Wali Dalam Pernikahan
a.
Quran
surah Al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّ...
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman”….
Ayat diatas
memakai kata kerja larangan (fi’il nahi) yang ditujukan pada kata ganti jamak
orang laki-laki “tankihu” bukan pada perempuan. Makna ayat tersebut menurut
ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari syarah Sahih Bukhari halm IX/184
yang artinya: Wahai para wali, janganlah
kalian menikahkan perempuan yang dibawah perwalian kalian dengan orang musyrik
atau kafir. Dan menurut ibnu katsir dalam tafsir ibnu katsir hlmn 1/377
menafsirkan ayat di atas yang artinya:
janganlah kalian para wali menikahkan laki-laki musyrik/kafir dengan wanita
mukminah /muslimah.
b.
Quran
surat Al-Baqarah ayat 232:
وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ ...
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu
habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya”.[6]
B.
POLIGAMI
1.
Pengertian
Poligami adalah
ikatan perkawinan yang salah satu pihak suami mengawini beberapa (lebih dari
satu) istri dalam waktu yang bersamaan.
Selain poligami
dikenal juga dengan polindri, jika dalam poligami suami yang memiliki beberapa
istri, dalam polindri sebaliknya, justru istri yang mempunyai suami dalam waktu
yang bersamaan. Akan tetapi, dibanding dengan poligami, bentuk polindri tidak banyak
dipraktekkan. Polindri ini hanya ditemukan pada suku-suku tertentu, seperti
pada suku tuda dan beberapa suku di Tibet.
Kebalikan dari
poligami adalah monogami. Yaitu ikatan perkawinan yang hanya membolehkan
suami satu istri pada jangka waktu tertentu. Istilah lainnya monogoni, yaitu
prinsip bahwa suami hanya mempunyai satu istri. Monogami lebih banyak
dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia.[7]
2.
Asal-usul Poligami
Banyak orang
mengira paham tentang poligami. Mereka mengira bahwa poligami itu baru dikenal
setelah islam. Mereka mengannggap islamlah yang membawa ajaran tentang
poligami, bahkan ada yang lebih ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena
islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia.
Di Jazirah Arab
sendiri jauh sebelum islam masyarakat telah mempraktekkan poligami, bahkan
sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki
puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai ratusan istri.
Perkembangan
poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap
kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan
hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat memandang kedudukan
dan derajat perempuan terhormat, poligami pun berkurang.[8]
Ketika islam
datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah
ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan. Nabi lalu melakukan perubahan
yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat.
1.
Membatasi
jumlah bilangan istri hanya sampai empat.
2.
Menetapkan
syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil.
Diantara keduanya tersebut terlihat perbedaan yang menonjol:
1.
Pada
bilangan istri, dari tidak terbatas jumlahnya jadi dibatasi menjadi empat.
Pembatasan ini sangat berat, sebab laki-laki pada masa itu sudah terbiasa
dengan banyak istri, lalu mereka disuruh empat saja dan menceraikan yang
lebinya.
2.
Pada
syarat poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Sebelumnya poligami itu tidak
mengenal syarat apapun termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak
membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami
yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil, sehingga mereka
berlaku aniaya dan semena mena mengikuti luapan nafsunya.[9]
Imam Bukhari
meriwayatkan dari dari Aisyah ra, istri Nabi, bahwa pada masa jahiliyah ada
empat macam perkawinan.
1)
Perkawinan istibdha’, yaitu perkawinan anatara seorang laki-laki dan seorang perempuan,
lalu istrinya diperintahkan berhubungan badan dengan laki-laki lain yang
dipandang terhormat karena kebangsawannya, dengan maksud mendapatkan anak yang
mamiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan.
2)
Perkawinan al-maqthu’, yaitu perkawina antara seorang laki-laki dengan seorang ibunya.
3)
Perkawinan ar-rahthun, yaitu perkawinan antara sejumlah laki-laki dan seorang perempuan.
Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu mengundang semua laki-laki yang
pernah mengaulinya lalu menentukan siapa ayah dari bayinya, dan laki-laki yang
ditunjuk itu harus menerima dan mengakui bayi itu sebagai anaknya.
4)
Perkawinan khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah (kumpul kebo).
