Sunday, October 7, 2018

Makalah Metode Tafsir

0 comments
BAB I
PENDAHULUAN
    A. Latar Belakang
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak pernah sirna di telan masa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafisr dengan metode yang beraneka ragam. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, metode-metode yang dimaksud adalah metode tahliliy, ijmali, muqaran, dan maudhu’i.
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efesien, pembahasan didalam makalah hanya mengambil empat metode tafsir saja yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’i. Pentingnya metode tafsir tahlili, ijmali, muqaran dan maudhu’i dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran adalah untuk membantu dan memudahkan bagi orang yang ingin mempelajari dan memahami ayat Al-Quran itu sendiri. dan mengingat empat metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam karyanya. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas lebih jelas mengenai metode tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’i.  B.Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian metodologi tafsir ?
2.      Apa saja pembagian dari metidologi tafsir?
3.      Apa urgensi mempelajari metodologi tafsir?





BAB II

PEMBAHASAN

     A. Pengertian Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa yunani “methodos” yang berarti “cara atau jalan”. Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis “method” dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan “thariqat” dan “manaj”. Dan dalam pemakaian bahasa indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.[1][1]
Kata tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu fassaara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al idlah wa altabiyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Menurut Imam al-Zarqhoni mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Quran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah Swt menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya Abu Hayan, sebagaimana dikutip al-Sayuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Quran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung didalamnya.[2][2] Sedangkan metodologi tafsir adalah sebuah ilmu yang mengajarkan kepada orang yang mempelajarinya untuk menggunakan metode tersebut dalam memahami ayat-ayat al-Quran.[3][3]

B. Pembagian Metode Tafsir
1.      Tafsir al-Tahliliy (Analisis)
Kata tahlili berasal dari bahasa arab halalla-yuhalillu-tahlilan yang berarti mengurai atau menganalisa.[4][4] Tafsir rahlili ialah menafsirkan al-Qur’an berbasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini menganalisis setiap kosa kata atu lafal dari aspek bahasa dan makna. Analisis dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan kalimat ijasz, badi’, ma’ani, bayan, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah. Dan dari aspek makna meliputi sasaran yang dituju oleh ayat, hukum, aqidah, moral, perintah, larangan, relevansi ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah dan lain sebagainya.[5][5] Selanjutnya metode Tahlily merupakan metode tafsir al-Quran yang dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dilakukan dengan cara urut dan tertib ayat dan surah sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf, yakni dimulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, Al Imran dan seterusnya hingga surat an-Nas.[6][6] Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa metode tafsir tahlily merupakan penafsiran ayat al-Quran dengan cara berurutan sesuai urutan surah yang ada pada al-Quran, dengan cara menganalisis dari semua aspek, baik dari segi kosa kata, lafal dari aspek bahasa, serta makna.
Dibandingkan dengan metode tafsir lainnya, metode tahlily adalah metode paling lama. Tafsir ini berasal sejak masa para sahabat Nabi Saw. Pada mulanya terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosakatanya saja. Dalam penjalanan waktu, para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh isi al-Quran. Oleh karena itu akhir abad ke-3 dan pada awal abad ke-4 H (10 M), ahli tafsir ibnu majah, al-Thabari mengkaji seluruh isi al-Quran dan membuat model-model paling maju dari tafsir tahlily ini.
Adapun kelebihan dari metode tafsir tahlily ini adalah:
a.       Ruang lingkupnya luas
b.      Dapat memuat berbagai macam ide
Sedangkan kelelmahan dari metode tafsir yahlily ini adalah:
a.       Menjadikan petunjuk al-Quran parsial (bagian-bagian).
b.      Melahirkan penafsiran yang subjektif.
c.       Kajiannya tidak mendalam.[7][7]
Berbagai aspek yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tahlily di uraikan, yang tahapan kerjanya yaitu dimulai dari:
1.    Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan  sebagaimana urutan dalam al-Quran, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nass.
2.     Menjelaskan asbab an-Nuzul  ayat ini dengan menggunakan keterangan yang diberikan oleh hadist (bir Riwayah).
3.    Menjelaskan munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya.
4.     Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadis Rasulullah Saw atau dengan mengguanakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan.
5.    Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut.
Di antara buku tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah:
1.      Al-Quthubi
2.      Ibnu Katsir
3.      Tafsir Ibnu Jarir


