Thursday, October 4, 2018

NIKAH SIRI

0 comments
NIKAH SIRI




A.      Nikah Siri
1.    Pengertian nikah siri
Siri berasal dari bahasa Arab yaitu sirrun yang beari rahasia atau sesuatu yang disembunyikan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang –terangan. Jadi nikah siri ialah pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan akan tetapi pernikahan tersebut dilakukan secara sembunyin atau tidak diketahui oleh orang ramai.
Secara agama maupu adat istiadat nikah siri adalah sah namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dannjuga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan Negara, yaitu kantor urusan agama(KUA) bagi yang beragama islam dan kantor catatan sipil (KCS) bagi yang non islam.
2.    Hukum nikah siri
a.    Nikah siri menurut hukum Negara
Dalam undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 disebutkan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan,pada pasl 3 disebukan:
1)        Setiap orang yang melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan dilangsungkan
2)        Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 1 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3)        Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan suatu alasan yang penting diberikan oleh camat (atas namanya) Bupati kepala daerah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Negara dengan tegas melarang adnya nikah siri dan setiap upacara pernikahan harus memberitahukan kepada pegawai Negara yang berwenang.
b.    Nikah siri menurut islam
Hukum nikah siri dalam islam adalah sah sepanjang hal-hal yangmenjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama islam adalah adanya calon mempelai, adanya wali dari calon wanita , adanya dua orang saksi dari kedua belah pihak, adanya ijab dan qabul.
Jika pelaksanaan nikah siri dengan rukun yang ada diatas maka nikah tersebut dianggap sah secara syariat agama islam, hanya saja tidak tercatat dalam buku catatan sipil. Dan apabila syarat tersebut tidak terpenuhi dalam nikah siri maka nikah tersebut danggap tidak sahmenuru syariat islam.

B.       Nikah Mut’ah
1.    Pengertian nikah mut’ah
Pernikahan dalam berbahasa arab adalah nikah. Nikah merupakan suatu akad dengan mendapatkan suatu yang halal hubungan seksual bagi seseorang lelaki dan perempuan. Menurut hukum islam nikah itu pada hakikatnya adalah akad antara calon suami dan pihak calon istri untuk memperolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri.
Menurut undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir antara seseorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Sedangkan secara istilah nikah mut’ah adalah memiliki rasa kenikmatan. Sedangakan dalam fiqh sunnah perkawinan sementara atau perkawinan terputus laki-laki mengawini perempuan sehari atau seminggu atau sebulan.
2.    Pandangan islam terhadap nikah mut’ah
a.    Menurut sunni
Secara umum para ulama dari kalangan sunni sepakat nikah mut’ah telah diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulnya sampai hari kiamat. Dalam al-quran terdapat ayat konteknya adalah perintah menjaga kemaluan terdapat surat al-ma’arij ayat 29-31.
Ayat ini menyebutkan kemaluan hanya halal bagi istri-istri mereka dan tidak termasuk pasangan mut’ah karena perempuan mut’ah tidak termasuk kedalam kategori tersebut.
Menurut Dr. Abdus Shomad hadits yang menunjukan bolehnya mut’ah telah dinasakh hal ini berdasarkan hadits.
Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu melakukan mut’ah dan ketahuilah bahwa allah telah mengharamkan sampai hari kiamat maka barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mut’ah hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka. (H.R Muslim).
b.    Menurut si’ah
Bagi ornag yang melakukan mut’ah akan mendapatkan pahala dan ampunan dari Allah SWT. Hal ini siah mengutip perkataan dari imam al-Bakir jika seorang melakukan mut’ah karena Allah dan menyelisihi si Fulan maka dia tidak mengucapkan ucapan kecuali Allah mencatatnya sebagai suatu kebaikan. Jika ia bersenggama dengannya Allah akan mengmpuni dosanya jika dia mandi sebanyak air yang dia pakai.
Menurut pendapat ulama siah yang lainya sepakat membolehkan nikah mut’ah bagi seorang perempuan yang sudah menikah sebagimana yang telah disebutkan dalam fatawa 12/432(kitab siah) bunyinya ialah diperbolehkan bagi seorang istri untuk bermut’ah tanpa izin dari suami, dan apabila mu’ah diizinkan oleh suaminya maka pahala yang ia terima lebih sedikit, dengan syarat wajib niat bahwasanya ikhlas untuk wajah Allah.
Landasan-landasan yang dipakai oleh siah dalam memperbolehkan nikah mut’ah baik al-qur’an ataupun sunnah diantaranya sebagai berikut:
1)        Al-qur’an
Terdapat dalam surat an-nisa’ surat keempat ayat yang ke 24 yang menjadi dasar utama bagi siah dalam hukum mut’ah itu halal. Firman Allah “maka kena kenikmatan setelah yang kamu peroleh dari mereka maka beirkanlah mas kawin kepada mereka sebagai suatu kewajiban.”
Dalam ayat ini mereka berpegang kuat kiraat beberapa sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud , ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Said ibnu Jubair, dan Asaddi yang memberikan kalimat ilaa ajlim musmma artinya sampai batas yang ditentukan. Tafsiran orang siah mengenai tambahan ini bahwa istimta’(mengambil kenikmatan dalam waktu tertentu) sedangkan musamma itu disebut dengan mut’ah.
2)        Siah berhujjah dengan perkataan Ali r.a
Kata siah Ali menolak pengharaman mut’ah buktinya dalam sebuah riwayat Ali pernah ditanya oleh seseorang tentang hukum mut’ah jawaban Ali sesungguhnya Ali berkata bahwa jika saja Umar tidak melarang mut’ah maka tidak ada orang berbuat zina.jelas bahwa perkataan Ali ini tidak setuju dilarangnya mut’ah oleh Umar karena dengan mut’ah itu orang-orang terhindar dari pebuatan zina. Hadits ini diriwayatkan oleh Hakam bin Utbah.
3)        Nikah menurut hukum positif
a.       Pancasila terutama sila ke satu ketuhanan ynag maha esa sial kedua kemanusiaan yang adil dan beradab.
b.      Undang-undang dasar 1945 amandemen bab 31tentang agama, fasal 29 ayat 1 dan 2.
c.       Pasal 1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang pekawinan yang menyatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pri dan wanita sebagai suami istri dalam membentuk sebuah keluarga .
d.      Pasal 2 kompilasi hukum islam menyatakan perkawina menurut islam yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya berupa ibadah. Pasal 3 menregaskan perkawinan bertujuan menwujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.

