Tuesday, October 16, 2018

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER PENAFSIRAN

0 comments
MAKALAH
ADDAKHIL FII AL-TAFSIR

Tentang



Disusun Oleh :
Fauzan : 1515030046
Jendri   : 1515030037


Dosen Pengampu : 
Prof. Dr. H. Rusydi, AM. Lc., M. Ag
Oktari Kanus, S. Th. I., M. Ag


JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1438H/2017M




PENDAHULUAN
Al Quran sebagai pedoman hidup kaum muslim, tidak menjelaskan secara rinci berbagai aspek kehidupan. Hal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh hadis. Namun, ternyata ada beberapa hal yang bisa ditafsirkan bermacam-macam, bahkan hingga kini masih ada hal-hal yang tidak dijelaskan secara tegas oleh kedua sumber hukum Islam tersebut (Al Quran dan hadis) sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di antara kaum muslim.
Dari sisi metologis hukum islam dapat dipahami sebagai hukum yang bersumber dari Al-Quran Dan sunnah nabi melalui peroses penalaran atau ijtihad, ia diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal. Ruang gerak metologi antara wahyu sebagai sumber hukum yang memuat petunjuk-petunjuk global Dan kedudukan ijtihad sebagai fungsi pengembangannya, memungkinkan hukum islam memiliki sifat elastis Dan akomodatif sehingga keyakinan diatas tidaklah berlebihan.
Apabila kita memperhatikan sejarah islam serta menyelidiki perjalanan perjuangan Rasul saw.yang membaawa syariat islam Dan undang-undangnya untuk dikembangkan ditengah-tengah masyarakat dunia maka diutuslah Rasulullah saw. Guna menyusun Dan mengatur amal usaha, ibadah Dan mualamah, beliau mensyariaykan aneka rupa hukum yang dibahas oleh ilmu Fiqh, yaitu:”ilmu yang sangat besar manfaatnya, buat menjadi pedoman bagi kitaa dalam segala langkah kita, baik menyangkut politik ekonomi Dan sosial”.










PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah mashdar dari fi`il madi yaitu Ijtihada. Penambahan hamzah dan ta` pada kata ja-ha-da menjadi Ijtihada pada wajan if-ta-a`-la berarti usaha itu lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba yang berarti usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh. Oleh sebab itu, Ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus` atau badzl al-wus`). Dengan demikian, Ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut Ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra`y atau at-tafkir.[1]
Adapun mengenai pengertian Ijtihad secara istilah banyak terjadi perbedaan mengenai definisi Ijtihad secara istilah. Berikut ini beberapa definisi Ijtihad secara istilah :
       1. Menurut Abu Zahrah definisi Ijtihad secara istilah adalah Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
        2.   Al-Amidi dalam al-ihkam fi al-ushul al-ahkam, yang dikutip oleh Khoriyah menjelaskan bahwa Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya.
      3. Menurut ulama Hanafiah, Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau persoalan dalam berbagai bidang.[2]
       4. Sedangkan dalam kitab Al-Bayan ijtihad Yaitu meluangkan waktu yang sangat luas dalam mencapai atau menggali hukum syariat dengan cara mengistimbatkan dari kitab (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul SAW.[3]

Dari beberapa definisi Ijtihad secara istilah yang sudah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa Ijtihad merupakan aktivitas berpikir yang tidak dapat dilakukan oleh orang biasa, karena merupakan keluar biasaan, sehingga membutuhkan tingkat keilmuan yang tinggi dalam mendapatkan satu buah hasil pemikiran yang tidak bertentangan dengan nash dan berguna bagi kemaslahatan umum.
B.       Pandangan Ulama Tentang Ijtihad dalam Penafsiran
Sebagian ulama membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan akal, dan sebagian ulama yang lain melarang adanya penafsiran dengan akal atau tafsir bir-ra’yi. Berikut adalah beberapa pendapat ulama yang membolehkan tafsir bir-ra’yi:
Ulama’ yang membolehkan tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang menyebutkan beberapa alasan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.    Allah telah manganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti  Al-Qur’an, seperti  dalam firman-Nya: 
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

 Artinya :“ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami rahasia-rahasia Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami artinya.
b.    Allah SWT.  membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan kelompok ulama (cerdik cendekiawan). Allah memerintahkan mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum, firman Allah: 
وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡ.
Artinya :“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c.    Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya.[4]
Sedangkan beberapa pendapat para ulama yang melarang adanya tafsir bir-ra’yi adalah sebagai berikut:
Pendapat tentang larangan berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya karena berdasarkan hadis Nabi SAW :
من قال في القرأن يرأيه فأصاب فقدأخطأ
“Siapa yang berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan ra’yinya, kemudian benar,maka itu tetap di anggap salah”.
Menurut Al-Qurthubi, maksud hadis di atas yakni orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kecenderungan hawa nafsunya.
 Menafsirkan Al-Qur’a dengan ra’yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, berdasarkan firman Allah SWT :
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا
Artinya :“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra: 36).
Juga hadis nabi
مَنْ قَالَ فِي القُرأَنِ بِرَأْيِهِ – أَوْ بِمَالَايَعْلَم – فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak di ketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduk di dalam neraka” (HR. At-Tirmidzi).
Menurut Ath-Thabari, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan Rasulullah secara jelas dan tegas, tidak seorangpun diizinkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri. Bahkan apabila tepat dan benar sekalipun ia tetap di pandang telah melakukan sebuah kesalahan. Orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaannya, berarti ia mengatakan sesuatu yang pada dasarnya tidak tahu. Allah telah mengharamkan perbuatan demikian.
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
Artinya :“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" (QS. Al-A’raaf 33).
Kemudian Ath-Thabari menjelaskan bahwa mufassir yang dapat di katakan handal yang dapat di jamin keshahihan argumentasinya yaitu mereka yang menggunakan kaidah-kaidah bahasa, baik menggunakan rujukan syair-syair Arab baku maupun dengan memperhatikan tutur kata dan ungkapan mereka.
C.      Pembagian Tafsir Menggunakan Ijtihad
Tafsir menggunakan ijtihad atau dikenal dengan tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut :
1.      Tafsir al-Maḥmudah
Tafsir al-maḥmudah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
Tafsir bi al-ra’yi al-maḥmd memiliki kemungkinan benar karena menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al–maḥmūd atau tafsir al-masyru’.
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud Salah satu contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh imam al-Mahalli dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”, mengenai surat al-Isra’ ayat 85:
šوَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Imam al-Mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik. Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
2.       Tafsir al-Madzmumah
Tafsir al-madzmum adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat, seperti kitab tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshāriy.[5]
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Madzmum Penafsiran sebagian orang terhadap QS. 55 : 33 adalah:

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْا ۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍ
Artinya : “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”.

Ayat ini di tafsirkan dengan berdasarkan dugaan, bahwa ayat diatas mengisyaratkan kemungkinan para scientis mendarat dibulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian, sebab ayat sebelumnya berbunyi:
“Kepada kamu (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri dari padanya”.
Kedua ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang konteks hari kiamat. Oleh karena itu penafsiran seperti diatas sangat jauh dari konteks ayat itu sendiri. Penafsiran sebagian orang terhadap QS. 104 : 6-7 adalah :
“Yaitu api yang disediakan Allah yang dinyalakan, yang (naik) sampai ke hati”. Mereka berpendapat, ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil ditemukan pada abad 20 dan mampu mendeteksi bagian tubuh manusia. Terlihat jelas kalau mereka membawa ayat diatas kepada makna yang tidak memungkinkan, padahal bila dihubungkan dengan ayat sebelumnya, maka yang dimaksud ayat diatas adalah neraka Jahanam pada hari kiamat. Penafsiran-penafsiran diatas adalah contoh-contoh penafsiran bi al-Ra’yi yang haram, oleh karena penafsiran itu merupakan pemerkosaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dan sangat jauh dari tujuan syar’i.
D.      Dasar Hukum dan Hukum Ijtihad dalam Islam dan Syarat-Syarat Ijtihad
1.      Dasar Hukum Ijtihad
Ada dua sumber utama terkait dengan penjelasan tentang Ijtihad, yaitu:
a.       Al-Qur`an
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. An-Nisa: 105).
b.      As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan oleh Umar:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر
Artinya: “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah, maka ia mendapat satu pahala.”
Dan hadits Mu`adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِمُعَادٍ: بِمَ تَقْضِى؟ قَالَ: بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: أَقْضِى بِمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِي. قَالَ: الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَفَقَّ رَسُوْلَ رَسُوْلِهِ.
Artinya: “Rasulullah SAW bertanya, dengan apa kamu menghukumi?, Ia menjawab, dengan apa yang ada di dalam Kitab Allah. Bertanya Rasulullah, jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Dia menjawab, aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah. Rasul bertanya lagi, jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah? Berkata Mu`adz, aku ber-Ijtihad dengan pendapatku. Rasulullah bersabda, Alhamdulillah, yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.”
2.      Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara`, maka hukum Ijtihad bagi orang itu bias wajib `ain, wajib kifayah, sunnah atau bahkan haram. Ini bergantung kepada kapasitas orang tersebut. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a.       Wajib `ain, yaitu bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nash.
b.      Wajib kifayah, yaitu bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya.
c.       Sunnah, yaitu apabila di lakukan pada persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
d.      Haram, yaitu apabila dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath`i, baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah atau bahkan atas persoalan-persoalan yang sudah ada hasil Ijma` para ulama.[6]
3.      Syarat-syarat ijtihad
Syarat-syarat yang mesti diisi seorang mujtahid sebelum mengerjakan ijtihad. Dalam urusan ini Sya’ban Muhammad Ismail mengetengahkan kriteria-syarat tersebut inilah ini :
a.    Mengetahui Bahasa Arab
b.    Mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai Al Quran
c.    Memiliki pengetahuan yang mencukupi tentang Al Sunnah
d.   Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
e.    Mengetahui Maqashid al-Syariah
f.     Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar
g.    Memiliki pengetahuan mengenai Ushul Fiqih
h.    Niat dan I’tikad yang benar
E.       Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
Muhammad Ma’ruf Ad Dawalibi menyimpulkan Rasulullah saw. menempatkan ijtihad sebagai sumber hukum ketiga dalam ajaran Islam setelah Al Quran dan sunah. Kedudukan ijtihad begitu penting dalam ajaran Islam karena ijtihad telah dapat dibuktikan kemampuannya dahrr menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi umat Islam mulai dari zaman Nabi Muhammad saw. sampai sekarang. Melalui ijtihad, masalah-masalah baru yang tidak dijelaskan oleh Al Quran maupun sunah dapat dipecahkan. Melalui ijtihad, ajaran Islam telah berkembang sedemikian rupal menuju kesempurnaannya, bahkan ijtihad merupakan daya gerak kemajuan umat Islam. Artinya ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam. Dalilnya adalah Al-Qur’an dan Hadist. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidil Haram dan dimana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu kearahnya.” (Q.S. Al-Baqarah 150).
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah (Ka’bah) Masjidil Haram, apabila hendak mengerjakan shalat, ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat shalat itu (Masjidil Haram) melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.
Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi di antaranya sebagai berikut :
1.      Terciptanya suatu keputusan bersama antara para ulama dan ahli agama (yang berwenang) untuk mencegah kemudharatan dalam penyelesaian suatu perkara yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Qur’andanHadist.
2.      Tersepakatinya suatu keputusan dari hasil ijtihad yang tidak bertentangan dengan All Qur’an dan Hadist.
3.      Dapat ditetapkannya hukum terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at berdasarkan prinsip-prinsip umum ajaran Islam.[7]









PENUTUP
Demikian makalah kami paparkan semoga bisa memberi manfaat dan menambah wawasan kita tentang memaafkan kesalahan orang lain, dan kami harapkan kepada pembaca untuk mencari sumber yang lain untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang Ijtihad sebagai sumber penafsiran. Sebagai pemakalah, kami ucapkan terima kasih.