2.      Al-Tafsir al-Ijmaliy (Global)
Secara harfiah, kata ijmali berasal dari kata ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak terperinci. Kata Ijamali secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisarm global, dan penjumlahan. Tafsir ijmali adalah penafsiran al-Quran yang dialakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tampa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci. Dengan metode ini, mufasir berupaya menjelaskan makna-makna al-Quran dengan uraian singkat dan yang mudah. Sehingga dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengatahuan sekedarnya sampai orang berpengetahuan luas.
Dengan metode ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosa kata al-Quran dengan kosa kata yang berada didalam al-Quran sendiri, sehingga para pembaca melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Quran, tidak keluar dari muatan makna yang terkandung dalam al-Quran. Secara garis besar metode tafsir inti tidak berbeda dengan metode medel pendekatan analisis. Letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak. Uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit. Ciri-ciri yang nampak pada metode ijmali adalah mufassirya langsung menafsirkan al-Quran dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.[8][8]
Adapun kelebihan dari metode ijmali ini antara lain:
a.       Praktis dan mudah difahami
b.       Bebas dari penafsiran israiliyat
c.       Akrab dengan bahasa al-Qur’an

Kekuarangan-kekurangan dari metode ijmali ini antara lain:
a.       Menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial (terbagi tapi tidak mendalam).
b.      Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memedai.

Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat al-Quran. Selain itu mufassir juga mengkaji dan menyajikan dan menyajikan sebab turunnya ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait. Tafsir ijamali biasanya, menjelaskan makna ayat secara berurutan, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutan mushaf usmani. Adapun kitab-kitab tafsir dengan metode ijmalii adalah:
1.       Tafsir al-Jalalain, karya jalal al-Din al-Sayuthi dan jalal al-Din al-Mahalli.
2.       Shofwah al-Bayan lima’ani al-Quran, karya Sheikh Husnain Muhamma Mukhlaut.
3.       Tafsir al-Quran Azhim, karya Ustadz Muhammad Farid Majdy.

