KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, yang selalu membimbing
hamba-Nya dengan penuh kasih sayang dan cinta, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Orientalis . Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
rasulullah SAW, manusia mulia, penuntun umat, pembawa risalah, serta
kelurganya, sahabat, dan siapa saja yang mengikuti sunnahnya dalam mengarungi
bahtera alam yang fana ini. Makalah ini menjelaskan tentang pandangan
orientalis terhadap tasawuf dan filsafat Islam.
Jika dalam
penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan, maka penulis
mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Padang, Desember 2017
Penulis
PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan agama yang paling unggul dan tidak akan
pernah diungguli oleh agama manapun, karena Islam merupakan agama yang hak dan
tidak akan pernah menjerumuskan pengikutnya ke lembah kesesatan dalam
mengarungi bahtera kehidupan di dunia dan sebagai acuan untuk bagaimana
membekali diri menuju ke alam yang kekal yaitu alam akhirat. Karena keunggulan
itulah timbul kedengkian pada agama Islam untuk dapat menyaingi dan meruntuhkan
ajaran agama Islam dengan berbagai cara yang dilakukan yang ada pada pikiran
mereka. Termasuk dengan cara perang dingin yaitu bereperang dengan cara yang
halus melalui mempelajari berbagai macam khazanah keIslaman yang berpusat pada
dunia Timur, yang mana tujuannya adalah untuk menyerang umat Islam secara
perlahan-lahan dan melalui perang pemikiran yang mereka selewengkan akan
kebenarannya demi kepentingan yang akan mereka capai. Karena itu mereka terus
mencari-cari kelemahan-kelemahan umat islam dengan cara melemahkan aqidah umat
islam dengan menimbulkan fitnah terhadap nabi Muhammad SAW. dan mengarang
cerita-cerita palsu, dan juga melemah-lemahkan pemikiran umat islam seperti
dalam bidang filsafat dan tasawuf, semua itu mereka lakukan atas dasar mereka
dendam dan cemburu terhadap umat Islam. Kaum orientalis ini akan terus berupaya
untuk melemah-lemahkan umat salah satunya yang akan dibahas dalam makalah ini,
yaitu mengenai pandangan positif dan negatif orientalis terhadap filsafat islam
dan tasawuf.
PEMBAHASAN
A. Sikap Dan Pandangan
Orientalis Terhadap Filsafat Islam
1. Sekilas Tentang Pengertian
Filsafat
Secara
Etimologis, filsafat merupakan terjemahan dari Philolophy (Bahasa
Inggris) atau Philosophia dari bahasa Yunani. Kata tersebut terdiri dari
dua suku kata yaitu Philo dan Shopia. Philo yang berarti suka
atau cinta, dan Shopia berarti kebijaksanaan. Jadi, Philoshopia berarti
suka atau cinta pada kebijaksanaan. Menurut istilah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Plato Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang asli. [1]
2. Pandangan Orientalis
Terhadap Filsafat Islam
Orang-orang orientalis
sering memutar balikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan membuat
kesimpulan yang menyesatkan. Di antara bentuk penyimpangan yang sering
dilakukan kalangan orientalis ini adalah memutarbalikkan maksud nash (teks)
secara sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang tidak ada
hubungannya dengan nash tersebut. Bentuk penyimpangan lainnya adalah dengan
cara menambah atau menghilangkan beberapa kalimat, sehingga nash tersebut
memberikan makna yang tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu sendiri.
Hal ini digambarkan
oleh Montgomery watt mengungkapkan dalam bukunya. Ia mengatakan sebagi berikut:
sesungguhnya aqidah ajaran Islam terdiri dari bentuk penyimpangan dari
ajaran kristen. Islam adalah sebuah agama yang ganas dan tersebar melalui
pedang. Agama Islam mengajak manusia agar menyibukkan diri dalam dunia nafsu,
terutama nafsu seksual. Dan dalam pribadi Muhammad sendiri terdapat kelemahan akhlaq.
Berarti Muhammad adalah seorang pendiri agama yang menyimpang. Karena itu
hendaknya dijadikan prinsip bahwasanya muhammad merupakam senjata atau tangan
kananya setan. Bahkan bangsa eropa pemeluk masehi pada abad pertengahan
menamakanya setan.[2]
Terdapat
beragam argumentasi orientalis dalam mengomentari peran kaum muslimin ketika
melibatkan diri untuk mempelajari filsafat Islam. Berikut dikemukakan pendapat
sebagian di antara mereka:
a.
