BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kitab suci Al-Qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang diturunkan melalui malaikat Jibril. al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi yang Ummy (tidak bisa baca tulis),
begitu juga dengan masyarakatnya. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang
membutuhkan penjelasan untuk memahaminya. Ketika wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW.,
beliau langsung menjelaskan isi kandungan wahyu tersebut mesti sulit untuk
dipahami. Setelah wahyu diturunkan dengan sempurna maka muncullah penafsiran
al-Qur’an dengan al-Qur’an, as-Sunnah, sahabat, dan perkataan tabi’in. Karena
yang ditafsirkan pada saat itu hanya yang sulit dipahami saja, ketika masa
tabi’in sudah banyak permasalahan yang muncul dan membutuhkan penjelasan. Jadi
karena tidak ada dalam penjelasan yang sebelumnya, maka muncullah tafsir
al-Qur’an dengan perkataan sahabat.
Untuk itu kami selaku pemakalah akan
membahas tentang tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in. Untuk lebih
lanjutnya mari kita simak makalah berikut ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tafsirf
pada masa tabi’in?
2. Bagaimana corak
tafsir pada masa tabi’in?
3. Apa kelebihan tafsir
tabi’in?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana kita ketahui sahabat
terkenal dengan ahli tafsir, karena generasi sahabat yang paling dekat dengan Nabi SAW., maka sebagian tabi’in terkenal dengan ahli tafsir
dimana para tabi’in mengambil tafsir dari mereka (sahabat) yang sumber-sumbernya
berpegang kepada sumber-sumber yang ada pada masa sebelumnya, disamping adanya
ijtihad dan penalaran.
1. Sumber-sumber
tafsir pada masa tabi’in
Menurut Ustadz Muhammad Husain
Adz-Dzahabi: para mufassir dalam memahami Kitabullah Ta’ala adalah
berpegang kepada:
a. Kitabullah
b. Riwayat dari sahabat
dari rasulullah saw.
c. Riwayat dari sahabat
dari penafsiran mereka sendiri
d. Pengambilan dari
ahlil kitab berdasar apa yang datang di dalam kitab mereka
e. Ijtihad dan pemahaman
yang diberikan Allah kepada para Tabi’in
untuk mengetahui makna Al-Qur’an.
Para tabi’in dalam
mempelajari dan memahami isi-isi Al-Qur’an adalah melangsungkan
tindakan-tindakan yang dipraktikkan para sahabat, yaitu mereka ada yang
menerima dan ada yang menolak tafsir bil ijtihad. Diantara yang menerima dasar
ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Mujahid, Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
Mereka ini melarang bagi orang-orang yang tidak sempurna alat-alat tafsirnya
untuk menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
a. Orang yang kurang
pengetahuan bahasa Arabnya
b. Orang yang belum
mampu mempelajari Al-Qur’an dalam segi hubungan mujmal dan mufashshalnya. [1]
Ahli tafsir kalangan tabi’in lainnya seperti Sa’id
bin Jubair, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha bin Abu Rabbah, Al-Hasan
Al-Basri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Al-Aliah, Ar-Rafi’
bin Anas, Qadatah, Adh-Dhahhak bin Muzahim, kalangan tabi’in lainnya, tabi’it
tabi’in, dan generasi sesudahnya.
Pendapat mereka tentang tafsir ayat sering
mengemuka, lalu memunculkan keberagaman redaksi, yang dianggap perbedaan (ikhtilaf)
oleh orang yang tidak berilmu. Selanjutnya, ia meriwayatkan tafsir tersebut
dalam beberapa pendapat. Sebenarnya tidak demikian. Sebab, di antara tabi’in ada
yang mengungkapkan tafsir ayat berdassarkan kelaziman atau analognya, dan ada
juga yang mengemukakan tafsir ayat apa adanya. Dalam banyak kasus, seluruh
tafsir ini memiliki makna yang sama.
