Thursday, October 11, 2018

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP FILSAFAT ISLAM DAN TASAWUF

0 comments
KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, yang selalu membimbing hamba-Nya dengan penuh kasih sayang dan cinta, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Orientalis . Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada rasulullah SAW, manusia mulia, penuntun umat, pembawa risalah, serta kelurganya, sahabat, dan siapa saja yang mengikuti sunnahnya dalam mengarungi bahtera alam yang fana ini. Makalah ini menjelaskan tentang pandangan orientalis terhadap tasawuf dan filsafat Islam.
            Jika dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan, maka penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.




                                                                                          Padang,   Desember 2017

                                                                                    Penulis





PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan agama yang paling unggul dan tidak akan pernah diungguli oleh agama manapun, karena Islam merupakan agama yang hak dan tidak akan pernah menjerumuskan pengikutnya ke lembah kesesatan dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia dan sebagai acuan untuk bagaimana membekali diri menuju ke alam yang kekal yaitu alam akhirat. Karena keunggulan itulah timbul kedengkian pada agama Islam untuk dapat menyaingi dan meruntuhkan ajaran agama Islam dengan berbagai cara yang dilakukan yang ada pada pikiran mereka. Termasuk dengan cara perang dingin yaitu bereperang dengan cara yang halus melalui mempelajari berbagai macam khazanah keIslaman yang berpusat pada dunia Timur, yang mana tujuannya adalah untuk menyerang umat Islam secara perlahan-lahan dan melalui perang pemikiran yang mereka selewengkan akan kebenarannya demi kepentingan yang akan mereka capai. Karena itu mereka terus mencari-cari kelemahan-kelemahan umat islam dengan cara melemahkan aqidah umat islam dengan menimbulkan fitnah terhadap nabi Muhammad SAW. dan mengarang cerita-cerita palsu, dan juga melemah-lemahkan pemikiran umat islam seperti dalam bidang filsafat dan tasawuf, semua itu mereka lakukan atas dasar mereka dendam dan cemburu terhadap umat Islam. Kaum orientalis ini akan terus berupaya untuk melemah-lemahkan umat salah satunya yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu mengenai pandangan positif dan negatif orientalis terhadap filsafat islam dan tasawuf.