Semoga Bermanfaat, Baca juga


KEPUSTAKAAN
‘Abdu Al-Hamid Hakim, Al-Bayan, jakarta: maktabah sa’adiyyah putra.
Amin Abdulloah,, Falsafat Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997.
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,  Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.


[1] Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Cetakan IV, hlm. 97-98.
[2] Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 3.
[3]‘Abdu Al-Hamid Hakim, Al-Bayan, (jakarta: maktabah sa’adiyyah putra), Jilid.3, hlm. 168
[4]Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 258

[5] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 294
[6] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), Cetakan XV, hlm. 105.
[7] Amin Abdulloah,, Falsafat Kalam di Era Post Modernisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm.
Read more...

Monday, October 15, 2018

Memaafkan Kesalahan Orang Lain

0 comments
PENDAHULUAN

Sebagai umat manusia tentunya sangat tidak bisa untuk menghindari perbuatan yang salah yang membuat orang lain terluka. Memang tidak enak sekali jika seseorang telah melakukan suatu kesalahan, terlebih lagi tidak meminta maaf. Namun terkadang juga banyak orang yang sudah meminta maaf kepada seseorang namun tidak bisa dimaafkan.  Atau terkadang orang yang dimintain maaf telah memaafkan, namun orang tersebut dalam hati tidak ikhlas, sehingga apa sih arti sebuah kata maaf jika tidak dilandasi keihklasan. Akibatnya tentunya adalah maaf itu akan hampa bagai tak terucap.
Apapun jenis tingkat kesalahannya pada hakekatnya jika seseorang yang melakukan kesalahan tersebut sudah berniat dengan ikhlas dan tulus untuk meminta maaf dan berjanji untuk tidak melakukannya, maka hendaknya dimaafkan. Karena sesungguhnya tidak ada keselahan di dunia ini yang tidak bisa dimaafkan jika benar-benar disesali dan berjanji tidak akan mengulanginya kembali.
Namun begitulah manusia, sebagian besar masih mengutamakan emosi dibandingkan hati nurani dalam setiap mengambil keputusan, termasuk dalam hal meminta maaf dan memaafkan.  Hendaknya benar-benar kita tanamkan kepada diri kita bahwa tidak ada di seluruh dunia ini yang terlepas dari kesalahan. Oleh karena itu sekali lagi, sudah sewajarnya kita memberikan kata maaf dengan ikhlas untuk orang-orang yang meminta maaf dengan tulus dan ikhlas pula.









PEMBAHASAN
A.      Hadis Yang Berkaitan Dengan Afwan
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ
 “Dari Abiy Ayûb al-Anshâriy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ‘bersabda; “Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam diamana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling. Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam. ”(HR. Muslim, Hadits No. 2560).