C.      Nikah Muhallil
1.    Pengertian nikah muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang lak-laki dan dengan seorang perempuan yang sudah ditalak tiga setelah mada iddah selesai, lalu ia melakukan hubungan seksual setelah itu ia menceraikannya sehingga perempuan tersebut bisa menikah lagi dengan suami yang sebelumya.
Muhallil disebut juga dengan kawin cita buta yaitu seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tang tealah ditalak tiga setelah habis masa iddahnya, kemudian mentalak kembali dengan tujuan agar mantan suami yang pertama dapat menikah dengan ia kembali.

2.    Pendapat ulama
Fuqaha berselisah pendapat dalam nikah muhallil, jika seorang laki-laki mengawini perempuan dengan syarat untuk mengmbalikannya pada suami pertama.
Imam Malik berkata bahwa nikah tersebut cacat dan harus di fasah baik sesudah baik sesudah maupun sebelum terjadi pergaulan, alasannya keinginan istri untuk menikah tahlil tidah diperpegangi tepai keinginan laki-laki tersebut yang di perpegangi, alas an imam Malik untuk tidak memperpegangi maksud perempuan adalah apabila suami tidak menyetujui maksud perempuan tidak aka nada artinya sedangkan talak tidak ada haknya perempuan. Disinilah para fuqaha beselisih mengenai apakah laki-laki itu mengugurkan talak dibawah tiga.
Imam Syasi’I dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil diperbolehkan. Pendapat ini dikemukan oleh Daud dan segolongan fuqaha mereka berpendapat yang dicerai tiga kali pernikahan muhallil itu diperbolehkan tapi syarat untuk menceraikan istri dan menyerah kan kembali pada suami pertama itu batal.

D.      Menikahi Ahli Kitab
1.    Pengertian nikah dengan ahli kitab
Ahli kitab ialah orang orang yang beriman dengan agama samawi yaitu agama Yahudi dan Nashrani atau dengan kata lain mereka beriman dengan taurat dan injil. Jadi nikah dengan ahli kitab adalah menikah dengan orang-orang yang Yahudi maupun dengan orang Nashrani.
2.    Hukum menikahi ahli kitab
Ada bermacam pendapat teang hukun dari menikahi orang-orang ahli kitab yaitu:
a.         Boleh
Dalil yang menjelaskan bahwa boleh menikah denga ahli kitab adalah firman Allah yang artinya: pada hari ini aku halalkan kepadamu yang baik-baik, makanan (semblihan) orang orang yang diberi alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi ahli sebelum kamu, bila kamu membayar mas kawin mereka dengan maksud mengawininya. Tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapuslah amalannya dan ia dihari kiamat termasuk orang-orang merugi.
b.         Makhruh
Mazhab as-Syafi’I berpendapat bahwa makruh menikahi wanita ahli kitab namun dalam mazhab ini tedapat syarat-syarat sehingga hukumnya menjadi makruh. Syarat disini yang dimaksud adalah wanita ahli kitab harus berasal dari keluarga yang masuk kedalam Yahudi dan Nasrani sebelum ajaran mereka diselewengkan.
c.         Haram
Berdasarkan firman Allah artinya “ perangilah orang orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak beriman kepada hari akhir, dan mereka tidak mengharam apa yang diharamkan olegh Allah dan rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yang dirikan alkitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk”.