3.      Al-Tafsir al-Muqaran (Perbandingan/Komparasi)
Secara harfiah, muqaran berarti membandingkan. Secara istilah, tafsir muqaran berarti suatu metode atau teknik menafsirkan al-Quran dengan cara membandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejulah ayat.  Tafsir muqaran yaitu membandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau perbandingan antaua ayat dengan hadis. Yang diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis. Nasharuddin baidah berpendapat bahwa tafsir muqaran adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Quran atau suatu surat tertentu denan cara membandingkan antara ayat dengan ayat dengan ayat atau surah dengan hadis, atau antara pendapat ulama dengan ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari objek yang membandingkan.[9][9]
Ada beberapa tahap yang dilalui dalam menggunakan metode tafsir  muqaran yang membandingkan tafsir para ulama tersebut, yaitu:
a.       Menentukan sejumlah ayat yang akan ditafsirkan.
b.      Mengumpulkan dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut.
c.       Melakukan analisis perbandingan terhadap pendapat-pendapat para mufassir dengan menjelaskan corak penafsirannya. Apakah bercorak bi al-ma’tsur, bi ra’yu dan lain sebagainya.
d.      Menentukan sikap dengan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterimanyaa. Hal ini tentu saja dengan mengemukakan sejumlah argumen kenapa ia mendukung suatu tafsir dan menolak yang lainnya.
Tafsir muqaran memiliki kelebihan yaitu, bersifar objektif, kritis dan berwawasan luas. Sedangkan kelemahannya antara lain terletak pada kenyataannya bahwa metode tafsir muqaran tidak bisa di gunakan untuk menafsirkan semua ayat al-Quran seperti halnya pada tafsir ijmali dan tahlili.[10][10] Sedangkan pendapat lain juga mengelompokkan kelebihan dan kekurangan dari metode ini, adapun kelebihannya antara lain:
a.       Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih luasi bagi para pembaca dari metode-metode lain.
b.      Membuka pintu untuk bersikap toleran atas pendapat-pendapat yang berbeda mengenai suatu permasalahan.
c.       Mendorong seorang penafsir untuk mengkaji penafsiran-penafsiran ulama lain mengenai suatu ayat ataupun dalam suatu permasalahan.
Sedangkan kekurangannya antara lain:
a.       Penafsiran dengan metode ini tidak cocok untuk pemula.
b.      Penafsirannya kurang dapat memecahkan permasalahan yang ada ataupun sedang dihadapi.
c.       Cenderung hanya melihat penafsiran-penafsiran ulama terdahulu sehingga tidak mengahasilkan penafsiran-penafsiran baru.
Objek kajian tafsir ini dikelompokan menjadi tiga:
a.       Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain
Mufassir membandingkan ayat al-Quran dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan dengan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang diduga sama. Objek kajian tafsir ini hanya terletak pada persoalan redaksi ayat-ayat al-Quran bukan dalam bidang makna.
b.      Perbandingan ayat al-Quran dengan Hadis
Dalam melakukan perbandingan ayat al-Quran dengan hadis yang terkesan berbeda atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadis yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Quran. Hadis itu haruslah shahih. Hadits dhaif tidak dibandingkan karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru semakin tertolak karena pertentangannya dengan ayat al-Quran. Setelah itu mufassir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau pertentangan antara keduanya.
c.       Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran tertentu ditemukan adanya perbedaan diantara hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang masing-masing. Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang lain, mufassir berusaha mencari, mengali, menemukan, dan mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
4.      Al-Tafsir al-Maudlu’iy (Tematik)
Tafsir maudhu’i yaitu menafsirkan al-Quran dengan langkah-langkah tertentu yang dimulai dengan menentukan topik sampai memberikan kesimpulan atau jawaban akhir bagi permasalahan yang dibahas.[11][11] Arti dari kata maudhu’i adalah topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara tematik. Jadi tafsir al-Maudhu’i adalah tafsir yang membahas masalah-masalah al-Quran yang memiliki kesatuuann makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya serta menghubung-hubungkannya antara satu dengan yang lain.[12][12]
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i adalah sebagai berikut:
1.      Menetapkan maslah yang akan dibahas (topik)
2.      Menghimpun ayat yang berkaitan dengan mmasalah tersebut.
3.       Mengurutkan tertib, sebab turunnya ayat berdasarkan masa turunnya.[13][13]
4.       Mempelajari penafsiran al-Quran yang telah dihimpun.
5.      Kemudian mufassir mengarahkan pembahasan kepada metode tafsir ijmali dalam memaparkan berbagai pemikiran.
6.      Membahas unsur-unsur dan makna-makna serta mengkaitkannya sedemikian rupa berdasarkan metode ilmiah yang sistematis.
7.      Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban al-Quran terhadap topik permasalahan yang dibahas.[14][14]
Sebagian kitab-kitab tafsir yang memakai metode maudhu’i antara lain sebagai berikut:
1.      Karya Syeikh Mahmud Syaltut.
2.       Karya Ustadz Abbas Mahmud al-‘Aqqad.
3.       Karya Ustadz al-A’la al-Maududy.
4.      Karya Ustadz Muhammad Abu Zahrah.
5.      Karya Dr. Ahmad Kamal Mahdy.[15][15]
Adapun kelebihan/keistimewaan dari metode tafsir maudhu’i antara lain:
a. Menghindari problem atau kelemahan metode lain.
b.    Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran.
c.    Kesimpulan yang mudah dipahami.
d.    Metode ini memungkinkan seorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Quran.
e.    Menjawab tantangan zaman
f.     Praktis dan sistematis
g.    Dinamis
i.     Membuat pemahan menjadi utuh.[16][16]
Selain kelebihan diatas, metode tafsir maudhu’i mempunyai kekurangan yakni:
a.       Memenggal ayat al-quran.
b.       Membatasi pemahaman ayat.

C.    Urgensi Mempelajari Metodologi Tafsir
1.      Tujuan mempelajari metode penafsiran yaitu agar dapat mengetahui tentang perkembangan metodologi penafsiran al-Qur’an yang pernah ada dan agar dapat mengetahiu dan menunjukan kelebihan dan kekurangan tiap-tiap metode penafsiran sehingga bisa menyempurnakan atau menambahkan metode baru.
2.      Menyingkap hukum dan hikmah yang terkandung didalam al-Qur’an.
3.      Mengetahui makna kata-kata dalamal-Qur’an.
4.      Menjelaskan maksud setiap ayat.
5.      Menyampaikan pembaca kepada maksud yang diinginkan oleh syar’I (pembuat syari’at) yaitu Allah SWT, agar memperoleh kebahagian didunia dan akhirat.