Al-Allamah Ibnu Utsaimin mengatakan:
Jika mereka berselisih pendapat, pernyataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan
hujjah bagi yang lain. Melalui pendapat ini Ibn Taimiyah memberi isyarat bahwa,
ulama berbeda pendapat megenai kehujjahan pernyataan tabi’in dalam bidang
tafsir. Kalangan tabi’in sering berbeda pandangan dalam menanggapi suatu kasus.
Tabi’in yang belajar tafsir Al-Qur’an secara langsung dari sahabat tentu
berbeda dengan mereka yang tidak mengkaji Al-Qur’an. Bersamaan dengan itu,
apabila tabi’in tidak menyandarkan pendapatnya pada sahabat, pendapat tersebut
tidak dapat dijadikan hujjah bagi generasi sesudahnya, ketika tidak sependapat
dengan mereka. Alasannya, tabi’in tidak selevel dengan sahabat, tetapi
pendapatnya lebih mendekati kebenaran.
Semakin dekat satu generasi pada masa kenabian, ia
semakin dekat pada kebenaran dibanding generasi sesudahnya. Generasi paska
ulama generasi awal didominasi oleh hawa nafsu, di samping antara masa mereka
dan masa Rasulullah terpisah oleh waktu yang cukup panjang. [2]
Metode tafsir Al-Qur’an ada empat, menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, pendapat para sahabat, dan pendapat
tabi’in. Namun, metode yang terakhir masih diperdebatkan. Ibn Taimiyah
berpendapat, apabila tabi’in bersepakat atas suatu hal maka pendapatnya bisa
dijadikan pedoman. Sebaliknya, jika tabi’in berselisi pendapat, hal itu belum
bisa dijadikan pedoman.
Al-Allamah Ibnu Jibrin menyatakan:
Apabila anda tidak menemukan tafsir (penjelasan
suatu ayat) dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, juga tidak ditemukan dalam pendapat
sahabat, mayoritas imam dalam kasus ini merujuk pada pendapat tabi’in. Karena
tabi’in adalah murid-murid sahabat. Tabi’in belajar langsung dari sahabat. Para
sahabat menyampaikan apa yang telah mereka pelajari. Sementara itu, sahabat
belajar kepada Rasulullah. Murid-murid mereka, kalangan tabi’in, belajar kepada
sahabat. Jadi tafsir tabi’in lebih valid dibanding tafsir generasi sesudahnya
yang mengkaji dan menafsirkan Al-Qur’an tanpa dalil.
Seperti Mujahid Bin Jubair. Ia seorang mantan
budak, maula. Tetapi, Allah telah membuka pikiran dan mengaruniai ilham
kepadanya. Ia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas. Ia mendapat julukan
ayat fit tafsir, orang yang paling menguasai ilmu Al-Qur’an dan tafsir.
Asy-Syafi’i sering berpedoman pada tafsir Mujahid.
Beliau menjadikan tafsir Mujahid sebagai rujukan dalam bidang hukum, sastra,
akhlak, kisah, amtsal, dan sebagainya.[3]
Diantara tabi’in ada yang mengungkapkan tafsir
ayat berdasarkan kelaziman atau analognya. Maksudnya, kata yang menyerupai,
kata yang diserupakan, atau dengan kata yang sejenis, dan sebagainya.
Ketika Ibn Jarir menafsirkan firman Allah, yang
artinya: “Harta benda yang bertumpuk” (Ali Imran: 14), beliau
mencantumkan perbedaan para ahli tafsir tentang kata al-qinthar dalam
surat Ali Imram ayat 75:
وَمِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مَنۡ إِن تَأۡمَنۡهُ
بِقِنطَارٖ يُؤَدِّهِۦٓ ...
Artinya: “Dan diantara
ahli kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak”.
Dan surat An-Nisa’ ayat
20:
...وَءَاتَيۡتُمۡ
إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا ...
Artinya:“Sedang kamu telah memberikan kepada seorang
diantara mereka harta yang banyak”.