E.       Perwalian Dalam Pernikahan
1.         Pengertian wali
Kata wali barasal dari kata bahasa arab yaitu al-wali mufrad dari kata Auliyaayaitu pencinta, saudara, atau penolong. Sedangkan secara istilah wali adalah mengandung pengertian orang-orang yang menurut hukum agama atau adat diserahkan untuk mengurus kewajiban anak yatim sebelum anak itu dewasa pihak yang menggantikan pengantin perempuan pada saat menikah yaitu yang melakukan akad dalam pernikahan yaitu wali dalam nikah padanya terletak sahnya sebuah akad pernikahan.
Dari beberapa pengertian wali diatas bahwa wali merupakan orang yang mengakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah tanpa wali nikahnya tidak sah alias batal. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus di penuhi bagi calon mempelai yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya.

2.         Macam-macam wali beserta urutannya
a.    Wali nasab
Para ulama membagi wali nasab ini kepada tiga tingkatan yaitu:
1)        Wali dekat : ayah, kakek.
2)        Wali jauh   : yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah, kakek, dan selain dari anak dan cucu.
3)        Wali “abiid : saudara lelaki kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki kandung, anak saudara laki-laki seayah, paman  kandung, paman seayah, anak paman kandung, anak paman seayah, dan ahli waris kerabat lainnya.
b.    wali hakim
1)        walinya mafqud yaitu tidak tertentu keberadaannya.
2)        wali senndiri yang akan menjadi mempelai pria sedangkan wali derajat tidak ada.
3)        wali yang jauh jaraknya ukurannya sekitar 92,5 km.
4)        wali dalam penjara atau tahanan.
5)        wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
6)        anak zina.
7)        walinya gila.
3.         Syarat-syarat wali
a.    Muslim
b.    Sudah dewasa (baligh dan berakal)
c.    Laki-laki
d.   Merdeka
e.    Adil
f.     Tidak melakukan ihram
g.    Bercakap

4.         Saksi dalam akad nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau menyaksikan suatu peristiwa. Sedangkan secara istilah orang yang memberitahukan keterangan  dan mempertanggung jawabkan apa adanya. Hadits rasulullah saw artinya tidak sah nikah kecuali dengan wali, dan dua orang saksi yang adil.
Malikiah berpendapat mengenai saksi dalam pernikahan menurutnya berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah Malikiah yang pemikirannya bahwa untuk sampainya imformasi ataupun bukti pernikahan tidak harus melembagakan dengan saksi namun bis a ditempuh dengan I’lan (media penyambung pernikahan tanpa harus hadirnya sosok saksi dalam prose akad nikah.
5.         Syarar-syarat saksi
a.    Islam
b.    Baligh
c.    Berakal
d.   Bercakap
e.    Laki-laki
f.     Adil
g.    Melihat

F.       Kafa’ah
1.         Pengertian kafa’ah
Kafa’ah menurut bahasa berarti setara, seimbang, serupa, sederajat, dan sebanding. Sedangkan menurut istilah keseimbangaan atau keserasian antara suami dan istri sehingga masing-masing keduanya tidak merasa berat untuk melansungkan perkawinan. Kata kufu’ dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus setara dengan laki-laki. Sifat kafaah mengandung arti yang terdapat dalam perempuan yang dalam perkawinan tersebut harus diperhitungkan pada laki-laki yang mengawininya. Nabi Muhammad SAW bersabda nikahilah perempuan karena empat hal pertama karena hartanya, nasabnya, kecantikanya, agamanya yang pilihlah karena agamanya maka terpenuhilah semua kebutuhan.
2.         Kedudukan kafa’ah dalam perkawinan
a.         Jumhur ulama
Kafa’ah dipandang amat penting dalam kelangsungan dalam perkawinan meskipun bukan menjadi syaraat suatu perkawinan. Sabda Rasul janganlah kamu nikahkan seorang wanita kecuali dengan sekufu.
b.        Mazhab Hanafi
Kaea’ah bukanlah syarat sah suatu perkawinan sedangkan menurut ulama mutaakhirn merupakan sebua syarat sah suatu perkawinan dalam hal sebagai berikut:
1)        Apabila orang dewasa menikahkan dirinya dengan seorang yang tidak sekufu dengannya atau dala unsur penipuan maka wali berhak tidak setuju dalam melangsungkan pernikahan
2)        Apabila seorang wanita tidak dapat bertindak atas nama hukum seperti anak kecil atau orang gila yang dinikahkan oleh walinya dengan orang yang tidak sekufu.
3)        Apabila bapa seorang wanita itu dikenal sebagai orang pilihannya selalu buruk maka menikahkan orang yang belum dewasa dengan orang yang tidak sekufu maka pernikahannya batal.
c.         Maliki
Kafaah adalah merupakan pertimbangan saja bukan syarat sah.
d.        Syafii
Kafaah itu adalah dalam masalah aib. Sekiranya kemudian terdapat aib maka pernikahan itu dapat dibatalkan. Ada lagi yang perlu dipertimbangkan dalam kafaah ini yaitu keturunan, agama, dan pekerjaan.