Dari hadis di atas Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meng-hajr (mendiamkan) saudaranya lebih daripada 3 hari. Para ulama menjelaskan bahwa yang di maksud dengan hajr ini (yaitu: memboikot saudaranya, tidak menyalami saudaranya, menjauh dari saudaranya, berpaling tatkala bertemu), berkaitan dengan perkara dunia.
Dan ada sebagian yang mengartikan hajr ini sama dengan Lâ tadâbaru” yang dalam terjemahanya diartikan “Jangan saling menjauhi”. Kata “Lâ tadâbaru” tersebut bisa diartikan, “al mu’âdâh (saling bermusuhan) dan “al-muqâtha’ah (saling memutuskan tali persaudaraan) ataupun saling membelakangi dan “al-Muhâjarah (saling mendiamkan). Maksudnya, hadits-hadits yang menjelaskan ketidakhalalan mendiamkan saudara melebihi tiga hari sebenarnya adalah contoh dari makna “lâ tadâbaru”, seperti dalam hadis Rasullullah SAW. لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا (Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi) Atau dengan kata lain, ketidakhalalan mendiamkan saudara melebihi tiga hari masuk dalam otoritas larangan yang terdapat dalam redaksi “lâ tadâbaru” tersebut. Lebih mudahnya jika di ilustrasikan kedalam bentuk pertanyaan: mengapa mendiamkan saudara kita lebih dari tiga hari tidak di halalkan (tidak diperbolehkan) karena perbuatan tersebut termasuk tindakan tadâbur yang secara eksplisit telah di larang dalam hadits, tepatnya pada redaksi “lâ tadâbaru”  tersebut. Artinya kita dilarang mendiamkan, tidak saling menyapa atau tidak saling berbicara dengan saudara selama tiga hari karena suatu masalah atau komplit antara kita dengannya, jadi dalam hadis ini kita hanya di bolehkan untuk mendiamkan saudara kita selama tiga hari setelah tiga kita di wajibkan untuk saling memaafkan dan saling mengucapakan salam, dan tentu alangkah baiknya kita tidak saling mendiamkan saudara kita.
Dalam bahasa Arab, maaf diungkapkan dengan kata al-afwu. Kata al-afwu, berarti terhapus atau menghapus. Jadi, memaafkan mengandung pengertian menghapus luka atau bekas-bekas luka yang terdapat dalam hati. Dengan memaafkan kesalahan orang lain berarti berhubungan antara mereka yang bermasalah kembali baik dan harmonis karena luka yang ada di dalam hati mereka, terutama yang memaafkan, telah sembuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “maaf” memiliki tiga arti, arti yang pertama yaitu “pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan”, arti yang kedua yaitu “ungkapan permintaan ampun atau penyesalan” serta arti yang ketiga yaitu “ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu”. Dari ketiga arti tersebut, kita biasanya mengetahui arti maaf sebagai arti yang kedua, yaitu ungkapan permintaan ampun atau penyesalan.
Islam mendorong Muslim untuk memiliki sikap pemaaf. Sifat ini muncul karena keimanan, ketakwaan, pengetahuan dan wawasan mendalam seorang Muslim tentang Islam. Seorang Muslim menyadari bahwa sikap pemaaf menguntungkan, terutama mebuat hati lapang dan tidak dendam terhadap orang yang berbuat salah kepadanya, sehingga jiwanya menjadi tenang dan tentram. Apabila ia bukan pemaaf, tentu akan menjadi orang pendendam. Dendam yang tidak terbalas menjadi beban bagi dirinya. Ini penyakit berbahaya karena selalu membawa kegelisahan dan tekanan negatif bagi orang yang bersangkutan. Hanya orang-orang bodoh yang tidak memiliki sikap pemaaf. Allah Subhanahu wa Ta-ala berfirman, "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang baik, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."  (Q.S. al-A’raf : 199)
Sikap pemaaf yang menjadi tradisi Muslim jauh lebih baik dari sedekah yang diberikan dengan diiringi oleh ucapan atau  sikap yang menyakitkan bagi orang yang menerimanya. Allah Subhanahu wa  Ta-ala berfirman, "Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyatun."  (Q.S. al-Baqarah : 263).
Suka memberi maaf kepada orang yang berbuat salah merupakan ciri orang bertakwa. Orang yang demikian akan memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya, meskipun yang bersalah tidak pernah minta maaf kepadanya.
B.       Keutamaan Saling Memaafkan
Seorang Muslim bukan hanya dituntut untuk meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya tetapi juga memberikan maaf. Ia juga diperintahkan berbuat baik kepada yang pernah berbuat salah kepadanya. Mereka yang mampu berbuat demikian mendapat kedudukan tinggi, pujian dan pahala yang baik. Dengan demikian ada beberapa keutamaan dari saling memaafkan, sebagai berikut : Pertama, dapat menyelesaikan perselisihan atau perseteruan. Perselisihan atau perseteruan mungkin timbul lantaran ada pihak yang melakukan perbuatan aniaya dan pihak lain merasa teraniaya. Jika pihak yang bersalah tidak mau meminta maaf, dan pihak yang merasa teraniaya juga enggan memaafkannya, maka perselisihan tersebut akan sulit diselesaikan. Tetapi dengan adanya sifat pemaaf niscaya perselisihan dan perseteruan tersebut dapat didamaikan.
Kedua, dapat menghilangkan rasa benci, dengki dan dendam. Benci, dengki dan dendam mungkin timbul karena suatu perseteruan yang belum bisa diselesaikan, lalu mendorong pihak-pihak yang berseteru untuk melakukan balas dendam, mencederai dan menghancurkan pihak lawan. Jika masing-masing pihak berlapangdada serta dengan tulus mau berdamai dan saling memaafkan, insya Allah rasa benci, dendam dan dengki tersebut akan bisa dihilangkan.
Ketiga, dapat menyambung silaturrahim yang telah putus. Dua orang bersaudara atau bertetangga, bisa jadi terganggu komunikasinya sehingga bertahun-tahun tidak saling bertegur-sapa. Padahal, pemicunya mungkin sepele, katakanlah gara-gara masalah anak. Namun karena keduanya merasa berada di pihak yang benar dan tidak ada yang mau mengalah, akibatnya silaturrahim antara keduanya menjadi terputus.
Keempat, dapat memperkokoh ukhuwah Islamiyah (persatuan dan kesatuan umat). Di dalam kehidupan umat Islam banyak terjadi perbedaan faham dan pendapat, baik di bidang fikih maupun bidang-bidang lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut kadang sampai menimbulkan konflik dan benturan yang cukup keras. Maka, bila setiap Muslim bersikap pemaaf terhadap saudaranya, berlapang dada dan saling menghormati pendapat yang berbeda tersebut, insya Allah persatuan dan kesatuan umat akan bisa diperkokoh.
Kelima, pemaaf itu dapat menghilangkan rasa permusuhan dan memperbanyak teman. Islam melarang permusuhan antar sesama. Sebaliknya, Islam sangat menganjurkan membangun persahabatan sebanyak mungkin. Untuk itulah Islam menganjurkan sifat pemaaf dan ketulusan hati kepada para pemeluknya, karena sifat pemaaf yang tulus itu akan menghilangkan sifat benci dan dendam, menghilangkan rasa permusuhan dan mempersubur persahabatan.
Keenam, melahirkan sifat tawadu', menghilangkan sifat sombong dan angkuh. Sifat sombong dan angkuh dapat timbul pada diri seseorang, karena ia merasa lebih dari yang lain, paling baik, paling benar dan paling mampu dalam segala hal. Sifat-sifat ini sering membuat orang enggan meminta maaf, karena ia merasa tidak pernah bersalah, sehingga ia gengsi untuk meminta maaf, bahkan meminta maaf dianggapnya identik dengan kerendahan diri.
Ketujuh, dapat menghapus dosa dan memudahkan jalan ke surga. Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang dan tidak akan memasukkannya ke surga sebelum orang tersebut terlebih dulu menyelesaikan urusannya di dunia, sangkut pautnya dengan orang lain sehingga mereka berdamai dan saling memaafkan.
Kedelapan, menjadikan hati tenang-tenteram. Dosa adalah sesuatu yang membuat pelakunya gelisah, tidak tenang. Apalagi kalau dia telah menyadari betul bahwa perbuatannya itu tidak benar, maka bisa dipastikan, maka hidupnya tidak akan pernah merasa tenang, setiap hari dihantui oleh rasa bersalah atau berdosa. Jika dia telah meminta maaf, dan kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, barulah hatinya akan tenang.
Kesembilan, sifat pemaaf itu akan melahirkan pemaaf juga. Ada orang yang ingin semua kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, sementara dia sendiri enggan memaafkan kesalahan orang lain. Tentu orang lain akan sulit menerima hal itu. Jika kesalahan kita ingin dimaafkan oleh orang lain, maka terlebih dahulu maafkanlah kesalahan-kesalahan orang lain, niscaya orang lain akan memaafkan kesalahan kita.
C.      Cara Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Memaafkan kesalahan seseorang adalah tanda orang yang bertakwa. Wajib memberi maaf jika telah diminta dan lebih baik lagi memaafkan meskipun tidak diminta. Jika kita mengalami kesulitan untuk memaafkan saudara kita lantaran kesalahan yang mereka lakukan  terhadapkan kita, yang membuat kiata sulit untuk memaafkannya, dengan beberapa cara di bawah ini kita dapat untuk memaafkan kesalahan orang lain terhadap kita, sebagai berikut :
1.      Terima apa yang telah dilakukannya dan akui bahwa kita tidak dapat mengendalikan hal itu. Akan tetapi, kita dapat mengendalikan cara diri kita bereaksi.
2.      Akui kekurangan diri sendiri dan kemungkinan menyakiti orang lain untuk membantu menerima kesalahan dan melepaskan kebencian. Semua pernah membuat kesalahan, dan mengakui kesalahan akan membantu kita memahami kesalahan orang yang menyakiti perasaan kita.
3.      Menghilangkan kebencian bukanlah upaya yang akan berhasil dalam semalam, tetapi semakin cepat kita berusaha, hal itu akan semakin menjadi prioritas. Daripada gelisah, berfokuslah ke masa depan.
Sifat ‘tak kenal maaf’ atau ‘tiada maaf bagimu’ adalah sifat syaitan. Ia akan membawa keretakan dan kerusakan dalam pergaulan bermasyarakat. Masyarakat aman damai akan terwujud jika anggota masyarakat itu memiliki sikap pemaaf dan mengerti bahwa manusia tidak terlepas dari pada salah dan alpa.
Imam Al-Ghazali memberi tiga panduan bagi memadamkan api kemarahan dan melahirkan sifat pemaaf. Apabila marah hendaklah mengucap “A’uzubillahiminassyaitanirrajim” (aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk). Apabila marah itu muncul ketika berdiri, maka hendaklah segera duduk, jika duduk hendaklah segera berbaring.  Orang yang sedang marah, sunat baginya mengambil wuduk dengan air yang dingin. Hal ini kerana kemarahan itu berpunca dari pada api, manakala api itu tidak bisa dipadamkan melainkan dengan air.







