NIKAH SIRI
A.
Nikah Siri
1.
Pengertian
nikah siri
Siri berasal dari bahasa Arab yaitu sirrun yang beari rahasia atau
sesuatu yang disembunyikan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan
secara terang –terangan. Jadi nikah siri ialah pernikahan yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan akan tetapi pernikahan tersebut dilakukan secara
sembunyin atau tidak diketahui oleh orang ramai.
Secara agama maupu adat istiadat nikah siri
adalah sah namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dannjuga tidak
dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan Negara, yaitu kantor urusan
agama(KUA) bagi yang beragama islam dan kantor catatan sipil (KCS) bagi yang
non islam.
2. Hukum nikah siri
a.
Nikah
siri menurut hukum Negara
Dalam undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2
disebutkan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sedangkan dalam PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang
perkawinan,pada pasl 3 disebukan:
1)
Setiap
orang yang melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai
pencatat ditempat perkawinan dilangsungkan
2)
Pemberitahuan
tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 1 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan.
3)
Pengecualian
dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan suatu alasan yang penting
diberikan oleh camat (atas namanya) Bupati kepala daerah.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa Negara dengan tegas melarang adnya nikah siri
dan setiap upacara pernikahan harus memberitahukan kepada pegawai Negara yang
berwenang.
b.
Nikah
siri menurut islam
Hukum nikah siri dalam islam adalah sah sepanjang hal-hal
yangmenjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama islam adalah
adanya calon mempelai, adanya wali dari calon wanita , adanya dua orang saksi
dari kedua belah pihak, adanya ijab dan qabul.
Jika pelaksanaan nikah siri dengan rukun yang ada diatas maka nikah
tersebut dianggap sah secara syariat agama islam, hanya saja tidak tercatat
dalam buku catatan sipil. Dan apabila syarat tersebut tidak terpenuhi dalam
nikah siri maka nikah tersebut danggap tidak sahmenuru syariat islam.
B.
Nikah Mut’ah
1.
Pengertian
nikah mut’ah
Pernikahan dalam berbahasa arab
adalah nikah. Nikah merupakan suatu akad dengan mendapatkan suatu yang halal
hubungan seksual bagi seseorang lelaki dan perempuan. Menurut hukum islam nikah
itu pada hakikatnya adalah akad antara calon suami dan pihak calon istri untuk
memperolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri.
Menurut undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 perkawinan adalah ikatan
lahir antara seseorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Sedangkan secara istilah nikah mut’ah adalah memiliki rasa kenikmatan. Sedangakan dalam fiqh sunnah perkawinan sementara atau perkawinan
terputus laki-laki mengawini perempuan sehari atau seminggu atau sebulan.
2.
Pandangan
islam terhadap nikah mut’ah
a.
Menurut
sunni
Secara umum para ulama dari kalangan sunni sepakat nikah mut’ah
telah diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulnya sampai hari kiamat. Dalam
al-quran terdapat ayat konteknya adalah perintah menjaga kemaluan terdapat
surat al-ma’arij ayat 29-31.
Ayat ini menyebutkan kemaluan hanya halal bagi
istri-istri mereka dan tidak termasuk pasangan mut’ah karena perempuan mut’ah
tidak termasuk kedalam kategori tersebut.
Menurut Dr. Abdus Shomad hadits yang menunjukan bolehnya mut’ah
telah dinasakh hal ini berdasarkan hadits.
Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan
kamu melakukan mut’ah dan ketahuilah bahwa allah telah mengharamkan sampai hari
kiamat maka barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan
mut’ah hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang
telah kamu berikan kepada mereka. (H.R
Muslim).
b.
Menurut
si’ah
Bagi ornag yang melakukan mut’ah akan mendapatkan pahala dan
ampunan dari Allah SWT. Hal ini siah mengutip perkataan dari imam al-Bakir jika
seorang melakukan mut’ah karena Allah dan menyelisihi si Fulan maka dia tidak
mengucapkan ucapan kecuali Allah mencatatnya sebagai suatu kebaikan. Jika ia
bersenggama dengannya Allah akan mengmpuni dosanya jika dia mandi sebanyak air
yang dia pakai.