e.         Dalil tentang kafaah
1)        Alquran, Terdapat dalam surat al-hujurat ayat 13 yaitu:
hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.
2)        Sunnah, Sabda nabi:
janganlah kamu mengawinkan perempuan kecuali dengan yang sekufu, dan jangan mereka dikawinkan kecuali dari walinya.
3.      Hikmah kafaah dalam perkawinan
Untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram diperlukan adanya kafaah karena, masalah kafaah ini sangat penting dalam rumah tangga. Agar antara suami dan isteri ada keseimbangan dalam membina keluarga yang tentram dan bahagia. Jika diantara keduanya sudah ada keseimbangan dan kecocokan, maka akan mudah bagi mereka untuk menwujudkan tujuan perkawianan. Dengan demikian, jelaslah kafaah dalam perkawinan diperlukan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia.

G.      Talak Dalam Pernikahan
1.         Pengertian talak
Menurut bhasa talak berarti pemutusan ikatan, sedangkan menurut istilah talak berarti pemututan tali perkawinan dengan lafaz talak atau menghilangkan ikatan perkawinan dengan seketika atau rentang jarak tertentu dengan lafaz tertentu. Ikatan perkawian lepas seketika bilamana sang suami mentalak istrinya dengan talak ba’in. ikatan perkawinan dapat hilang dapat hilang setelah masa iddah berlalu manakala suami mentalak istrinya dengan talak raj’i.Menurut imam Syafi’i  talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau semakna dengan hal itu.
2.         Dasar hukum talak
a.    Surat at-thalak ayat 1
Hai nabi apabila kamu menceraikan isteri-isteri kamu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu hal yang baru.
b.    Surat at-thalak ayat 2
Apa bila mereka telah mendekat akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik atau persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah yang diberikan pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya ia akan mengadakan baginya jalan keluar.
c.    Macam-macam thalak
1)        Thalak sunni ini merupakan pelaksanaannya sesuai dengan Al-qur’an dan Sunnah.
2)        Thalak bid’I merupakan thalak yang dijatuhkan tidak menurut tuntunan Agama.
3)        Thalak tidak sunni dan tidak bid’I merupakan thalak yang termasuk dalam kategori ini adalah thalak yang bukan sunni dan bid’I yaitu thalak yang dijatuhkan kepada isteri yang belum pernah digauli.
d.        Kedudukan thalak
Sebelum thalak atau perceraian terjadi Islam memberikan alternative lain yaitu selayaknyalah seorang suami bersabar bila ia tidak senang melihat kelakuan isterinya seperti firman Allah: “ hai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang sangat banyak.
Selain itu islam juga menganjurkan memberikan nasehat kepada isterinya terdapat dalam surat an-nisa ayat 34. Dan jika terjadi pertengkaran dan perselisihan antara suami isteri maka islam menganjurkan supaya diadakan dua orang hakam yaitu pendamai keduannya jika tidak bisa juga maka waktu itulah perceraian menjadi alternative terakhir. Disinilah kita tau bahwa kedudukan perceraian atau thalak  adalah sesuatu yang diperbolehkan, tapi tidak juga disukai oleh Allah. Sebagai mana sabda Rasul sesuatu yang halal namun yang paling dibenci disisi Allah adalah Thalak.