Tenneman
Mengatakan; kegiatan untuk mempelajari filsafat pada bangsa Arab
memang sudah ada, tetapi mereka mengalami rintangan-rintangan yang menyebabkan
mereka tidak dapat berfilsafat sendiri. Rintangan tersebut ialah: Adanya
golongan ahlus-Sunnah yang selalu berpegang teguh kepada bunyi nash-nash agama,
Pemujaan terhadap pikiran-pikiran Aristoteles, di samping mereka tidak dapat
memahami baik-baik pikiran-pikirannya, Kitab suci mereka (al-Quran) menghalang-halangi
kebebasan berpikir, Tabiat mereka yang mudah terpengaruh oleh angan-angan.
b.
E. Renan
Dalam bukunya Averroes et Averroisme, mengatakan bahwa; Bangsa
Semit yang umatnya paling maju adalah umat Arab, tidak mampu berfilsafat meski
pun mereka memiliki agama yang tinggi nilainya. Filsafat yang ada pada mereka
tidak lain hanyalah kutipan semata-mata dari filsafat Yunani.
c.
L. Gauthier
Dalam bukunya, Introduction al Etude de la Philosophie Musulmane
(Pengantar Studi tentang Filsafat Islam), mengatakan, bahwa; batas pemisah
antara pemikiran Semit dengan pemikiran Aria, sehingga keduanya tidak mungkin
bisa bertemu. Agama Islam adalah agama yang kuat sekali corak kesemitannya, dan
tidak ada sistem lain kecuali Islam yang lebih kuat perlawanannya terhadap
filsafat Yunani yang kuat sekali corak keariaannya.
d.
E. Brihier
Dalam bukunya, Histoire de la Philosophie menulis, bahwa;
filsuf-filsuf Arab adalah orang-orang yang memeluk agama Islam, dan mereka
menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab. Akan tetapi mereka kebanyakan bukan
keturunan Aria. Karena itu, mereka mencari-cari obyek pemikirannya pada
buku-buku Yunani yang mulai diterjemahkan oleh orang-orang Mesir Nestorian
sejak abad ke-6 Masehi dari bahasa Suriani ke dalam bahasa Arab.
Pandangan-pandangan
subysektif negatif orientalis atas dibenarkan Zaqzuq, bahwa: kaum orientalis
cenderung menjauhkan mentalitas Islam dari segala macam bentuk penemuan baru,
mereka juga tidak mempercayai superioritas filsafat Islam, mereka menganggap
itu hanya nukilan atau jiplakan dari filsafat Yunani saja. Faktor yang
mendorong mereka untuk memberikan penilaian seperti itu adalah faktor rasial
yang telah membagi bangsa di dunia ini menjadi dua jenis, yaitu: bangsa Saam
(Smith) dan Aria. Bangsa Arab termasuk ras bangsa Saam, bangsa ini tidak mampu
berfilsafat, mereka hanya bisa menerima masalah apa adanya. Berbeda dengan suku
bangsa Aria (termasuk dalam rangkuman ini bangsa Yunani Kuno), menurut mereka,
bangsa ini sajalah yang mampu berfilsafat.
Al-Bahiy, dalam
karyanya, menulis, bahwa mereka yang berpendapat bahwa bangsa Arab bukan
termasuk bangsa yang mempunyai sifat memperdalam pemikiran dan ciptaan dalam
meninjau dan memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Mereka
mengetahui, bahwa filsafat Islam ialah pandangan-pandangan filsafat Greek, yang
dimasukkan ke dalam jamaah Islam melalui jalan terjemahan dan pemindahan.
