Wednesday, October 24, 2018

Makalah Tentang Nikah Siri dan Poligami

0 comments
BAB I
PENDAHULUAN
         Membicarakan mengenai nikah dan persoalan yang terkait dengannya termasuk aktual dan selalu menarik untuk dibahas. Hal ini bukan semata karena nikah terkait erat dengan persoalan mendasar dalam kehidupan manusia, tetapi juga selalu ada masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari tentang nikah. Sejak dikeluarkan UU perkawinan No. 1 Tahun 1974 kesadaran masyarakat untuk melakukan penctatan perkawinan semakin meluas dikalangan Muslim Indonesia.
         Meskipun masih banyak kalangan Muslim yang tidak mencatatkan perkawinannya sebagaimana yang dituntut UU tersebut atau berpendapat bahwa perkawinan tidak harus dicatatkan pada lembaga negara. Disamping itu ruang gerak poligami di Indonesia semakin diperketat dengan adanya ketentuan izin untuk poligami dari pengadilan agama merupakan masalah tersendiri.
         Diantara solusi yang ditempuh oleh kalangan muslim tertentu untuk keluar dari masalah yang disebutkan tadi dengan melakukan nikah siri. Timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan nikah siri dan poligami, kemudian bagaimana hukum nikah siri, dan alasan-alasan berpoligami, serta prinsip dasar dalam perkaminan.
         Makalah ini sengaja dibuat untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas.







BAB II
PEMBAHASAN

A.      NIKAH SIRI
1.         Pengertian
Nikah siri juga di kenal dengan Kawin kampung, nikah siri/kawin kampung adalah perkawinan yang dilangsungkan diluar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), karenanya perkawinan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami-istri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.[1]
Perkawinan siri atau perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan.[2]
Biasanya orang yang dipercaya menikahkandalam nikah siri adalah ulama atau kiai atau mereka yang dipandang telah mengetahui hukum-hukum munakahat (perkawinan).Alasan pernikahan siri biasanya untuk menjaga hal-hal yang tidak di inginkan dalam hubungan pria dan wanita yang sudah saling mencinta, sementara mereka belum siap berumah-tangga, atau karena masing-masing masih mempunyai tugas dan kesibukan yang belum terselesaikan.Bahkan sementara kalangan berpendapat, nikah siri merupakan bentuk alternatif pemecahan yang paling baik dalam mengatasi pergaulan muda-mudi yang menjurus pada hal-hal yang dilarang agama.[3]
2.         Hukum Nikah Siri Tanpa Sepengetahuan Orang Tua
Hal pertama yang harus diketahui tentang nikah siri, bahwa nikah siri adalah suatu perkawinan yang dilakukan tanpa catatan dan laporan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga pemerintah, penghulu dan pegawai KUA Kamenag tidak tahu atas berlangsungnya perkawinan tersebut. Adapun selain dari itu maka perkawinan siri tidak berbeda dengan perkawinan yang lain yang bukan siri yakni perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan oleh wali dan dihadiri oleh minimal (2) orang saksi. Oleh karena itu, nikah siri yang  model begini sah secara agamawalaupun resmi secara Negara.[4]
Pendapat mazhab Hanafi dalam pernikahan tanpa wali bukanlah pendapat mayoritas dalam mazhab Hanafi sendiri, akan tetapi sebagian ulamanya. Sedangkan 3 mazhab yang lainnya yaitu Syafi’I,Maliki dan Hambali, semua melarang perkawinan tampa wali.[5]
3.         Dalil Yang Mengharuskan Adanya Wali Dalam Pernikahan
a.         Quran surah Al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّ...
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”….
Ayat diatas memakai kata kerja larangan (fi’il nahi) yang ditujukan pada kata ganti jamak orang laki-laki “tankihu” bukan pada perempuan. Makna ayat tersebut menurut ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari syarah Sahih Bukhari halm IX/184 yang artinya: Wahai para wali, janganlah kalian menikahkan perempuan yang dibawah perwalian kalian dengan orang musyrik atau kafir. Dan menurut ibnu katsir dalam tafsir ibnu katsir hlmn 1/377 menafsirkan ayat di atas yang artinya: janganlah kalian para wali menikahkan laki-laki musyrik/kafir dengan wanita mukminah /muslimah.
b.        Quran surat Al-Baqarah ayat 232:
وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ ...