H.      Menikahi Wanita Hamil
1.         Pengertian menikahi wanita hamil
Wanita hamil dalam hukum islam adalah disebut at-tazuuwud yang dapat diartikan sebagai perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang sedang hamil karena zina hal ini kemungkinan terjadi dalam dua hal dihamili duluan baru dikawini atau dihamili  oleh orang baru dikawini oleh orang yang bukan menghamilinya.
2.         Hukum menikahi wanita hamil karena zina
a.         Menurut imam syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil dikarenaka zina asalkan yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya sebab hamil yang semacam ini tidak menyebabkan haramya dinikahi.
b.        Abu Yusuf dan riwayat Abu Hanifah bahwa tidak boleh menikahi wanita hamil karena zina sebelum ia melahirkan agar muffah (darah) suami tidak bercampur dengan tanaman orang lain.
3.         Hukum wanita hamil yang menikah bukan dengan orang yang menghamilinya, Ketentuan ini diatur oleh UU perkawinan maupun KHI pasal 3 yang berbunyi:
a.         Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b.        Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c.         Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamiltidak diperlukan perkawinan ulang setelah anaknya lahir.
4.         Status anak zina islam
a.         Tidak ada hubungan nasab antara anak zina dengan laki-laki yang mencampuri ibunya
b.        Tidak saling menwarisi
c.         Tidak boleh menjadi wali
Read more...

Tuesday, October 2, 2018

MakalahTafsir Birra'yi

0 comments
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Segala puji dan syukur bagi Allah swt yang dengan ridho-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Sholawat dan salam tetap kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw dan untuk para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia mendampingi beliau. Terima kasih kepada keluarga teman-teman dan yang terlibat dalam pembuatan makalah ini yang dengan do'a dan bimbingannya makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar.
Dalam makalah ini, kami menguraikan tentang ”Tafsir bi R’yi” yang kami ambil dari berbagai sumber, diantaranya buku-buku. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang selama ini kita cari. Kami berharap bisa dimanfaatkan semaksimal mugkin.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.











BAB I
PENDAHULUAN
    A. Latar Belakang
Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun elektronik. Yang mana dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Tafsir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari argument diatas kami tertarik membahas “ TAFSIR BI RA’YI “.
           
     B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian tafsir bi ra’yi?
2.      Bagaimana pandangan ulama tentang tafsir bi ra’yi?
3.      Apa-apa saja pembagian tafsir bi ra’yi?
4.      Bagaimana kedudukan tafsir bi ra’yi?
5.      Apa-apa saja kitab yang termashur tafsir bi ra’yi?





BAB II
PEMBAHASAN

    A.  Pengertian Tafsir bi Ar- Ra’yi
Secara etimonologi, Ra’yi berarti keyakinan (I’tigad), analogi (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi ra’yi (disebut juga tafsir bi ad-dirayah) sebagaimana didefinisakan oleh Husen Adz Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan diambil pemikiran mufasir setelah ia megetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukan, serta problema penafsiran, seperti asbabun nuzul, nasikh wa mansukh dan sebagainya. Al Farmawi menjelaskan tafsir bi ra’yi ialah menafsirkan Al-Quran dengan ijtihad setelah terlebih dahulu  mufasir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata arab beserta muatan-muatan artinya.[1]
Ulama salaf sangat berhati-hati dalam menafsirkan sesuatu. Mereka khawatir akan terjerumus kedalam ijtihat yang mazmum (tercela). Oleh sebab itu, banyak ulama salaf yang menulis kitab tafsir dari para pendahulu dengan cara mengutip tanpa disertai penjelasan tambahan, seperti Abdurrazaq bin Abi Hatim dan Sufyan bin Uyainah.[2]
Tafsir bi Ra’yi muncul sebagai sebuah “corak” penafsiran belakangan setelah tafsir bil matsur. Diantara sebab yang memicu kemunculan “corak” tafsir bi ra’yi adalah disiplin ilmu, karya-karya dibidangnya masing-masing, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar dibidangnya masing-masing.

Akibatnya, karya tafsir seorang mufasir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Kemunculan tafsir bi ra’yi dipicu pula oleh hasil interaksi umat islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, didalam tafsir bi ra’yi, peranan akal sangat dominan.[3]

     B. Pandangan Ulama tentang Tafir bi Ra’yi
Pertama: Sekelompok orang melarangnya. Bahkan, menjelang abad 2 H “corak” penafsiran ini belum mendapatkan legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolaknya penggunaan “corak” tafsir ini mengemukakan berikut ini:
1.      Menafsirkan Al-quran berdasarkan rayi berarti membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsiran hanya bersifat perkiraan semata. Pada hal Allah berfirman:
Artinya:
“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu  tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”

2.      Yang berhak menjelaskan Al-quran hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah:
Artinya:
“ Dan kami turunkan kepadamu Al-quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannnya.”