Dengan memperhatikan pandangan-pandangan orientalis di atas, yang sasaran
bidikan di arahkan pada eksistensi filsafat Islam dan para filosof muslim, yang
diragukan kapasitas keintelektualannya atau rasionalitasnya. Maka ketika
pemikiran mereka memasuki kawasan abad ke-20, lambat laun argumentasi mereka
berubah secara lunak, yakni dari tuduhan yang bersifat subyektif negatif, berbalik
menjadi tuduhan sekaligus responsibilitas bersifat obyektif positif. Seperti
pada hal-hal berikut: Pertama, pendapat yang mengatakan, bahwa filsafat Arab
atau filsafat Islam hanya merupakan kutipan semata-mata dari filsafat
Aristoteles dan ulasan-ulasanya, berangsur-angsur menjadi hilang dan timbullah
pengakuan akan adanya filsafat Islam yang mempunyai kepribadian sendiri, karena
selain pikiran- pikiran Aristoteles, di dalamnya juga terdapat unsur-unsur
India, Iran, dan lain lain, yang kesemuanya menggambarkan kepribadian filsafat
Islam.
Kedua, juga
berangsur-angsur hilang pula pendapat yang mengatakan, bahwa tabiat Islam dan
al-Quran menghalang-halangi kebebasan berpikir dan berfilsafat. Kebudayaan
Islam pada masa kebesarannya tidak pernah menghalang-halangi ilmu dan filsafat,
bahkan selalu mencari dan memajukannya serta melapangkan dada terhadap aneka
pendapat dan aliran. Sebagai agama yang mengajak memikirkan langit dan bumi,
serta ayat ayat kebesaran Tuhan, tidak mungkin Islam melarang penyelidikan akal
dan membatasi kebesarannya. E. Renan sendiri, yang mengatakan, bahwa Islam
memerangi ilmu pengetahuan dan filsafat, mengakui adanya toleransi dan
perlakuan yang tidak ada taranya dari kaum muslimin ini terhadap negeri-negeri
baru yang didatanginya .
Ketiga, Istilah
filsafat Islam atau filsafat Arab, meliputi yang disebut filsafat murni dan
ilmu kalam, bahkan ada kecenderungan untuk memasukkan tasawuf sebagai salah
satu cabang filsafat terutama pada akhir-akhir ini, ketika ahli-ahli ketimuran
banyak tertarik pada peneyelidikan tasawuf.
L. Gauthier,
juga mengakui kemampuan orang-orang Arab untuk berpikir seperti halnya
bangsa-bangsa lain. Selanjutnya ia melihat Islam sebagai agama yang kuat sekali.
Dan Max Horten
mengatakan bahwa, berbicara tentang filsafat Islam tidak sewajarnya bila
dibatasi obyek persoalannya pada pikiran-pikiran yang dikenal sebagai kelompok
filosof saja, melainkan harus Pula diikutsertakan karya-karya mutakallimin.
Pikiran-pikiran mereka, terutama menyangkut pembahasan-pembahasan mengenai
keadaan wujud dan pengenalan terhadap alam telah mendahului pandangan kelompok
filosof tersebut, Max Horten mengakui bahwa Para filosof Islam telah melengkapi
kekurangan-kekurangan Aristoteles, suatu hal yang menunjukkan kreativitas yang
patut dihargai. Dari segi lain ia melihat keorisinilan filsafat Islam karena
keimanan yang teguh dimiliki oleh tokoh-tokohnya, yakni bahwa Islam adalah
agama wahyu yang mutlak kebenarannya.[3]
B.
Pandangan Orientalis Terhadap Tasawuf
1.
Sekilas Tentang Pengertian Tasawuf
Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang mengatakan
bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni.
Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal dari katasaff, artinya saff
atau baris. Dinamakan sebagai para sufi, karena berada pada baris ( saff )
pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia dan
kecenderungan hati mereka terhadap- Nya. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf
berasal dari katasuffah atau suffah al Masjid, artinya serambi
mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang
didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai
tempat tinggal. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari
katasuf, yaitu bulu domba atau wol. Hal ini karena mereka ( para sufi ) tidak
memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan
dan menenteramkan jiwa. Mereka memakai pakaian yang hanya untuk menutupi aurat
dengan bahan yang terbuat dari kain wol kasar (suf ).
Al-Junaid al-Bagdadi ( 289 H ), tokoh sufi modern,
mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan,
menekan sifat basyariah ( kemanusiaan ), menjauhi hawa
nafsu, selalu bersikap fitri, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang
pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas
dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat,
benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan
mengikuti syari’at Rasulullah SAW.