PEMBAHASAN
A.      Sikap Dan Pandangan Orientalis Terhadap Filsafat Islam
1.      Sekilas Tentang Pengertian Filsafat
Secara Etimologis, filsafat merupakan terjemahan dari Philolophy (Bahasa Inggris) atau Philosophia dari bahasa Yunani. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu Philo dan Shopia. Philo yang berarti suka atau cinta, dan Shopia berarti kebijaksanaan. Jadi, Philoshopia berarti suka atau cinta pada kebijaksanaan. Menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. [1]
2.      Pandangan Orientalis Terhadap Filsafat Islam
Orang-orang orientalis sering memutar balikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan membuat kesimpulan yang menyesatkan. Di antara bentuk penyimpangan yang sering dilakukan kalangan orientalis ini adalah memutarbalikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang tidak ada hubungannya dengan nash tersebut. Bentuk penyimpangan lainnya adalah dengan cara menambah atau menghilangkan beberapa kalimat, sehingga nash tersebut memberikan makna yang tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu sendiri.
Hal ini digambarkan oleh Montgomery watt mengungkapkan dalam bukunya. Ia mengatakan sebagi berikut: sesungguhnya aqidah ajaran Islam  terdiri dari bentuk penyimpangan dari ajaran kristen. Islam adalah sebuah agama yang ganas dan tersebar melalui pedang. Agama Islam mengajak manusia agar menyibukkan diri dalam dunia nafsu, terutama nafsu seksual. Dan dalam pribadi Muhammad sendiri terdapat kelemahan akhlaq. Berarti Muhammad adalah seorang pendiri agama yang menyimpang. Karena itu hendaknya dijadikan prinsip bahwasanya muhammad merupakam senjata atau tangan kananya setan. Bahkan bangsa eropa pemeluk masehi pada abad pertengahan menamakanya setan.[2]
Terdapat beragam argumentasi orientalis dalam mengomentari peran kaum muslimin ketika melibatkan diri untuk mempelajari filsafat Islam. Berikut dikemukakan pendapat sebagian di antara mereka:
a.         Tenneman
Mengatakan; kegiatan untuk mempelajari filsafat pada bangsa Arab memang sudah ada, tetapi mereka mengalami rintangan-rintangan yang menyebabkan mereka tidak dapat berfilsafat sendiri. Rintangan tersebut ialah: Adanya golongan ahlus-Sunnah yang selalu berpegang teguh kepada bunyi nash-nash agama, Pemujaan terhadap pikiran-pikiran Aristoteles, di samping mereka tidak dapat memahami baik-baik pikiran-pikirannya, Kitab suci mereka (al-Quran) menghalang-halangi kebebasan berpikir, Tabiat mereka yang mudah terpengaruh oleh angan-angan.
b.        E. Renan
Dalam bukunya Averroes et Averroisme, mengatakan bahwa; Bangsa Semit yang umatnya paling maju adalah umat Arab, tidak mampu berfilsafat meski pun mereka memiliki agama yang tinggi nilainya. Filsafat yang ada pada mereka tidak lain hanyalah kutipan semata-mata dari filsafat Yunani.
c.         L. Gauthier
Dalam bukunya, Introduction al Etude de la Philosophie Musulmane (Pengantar Studi tentang Filsafat Islam), mengatakan, bahwa; batas pemisah antara pemikiran Semit dengan pemikiran Aria, sehingga keduanya tidak mungkin bisa bertemu. Agama Islam adalah agama yang kuat sekali corak kesemitannya, dan tidak ada sistem lain kecuali Islam yang lebih kuat perlawanannya terhadap filsafat Yunani yang kuat sekali corak keariaannya.
d.        E. Brihier
Dalam bukunya, Histoire de la Philosophie menulis, bahwa; filsuf-filsuf Arab adalah orang-orang yang memeluk agama Islam, dan mereka menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab. Akan tetapi mereka kebanyakan bukan keturunan Aria. Karena itu, mereka mencari-cari obyek pemikirannya pada buku-buku Yunani yang mulai diterjemahkan oleh orang-orang Mesir Nestorian sejak abad ke-6 Masehi dari bahasa Suriani ke dalam bahasa Arab.