3.      Rasulullah bersabda,
Artinya:
“Siapa saja menafsirkan Al-quran atas dasar pemikirannya semata, atau dasar sesuatu yang belum deketahuinya, persiapkanlah tempatnya dineraka. “Siapa saja menafsirkan Al-Quran atas dasar pikirannya semata, maka penafsirannya dianggap keliru walaupun secara kebetulan hasil penafsirannya itu benar.

Kedua: Kelompok yang membolehkan. Mereka mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1.      Didalam Al-quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan Al-quran. Umpamanya firman Allah:
Artinya:
  Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-quran ataukah hati mereka terkunci ?

2.      Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukan bahwa mereka pun menafsirkan Al-quran dengan akalnya.[4]

    C.  Pembagian Tafsir bi Ra’yi
1.      Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
a.       Pengertian Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud adalah ihktiar untuk menemukan pemahaman Al-quran dengan menggunakan berbagai pengetahuan seperti pemahaman bahasa Arab atau kontteks ayat tanpa dilandasi pada riwayat dari generasi sebelumnya.
Contoh Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud adalah instinbath dan ijtihad yang dihasilkan oleh sahabat dan tabiin. Sehubungan dengan itu, Abu Bakar As-Shiddiq ditanya tentang al-kallah(orang yang meninggal yang tidak memiliki anak dan orang tua). Ia  menjawab,”Aku berpendapat dengan ijihat. Apabila itu benar, semata mata dari Allah. Akan tetapi, apabila itu salah, itu murni dariku dan dari syaitan.
Ijtihad yang dilakukan oleh sahabat seperti yang dilakukan Abu Bakar merupakan Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud karna berdasarkan pengetahuan yang memadai.

b.      Hukum Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
Menurut ulama, boleh menafsirkan ayat-ayat Al-quran berdasarkan bahasa dan nilai-nilai syariat. Hal itu dilandasi oleh ayat berikut:  
Artinya:
“Dan sungguh, telah kami mudahkan Alquran untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran ?”

Disamping itu, ada ayat lain menganjurkan kita ber istinbath untuk menemukan solusi.
“(Padahal) apabiila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Ulil Amri).
c.       Syarat diterimanya Tafsir bi Ra’yi Al Mahmud
1). Memiliki kutipan dari Rasulullah yang terjaga dari riwayat dhaif dan maudhuk
2). Berpegang pada pendapat sahabat. Pendapat tersebut berkedudukan hukum marfuk, terlebih lagi yang berkaitan dengan sebab turun ayat.
3). Berpegang pada petunjuk yang disyaratkan oleh struktur kalam dan berpegang pada hal-hal yang ditunjukan oleh syariat.
2. Tafsir bi Ar-Ra’yi Al-Madmazmun
a. Pengertian tafsir bi Ar-Ra’yi Al-madzmum
Tafsir bi Ar-ra’yi Al-Madmazmun ialah tafsir yang menggunakan pendapat semata,mengikuti hawa nafsu, tidak menggunakan ilmu ,dan tidak melihat pendapat ulama lain atau pendapat yang sesuai dengan ketentuan.
Tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum dilarang ulama salaf. pelakunya dikecam karena tafsir itu dilakukan atas dasar kepanatikan terhadap suatu mazhab dan mengorbankan agama. Dengan kata lain, jika menafsirkan Alquran hanya berdasarkan hawa nafsu, ikhtiar tersebut termasuk tafsir bi ar-rayi al-madzmum yang harus ditolak.
b. Kemunculan tafsir bi Ar-Ra-yi Al-madzmum
Tafsir ini pada mulanya digunakan ulama untuk membela mazhab yang diikuti. Selanjutnya, mereka mencari-cari sejumlah ayat Alquran yang dapat menguatkan pendapat mereka.Tidak hanya itu, mereka bahkan memaksakan ayat-ayat alquran agar dapat sesuai dengan mazhab yang diikuti.
Tafsir bi ar-ra’yi sebenarnya telah muncul sejak masa sahabat. Ketika itu  muncul bermacam-macam mazhab serta wilayah kekuasaan Islam belum begitu luas sehingga tafsir belum diwarnai dengan beragam kepentingan. Namun, waktu terus berjalan dan mazhab yang di anggap menyimpangpun muncul. Hal itu mengakibatkan Al-Qur’an di tafsirkan dengan ijtihad yang menyimpang serta tidak menggunakan tinjauan kebahasaan yang benar. Oleh sebab itu muncullah istilah tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum.
c.    Hukum tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum
               Hukum tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum itu haram dan hasilnya tidak boleh dipraktikkan karena banyak memberikan mudharat dan bahkan menyesatkan manusia.
               Ibn taimiyyah menyatakan, menafsirkan Al-qur’’an hanya berdasarkan ijtihad hukumnya haram. Ia juga berpendapat diriwayatkan dari ulama bahwa sahabat sangat hati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an, lebih lanjut ia menyatakan, barang siapa menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, ia telah memaksakan sesuatu yang tidak ia ketahui dan melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan. Apabila ia memperoleh makna yang tepat, ia tetap melakukan kesalahan. Ia bagaikan seorang hakim yang memberikan keputusan kepada seseorang, sementara ia sendiri tidak mengerti isi keputusan tersebut.
Dengan demikian, nerakalah yang lebih pantas baginya, meskipun pendapatnya sesuai dengan syari’at, hanya saja dosanya lebih ringan dari pada mereka yang salah.
Oleh sebab itu, ulama salaf merasa salah jika menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu. Hal ini sebagaimana ungkapan Abu Bakar, “Bumi manakah yang akan menjadi tempat tinggalku dan langit manakah yang akan menaungiku apabila aku menjelaskan tentang kitab Allah dengan hal-hal yang tidak aku ketahui.
Berikut ini adalah alasan-alasan yang menunjukkan haramnya tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum.
1). Dalil dari Al-Qur’’an
Ÿوَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’(17) :36).
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ 
Artinya:
“Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah.” (QS. Al-Baqarah (2) :169).
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
“Mereka kami utus dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (QS. An-Nahl (16): 44).