KEPUSTAKAAN

Martin, A.D. Emotional Quality Management: Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Penerbit Arga, 2003.
https://umayaika.wordpress.com/2012/05/01/larangan-saling-mendiamkan-melebihi-tiga-hari-klarifikasi-status-tiga-hari/
https://saputra51.wordpress.com/2012/02/24/memaafkan-itu-indah/

Read more...

Saturday, October 13, 2018

KRITIK MATAN ORIENTASI KE-MA’MUL-AN HADIS AHAD YANG BERTENTANGAN DENGAN AMAL PENDUDUK MADINAH

0 comments
PEMBAHASAN

A.      Pengertian kritik matan orientasi ke-ma’mul-an hadis tentang hadis ahad yang berlawanan dengan amal penduduk Madinah

Kritik matan orientasi ke-ma’mul-an hadis adalah hadis ahad yang maqbul (sahih atau hasan) berbeda pengamalannya dikalangan para ulama fikih karena adanya kriteria tertentu yang ditambahkan oleh oara ulama tersebut.
Kritik matan orientasi ke-ma’mul-an hadis tentang hadis ahad yang berlawanan dengan amal penduduk Madinah adalah mengkritik matan hadis ahad yang maqbul (sahih atau hasan) yang bertentangan dengan amal penduduk madinah, karena adanya para ulama yang berpolemik dan berbeda cara mengamalkannya, disebabkan mereka mempunyai argumentasi atau kriteria masing-masing dalam mengamalkan hadis tesebut. Ulama yang berpolemik dalam hal ini adalah Imam Syafi’i dan Imam Hanafi.