Pandangan-pandangan subysektif negatif orientalis atas dibenarkan Zaqzuq, bahwa: kaum orientalis cenderung menjauhkan mentalitas Islam dari segala macam bentuk penemuan baru, mereka juga tidak mempercayai superioritas filsafat Islam, mereka menganggap itu hanya nukilan atau jiplakan dari filsafat Yunani saja. Faktor yang mendorong mereka untuk memberikan penilaian seperti itu adalah faktor rasial yang telah membagi bangsa di dunia ini menjadi dua jenis, yaitu: bangsa Saam (Smith) dan Aria. Bangsa Arab termasuk ras bangsa Saam, bangsa ini tidak mampu berfilsafat, mereka hanya bisa menerima masalah apa adanya. Berbeda dengan suku bangsa Aria (termasuk dalam rangkuman ini bangsa Yunani Kuno), menurut mereka, bangsa ini sajalah yang mampu berfilsafat.
Al-Bahiy, dalam karyanya, menulis, bahwa mereka yang berpendapat bahwa bangsa Arab bukan termasuk bangsa yang mempunyai sifat memperdalam pemikiran dan ciptaan dalam meninjau dan memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Mereka mengetahui, bahwa filsafat Islam ialah pandangan-pandangan filsafat Greek, yang dimasukkan ke dalam jamaah Islam melalui jalan terjemahan dan pemindahan. Dengan memperhatikan pandangan-pandangan orientalis di atas, yang sasaran bidikan di arahkan pada eksistensi filsafat Islam dan para filosof muslim, yang diragukan kapasitas keintelektualannya atau rasionalitasnya. Maka ketika pemikiran mereka memasuki kawasan abad ke-20, lambat laun argumentasi mereka berubah secara lunak, yakni dari tuduhan yang bersifat subyektif negatif, berbalik menjadi tuduhan sekaligus responsibilitas bersifat obyektif positif. Seperti pada hal-hal berikut: Pertama, pendapat yang mengatakan, bahwa filsafat Arab atau filsafat Islam hanya merupakan kutipan semata-mata dari filsafat Aristoteles dan ulasan-ulasanya, berangsur-angsur menjadi hilang dan timbullah pengakuan akan adanya filsafat Islam yang mempunyai kepribadian sendiri, karena selain pikiran- pikiran Aristoteles, di dalamnya juga terdapat unsur-unsur India, Iran, dan lain lain, yang kesemuanya menggambarkan kepribadian filsafat Islam.
Kedua, juga berangsur-angsur hilang pula pendapat yang mengatakan, bahwa tabiat Islam dan al-Quran menghalang-halangi kebebasan berpikir dan berfilsafat. Kebudayaan Islam pada masa kebesarannya tidak pernah menghalang-halangi ilmu dan filsafat, bahkan selalu mencari dan memajukannya serta melapangkan dada terhadap aneka pendapat dan aliran. Sebagai agama yang mengajak memikirkan langit dan bumi, serta ayat ayat kebesaran Tuhan, tidak mungkin Islam melarang penyelidikan akal dan membatasi kebesarannya. E. Renan sendiri, yang mengatakan, bahwa Islam memerangi ilmu pengetahuan dan filsafat, mengakui adanya toleransi dan perlakuan yang tidak ada taranya dari kaum muslimin ini terhadap negeri-negeri baru yang didatanginya .
Ketiga, Istilah filsafat Islam atau filsafat Arab, meliputi yang disebut filsafat murni dan ilmu kalam, bahkan ada kecenderungan untuk memasukkan tasawuf sebagai salah satu cabang filsafat terutama pada akhir-akhir ini, ketika ahli-ahli ketimuran banyak tertarik pada peneyelidikan tasawuf.
L. Gauthier, juga mengakui kemampuan orang-orang Arab untuk berpikir seperti halnya bangsa-bangsa lain. Selanjutnya ia melihat Islam sebagai agama yang kuat sekali.
Dan Max Horten mengatakan bahwa, berbicara tentang filsafat Islam tidak sewajarnya bila dibatasi obyek persoalannya pada pikiran-pikiran yang dikenal sebagai kelompok filosof saja, melainkan harus Pula diikutsertakan karya-karya mutakallimin. Pikiran-pikiran mereka, terutama menyangkut pembahasan-pembahasan mengenai keadaan wujud dan pengenalan terhadap alam telah mendahului pandangan kelompok filosof tersebut, Max Horten mengakui bahwa Para filosof Islam telah melengkapi kekurangan-kekurangan Aristoteles, suatu hal yang menunjukkan kreativitas yang patut dihargai. Dari segi lain ia melihat keorisinilan filsafat Islam karena keimanan yang teguh dimiliki oleh tokoh-tokohnya, yakni bahwa Islam adalah agama wahyu yang mutlak kebenarannya.[3]
B.       Pandangan Orientalis Terhadap Tasawuf
1.    Sekilas Tentang Pengertian Tasawuf
Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni. Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal dari katasaff, artinya saff atau baris. Dinamakan sebagai para sufi, karena berada pada baris ( saff ) pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia dan kecenderungan hati mereka terhadap- Nya. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari katasuffah atau suffah al Masjid, artinya serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat tinggal. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari katasuf, yaitu bulu domba atau wol. Hal ini karena mereka ( para sufi ) tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa. Mereka memakai pakaian yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang terbuat dari kain wol kasar (suf ).
Al-Junaid al-Bagdadi ( 289 H ), tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan, menekan sifat basyariah ( kemanusiaan ), menjauhi hawa nafsu, selalu bersikap fitri, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW.
2.    Pendapat Para Tokoh Orientalis
Beberapa pandangan para tokoh orientalisis terhadap tasawuf diantaranya:
a.    Nicholson
Ia mengatakan : “Selama ini timbulnya tasawuf islam telah dibahas dengan cara yang salah. Akibatnya, banyak peneliti yang mengatakan bahwa hidup dan kekuatanya berasal dari semua bangsa dan golongan yang membentuk suatu kerajaan islam, yang memungkinkan penafsiran pertumbuhanya dengan penafsiran ilmiah yang cermat dengan pengembalianya pada satu asal, seperti Wedanata Hindu, atau Neo-Platonisme, atau menetapkan pemikiran dari sebagian hakikat yang bukan sepenuh hakikat”.
b.    Louis Masignom
Ia mengatakan : Meskipun materi tasawuf islam adalah Arab yang asli, ada baiknya bila kami dapat mengetahui kebaikan pengaruh islam yang dimasukkan kedalamnya dan tumbuh dalam lingkunganya”.
Dan juga berbeda pendapat mengenai asal sumber Tasawuf. Pertama, kelompok yang menganggap bahwa Tasawuf berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Di samping itu, sebagian pendiri aliran-aliran sufi berasal dari keturunan orang Majusi, seperti Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid Busthami.
Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa Tasawuf berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O'lery. Alasannya : adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam dan, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufi, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyadlah) dan mengasingkan diri (khalwat), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.
Ketiga, kelompok yang beranggapan bahwa Tasawuf ditimba dari India, seperti pendapat Horten dan Hartman. Alasannya, kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf) pertama kali adalah di Khurasan, kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham , Syaqiq al-Balkh dan Yahya ibn Muadz. Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat. Mereka memberi warna mistisisme lama ketika memeluk Islam. Konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, kelompok yang menganggap Tasawuf berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya Neo-Platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O'leary dan Nicholson. Alasannya, ‘Theologi Aristoteles' yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus telah dikenal baik dalam filsafat Islam. Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains Hellenistik.
Menurut Jabiri, Tasawuf diadopsi dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks Al-Qur`an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqamat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari Al-Qur`an (QS.Al-Fusilat 164), identik dengan konsep Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata maqamat dalam Al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan atau tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri.[4]