Menurut pendapat ulama siah yang lainya
sepakat membolehkan nikah mut’ah bagi seorang perempuan yang sudah menikah
sebagimana yang telah disebutkan dalam fatawa 12/432(kitab siah) bunyinya ialah
diperbolehkan bagi seorang istri untuk bermut’ah tanpa izin dari suami, dan
apabila mu’ah diizinkan oleh suaminya maka pahala yang ia terima lebih sedikit,
dengan syarat wajib niat bahwasanya ikhlas untuk wajah Allah.
Landasan-landasan yang dipakai oleh siah dalam memperbolehkan nikah
mut’ah baik al-qur’an ataupun sunnah diantaranya sebagai berikut:
1)
Al-qur’an
Terdapat dalam surat an-nisa’ surat keempat ayat yang ke 24 yang
menjadi dasar utama bagi siah dalam hukum mut’ah itu halal. Firman Allah “maka
kena kenikmatan setelah yang kamu peroleh dari mereka maka beirkanlah mas kawin
kepada mereka sebagai suatu kewajiban.”
Dalam ayat ini mereka berpegang kuat kiraat
beberapa sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud , ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Said
ibnu Jubair, dan Asaddi yang memberikan kalimat ilaa ajlim musmma
artinya sampai batas yang ditentukan. Tafsiran
orang siah mengenai tambahan ini bahwa istimta’(mengambil kenikmatan dalam
waktu tertentu) sedangkan musamma itu disebut dengan mut’ah.
2)
Siah
berhujjah dengan perkataan Ali r.a
Kata siah Ali menolak pengharaman mut’ah buktinya dalam sebuah
riwayat Ali pernah ditanya oleh seseorang tentang hukum mut’ah jawaban Ali sesungguhnya
Ali berkata bahwa jika saja Umar tidak melarang mut’ah maka tidak ada orang
berbuat zina.jelas bahwa perkataan Ali ini tidak setuju dilarangnya mut’ah
oleh Umar karena dengan mut’ah itu orang-orang terhindar dari pebuatan zina.
Hadits ini diriwayatkan oleh Hakam bin Utbah.
3)
Nikah
menurut hukum positif
a.
Pancasila
terutama sila ke satu ketuhanan ynag maha esa sial kedua kemanusiaan yang adil
dan beradab.
b.
Undang-undang
dasar 1945 amandemen bab 31tentang agama, fasal 29 ayat 1 dan 2.
c.
Pasal
1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang pekawinan yang menyatakan perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pri dan wanita sebagai suami istri dalam
membentuk sebuah keluarga .
d.
Pasal
2 kompilasi hukum islam menyatakan perkawina menurut islam yaitu akad yang
sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya berupa ibadah.
Pasal 3 menregaskan perkawinan bertujuan menwujudkan keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah.
C.
Nikah Muhallil
1.
Pengertian
nikah muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan
yang dilakukan oleh seorang lak-laki dan dengan seorang perempuan yang sudah
ditalak tiga setelah mada iddah selesai, lalu ia melakukan hubungan seksual
setelah itu ia menceraikannya sehingga perempuan tersebut bisa menikah lagi
dengan suami yang sebelumya.
Muhallil disebut juga dengan kawin cita buta yaitu seorang laki-laki
mengawini seorang perempuan tang tealah ditalak tiga setelah habis masa
iddahnya, kemudian mentalak kembali dengan tujuan agar mantan suami yang
pertama dapat menikah dengan ia kembali.
2.
Pendapat
ulama
Fuqaha berselisah pendapat dalam nikah muhallil, jika seorang
laki-laki mengawini perempuan dengan syarat untuk mengmbalikannya pada suami
pertama.
Imam Malik berkata bahwa nikah tersebut cacat
dan harus di fasah baik sesudah baik sesudah maupun sebelum terjadi pergaulan,
alasannya keinginan istri untuk menikah tahlil tidah diperpegangi tepai
keinginan laki-laki tersebut yang di perpegangi, alas an imam Malik untuk tidak
memperpegangi maksud perempuan adalah apabila suami tidak menyetujui maksud
perempuan tidak aka nada artinya sedangkan talak tidak ada haknya perempuan. Disinilah para fuqaha beselisih mengenai apakah laki-laki itu
mengugurkan talak dibawah tiga.