2. Pendapat Para Tokoh
Orientalis
Beberapa pandangan para
tokoh orientalisis terhadap tasawuf diantaranya:
a. Nicholson
Ia mengatakan : “Selama ini timbulnya tasawuf islam telah dibahas dengan
cara yang salah. Akibatnya, banyak peneliti yang mengatakan bahwa hidup dan kekuatanya
berasal dari semua bangsa dan golongan yang membentuk suatu kerajaan islam,
yang memungkinkan penafsiran pertumbuhanya dengan penafsiran ilmiah yang cermat
dengan pengembalianya pada satu asal, seperti Wedanata Hindu, atau
Neo-Platonisme, atau menetapkan pemikiran dari sebagian hakikat yang bukan
sepenuh hakikat”.
b. Louis Masignom
Ia mengatakan : “Meskipun materi tasawuf islam adalah Arab yang
asli, ada baiknya bila kami dapat mengetahui kebaikan pengaruh islam yang
dimasukkan kedalamnya dan tumbuh dalam lingkunganya”.
Dan juga berbeda pendapat mengenai asal sumber Tasawuf. Pertama, kelompok
yang menganggap bahwa Tasawuf berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti
yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi
di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak
tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Di samping itu, sebagian pendiri
aliran-aliran sufi berasal dari keturunan orang Majusi, seperti Ma`ruf
al-Kharki dan Bayazid Busthami.
Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa Tasawuf berasal dari sumber-sumber
Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios
dan O'lery. Alasannya : adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum
Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam dan, adanya segi-segi kesamaan
antara kehidupan para Sufi, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa
(riyadlah) dan mengasingkan diri (khalwat), dengan kehidupan Yesus dan
ajarannya, juga dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.
Ketiga, kelompok yang beranggapan bahwa Tasawuf ditimba dari India, seperti
pendapat Horten dan Hartman. Alasannya, kemunculan dan penyebaran irfan
(tasawuf) pertama kali adalah di Khurasan, kebanyakan dari para sufi angkatan
pertama bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham , Syaqiq al-Balkh
dan Yahya ibn Muadz. Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan
kebudayaan Timur serta Barat. Mereka memberi warna mistisisme lama ketika
memeluk Islam. Konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian
tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, kelompok yang menganggap Tasawuf berasal dari sumber-sumber
Yunani, khususnya Neo-Platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O'leary dan
Nicholson. Alasannya, ‘Theologi Aristoteles' yang merupakan paduan antara
sistem Porphiry dan Proclus telah dikenal baik dalam filsafat Islam.
Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh sufisme dikenal
sebagai filosof dan pengikut sains Hellenistik.
Menurut Jabiri, Tasawuf diadopsi dari ajaran Hermes, sedang pengambilan
dari teks-teks Al-Qur`an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh,
istilah maqamat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari Al-Qur`an
(QS.Al-Fusilat 164), identik dengan konsep Hermes tentang mi`raj, yakni
kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan.
Memang ada kata maqamat dalam Al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai
ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang
benar, bukan dalam arti tingkatan atau tahapan seperti dalam istilah
al-Hujwiri.[4]
PENUTUP
Demikian makalah kami paparkan semoga bisa memberi manfaat dan
menambah wawasan kita tentang Pandangan kaum Orientalis Terhadap Filsafat dan
Tasawuf Islam, dan kami harapkan kepada pembaca untuk mencari sumber yang lain
untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang pembahasan ini. Sebagai
pemakalah, kami ucapkan terima kasih.
KEPUSTAKAAN
Ibrahim Madkur, Fil Falsafati 1-Islamiyati,
jilid I cetakan III, Qairo: Darul 1-Matarif, 1976.
Zulhelmi, Filsafat Umum, Palembang:IAIN
[2]
https://dhayassamaronjie.wordpress.com/artikel/sikap-dan-pandangan-orientalis-terhadap-filsafat-islam/
diakses pada tanggal 30 november 2017.
[3] Ibrahim Madkur, Fil Falsafati 1-Islamiyati, jilid I
(cetakan III, Qairo: Darul 1-Matarif, 1976), hal. 212.
[4] http://sangmosafir.blogspot.co.id/2012/11/pandangan-orientalis-terhadap-ilmu.html, diakses pada tanggal 30
november 2017