PENUTUP
Demikian makalah kami paparkan semoga bisa memberi manfaat dan menambah wawasan kita tentang Pandangan kaum Orientalis Terhadap Filsafat dan Tasawuf Islam, dan kami harapkan kepada pembaca untuk mencari sumber yang lain untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang pembahasan ini. Sebagai pemakalah, kami ucapkan terima kasih.








KEPUSTAKAAN
Ibrahim Madkur, Fil Falsafati 1-Islamiyati, jilid I cetakan III, Qairo: Darul 1-Matarif, 1976.
Zulhelmi, Filsafat Umum, Palembang:IAIN


[1] Zulhelmi.,Filsafat Umum, (Palembang:IAIN Raden Fatah Press, 2004), hal. 1-2
[2] https://dhayassamaronjie.wordpress.com/artikel/sikap-dan-pandangan-orientalis-terhadap-filsafat-islam/ diakses pada tanggal 30 november 2017.
[3] Ibrahim Madkur, Fil Falsafati 1-Islamiyati, jilid I (cetakan III, Qairo: Darul 1-Matarif, 1976), hal.  212.
Read more...

MEMELIHARA ANAK YATIM

0 comments
MAKALAH

TAFSIR MAUDHU’I III

Tentang
MEMELIHARA ANAK YATIM




Oleh :
Fauzan
                                                                                    

 Dosen Pengampu :
Dr. Syafruddin, M.Ag



JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1439H/2017M







PENDAHULUAN

            Anak yatim adalah anak yang ditinggalkan mati ayahnya selagi ia belum mencapai umur balig. Dalam Islam, anak yatim memiliki kedudukan tersendiri. Mereka mendapat perhatian khusus dari Rasulullah saw. Ini tiada lain demi untuk menjaga kelangsungan hidupnya agar jangan sampai telantar hingga menjadi orang yang tidak bertanggung jawab. Anak yang ditinggal mati oleh ibunya ketika ia masih kecil bukanlah termasuk anak yatim. Sebab bila kita lihat arti kata yatim sendiri ialah kehilangan induknya yang menanggung nafkah. Di dalam Islam yang menjadi penanggung jawab urusan nafkah ini ialah ayah, bukan ibu. Alquran telah menjelaskan adanya larangan memakan harta anak yatim dengan cara zalim sebagaimana firman Allah :
  
نَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S. An-Nisa’Ayat 10)

Oleh karena itu, banyak sekali hadis yang menyatakan betapa mulianya orang yang mau memelihara anak yatim atau menyantuninya. Sayang, anjuran Beliau itu sampai kini belum begitu mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat. Hanya sebagian kecil saja umat Islam yang mau memperhatikan anjuran itu. Hal ini semestinya tidak layak dilakukan umat Islam yang inti ajarannya banyak menganjurkan saling tolong sesama umat Islam dan bahkan selain umat Islam.
Dalam makalah ini saya mencoba membahas mengenai penafsiran ayat-ayat tentang anak yatim, bagaimana memperlakukan dan memelihara anak yatim.





PEMBAHASAN

A.      Surat Al-Baqarah Ayat 220

فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَىٰ قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿البقرة:٢٢۰﴾

Artinya : “Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Asbabunnuzul Ayat
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasai, Al-Hakim dan lain-lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa ketika turun ayat “Wala taqrabu malal yatimi illa billati hiya ahsanu” (Al-An’am : 152) dan ayat “Innalladzina ya’kuluna amwalal yatama dhulman”, sampai akhir ayat (An-Nisa : 10), orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman anak-anak yatim itu. Begitu juga sisanya dibiarkan membusuk kalau tidak dihabiskan oleh anak-anak yatim itu. Hal tersebut memberatk an mereka. Lalu mereka menghadap Rasulullah Saw untuk menceritakan hal itu. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Al-Baqarah : 220) yang membenarkan menggunakan cara lain yang lebih baik.[1]
Penafsiran Ayat
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ, tentang dunia dan akhirat inilah yang harus menjadi bahan renungan, jika hanya berfikir tentang dunia tentu anak yatim dan orang lemah tidak akan terbantu, karna tidak ada imbalan duniawi yang akan diperoleh dari mereka. Tetapi jika berfikir tentang akhirat pasti anak yatim akan dipikirkan nasibnya dan diperhatikan keadaannya, karena Allah menjanjikan balasan yang berlipat ganda di akhirat bagi orang-orang yang memelihara anak yatim.[2]
الْيَتَامَى  adalah bentuk jamak dari al-yatiim, yang berarti anak yatim. Yatim secara bahasa diartikan dengan yang ditinggal oleh bapaknya baik sebelum atau sesudah baligh. Tetapi menurut pengertian syara’, yatim adalah anak yang belum baligh dan ditinggal mati oleh bapaknya. Yatim berlaku untuk anak lelaki atau perempuan. Dan juga telah dijelaskan pada bab pendahuluan.
  قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ. Makna yang dimaksud adalah Allah mewajibkan kaum muslimin untuk berbuat baik kepada anak yatim dengan memperbaiki keadaan mereka baik secara ekonomi maupun pendidikan, dan tidak mengucilkan dan mengabaikan urusan-urusan mereka.
 وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ. Artinya, mereka diajak bergaul layaknya saudara sendiri dan memperlakukan mereka seperti anak kita sendiri, jangan mengucilkan mereka artinya mereka berhak mendapatkan perlakuan seperti halnya anak-anak yang lain. Bila kamu mencampurkan makananmu dengan makanan mereka, begitu pula minumanmu dengan minuman mereka, tidaklah mengapa kamu melakukannya, sebab mereka adalah saudara-saudara seagama kalian. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan: وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ Maksudnya Allah mengetahui tujuan dan niat yang sebenarnya, apakah hendak membuat kerusakan atau perbaikan.
 وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ. Yaitu seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia akan mempersulit kalian dan mempersempit kalian. Tetapi ternyata Dia meluaskan kalian dan meringankan beban kalian, serta memperbolehkan kalian bergaul dan bercampur dengan mereka (anak-anak yatim) dengan cara yang lebih baik. Allah Swt. telah berfirman: وَلا تَقْرَبُوا مالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152). Bahkan Allah memperbolehkan bagi orang yang miskin memakan sebagian dari harta anak yatim dengan cara yang makruf, yaitu adakalanya dengan jaminan akan menggantinya bagi orang yang mudah untuk menggantinya atau secara gratis. Seperti yang akan dijelaskan keterangannya dalam tafsir surat An-Nisa nanti.