Imam Syasi’I dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil
diperbolehkan. Pendapat ini dikemukan oleh Daud dan segolongan fuqaha mereka
berpendapat yang dicerai tiga kali pernikahan muhallil itu diperbolehkan tapi
syarat untuk menceraikan istri dan menyerah kan kembali pada suami pertama itu
batal.
D.
Menikahi Ahli Kitab
1.
Pengertian
nikah dengan ahli kitab
Ahli kitab ialah orang orang yang beriman
dengan agama samawi yaitu agama Yahudi dan Nashrani atau dengan kata lain
mereka beriman dengan taurat dan injil. Jadi nikah dengan ahli kitab adalah
menikah dengan orang-orang yang Yahudi maupun dengan orang Nashrani.
2.
Hukum
menikahi ahli kitab
Ada bermacam pendapat teang hukun dari menikahi orang-orang ahli
kitab yaitu:
a.
Boleh
Dalil yang menjelaskan bahwa boleh menikah denga ahli kitab adalah
firman Allah yang artinya: pada hari ini aku halalkan kepadamu yang
baik-baik, makanan (semblihan) orang orang yang diberi alkitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi ahli
sebelum kamu, bila kamu membayar mas kawin mereka dengan maksud mengawininya.
Tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka
hapuslah amalannya dan ia dihari kiamat termasuk orang-orang merugi.
b.
Makhruh
Mazhab as-Syafi’I berpendapat bahwa makruh menikahi wanita ahli
kitab namun dalam mazhab ini tedapat syarat-syarat sehingga hukumnya menjadi
makruh. Syarat disini yang dimaksud adalah wanita ahli kitab harus berasal dari
keluarga yang masuk kedalam Yahudi dan Nasrani sebelum ajaran mereka
diselewengkan.
c.
Haram
Berdasarkan firman Allah artinya “ perangilah orang orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak beriman kepada hari akhir, dan mereka
tidak mengharam apa yang diharamkan olegh Allah dan rasulnya dan tidak beragama
dengan agama yang benar, yang dirikan alkitab kepada mereka sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk”.
E.
Perwalian Dalam Pernikahan
1.
Pengertian
wali
Kata wali barasal dari kata bahasa arab yaitu al-wali mufrad
dari kata Auliyaayaitu pencinta, saudara, atau penolong. Sedangkan
secara istilah wali adalah mengandung pengertian orang-orang yang menurut hukum
agama atau adat diserahkan untuk mengurus kewajiban anak yatim sebelum anak itu
dewasa pihak yang menggantikan pengantin perempuan pada saat menikah yaitu yang
melakukan akad dalam pernikahan yaitu wali dalam nikah padanya terletak sahnya
sebuah akad pernikahan.
Dari beberapa pengertian wali diatas bahwa wali merupakan orang
yang mengakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah tanpa wali nikahnya tidak sah
alias batal. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus di
penuhi bagi calon mempelai yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya.
2.
Macam-macam
wali beserta urutannya
a.
Wali
nasab
Para ulama membagi wali nasab ini kepada tiga tingkatan yaitu:
1)
Wali
dekat : ayah, kakek.
2)
Wali
jauh : yaitu wali dalam garis kerabat
selain dari ayah, kakek, dan selain dari anak dan cucu.
3)
Wali
“abiid : saudara lelaki kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara
laki-laki kandung, anak saudara laki-laki seayah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung,
anak paman seayah, dan ahli waris kerabat lainnya.
b.
wali
hakim
1)
walinya
mafqud yaitu tidak tertentu keberadaannya.
2)
wali
senndiri yang akan menjadi mempelai pria sedangkan wali derajat tidak ada.
3)
wali
yang jauh jaraknya ukurannya sekitar 92,5 km.
4)
wali
dalam penjara atau tahanan.
5)
wali
sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
6)
anak
zina.
7)
walinya
gila.
3.
Syarat-syarat
wali
a.
Muslim
b.
Sudah
dewasa (baligh dan berakal)
c.
Laki-laki
d.
Merdeka
e.
Adil
f.