2). Dalil dari Hadis
Artinya:
“Barangsiapa mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an tanpa didasari pengetahuan hendaknya ia menempati tempatnya di neraka.” (HR. At-Tirmidzi).
Artinya:
“Barang siapa yang berkata sesuatu mengenai kitab Allah SWT. Dengan pendapat sendiri dan sesuai dengan yang benar, sungguh ia telah melakukan kesalahan.”( HR. Abu Dawud).

2.      Pendapat Sahabat
Dari Anas ia berkata bahwa umar bin Khatab berada diatas mimbar membaca ayat “Wa fakihatan wa abban” (QS. ‘Abasa (80) : 31). Ia mengungkapkan, “Kita telah mengetahui arti al-fakiha. Akan tetapi, apa arti dari al-abba?” ia kemudian mengembalikan kepada dirinya dan berujar, sesungguhnya ini merupakan pemaksaan, wahai Umar.
Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ibnu Abbas ditanya tentang suatu ayat, seandainya sebagian diantara kalian yang ditanya, niscaya bergegas untuk berpendapat tentang ayat tersebut. Akan tetapi, (Ibnu Abbas) tidak mau berpendapat tentang ayat tersebut.
4). Pendapat tabi’in
Masruq berkata, takutlah kamu akan tafsir. Sesungguhnya tafsir itu menyampaikan riwayat tentang Allah. Selain itu, Asy-Sya’bi berujar, “Demi Allah, semua ayat telah aku tanyakan. Akan tetapi, menjelaskan tentang pemahaman ayat sama artinya dengan menyampaikan riwayat (penjelasan dari Tuhan).
Pernyataan Masruq dan Asy-Sya’bi menunjukkan bahwa menafsirkan Al-Qur’an sama artinya dengan menjadi juru bicara Allah. Akan tetapi, tafsir yang disampaikan belum tentu sesuai dengan keinginan Allah sehingga hal itu menunjukkan bahwa tidak sepantasnya manusia memberikan penjelasan tentang maksudnya yang ia sendiri belum pernah mendengar penjelasan langsung dari-Nya.