B.       An-Nisa’Ayat 2, 6 dan 8

وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ  وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ  وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ  إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا  ﴿النساء:٢
Artinya : “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.
Asbabun Nuzul Surat
Mujahid mengatakan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kebanyakan orang yang menyalah gunakan harta anak yatim yang berada dalam tanggungan mereka sejak zaman Jahiliyah. Mereka terbiasa mengambil kambing yang gemuk milik anak yatim, kemudian mereka menggantinya dengan kambing yang kurus.[3]
وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka”. yang dimaksud dengan berikanlah di sini bukan untuk dipasrahkan kepada mereka, karena mereka masih kecil, belum bisa menggunakan harta mereka sendiri dengan benar. Yang dimaksud dengan pemberian di sini adalah menjaga dan merawat harta mereka supaya tidak habis sehingga bisa diberikan kepada mereka bila sudah tiba waktunya nanti. Allah melarang memakan harta anak yatim serta menggabungkannya dengan harta yang lainnya. Karena itulah Allah Swt. ber-firman: وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Janganlah kalian menukar harta halal milik kalian dengan harta haram milik orang lain." Yakni janganlah kalian menukarkan harta kalian yang halal, lalu kalian makan harta mereka yang haram bagi kalian.Sa'id ibnul Musayyab dan Az-Zuhri mengatakan, "Janganlah kamu memberi kambing yang kurus dan mengambil kambing yang gemuk".Ibrahim An-Nakha'i dan Ad-Dahhak mengatakan, "Janganlah kamu memberi yang palsu dan mengambil yang baik." As-Saddi mengatakan, "Seseorang di antara mereka mengambil kambing yang gemuk dari ternak kambing milik anak yatim, lalu menggantikannya dengan kambing yang kurus, kemudian kamu katakan, 'Kambing dengan kambing. Janganlah kamu mengambil dirham yang baik, lalu menggantikannya dengan dirham yang palsu, kemudian kamu katakan, 'Dirham ditukar dengan dirham lagi'." [4]
Firman Allah Swt.: وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, dan Sufyan Ibnu Husain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'janganlah kalian mencampuradukkan harta kalian dengan harta anak-anak yatim, lalu kalian memakannya secara bersamaan (yakni tidak dipisahkan).
Firman Allah Swt.: إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا. Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan huban ialah dosa, yakni dosa yang besar.[5] Maka bilamana kalian makan harta kalian yang dicampur dengan harta mereka (anak-anak yatim). hal itu adalah dosa yang besar dan merupakan kesalahan yang parah; maka jauhilah perbuatan tersebut.