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”.[6]
B.       POLIGAMI
1.         Pengertian
Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak suami mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.
Selain poligami dikenal juga dengan polindri, jika dalam poligami suami yang memiliki beberapa istri, dalam polindri sebaliknya, justru istri yang mempunyai suami dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi, dibanding dengan poligami, bentuk polindri tidak banyak dipraktekkan. Polindri ini hanya ditemukan pada suku-suku tertentu, seperti pada suku tuda dan beberapa suku di Tibet.
Kebalikan dari poligami adalah monogami. Yaitu ikatan perkawinan yang hanya membolehkan suami satu istri pada jangka waktu tertentu. Istilah lainnya monogoni, yaitu prinsip bahwa suami hanya mempunyai satu istri. Monogami lebih banyak dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia.[7]
2.         Asal-usul Poligami
Banyak orang mengira paham tentang poligami. Mereka mengira bahwa poligami itu baru dikenal setelah islam. Mereka mengannggap islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang lebih ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia.
Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum islam masyarakat telah mempraktekkan poligami, bahkan sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai ratusan istri.
Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan terhormat, poligami pun berkurang.[8]
Ketika islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan. Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat.
1.      Membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat.
2.      Menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil.
Diantara keduanya tersebut terlihat perbedaan yang menonjol:
1.      Pada bilangan istri, dari tidak terbatas jumlahnya jadi dibatasi menjadi empat. Pembatasan ini sangat berat, sebab laki-laki pada masa itu sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka disuruh empat saja dan menceraikan yang lebinya.
2.      Pada syarat poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Sebelumnya poligami itu tidak mengenal syarat apapun termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena mena mengikuti luapan nafsunya.[9]
Imam Bukhari meriwayatkan dari dari Aisyah ra, istri Nabi, bahwa pada masa jahiliyah ada empat macam perkawinan.
1)      Perkawinan istibdha’, yaitu perkawinan anatara seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu istrinya diperintahkan berhubungan badan dengan laki-laki lain yang dipandang terhormat karena kebangsawannya, dengan maksud mendapatkan anak yang mamiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan.
2)       Perkawinan al-maqthu’, yaitu perkawina antara seorang laki-laki dengan seorang ibunya.
3)      Perkawinan ar-rahthun, yaitu perkawinan antara sejumlah laki-laki dan seorang perempuan. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu mengundang semua laki-laki yang pernah mengaulinya lalu menentukan siapa ayah dari bayinya, dan laki-laki yang ditunjuk itu harus menerima dan mengakui bayi itu sebagai anaknya.
4)      Perkawinan khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah (kumpul kebo).
Selain dari yang diatas ada dua bentuk perkawinan lagi
1)      Perkawinan badal, yaitu dua orang suami bersepakat tukar-menukar istri tanpa melalui talak.
2)      Perkawinan al-syighar, yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuanya atau saudara perempuannya tanpa menerima maha, tetapi dengan imbalan laki-laki itumemberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya.
Faktornya yang mendorongnya poligami berakar pada mentalitas dominasi (merasa berkuasa) dan sifat despotis (semena mena) kaum pria, dan sebagian lagi berasal dari perbedaan kecendrungan alami antara perempuan dan laki-laki dan hal fungsi-fungsi reproduksi.[10]
3.         Poligami Dalam Perspektif Islam
Prinsip-prinsip pernikahan dalam islam yaitu;
Perkawinan adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian di antara dua pihak, yakni suami dan istri. Dalam Al-Quran di jelaskan bahwa perkawinan itu sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kokoh), dalam surat An-Nisa Ayat 21 :
وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ٢١

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”.
          Agar suatu perkawinan dapat mencapai tujuan yang ditetapkan syariat, yaitu kebahagian duniawi menuju kebahagian Akhirat, islam menggariskan beberapa prinsip.
1.      Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh
Memilih jodoh merupakan hak pilih yang bebas bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melannggar ketentuan yang digariskan syari’ah.
2.      Prinsip mawaddah wa Rahmah (cinta dan kasih sayang)
Surat Ar-Rum ayat 21 :
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١

Artinya: “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
3.      Prinsip saling melengkapi dan melindungi
Surat Al-Baqarah ayat 187 :
...هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّ...
Artinya: “… mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka….”[11]

4.      Prinsip Mu’asyarah bil ma’ruf
Surat An-Nisa ayat 19 :
... وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩

Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.[12]

5.      Landasan Teologis Poligami
Surat An-Nisa ayat 1 :
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْٱللَّهَٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.[13]