Pernyataan
para ahli tafsir mengindikasikan bahwa Al-Qinthar adalah “harta yang banyak”,
tanpa perlu memperkirakannya dengan bilangan tertentu, yang menunjukkan
bolehnya mengungkapkan makna suatu kata dengan analognya, kelazimannya, atau
bagiannya.
Dan
ada juga yang mengemukakan tafsir ayat apa adanya. Maksudnya, di antara mufassair dari kalangan
tabi’in ada yang mengungkapkan makna suatu kata dengan kelazimannya, ada pula
dengan analognya,dan ada juga yang menjelaskan tafsir ayat apa adanya.[4]
Antar para ahli tafsir juga terkadang terjadi oerbedaan
pendapat. Contohnya, tafsir kata nusuk yang tercantum dalam firman Allah
Ta’ala, Q.S. al-Baqarah: 196
... فَفِدۡيَةٞ مِّن صِيَامٍ
أَوۡ صَدَقَةٍ أَوۡ نُسُكٖۚ ...
Artinya:“Dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah
atau berkurban”.
Mayoritas ahli tafsir
mengatakan, hewan yang diqurbankan cukup seekor kambing. Sebagian ahli tafsir
lain menerangkan, qurbannya harus seekor sapi. Ahli tafsir lainnya menjelaskan nusuk
adalah umrah atau ibadah, seperti tercantum dalam Q.S. al-Baqarah: 200:
فَإِذَا قَضَيۡتُم مَّنَٰسِكَكُمۡ ...
Artinyas: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
hajimu”.
Sementara ahli tafsir yang mengartikan nusuk dengan dam,
berargumendengan firman Allah Ta’ala, Q.S. Al-An’am: 162
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي
لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Artinya: “Katakanlah,
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam”.
Maksudnya nusuk
adalah ibadah. Menurut pendapat lain, nusuk adalah menyembelih hewan
kurban.[5]
Pendapat tabi’in dalam
masalah furu’ bukan hujjah. Furu’, atau berbagai cabang permasalahan hukum,
seperti shalat, haji, jual beli, riba, nikah, dan sebagainya. kemungkinan besar
ketentuan ini hanya berlaku jika ikhtilaf antara tabi’in dalam berbagai pendapat
tersebut, maka ia tidak bisa dijadikan hujjah. Demikian ini karena ikhtilaf
tabi’in merupakan indikator bahwa masalah tersebut bersifat ijtihadi.
Al-Allamah Shalih Alu
Syaikh menyatakan: sumber tafsir kalangan tabi’in berasal dari sejumlah
orientasi atau kajian berikut ini:
Pertama, kajian tafsir yang
bersumber dari para sahabat. Ini yang paling banyak. Seorang tabi’in yang
berguru pada seorang tabi’in akan
menafsirkan sesuai tafsirnya. Tabi’in yang belajar kepada Ibn Mas’ud akan
menafsirkan Al-Qur’an sesuai tafsir Ibn Mas’ud. Tabi’in yang berguru pada Ubay
bin Ka’ab menafsirkan sesuai karya Ubay. Dan seterusnya.
Kedua, ijtihad seorang tabi’in.
Tabi’in berusaha keras menafsirkan Al-Qur’an, dan mengeluarkan produk tafsir
berdasarkan ijtihadnya.
Ketiga, kondisi tabi’in dalam
proses menafsirkan Al-Qur’an. Seorang tabi’in dalam satu kesempatan membatasi
diri untuk menjelaskan satu kata saja, karena ia ditanya tentang kata itu.[6]
2.
Nilai tafsir para tabi’in
Para ulam berbeda pendapat mengenai tafsir yang ditinggalkan
dari tabi’in apabila hal itu tidak dinukil dari rasulullah atau sahabat.
a.
Sebagian ulama berpendapat
bahwa tafsir mereka tidak diambil karena mereka tidak menyaksikan
qarinah-qarinah dan keadaan-keadaanyang mana Al-Qur’an itu turun, maka dalam memahami
maksudnya mereka mungkin salah.
b.