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا  ﴿النساء:٦﴾

Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”.(An-Nisa’ Ayat 6)

Firman Allah SWT. وَابْتَلُوا الْيَتَامَى Dan ujilah anak yatim itu”. Maksudnya, mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.
Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, As-Saddi. dan Muqatil mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perintah untuk melakukan ujian terhadap anak-anak yatim (oleh para walinya).
حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini ialah mencapai usia balig. Jumhur ulama mengatakan bahwa alamat usia balig pada anak remaja adakalanya dengan mengeluarkan air mani, yaitu dia bermimpi dalam tidurnya  melihat sesuatu atau mengalami sesuatu yang membuatnya mengeluarkan air mani. Air mani ialah air yang memancar yang merupakan cikal bakal terjadinya anak.[6]
وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ,artinya Allah Swt. melarang memakan harta anak yatim tanpa adanya keperluan yang mendesak.Yang dimaksud dengan istilah israfan wa bidaran ialah tergesa-gesa membelanjakannya sebelum anak-anak yatim itu dewasa. Kemudian Allah Swt. berfirman: وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ. Yang dimaksud dengan falyasta'fif ialah memelihara diri dari harta anak yatim dan janganlah memakannya barang sedikit pun. Asy-Sya’bi mengatakan bahwa harta anak yatim baginya (orang yang mampu) sama halnya dengan bangkai dan darah (yakni haram dimakan).
وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan harta anak yatim. Telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj serta Harun ibnu Ishaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim yang memeliharanya dan berbuat kemaslahatan untuknya, bilamana keperluan mendesak memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanya.
فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka”. Sesudah mereka mencapai usia balig dan dewasa, menurut pendapat kalian mereka telah cerdas dan pandai memelihara harta, maka saat itulah kalian harus menyerahkan kepada mereka harta mereka yang ada di tangan kalian. فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ Hal ini merupakan perintah dari Allah Swt.. ditujukan kepada para wali anak-anak yatim. Perintah ini menyatakan bahwa hendaknya mereka mengadakan saksi-saksi sehubungan dengan anak-anak yatim mereka, bila anak-anak yatim mereka telah mencapai usia dewasa dan harta mereka diserahkan kepadanya. Dimaksudkan agar tidak terjadi sebagian dari mereka adanya pengingkaran dan bantahan terhadap apa yang telah diserahterimakannya. Kemudian Allah Swt. berfirman:  وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas  (atas  persaksian  itu). Yakni cukuplah Allah sebagai Penghitung, Saksi, dan Pengawas terhadap para wali sehubungan penilaian mereka terhadap anak yatimnya dan di saat mereka menyerahkan harta kepada anak-anak yatim. Dengan kata lain, apakah harta itu dalam keadaan lengkap lagi utuh, ataukah kurang perhitungannya serta perkaranya dipalsukan, semuanya Allah mengetahui dan mengawasi akan hal tersebut.

وَإِذَا حَضَرَ ٱلْقِسْمَةَ أُو۟لُوا۟ ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينُ فَٱرْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا

 Artinya : “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.(An-Nisa Ayat 8)

وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ Menurut suatu pendapat makna yang dimaksud ialah apabila di saat pembagian warisan dihadiri oleh kaum kerabat yang bukan dari kalangan ahli waris.
أُولُو الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ makna yang dimaksud ialah hendaklah mereka (anak yatim dan orang miskin ) diberi bagian sekadarnya sebagai persen.
Makna yang dimaksud ialah apabila dalam pembagian tersebut hadir orang-orang fakir dari kerabat si mayat, yaitu mereka yang tidak mempunyai hak waris, serta hadir pula orang-orane miskin, anak-anak yatim, sedangkan harta peninggalan yang ditinggalkan melimpah jumlahnya. Maka akan timbul keinginan untuk mendapatkan sesuatu dari harta tersebut. Bila mereka melihat yang ini menerima dan yang itu menerima warisan, sedangkan mereka tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan seperti apa yang mereka terima. Maka Allah Swt. Yang Maha Pengasih dan  Penyayang memerintahkan agar diberikan kepada mereka. Suatu pemberian dari harta warisan tersebut dalam jumlah yang sekadamya, sebagai sedekah buat mereka, dan sebagai kebaikan serta silaturahmi kepada mereka, sekaligus untuk menghapuskan ketidakberdayaan mereka.
Dalam ayat ini memberikat isyarat bahwa tidak ada salahnya kita mengundang fakir miskin atau orang yang membutuhkan untuk kita berikan kepada mereka sebagian dari rizki kita. Walaupun dhohir ayat ini menjelaskan bahwa pembagian sebagian rizki itu dilakukan ketika mereka mendatangi saat pembagian harta warisan. Karena tujuan utama ayat ini adalah berbagi kepada sesama dan mengurangi kemugkinan adanya  ketegangan sosial seperti iri dengki antara kelompok masyarakat. Dan menurut penulis, langkah mengundang mereka lebih baik dari pada menunggu mereka datang dan jauh lebih baik lagi kalau kita yang mendatangi mereka untuk membagikan sebagian dari rizki kita.