B.       Contoh kritik matan orientasi ke-ma’mul-an hadis tentang hadis ahad yang berlawanan dengan amal penduduk Madinah
Adapun contoh dari ke-ma’mul-an hadis tentang hadis ahad yang berlawanan dengan amal penduduk Madinah yaitu hadis tentang tidak sah nikah tanpa wali, sebagai berikut :
وعن أبى بردة عن أبى موس عن أبيه رضى الله عنهما : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا نكاح إلا بولي. (رواه الإمام احمد و الأربعة و صححه ابن المدينى والترمذى وابن حبان واعله الإرسال)
Artinya : Dari Abu Bur dah ibnu Abi Musa dari  ayahnya semoga Allah meridhoi mereka, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Tidaklah sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali”. ( HR. Ahmad dan Imam yang empat. Hadis sahih menurut al- Madini dan Tirmidzi dan Ibnu Hibban dan, sebagian menulainya hadis Mursal).[1]
Hadis di atas menunjukan bahwa wali merupakan bagian yang mutlak untuk suatu pernikahan, artinya tidak sah nikah tanpa adanya wali. Akan tetapi pada kenyataan masih ada yang melaksanakan penikahan tanpa wali, hal ini berlaku bukan karena tidak berdasar, melainkan karena adanya ulama yang membolehkan nikah tanpa wali. Sebagaimana penduduk Madinah dalam hal pernikahan berbeda pengamalanya dengan hadis diatas, yang mana penduduk Madinah  tidak mengamalkan hadis tersebut dalam pernikahan, mereka menganggap sah nikah tanpa wali.

C.      Ulama yang berpolemik serta argumentasinya mengenai hadis ahad yang bertentangan dengan amal penduduk Madinah
1.      Imam Malik.
Imam Malik menolak hadis ahad ini karena menurutnya amal penduduk Madinah yang lebih diutamakan dan wali bukan syarat sah nikah, namun untuk melambangkan kesempurnaan saja, jadi boleh boleh saja menikah tanpa wali. Dengan beragumentasi bahwa Nabi lebih lama hidup di Madinah, di Madinah itulah Nabi mengaplikasikan dan menyemarakkan ajaran Islam. Ketika di Madinah kehidupan umat islam lebih bermasyarakat dari pada Mekah. Ketika di Mekah selama sepuluh tahun, Nabi dan sahabat cukup sibuk berperang melawan dengan orang kafir, sehingga kehidupan masyarakat belum tertata dengan baik. Menurut Imam Malik penduduk Madinah telah mencerminkan atau menggabarkan kehidupan umat islam yang semestinya, sehingga jika ada hadis ahad yang berlawanan dengan amal penduduk Madinah maka hadis ahad ditolak dan diutamakan mengamalakan amal penduduk Madinah.
2.      Iman asy-Syafi’i
Iman asy-Syafi’i berpendapat bahwa tidaklah sah suatu pernikahan tanpa adanya wali, karena wali merupakan rukun sekaligus syarat sahnya suatu pernikahan. Dengan alasan, jika dibolehkan nikah tanpa wali maka sebelum menikah orang akan banyak melakukan hubungan badan, karena beranggapan nikah adalah suatu perkara yang mudah, dan akan membawa kemudharatan yang sangat besar. Oleh sebab itu untuk mencegah kemudharatan maka adanya wali sangat diperlukan.
Imam Syafi’i menolak amal penduduk madinah dan lebih mengutamakan hadis. Imam Syafi’i menolak pendapat Imam Malik dengan argumentasinya tidak ada alasan untuk menolak hadis ahad hanya karena berlawanan dengan amal penduduk Madinah menurut Imam Syafi’i tidak ada jaminan untuk lebih mengamalkan amal penduduk Madinahl walaupun Nabi lebih lama hidup di Madinah, sebab hadis ahad yang shahih merupakan sumber hukum yang paling tinngi dari pada amal penduduk Madinah.
Jadi, mengenai hadis tentang nikah tanpa wali, Iman asy-Syafi’i mengamalkan tidak sah nikah tanpa wali sebagaimana yang di jelaskan oleh hadis.

 



KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa apabila terjadi pertentangan antara hadis ahad dengan dengan amal penduduk Madinah maka menurt Imam Malik yang diamalkan adalah sesuai dengan amalan penduduk Madinah, sedangkan menurut Imam asy-Syafi’i, jika terjadi pertentangan antara hadis ahad yang maqbul dengan dengan amal penduduk Madinah, maka yang diamalkan adalah hadis ahad, karena tidak ada jaminan amalan bagi penduduk Madinah lebih di utamakan dari pada hadis Nabi.

 



DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam. Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka Azzam. 2006.



[1] Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarah Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. 312
Read more...

Friday, October 12, 2018

HERMENEUTIKA DALAM MEMAHAMI HADITS

0 comments

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pada saat ini kemajuan ilmu pengetahuan tidak berkembang begitu saja. Namun mengalami proses yang sangat panjang, yang banyak melibatkan banyak ilmuan dengan beragam budaya. Pada awalnya perhatian tertuju pada perlunya memahami sejarah awal Islam guna membongkar reifikasi yang menyelimuti pandangan umat Islam terhadap kesejatian Al-Qur’an.
Selanjutnya diperluas menjadi perlunya umat islam membuat pembedaan antara aspek legal spesifik Al-Qur’an dengan aspek ideal moralnya. Dan sunnah ideal dengan sunnah hidup. Belakangan setelah makin meyakinkan akan lemahnya metode penafsiran konvensional, perhatian awal yang dipadukan dengan pembedaan kedua aspek tersebut dikukuhkan dengan teori gerakan ganda. Teori inilah yang mengawali pembahasan Rahman tentang hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi. Untuk itu maka kami akan membahas tentang hermeneutika Fazlur Rahman.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa itu hermeneutika?
2.    Bagaimana sejarahnya?
3.    Bagaimana biografi dan setting historis Fazhur Rahman?
4.    Bagaimana konsep sunnah menurutnya?
5.    Bagaimana aplikasi hermeneutika menurutnya?