BAB III
PENUTUP  
A. Kesimpulan
Tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Quran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah Swt menurut kadar kesanggupan manusia. Abu Hayan, sebagaimana dikutip al-Sayuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Quran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung didalamnya. Sedangkan metodologi tafsir adalah sebuah ilmu yang mengajarkan kepada orang yang mempelajarinya untuk menggunakan metode tersebut dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
Pembagian metode tafsirada 4 yaitu:
1.      Tafsir al-Tahliliy (Analisis)
2.      Al-Tafsir al-Ijmaliy (Global)
3.      Al-Tafsir al-Muqaran (Perbandingan/Komparasi)
4.      Al-Tafsir al-Maudlu’iy (Tematik)
 B. Saran
Kami harapkan kepada pembaca untuk dapat memahami makalah yang kami tampilkan ini. Kemudian diharapkan juga kepada pembaca untuk dapat mencari sumber lain untuk menambah wawasan tentang pembahasn metodologi tafsir ini.




DAFTAR PUSTAKA


Agil Said Husin Al-Munawal, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehah Hakiki, Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005.
Al-Farawi Abd. Al-Hary, Metode Tafsir Al-Maudhu’i, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Amin Muhammad Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001
Anwar Rosihan, Pengantar Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Baidan Nasaruddin, Metode Penafsiran Al-Quran, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Darbi Ahmad, Ulum Al-Quran, Pekan Baru: Suska Press, 2011.
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Shihab Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1994.
Suma Amin, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002.
Syadali Ahmad Dan Rofi’i Ahmad, Ulum Quran II, Bandung: Pustaka Setia, 997.
Yusuf Kadar, Studi Al-Quran, Jakarta: Amzah, 2010.






[1][1]Nasaruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 54.
[2][2]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),  h. 209-211.
[3][3]Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002),  h. 171.
[4][4]Ahmad Darbi, Ulum Al-Quran, (Pekan Baru: Suska Press, 2011), h. 41.
[5][5]Kadar Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 143-144.
[6][6]Ahmad Syadali Dan Ahmad Rofi’i, Ulum Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 997), h. 67.
[7][7]Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001), h. 112-113.
[8][8]Nasaruddin Baidah, Op Cit., h. 73.
[9][9]Ibid., h. 73.
[10][10]Muhammad Amin Suma, Op Cit., h. 127.
[11][11]Amin Suma, Op Cit., h. 171.
[12][12]Muhammad Amin Suma, Op Cit., h. 127-128.
[13][13]Abd. Al-Hary Al-Farawi, Metode Tafsir Al-Maudhu’i, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),  h. 14.
[14][14]Rosihan Anwar, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 161.
[15][15]Said Agil Husin Al-Munawal, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehah Hakiki, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), h. 75-76.
[16][16]Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), h. 117.
Read more...

Saturday, October 6, 2018

JUAL BELI DAN RIBA

0 comments
MAKALAH
tentang
JUAL BELI DAN RIBA


Disusun Oleh:
Kelompok XI
Yulia Fitri Yanti        : 1515030030
Fani Ledyka Ananta : 1515030031
Randa Alamsah         : 1515030040
Fauzan                       : 1515030046

Dosen Pengampu:
Johari Jamal, S.Thi., M.Ag.




JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1439 H/2018 M










BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya yaitu dalam bermuamalah. Mu’amalah sesama manusia senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam mu’amalat dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis besar. Aturan yang lebih khusus datang dari Nabi. Hubungan manusia satu dengan manusia berkaitan dengan harta diatur agama islam salah satunya dalam jual beli.
Jual beli yang didalamnya terdapat aturan-aturan yang seharusnya kita mengerti dan kita pahami. Jual beli seperti apakah yang dibenarkan oleh syara’ dan jual beli manakah yang tidak diperbolehkan. Jangan sampai kita terjerumus kedalam jurang riba.
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan membahas mengenai jual beli dan riba yang terdapat dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 275-280.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli dan Riba
Secara bahasa jual beli berasal dari kata bai’ yang berarti pertukaran secara mutlak. Jual beli dalam syariat Islam adalah pertukaran harta dengan harta dengan saling meridhoi, atau pemindahan kepemilikan dengan penukar dalam bentuk yang diizinkan.[1]
Sedangkan riba menurut bahasa memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1.         Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2.         Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3.         Berlebihan.
Riba secara istilah menurut Al-Mali adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
Syeikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada uang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.[2]