Tidak
melakukan ihram
g.
Bercakap
4.
Saksi
dalam akad nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau menyaksikan
suatu peristiwa. Sedangkan secara istilah orang yang memberitahukan
keterangan dan mempertanggung jawabkan
apa adanya. Hadits rasulullah saw artinya tidak sah nikah kecuali dengan
wali, dan dua orang saksi yang adil.
Malikiah berpendapat mengenai saksi dalam
pernikahan menurutnya berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat
sah nikah Malikiah yang pemikirannya bahwa untuk sampainya imformasi ataupun
bukti pernikahan tidak harus melembagakan dengan saksi namun bis a ditempuh
dengan I’lan (media penyambung pernikahan tanpa harus hadirnya sosok saksi
dalam prose akad nikah.
5.
Syarar-syarat
saksi
a.
Islam
b.
Baligh
c.
Berakal
d.
Bercakap
e.
Laki-laki
f.
Adil
g.
Melihat
F.
Kafa’ah
1.
Pengertian
kafa’ah
Kafa’ah menurut bahasa berarti setara, seimbang, serupa, sederajat,
dan sebanding. Sedangkan menurut istilah keseimbangaan atau keserasian antara
suami dan istri sehingga masing-masing keduanya tidak merasa berat untuk
melansungkan perkawinan. Kata kufu’ dalam perkawinan mengandung arti bahwa
perempuan harus setara dengan laki-laki. Sifat kafaah mengandung arti yang
terdapat dalam perempuan yang dalam perkawinan tersebut harus diperhitungkan
pada laki-laki yang mengawininya. Nabi Muhammad SAW bersabda nikahilah
perempuan karena empat hal pertama karena hartanya, nasabnya, kecantikanya,
agamanya yang pilihlah karena agamanya maka terpenuhilah semua kebutuhan.
2.
Kedudukan
kafa’ah dalam perkawinan
a.
Jumhur
ulama
Kafa’ah
dipandang amat penting dalam kelangsungan dalam perkawinan meskipun bukan
menjadi syaraat suatu perkawinan. Sabda Rasul janganlah kamu nikahkan
seorang wanita kecuali dengan sekufu.
b.
Mazhab
Hanafi
Kaea’ah bukanlah syarat sah suatu perkawinan sedangkan menurut
ulama mutaakhirn merupakan sebua syarat sah suatu perkawinan dalam hal sebagai
berikut:
1)
Apabila
orang dewasa menikahkan dirinya dengan seorang yang tidak sekufu dengannya atau
dala unsur penipuan maka wali berhak tidak setuju dalam melangsungkan
pernikahan
2)
Apabila
seorang wanita tidak dapat bertindak atas nama hukum seperti anak kecil atau
orang gila yang dinikahkan oleh walinya dengan orang yang tidak sekufu.
3)
Apabila
bapa seorang wanita itu dikenal sebagai orang pilihannya selalu buruk maka
menikahkan orang yang belum dewasa dengan orang yang tidak sekufu maka
pernikahannya batal.
c.
Maliki
Kafaah
adalah merupakan pertimbangan saja bukan syarat sah.
d.
Syafii
Kafaah
itu adalah dalam masalah aib. Sekiranya kemudian terdapat aib maka pernikahan
itu dapat dibatalkan. Ada lagi yang perlu dipertimbangkan dalam kafaah ini
yaitu keturunan, agama, dan pekerjaan.
e.
Dalil
tentang kafaah
1)
Alquran, Terdapat
dalam surat al-hujurat ayat 13 yaitu:
“
hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.
2)
Sunnah, Sabda
nabi:
“ janganlah
kamu mengawinkan perempuan kecuali dengan yang sekufu, dan jangan mereka
dikawinkan kecuali dari walinya.
3.
Hikmah
kafaah dalam perkawinan
Untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram
diperlukan adanya kafaah karena, masalah kafaah ini sangat penting dalam rumah
tangga. Agar antara suami dan isteri ada keseimbangan dalam membina keluarga
yang tentram dan bahagia. Jika diantara keduanya sudah ada keseimbangan dan
kecocokan, maka akan mudah bagi mereka untuk menwujudkan tujuan perkawianan.