6.      Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah Mengenai Poligami
Undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum islam (KHI) menganut kebolehan poligami bagi suami, walaupun terbatas hanya empat orang istri. Ketentuan itu termaksud kedalam pasal 3 dan 4 undang-Undang perkawinan dan BAB IX pasal 55 s/d 59 KHI antara lain disebutkan: syarat utam beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil pada istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2), selain syarat utama tersebut, ada lagi syarat lain yang harus terpenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.[14]
Ironisnya, pada pasal 59 dinyatakan: dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Pada pasal ini jelas sekali mengindikasikan betapa lemahnya posisi istri. Sebab, manakala istri menolak memberikan persetujuannya, pengadilan agama dengan serta merta mengambil alih kedudukannya sebagai pemberi izin, meskipun diakhir pasal tersebut ada kausul yang memberikan kesempatan kepada istri untuk mengajukan banding. Dalam realitas, umumnya para istri merasa malu dan berat hati untuk mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan menyangkut perkara poligami.
Alasan-alasan yang dipakai oleh pengdilan agama memberikan izin kepada suami berpoligami adalah :
1.        Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2.        Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat untu disembuhkan
3.        Istri tidak melahirkan keturunan.

Ketiga alasan yang diberikan oleh pengadilan agama itu sama sekali tidak mewadahi tuntunan Allah swt yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 19 :
...وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩

Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Dalam ayat diatas sudah jelas bahwa semua alasan yang dikemukakan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah untuk membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari kepentingan suami, sama sekali tidak mempertimbangkan perspektif kepentingan istri.[15]
C.           Prinsip Dasar Perkawinan
Ada enam asas yang bersifat prinsipil didalam UUP sebagai berikut:
1.      Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dam meterial.
2.      Dalam UU ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan  “harus dicatat” menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      UU ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh orang yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang.
4.      UUP ini menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk melangsunngkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan memdapat keturunan yang abik dan sehat.
5.      Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka UU ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.
6.      Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan RT maupun pergaulan masyarakat.[16]
           







BAB III
PENUTUP

     A. Kesimpulan
Kawin kampung/nikah siri adalah perkawinan yang dilangsungkan diluar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), karenanya perkawinan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami-istri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.
Pendapat mazhab Hanafi dalam pernikahan tanpa wali bukanlah pendapat mayoritas dalam mazhab Hanafi sendiri. Sedangkan 3 mazhab yang lainnya yaitu Syafi’I,Maliki dan Hambali, semua melarang perkawinan tampa wali. Dalil yang mengharuskan adanya wali dalam pernikahanQuran surah Al-Baqarah ayat 221.
Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak suami mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.Prinsip-prinsip pernikahan dalam islam, Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh, Prinsip mawaddah wa Rahmah (cinta dan kasih sayang), Prinsip saling melengkapi dan melindungi, Prinsip Mu’asyarah bil ma’ruf.
Alasan-alasan yang dipakai oleh pengdilan agama memberikan izin kepada suami berpoligami adalah : Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat untu disembuhkan, Istri tidak melahirkan keturunan.

    B.  Saran 
               Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan, hal ini dikarenakan kurangnya sumber bacaan dan keterbatasan pemakalah. Oleh karena itu kami sebagai pemakalah berharap akan kritik dan saran yang membangun dan berguna untuk yang akan dating


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Rofiq. 2013. hukum perdata islam di Indonesia.  Jakarta.
Musdah Mulia. 1999. Pandangan Islam Tentang Poligami.
A. Zuhdi Muhdlar. 1994. Memahami Hukum Perkawinan. Al-Bayan: Bandung.
Dr. Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam. Jakarta: perpustakaan Nasional.



[1] A. Zuhdi Muhdlar, Memahami Hukum Perkawinan, 1994, Al-Bayan, Bandung.
[2]Dr. Abd. Shomad, hukum islam, 2010, perpustakaan Nasional, Jakarta.
[3] Ibid,
[4] https://www.facebook.com/permalink.php?id=362531477192928&story_fbid=367170620062347
[5]ibid
[6]ibid
[7] Musdah Mulia, pandangan islam tentang poligami,1999, jakara, hlmn 2
[8] Ibid,halmn 3
[9] Ibid,hlm 4-5
[10] Ibid, hlmn 5-7
[11] Ibid,hlmn 10-15
[12] Ibid,hlmn 15
[13] Ibid, hlmn 28
[14] Ibid, halm 59
[15] Ibid, hlmn 59-61
[16]Ahmad Rofiq, hukum perdata islam di Indonesia, 2013, jakarta, hal 48
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018