        B.  Ayat tentang Jual Beli dan Riba
šالَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ  ﴿البقرة:٢٧٥﴾ يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ  ﴿البقرة:٢٧٦﴾ إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ  ﴿البقرة:٢٧٧﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ    ﴿البقرة:٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ   ﴿البقرة:٢٧٩﴾ وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ   ﴿البقرة:٢٨۰﴾  
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
280. dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah [2]: 275-280)

   C.  Tafsiran Ayat tentang Jual Beli dan Riba
1.      Tafsiran Qs. Al-Baqarah [2]: 275
Cara perolehan harta yang dilarang oleh ayat ini adalah riba. Riba adalah mengambil kelebihan atas modal dari yang butuh dengan mengeksploitasi kebutuhannya. Para pemakan riba itulah yang dikecam oleh ayat ini.
Sebenarnya,persoalan riba telah dibicarakan al-Qur’an sebelum ayat ini. Kata riba ditemukan dalam empat surah, yaitu al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’, dan ar-Rum. Dan surat al-Baqarah ayat 275-280 inilah yang dinilai sebagai ayat hukum terakhir dan ayat terakhir yang diterima oleh Rasulullah Saw. Karena ayat ini telah didahului oleh ayat-ayat lain yang berbicara tentang riba, tidak heran jika kandungannya bukan saja melarang praktik riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka.
Orang-orang yang makan, yakni bertransaksi dengan riba, baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan (nya).
Mereka yang melakukan praktik riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian disebabkan fikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya.
Ayat ini juga menyampaikan ucapan kaum musyrikin yang menyatakan, “ jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba.” Dari segi redaksi, ucapan mereka saja sudah menunjukkan bagaimana kerancuan berfikir dan berucap. “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Antara keduanya memiliki substansi yang sangat berbeda. Jual beli adalah transaksi yang menguntungkan kedua belah pihak, sedangkan riba merugikan salah satu pihak.
Betapapun, Allah telah mengharamkan riba dan memberikan sekian banyak peringatan sebelum ini. “Maka, barang siapa yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari praktik riba)....”
Kata dari Tuhannya memberikan kesan bahwa yang dinasehatkan itu pastilah benar dan bermanfaat  sehingga seorang mukmin yang benar-benar percaya kepada-Nya pasti akan mengindahkan peringatan itu.
Yang memperkenankan peringatan Allah lalu berhenti melakukan praktik riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan, dan urusannya kembali kepada Allah. Mereka yang terlanjur melaukan praktik riba pada masa-masa lalu, hasil yang diperolehna dari praktik itu tidak harus dibuang. Pasti ada rencana mereka untuk menggunakannya. Ayat ini membolehkan menggunakan hasil yang telah mereka peroleh, tetapi itu adalah yang terakhir. Buku riba harus ditutup, praktik-praktiknya sejak turunnya ayat ini harus dihentikan.
Adapun yang kembali bertransaksi riba setelah peringatan itu datang, maka orang itu adalah penghuni-penhuni neraka, mereka kekal di dalamnya.[3]
2.      Tafsiran Qs. al-Baqarah [2]:276
Kata yamhaq yang diterjemahkan dengan memusnahkan, dipahami oleh pakar-pakar bahasa dalam arti mengurangi sedikit demi sedikit hingga habis.
Penganiayaan yang ditimbulkan karena praktik riba menimbulkan kedengkian dikalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi sedikit bertambah sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana yang membinasakan. Jangan menduga bahwa kebinasaan dan keburukan  riba hanya tercermin pada praktik-praktik amoral yang dilakukan oleh para lintah darat, tetapi kebinasaan itu juga menimpa bidang ekonomi pada tingkat individu dan masyarakat. Demikianlah Allah memusnahkan riba sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh pelakunya, kecuali setelah nasi menjadi bubur.