Dengan demikian, jelaslah kafaah dalam perkawinan diperlukan untuk mewujudkan
keluarga yang bahagia.
G.
Talak Dalam Pernikahan
1.
Pengertian
talak
Menurut bhasa talak berarti pemutusan ikatan, sedangkan menurut
istilah talak berarti pemututan tali perkawinan dengan lafaz talak atau
menghilangkan ikatan perkawinan dengan seketika atau rentang jarak tertentu
dengan lafaz tertentu. Ikatan perkawian lepas seketika bilamana sang suami
mentalak istrinya dengan talak ba’in. ikatan perkawinan dapat hilang dapat
hilang setelah masa iddah berlalu manakala suami mentalak istrinya dengan talak
raj’i.Menurut imam Syafi’i talak adalah
pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau semakna dengan hal itu.
2.
Dasar
hukum talak
a.
Surat
at-thalak ayat 1
“ Hai nabi apabila kamu menceraikan isteri-isteri kamu maka
hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya
yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
diizinkan keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu hal yang
baru.
b.
Surat
at-thalak ayat 2
“ Apa bila mereka telah mendekat akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik atau persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakan kesaksian
itu karena Allah. Demikianlah yang diberikan pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah
dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya ia akan
mengadakan baginya jalan keluar.
c.
Macam-macam
thalak
1)
Thalak
sunni ini merupakan pelaksanaannya sesuai dengan Al-qur’an dan Sunnah.
2)
Thalak
bid’I merupakan thalak yang dijatuhkan tidak menurut tuntunan Agama.
3)
Thalak
tidak sunni dan tidak bid’I merupakan thalak yang termasuk dalam kategori ini
adalah thalak yang bukan sunni dan bid’I yaitu thalak yang dijatuhkan kepada
isteri yang belum pernah digauli.
d.
Kedudukan
thalak
Sebelum thalak atau perceraian terjadi Islam memberikan alternative
lain yaitu selayaknyalah seorang suami bersabar bila ia tidak senang melihat
kelakuan isterinya seperti firman Allah: “ hai orang-orang yang beriman
tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang sangat banyak.
Selain itu islam juga menganjurkan memberikan nasehat kepada
isterinya terdapat dalam surat an-nisa ayat 34. Dan jika terjadi pertengkaran
dan perselisihan antara suami isteri maka islam menganjurkan supaya diadakan dua
orang hakam yaitu pendamai keduannya jika tidak bisa juga maka waktu itulah
perceraian menjadi alternative terakhir. Disinilah kita tau bahwa kedudukan
perceraian atau thalak adalah sesuatu
yang diperbolehkan, tapi tidak juga disukai oleh Allah. Sebagai mana sabda
Rasul sesuatu yang halal namun yang paling dibenci disisi Allah adalah
Thalak.
H.
Menikahi Wanita Hamil
1.
Pengertian
menikahi wanita hamil
Wanita hamil dalam hukum islam adalah disebut at-tazuuwud yang
dapat diartikan sebagai perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang sedang
hamil karena zina hal ini kemungkinan terjadi dalam dua hal dihamili duluan
baru dikawini atau dihamili oleh orang
baru dikawini oleh orang yang bukan menghamilinya.
2.
Hukum
menikahi wanita hamil karena zina
a.
Menurut
imam syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan kawin dengan perempuan
yang sedang hamil dikarenaka zina asalkan yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya
sebab hamil yang semacam ini tidak menyebabkan haramya dinikahi.
b.
Abu
Yusuf dan riwayat Abu Hanifah bahwa tidak boleh menikahi wanita hamil karena
zina sebelum ia melahirkan agar muffah (darah) suami tidak bercampur dengan
tanaman orang lain.
3.
Hukum
wanita hamil yang menikah bukan dengan orang yang menghamilinya, Ketentuan
ini diatur oleh UU perkawinan maupun KHI pasal 3 yang berbunyi:
a.
Seorang
wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b.
Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c.
Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamiltidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anaknya lahir.
4.
Status
anak zina islam
a.
Tidak
ada hubungan nasab antara anak zina dengan laki-laki yang mencampuri ibunya
c.
Tidak
boleh menjadi wali