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hermeneutika
Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan istilah ini kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia.
Mitos ini menjelaskan tugas seorang Hermes yang begitu penting, yang bila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang Dewa. Berhasil tidaknya misi itu tergantung dapa cara bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan demikian, hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.[1]
B.       Sejarah Hermeneutika
Benih-benih pembahasan hermeneutika ditemukan dalam Peri Hermeneies karya Aristoteles. Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika.
Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan hermeneutika, bahwa hermeneutika adalah sebuah gerakan interpretasi atau eksegesis di awal perkembangannya. Pada abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang.[2]

C.      Sekilas Tentang Fazlur Rahman dan Setting Historis
Fazlur Rahman lahir di Hazara, kini menjadi bagian dari Pakistan, pada 21 September 1919.[3]Ia yang mengaku dirinya sebagai salah seorang pemikir neo-modernis merupakan pemikir Islam yang paling serius dan produktif pada era kontemporer ini. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir Islam liberalnya, seperti Syah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal. Ia dibesarkan dalam kelurga yang bermazhab Hanafi.
Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, ia juga menimba banyak ilmu tradisi onal dari ayahnya, seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergensi dinanak benua Indo-Pakistan. Menurut ia sendiri , ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh,ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala. Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syari’ah lainya. Ayahnya adalah kyai tradisioal yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia sangat apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karir pendidikannya.
Setelah menamatkan sekolah menengah Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departemen Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Unuversitas tersebut dengan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Pada tahun 1946 ia melanjutkan studi doktornya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951.
Ia juga giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehingga ia menguasai banyak bahasa. Ia juga pernah mengajar di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada. Pada Agustus 1962 ia kembali ke Pakistan. Ia diangkat menjadi direktur pada Institute of Islamic Research. Ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964.
Lembaga tersebut bertujuan untuk menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”.[4]
Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan.
Rahman mengundurkan dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969. Dan ia memutuskan jijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languanges and Civilization, University of Chicago. Baginya tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab.[5]
D.      Konsep Sunnah Dalam Pandangan Fazlur Rahman
Mula-mula tidak terdapat masalah berkaitan dengan hadis Nabi. Namun kemudian muncul suatu fenomena penyebaran hadis-hadis palsu, akhirnya memaksa ulama (terutama ahli hadis) untuk melakukan penyeleksian hadis-hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi dan selainnya. Dalam rangka penyeleksian ini, dibuatlah teori-teori yang dapat menjamin tingkat validitas, reabilitas serta akseptabilitas suatu hadis. Hal ini menjadi sangat wajar mengingat posisi hadis Nabi sebagai eksplanatori bagi Al-Qur’an dalam mengambil istimbat hukum.
 Hadis-hadis yang terformulasikan dalam beberapa kitab hadis tersebut dianggap sebagai sebuah ketentuan yang bersifat pasti, kaku dan tetap. Dengan kata lain sebuah ketentuan yang berlaku sepanjang abad tanpa perlunya penafsiran ulang terhadapnya. Dalam konteks inilah Rahman mencuat dan mengambil langkah yang berbeda dalam mengungkapkan dan memformulasikan konsep sunnah dan hadis, hal ini merupakan respon dan bentuk kritiknya terhadap konsep tersebut.
Untuk menjawab kedua pandangan tersebut, ia terlebih dahulu mengemukakan konsep sunnah. Dalam pandangannya ada dua arti sunnah yang saling berhubungan erat, namun harus dibedakan. Pertama, sunnah berarti perilaku Nabi, dan karenanya, ia memperoleh sifat normatifnya. Dalam hal ini sunnah Nabi atau sunnah normatif ataupun sunnah ideal harus dipandang sebagai sebuah konsep teladan, pedoman dan konsep pengayoman yang umum yang terbungkus dalam ketentuan yang bersifat khusus.
Kedua, sepanjang tradisi (perilaku Nabi) tersebut berlanjut secara diam-diam dan non verbal, maka kata sunnah ini juga diterapkan pada kandungan aktual perilaku generasi sesudah Nabi, sepanjang perilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani pola perilaku Nabi.[6]
Adapun perubahan-perubahan yang terjadi ini adalah hasil dari kesimpulan/interpretasi para sahabat terhadap sunnah normatif Nabi, yang mana kemudian bermetamorfosis menjadi sunnah yang hidup dan sunnah aktual.
Secara teoritis dapat disimpulkan secara langsung bahwa sunnah adalah sebuah tema perilaku (behaviral) yang bercorak situasional, karena di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya, secara moral, psikologis dan material, maka sunnah Nabi tersebut haruslah dapat dikembangkan, diinterpretasikan dan diadaptasikan, pada bagian ini sunnah secara terus-menerus mengalami evolusi dari generasi ke generasi.
Berkaitan dengan penjelasan konsep sunnah para orientalis diatas, Rahman mempunyai dua keberatan, yaitu keberatan logika dan historis. Kebereratan logikanya adalah berkaitan dengan Ignaz yang menganggap sunnah di satu sisi sebagai praktek normatif dari masyarakat muslim awal dan pada sisi lain ia anggap sebagai praktek yang hidup serta aktual.
Sedangkan keberatan historisnya adalah Nabi tidak meninggalkan warisan apapun selain Al-Qur’an. Kedua keberatan ini dijawab Rahman dengan menunjukkan kesalahan mereka terhadap pemahaman konsepsi sunnah. Sekaligus koreksi ini terkait dengan keberatan Rahman terhadap tesisi masyarakat muslim awal. Menurutnya konsep itu tidak benar karena yang normatif dan yang aktual adalah saling bertentangan. Bahkan beberapa penulis modern (para orientalis) menganggap bahwa sampai abad ke-2H/8M istilah sunnah tidak berarti praktek Nabi, tapi praktek masyarakat lokal kaum muslimin Madinah dari Iraq.
Dalam hal ini Rahman menyanggah pandangan orientalis tersebut dengan menegaskan:
1.         Bahwa sementara kisah perkembangan sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan kandungannya, tetapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam hingga masa kini.
2.         Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak.
3.         Bahwa konsep sunnah sesudah Nabi wafat tidak mencakup sunnah Nabi tapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut. Dan sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan proses yang semakin meluas secara terus-menerus.
4.         Bahwa setelah gerakan pemurnian hadis secara besar-besaran hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma’menjadi rusak.[7]
E.       Aplikasi Hermeneutika Fazlur Rahman: Dekontruksi Konsep Hukum
Aplikasi hermeneutika Fazlur Rahman seperti dalam masalah sunat perempuan, beliau mengatakan dalam Al-Qur’an tidak disebutkan sama sekali perihal sunat perempuan, sedangkan dalam hadis disebutkan, tetapi memunculkan penafsiran yang berbeda-beda. Adapun nash yang sering dijadikan pijakan dalil yang artinya: “dari Anas ibnu Malik ra. Rasulullah saw bersabda kepada Ummu Atiyah: apabila kamu mengkhifad, janganlah berlebihan karena yang tidak berlebihan itu akan menambah cantik wajah dan menambah kenikmatan dalam berhubungan dengan suami” (HR. Tabrani)
Dari pemahaman nash tersebut, pelaksanaan sunat perempuan diindikasi pernah dilakukan di zaman Nabi. Hukum pelaksanaannya tidak lebih jelas dibandingkan sunat atau khitan laki-laki(khilafiyah). Ada yang mengatakan bahwa sunat perempuan adalah kewajiban, sebagaimana khitan laki-laki karena jelas tertuang dalam teks. Sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa sunat perempuan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, tetapi lebih dari warisan kebudayaan jahiliyah. Mazhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa sunat laki-laki dan perempuan hukumnya adalah wajib. Sementara Mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa sunat perempuan berhukum mubah yang artinya boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan berbeda dengan pendapat Imam Yusuf al-Qordawi yang mengatakan bahwa pengertian dari sunat perempuan adalah sejenis khitan ringan.
Merespon hal tersebut, pendapat Fazlur Rahman bisa menjadi alternatif perspektif yang menarik. Rahman mengatakan bahwa bagian penting yang harus dilakukan dalam mempelajari pesan al-Qur’an dan hadis secara keseluruhan sebagai pesan yang menyatu adalah memahami secara lengkap latar belakang kemunculannya. Latar belakang yang paling pokok adalah kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan perjuangannya. Termasuk juga kebutuhan memahami kondisi Arab, baik pra Islam maupun ketuka Islam datang, yaitu kebudayannya, realitas sosialnya, istitusi, kehidupan ekonomi dan politiknya. Dalam konteks ini, haruslah dapat memahami semua unsur-unsur ini, bukan hanya dipahami secara persial. Metode persial menurut Amina Wadud akan mengakibatkan termarginalisasinya posisi perempuan, padahal Islam memberi posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki.
Adanya anggapan bahwa Nabi adalah orang yang membenci wanita merupakan hal yang perlu dikaji lebih jauh, perempuan semasa Nabi berada dalam keadaan yang tertindas oleh dominasi kekuasaan laki-laki. Artinya, Nabi tidak bisa dipertanggungjawabkan untuk hal itu. Kedatangannya justru dianggap sebagai pahlawan karena mengangkat citra perempuan yang begitu buruk menjadi makhluk yang patut dihargai. Kasus warisan bisa menjadi contoh. Jika pada awalnya permpuan menjadi objek warisan, setelah Islam datang perempuan memiliki hak mendapatkan warisan. Artinya, sikap sebenarnya Nabi terhadap perempuanadalah menghargai.
Hal ini yang kemudian hendak dirumuskan Fazlur Rahman ketika menafsirkan sebuah nash. Teori gerak ganda menjadi pilihan dengan menggabungkan logika sejarah dengan kondisi kekinian. Dengan menggabungkan kedua prinsip tersebut, apa yang diinginkan secara ideal moral betul-betul muncul. Pemahaman ini memposisikan nash sebagai respon. Respon bisa memiliki makna positif, artinya menolak fenomena tersebut. Model penolakannya tersebut bisa bersifat langsung dan ada yang bersifat bertahap, tergantung keadan sosial-budaya masyarakat pada saat itu.[8]