Lawan riba adalah sedekah, tidak heran jika Allah menyuburkan sedekah. Penyuburan disini bukan hanya dari sisi spiritual atau kejiwaan saja, tetapi juga dari segi material. Betapa tidak, seseorang yang bersedekah tulus akan merasakan kelezatan dan kenikmatan membantu, dan ini melahirkan ketenangan dan ketentraman jiwa yang dapat mendorongnya untuk lebih berkonsentrasi dalam usahanya. Disisi lain, penerima sedekah dan infak, dengan bantuan yang diterimanya akan mampu mendorong terciptanya daya beli dan penambahan produksi. Itu sedikit dari fungsi sedekah dan infak dalam pengembangan harta.
Allah tidak menyukai, yakni tidak mencurahkan rahmat, kepada setiap orang yang berulang-ulang melakukan kekufuran dan selalu berbuat banyak dosa.
Ayat ini sekali lagi mengisyaratkan kekufuran orang-orang ynag mempraktikkan riba, bahkan kekufuran berganda sebagaimana dipahami dengan penggunaan kata kaffar bukan kafir. Kekufuran berganda ituadalah sekali ketika mereka mempersamakan riba dengan jual beli sambil menolak ketetapan Allah, dikali kedua ketika mempraktikkan riba, dan kali ketiga ketika tidak mensyukuri nikmat kelebihan yang mereka miliki, bahkan menggunakannya untuk menindas dan menganiaya. Orang yang melakukan selalu berbuat banyak dosa arena penganiayaan yang dilakukannya bukan hanya menimpa satu orang, tetapi menimpa banyak orang.[4]
3.      Tafsiran Qs.al-Baqarah [2]:277
Dalam ayat ini dikemukakan janji bagi mereka yang beriman dan baramal saleh serta melaksanakan shalat secara beresinambungan dan menunaikan zakat dengan sempurna.
Ganjaran buat mereka (terpelihara) dari sisi Tuhan mereka, jika demikian, ganjaran tersebut tidak akan hilang atau berkurang, bahkan akan terpelihara dan bertambah. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, kapan dan dari siapa pun, karena mereka berada dalam lindungan Allah, dan tidak pula mereka bersedih hati menyangkut apapun karena apa yang mereka peroleh jauh lebih baik dari apa yang bisa jadi hilang.[5]
4.      Tafsiran Qs.al-Baqarah [2]:278
Ayat ini mengundang orang-orang yang beriman yang selama ini masih memiliki keteraitan dengan praktik riba agar segera meninggalkannya sambil mengancam mereka yang enggan.
Bertaqwalah kepada Allah, yakni hindarilah siksa Allah atau hindari jatuhnya sanksi dari Allah, antara lain dengan menghindari praktik riba, bahkan meninggalkan sisa-sisanya.
Tinggalkan sisa riba, yakni yang belum dipungut. Ayat ini melarang mengambil sisa riba yang belum dipungut dan membolehkan mengambil modalnya saja. Ini jika kamu beriman. Penutup ayat ini mengisyaratkan bahwa riba tidak menyatu dengan iman dalam diri seseorang. Jiika seseorang melakukan praktik riba, itu bermana ia tidak percaya kepad Allah dan janji-janji-Nya. Dan, bila demikian, perang tidak dapat dielakkan.[6]
5.      Tafsiran Qs.al-Baqarah [2]:279
Jika kamu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan ini sehingga kamu memungut sisa riba yang belum kamu pungut, maka ketahuilah akan terjadi perang dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya. Kata dahsyat dipahami dari bentuk nakirah, pada kata harb. Sulit dibayangkan betapa dahsyatnya perang itu. Perang yang dimasud tidak harus dalam bentu mengangkat senjata, tetapi segala upaya untuk memberantas dan menghentikan praktik riba.
Jika kamu bertaubat, yakni tidak lagi melakukan transaksi riba dan melaksanakan tuntunan ilahi ini dengan tidak mengambil sisa riba yang belum diambil, perang tidak akan berlanjut, bahkan kamu boleh mengambil kembali pokok hartamu dari mereka. Dengan demikian, kamu tidak menganiaya mereka dengan membebani mereka pembayaran hutang yang melebihi apa yang mereka terima, dan tidak pula dianiaya oleh mereka karena mereka harus membayar penuh sebesar jumlah hutang yang mereka terima.[7]
6.      Tafsiran Qs.al-Baqarah [2]:280
Apabila ada seseorang dalam situasi sulit, atau akan terjerumus dalam kesulitan bila membayar  utangnya, tangguhkan penagihan sampai dia lapang. Jangan menagihya jika kamu mengetahui dia sempit, apalagi memaksana membayar dengan sesuatu ang amat dibutuhkan.[8]