Selain dari yang diatas ada dua bentuk perkawinan lagi
1)
Perkawinan badal, yaitu dua orang suami bersepakat tukar-menukar istri tanpa melalui
talak.
2)
Perkawinan al-syighar, yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuanya atau saudara
perempuannya tanpa menerima maha, tetapi dengan imbalan laki-laki itumemberikan
pula anak perempuan atau saudara perempuannya.
Faktornya yang
mendorongnya poligami berakar pada mentalitas dominasi (merasa berkuasa) dan
sifat despotis (semena mena) kaum pria, dan sebagian lagi berasal dari
perbedaan kecendrungan alami antara perempuan dan laki-laki dan hal
fungsi-fungsi reproduksi.[10]
3.
Poligami Dalam Perspektif Islam
Prinsip-prinsip pernikahan dalam islam yaitu;
Perkawinan
adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian di antara dua
pihak, yakni suami dan istri. Dalam Al-Quran di jelaskan bahwa perkawinan itu
sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian
yang kokoh), dalam surat An-Nisa Ayat 21 :
وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ
وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ٢١
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”.
Agar suatu
perkawinan dapat mencapai tujuan yang ditetapkan syariat, yaitu kebahagian duniawi
menuju kebahagian Akhirat, islam menggariskan beberapa prinsip.
1.
Prinsip
kebebasan dalam memilih jodoh
Memilih jodoh merupakan hak pilih yang bebas bagi laki-laki dan
perempuan sepanjang tidak melannggar ketentuan yang digariskan syari’ah.
2.
Prinsip
mawaddah wa Rahmah (cinta dan kasih sayang)
Surat
Ar-Rum ayat 21 :
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا
لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
Artinya: “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
3.
Prinsip
saling melengkapi dan melindungi
Surat
Al-Baqarah ayat 187 :
...هُنَّ
لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّ...
Artinya: “… mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka….”[11]
4.
Prinsip
Mu’asyarah bil ma’ruf
Surat
An-Nisa ayat 19 :
... وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن
كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ
خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.[12]
5. Landasan Teologis Poligami
Surat
An-Nisa ayat 1 :
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن
نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا
كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْٱللَّهَٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.[13]
6.
Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah Mengenai Poligami
Undang-undang
perkawinan No.1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum islam (KHI) menganut kebolehan
poligami bagi suami, walaupun terbatas hanya empat orang istri. Ketentuan itu
termaksud kedalam pasal 3 dan 4 undang-Undang perkawinan dan BAB IX pasal 55
s/d 59 KHI antara lain disebutkan: syarat utam beristri lebih dari satu orang,
suami harus mampu berlaku adil pada istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat
2), selain syarat utama tersebut, ada lagi syarat lain yang harus terpenuhi
sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.[14]
Ironisnya, pada
pasal 59 dinyatakan: dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah
satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, pengadilan agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksan mendengar istri yang
bersangkutan dipersidangan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi. Pada pasal ini jelas sekali
mengindikasikan betapa lemahnya posisi istri. Sebab, manakala istri menolak
memberikan persetujuannya, pengadilan agama dengan serta merta mengambil alih
kedudukannya sebagai pemberi izin, meskipun diakhir pasal tersebut ada kausul
yang memberikan kesempatan kepada istri untuk mengajukan banding. Dalam realitas,
umumnya para istri merasa malu dan berat hati untuk mengajukan banding terhadap
keputusan pengadilan menyangkut perkara poligami.
Alasan-alasan
yang dipakai oleh pengdilan agama memberikan izin kepada suami berpoligami
adalah :
1.
Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2.
Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat untu disembuhkan
3.
Istri
tidak melahirkan keturunan.
Ketiga alasan yang diberikan oleh pengadilan agama itu sama sekali
tidak mewadahi tuntunan Allah swt yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 19 :
...وَعَاشِرُوهُنَّ
بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا
وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Dalam ayat
diatas sudah jelas bahwa semua alasan yang dikemukakan dalam undang-undang dan
peraturan-peraturan pemerintah untuk membolehkan suami berpoligami hanya
dilihat dari kepentingan suami, sama sekali tidak mempertimbangkan perspektif
kepentingan istri.[15]
C.