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan istilah ini kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.
Fazlur Rahman seorang intelektual muslim, asal pakistan yang mengklaim dirinya sebagai tokoh yang berdiri di barisan neo-modernisasi berpandangan, bahwa umat Islam mengalami krisis metodologybyang tampaknya sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam ke masa depan, karena menurutnya metodologi sebagai titik pusat penyelesaiann krisis intelektual Islam.
B.       Kritik
Demikianlah uraian yang dapat kami tulis dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khusunya dan bagi pembaca pada umumnya. Dan kami menyarankan supaya pembaca mencari sumber lain yang membahas tentang pembahasan ini, serta tidak terhenti sampai disini saja.



DAFTAR PUSTAKA

Rahkman, Arif Kurnia. 2009. Sunat Perempuan Di Indonesia. Vol. 2. No. 1.
Sibawaihi. 2007. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra.
Syamsuddin, Sahiran. 2010. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: ELSAQ Press.







[1] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal. 6
[2] Ibid., hal. 7
[3] Ibid., hal. 17
[4] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hal. 326-329
[5] Ibid., hal. 329-330
[6] Ibid., hal. 330-332
[7] Ibid., hal.333-336
[8] Arif Kurnia Rakhman, Sunat Perempuan Indonesia, Vol. 2. No. 1. 2009. Hal. 71-73
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018