D.    Macam-macam Jual Beli dan Riba
1.      Macam-macam jual beli
a.       Menjual barang yang bisa dilihat: Hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual suci, bermanfaat dan memenuhi rukun jual beli.
b.      Menjual barang yang disifati (memesan barang): Hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya (sesuai promo).
c.       Menjual barang yang tidak kelihatan: Hukumnya tidak boleh/tidak sah. Boleh/sah menjual sesuatu yang suci dan bermanfaat dan tidak diperbolehkan/tidak sah menjual sesuatu yang najis dan tidak bermanfaat.[9]
2.      Macam-macam riba
Riba terdiri dari dua macam, yaitu:
a.    Riba nasi’ah, yaitu tambahan yang disyaratkan dan diambil oleh kreditor dari debitor sebagai kompensasi penangguhan.[10] Atau dapat juga dikatakan riba yang pembayarannya atau penukarannya berlipat ganda karena waktunya diundur.[11] Riba jenis ini diharamkan berdasarkan al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ para imam.
b.    Riba fadhl, yaitu jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan disertai dengan tambahan. Ini haram berdasarkan as-sunnah dan ijma’ karena merupakan sarana menuju riba nasi’ah. Dan, kata riba digunakan untuk menunjukannya sebagai majaz, sebagaimana penyebab digunakan untuk menunjuk akibat.[12]

     D. Hikmah Jual Beli dan Riba
1.      Hikmah Jual Beli
a.       Menjauhi riba
b.      Mencari dan mendapatkan karunia Allah
c.       Menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam ekonomi
d.      Menjaga kehalalan rezeki
e.       Produktifitas dan perputaran ekonomi
f.       Silahturahmi dan memperbanyak jejaring[13]
2.      Hikmah diharamkannya riba
a.       Riba menimbulkan permusuhan dan menghancurkan sikap tolong menolong diantara manusia.
b.      Riba mengakibatkan terciptanya orang-orang yang malas bekerja, sebagaimana mengakibatkan  penumpukan harta ditangan mereka tanpa ada usaha yang mereka kerahkan.
c.       Riba menjadi sarana imperialisme (yang berkuasa memegang kendali).[14]





PENUTUP
Maka dapat disimpulkan bahwa Allah Swt. memperbolehkan kepada umatnya untuk melakukan praktik jual beli. Karena pada dasarnya manusia itu takkan bisa hidup sendiri, ia membutuhkan orang lain untuk bisa bertahan hidup. Namun, disisi lain Allah melarang praktik jual beli yang membawa kejalan riba. Allah mengharamkan riba. Karena disana terdapat banyak kemudharatan yang dirasakan, salah satunya aniaya terhadap salah satu pihak yang melakukan riba. Maka lakukanlah jual beli, namun jangan sampai kita terjerumus kedalam riba.




DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid. 2015. Fiqih Sunnah. terj. Ahmad Dzulfikar dan M.Khoyrurrijal. Depok: Keira Publising.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. cet. 5. Jakarta: Rajawali Pers.
http://www.anekamakalah.com/2013/03/jual-beli-dalam-islam.html








[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. Ahmad Dzulfikar dan M.Khoyrurrijal, (Depok: Keira Publising, 2015), h. 84.
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, cet. 5, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 59.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 715-722.
[4] Ibid., h. 723-724.
[5] Ibid., h. 724-725.
[6] Ibid., h. 725-729.
[7] Ibid., h. 726-727.
[8] Ibid., h. 727.
[9] http://www.anekamakalah.com/2013/03/jual-beli-dalam-islam.html
[10] Sayyid Sabiq, op.cit., h. 86.
[11] Hendi Suhendi, op.cit., h. 279.
[12] Sayyid Sabiq, Loc.cit.
[13] https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hikmah-jual-beli
[14] Loc.cit.
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018