C.      Al-An’am Ayat 152

Ÿوَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya : “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu, dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”.

وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ Maknanya memakannya atau menukarnya dengan maksud memperoleh keuntungan pribadi atau mengambil tanpa sebab. Ayat ini menunjukkan tidak bolehnya mendekati harta anak yatim atau mengolahnya dengan pengolahan yang merugikan anak yatim. حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّه hingga sampai ia dewasa. Menurut Asy-Sya'bi dan Imam Malik serta lain-lain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah hingga si anak yatim mencapai usia balig. Menurut As-Saddi, hingga si anak yatim mencapai usia tiga puluh tahun.
Firman Allah Swt.: وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ,makna yang dimaksud bahwa Allah Swt. memerintahkan agar keadilan ditegakkan dalam menerima dan memberi (membeli dan menjual).[7]
وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain oleh firman-Nya: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. (Al-Maidah: 8). Hal yang sama disebutkan pula dalam surat An-Nisa, Allah memerintah­kan berbuat adil dalam semua tindak-tanduk dan ucapan, baik terhadap kaum kerabat yang dekat maupun yang jauh. Allah selalu memerintahkan berbuat adil terhadap setiap orang dan di setiap waktu dan keadaan, keadilan tetap harus ditegakkan.
Firman Allah Swt.: وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا dan penuhilah janji Allah” maksudnya penuhilah segala perintah-perintah-Nya. Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud dengan wasiat (perintah) Allah yang telah diwasiatkan-Nya kepada kalian ialah hendaknya kalian taat kepada-Nya dalam semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan semua yang dilarang-Nya bagi kalian, kemudian kalian harus mengamal­kan Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Yang demikian itulah pengertian menunaikan janji Allah.  ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ Yakni inilah yang diwasiatkan, diperintahkan dan dikukuhkan oleh-Nya terhadap kalian untuk kalian amalkan.
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ Maksudnya, agar kalian mengambil pelajaran darinya dan menghentikan apa yang pernah kalian lakukan sebelum ini. Sebagian ulama membacanya dengan tazzakkaruna, dan sebagian yang lain membacanya dengan tazkuruna.[8]

 



PENUTUP

Demikian makalah kami paparkan semoga bisa memberi manfaat dan menambah wawasan kita tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan memelihara anak yatim, dan kami harapkan kepada pembaca untuk mencari sumber yang lain untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang pembahasan ini. Sebagai pemakalah, kami ucapkan terima kasih.




 





KEPUSTAKAAN

Bahrun Abu Bakar, DKK, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2008.
M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2002.


[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 470
[4] Bahrun Abu Bakar, DKK, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 Surah ali-Imran 92- An-Nisa’ 23, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2008), hal. 431

[5] Bahrun Abu Bakar, DKK, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir,  hal. 431
[6] Bahrun Abu Bakar, DKK, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, hal. 449-450
[7] Bahrun Abu Bakar, DKK, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Juz 8 surat al-An’am 111- al-A’raf 87 , (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010), Cet. 3, hal. 157
[8] Bahrun Abu Bakar, DKK, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, hal.161
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018