Di samping itu, Yazid bin Abi Yazid berkata, kami selalu menayakan tentang halal dan haram kepada Sa’id bin Al-Musayyad karena ia orang yang paling alim pada masanya. Akan tetapi, apabila kami menanyakan tentang tafsir Al-Qur’an kepadanya, ia terdiam seolah-olah tidak mendengar pertanyaan kami.
D .Kedudukan dan Kelebihan Tafsir bi Ar-Ra’yi
Tafsir bi Ar-Ra’yi memiliki peran penting dalam mengembangkan khazanah intelektual Islam. Berikut ini penjelasannya:
1.      Kedudukan tafsir bi ar-ra’yi
Tujuan tafsir adalah memenuhi kebutuhan umat terhadap pemahaman kitab Allah dan menjelaskan hal-hal yang belum dapat dipahami. Apabila tidak ditemukan riwayat, mufasir dituntut untuk berijtihad. Sehubungan dengan itu, kelompok yang mula-mula menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad adalah Madrasah Kuffah yang dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud.
Tidak seluruh ayat Al-Qur’an ditafsirkan oleh generasi awal. Oleh sebab itu, tafsir bi ar-ra’yi memiliki peran yang sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat yang belum ditafsirkan. Tidak hanya itu, tafsir bi ar-ra’yi mampu menyuguhkan pemahaman baru sehingga Al-Qur’an dapat tetap berlaku sepanjang masa.
2.      Kelebihan tafsir bi ar-ra’yi
Madrasah Kuffah jauh dari pusat Islam. Oleh sebab itu, Madrasah tersebut focus pada tafsir bi ar-ra’yi. Selanjutnya bi ar-ra’yi memiliki beberapa kelebihan.
a). Melakukan tafsir bi ar-ra’yi sama saja melakukan perintah Allah, yaitu berijtihad.
b). Tafsir bi ar-ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna kitab Allah.
c). Tafsir bi ar-ra’yi menjadikan disiplin ilmu Al-Qu’an terus berkembang.
d). Tafsir bi ar-ra’yi dapat mengadaptasikan Al-qur’an sesuai dengan kehidupan masa kini.
Dengan kata lain, mufasir boleh berijtihad untuk memperoleh pemahaman baru serta mengistinbatkan makna dan hikmah Al-Qur’’an. sehubungan dengan itu, Abdullah Syahatah menyatakan bahwa terpengaruhnya tafsir dengan disiplin ilmu yang digeluti mufasir bukanlah sesuatu yang negative selama tidak menjadikan Al-Qur’an hanya sebagai kitab pengetahuan. Dengan demikian, segala bentuk yang tidak membuat manusia berpaling dari Al-Qur’an tidaklah dilarang.[5]
    E. Kitab-Kitab yang Termashur Dalam Tafsir bi Ra’yi
1.      Tafsir ‘abdurrahman ibn kaisan al asshim.
2.      Tafsir ‘ali al jabaai.
3.      Tafsir ‘abdul jabar.
4.      Tafsir zamahksyari (al-kassyaf ‘an haqaiq ghawamidh at- tanzil wa ‘uyun al-aqawil fi wujuh at-ta’wil).
5.      Tafsir fakhruddin ar- razi (mafatih al-ghaib).
6.      Tafsir faurak.
7.      Tafsir nasafi (madarik at-tanzil wa haqaiq at-ta’wil).
8.      Al-khazin (lubab t-ta’wil fi ma’ani at-tanzil).
9.      Tafsir abi hayyan (al-bahr al-muhith).
10.  Tafsir baidhawi (anwar at-tanzil wa asrar at-tawil).
11.  Tafsir jalalain.
12.  Tafsir qurtubi (al jami’ li ahkam al-quran).
13.  Tafsir abi su’ud (irsyad a-‘ql as-salim ila mazaya al kitab al quran).
14.  Tafsir alusi (ruh al-ma’ani fi tafsir al-quran al-azhim wa as-sab al-matsani).[6]






BAB III
PENUTUP
    A. Kesimpulan
Tafsir bi ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan diambil pemikiran mufasir setelah ia megetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukan, serta problema penafsiran, seperti asbabun nuzul, nasikh wa mansukh dan sebagainya.
para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir bi ra’yi ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya dengan alasan bahwa tafsir ulama yang membolehkan dengan alasan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan tafsir, tidak boleh menafsirkan dengan hawa nafsu saja. Diantara ulama yang melarangnya dengan alasan tafsir bi ra’yi hanya mengandalakan pemikiran semata.
Diantara pembagian tafsir bi ra’yi terbagi menjadi dua yaitu tafsir bi ra’yi al-mahmud yaitu tafsir yang terpuji. Tafsir bi ra’yi madzmum yaitu tafsir yang tercela.
Kelebihan tafsir bi ra’yi adalah:
Melakukan tafsir bi ar-ra’yi sama saja melakukan perintah Allah, yaitu berijtihad.
b). Tafsir bi ar-ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna kitab Allah.
c). Tafsir bi ar-ra’yi menjadikan disiplin ilmu Al-Qu’an terus berkembang.
d). Tafsir bi ar-ra’yi dapat mengadaptasikan Al-qur’an sesuai dengan kehidupan masa kini.
    B. Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah mengharapkan agar pembaca dapat mencari pembahasan ini dari sumber-sumber lain.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Samsurrahman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: amzah.
Anwar rosihan. 2009. Pengantar Ilmu Quran. Bandung: Pustaka setia.
….Manna’ul Qathann. Haramain.



[1] Rosihon Anwar.  2009.Pengantar Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia). Hlm.188.

[2] Samsurrohman. 2014. Pengantar ilmu tafsir. Jakarta: amzah. Hlm. 159.
[3] Rosihon Anwar. Op.cit. hlm.189.
[4] Ibid. Hlm. 190-191.
[5] Samsurrohman. Op.cit. hlm. 163-170
[6] Manna’ul qathan.haramain. hlm. 366-367
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018