Prinsip Dasar
Perkawinan
Ada enam asas yang bersifat prinsipil didalam
UUP sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dam
meterial.
2. Dalam UU ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu
tiap-tiap perkawinan “harus dicatat”
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. UU ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh orang yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang
suami dapat beristeri lebih dari seorang.
4. UUP ini menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa
raganya untuk melangsunngkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan memdapat keturunan
yang abik dan sehat.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal
dan sejahtera, maka UU ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya
perceraian.
6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami,
baik dalam kehidupan RT maupun pergaulan masyarakat.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kawin kampung/nikah siri adalah perkawinan yang dilangsungkan diluar
pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), karenanya perkawinan itu tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami-istri tersebut tidak mempunyai
surat nikah yang sah.
Pendapat mazhab Hanafi dalam pernikahan tanpa wali bukanlah pendapat mayoritas dalam mazhab Hanafi sendiri. Sedangkan 3 mazhab yang lainnya yaitu Syafi’I,Maliki dan Hambali, semua melarang perkawinan tampa wali. Dalil yang mengharuskan adanya wali dalam pernikahanQuran surah Al-Baqarah ayat 221.
Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak suami mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.Prinsip-prinsip pernikahan dalam islam, Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh, Prinsip mawaddah wa Rahmah (cinta dan kasih sayang), Prinsip saling melengkapi dan melindungi, Prinsip Mu’asyarah bil ma’ruf.
Alasan-alasan yang dipakai oleh pengdilan agama memberikan izin kepada suami berpoligami adalah : Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat untu disembuhkan, Istri tidak melahirkan keturunan.
Pendapat mazhab Hanafi dalam pernikahan tanpa wali bukanlah pendapat mayoritas dalam mazhab Hanafi sendiri. Sedangkan 3 mazhab yang lainnya yaitu Syafi’I,Maliki dan Hambali, semua melarang perkawinan tampa wali. Dalil yang mengharuskan adanya wali dalam pernikahanQuran surah Al-Baqarah ayat 221.
Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak suami mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.Prinsip-prinsip pernikahan dalam islam, Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh, Prinsip mawaddah wa Rahmah (cinta dan kasih sayang), Prinsip saling melengkapi dan melindungi, Prinsip Mu’asyarah bil ma’ruf.
Alasan-alasan yang dipakai oleh pengdilan agama memberikan izin kepada suami berpoligami adalah : Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat untu disembuhkan, Istri tidak melahirkan keturunan.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan, hal ini dikarenakan kurangnya sumber bacaan dan keterbatasan pemakalah. Oleh karena itu kami sebagai pemakalah berharap akan kritik dan saran yang membangun dan berguna untuk yang akan dating
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan, hal ini dikarenakan kurangnya sumber bacaan dan keterbatasan pemakalah. Oleh karena itu kami sebagai pemakalah berharap akan kritik dan saran yang membangun dan berguna untuk yang akan dating
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Rofiq. 2013.
hukum perdata islam di Indonesia. Jakarta.
Musdah Mulia. 1999. Pandangan Islam Tentang Poligami.
A. Zuhdi Muhdlar. 1994. Memahami
Hukum Perkawinan. Al-Bayan: Bandung.
Dr. Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam. Jakarta: perpustakaan
Nasional.
[1] A. Zuhdi
Muhdlar, Memahami Hukum Perkawinan,
1994, Al-Bayan, Bandung.
[2]Dr. Abd.
Shomad, hukum islam, 2010, perpustakaan Nasional, Jakarta.
[3] Ibid,
[4]
https://www.facebook.com/permalink.php?id=362531477192928&story_fbid=367170620062347
[5]ibid
[6]ibid
[7] Musdah Mulia,
pandangan islam tentang poligami,1999, jakara, hlmn 2
[8] Ibid,halmn 3
[9] Ibid,hlm 4-5
[10] Ibid, hlmn 5-7
[11] Ibid,hlmn
10-15
[12] Ibid,hlmn 15
[13] Ibid, hlmn 28
[14] Ibid, halm 59
[15] Ibid, hlmn
59-61
[16]Ahmad Rofiq, hukum perdata islam di
Indonesia, 2013, jakarta, hal 48