Sebagian besar mufassirin
berpendapat bahwa tafsir mereka itu diambil karena mereka itu biasanya menerima
dari sahabat.
c.
Pendapat yang rajih/
unggul adalah apabila tafsir itu merupakan ijma’/ kesepakatan para tabi’in
terhadap suatu pendapat, maka wajib atas kita untuk mengambil (memeganginya)
dan kita tidak mengambil pendapat lain.
3.
Mengenai cerita israiliyat
dan nasraniyat
Pada periode ini tidak banyak orang Yahudi dan Nasrani
yang masuk Islam. Para tabi’in senang sekali mendengarkan cerita-cerita
Yahudiyah dan Nasraniyah. Mereka menerima berita-berita dari orang Yahudi dan
Nasrani yang masuk Islam, lalu memasukkannya ke dalam tafsir tanpa dikoreksi
lebih dahulu. Mereka mempermudah dalam mengambil berita tersebut, berita-berita
itu tidak ada hubungannya dengan hukum syara’, sehingga tidak akan mempengaruhi
didalam istimbat hukum syara’, karena sangat gemarnya sebahagiaan tabi’in
kepada israiliyat dan nasraniyat, maka bertambah padatlah tafsir dengan cerita
israiliyat nasraniyat.[7]
B. Corak Tafsir Masa Tabi’in
Dalam
menafsirkan, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para
pendahulunya. Di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Menurut
Adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para mufasir dari kalangan tabi’in
berpegang pada Al-Qur’an itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para
sahabatyang berasal dari Rasulullah, penafsiran para sahabat, ada juga yang
mengambil dari ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu
mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah
dianugerahkan Allah kepada mereka.
Ketika
penakhlukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke
daerah-daerah taklukan. Mereka membawa ilmu masing-masing. Dari tangn merekalah
tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya
tumbuhlah berbagai mazhab dan perguruan tafsir.
Di
Makkah, misalnya, berdiri perguruan Ibnu Abbas. Diantara muridnya yang terkenal
adalah Ikrimah. Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal dibanding tafsir dari
orang lain. Di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas’ud yang dipandang oleh para
ulama sebagai cikal bakal mazhab
Ahli ra’yi.
Itulah
para mufassir terkenal dari kalangan tabi’in yang ada di berbagai wilayah
Islam, dan dari mereka pulalah generasi setelah tabi’in belajar. Pada masa
tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi wa talqin (penerimaan
dan periwayatan). Tetapi setelah banyak ahli kitab masuk Islam, para tabi’in
banyak menukil dari mereka cerita-cerita israiliyat yang kemudian dimasukkan ke
dalam tafsir. Pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status
tafsir yang diriwayatkan dari mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut
sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang
lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang
bersifat kontradiktif.[8]
C. Keistimewaan Tafsir Tabi’in
1.
Tafsir tabi’in tidak
terkontaminasi oleh pemahaman akidah yang sesat.
2.
Kalimat yang digunakan
cukup singkat namun maknanya padat, seperti gaya tafsir sahabat
3.
Tafsir tabi’in tidak
bertentangan dengan bahasa
4.
Sebagian besar tafsir
tabi’in dikodifikasi dan diriwayatkan melalui lembaran buku atau melalui jalur
sanad yang kuat dan masyhur.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana sebagian sahabat terkenal
dengan ahli tafsir, maka sebagian tabi’in terkenal dengan ahli tafsir dimana
para tabi’in mengambil tafsir dari mereka yang sumber-sumbernya berpegang
kepada sumber-sumber yang ada pada masa sebelumnya, disamping adanya ijtihad
dan penalaran.
Ahli tafsir kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Jubair, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha bin Abu Rabbah, Al-Hasan Al-Basri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Al-Aliah, Ar-Rafi’ bin Anas, Qadatah, Adh-Dhahhak bin Muzahim, kalangan tabi’in lainnya, tabi’it tabi’in, dan generasi sesudahnya.
Al-Allamah Shalih Alu Syaikh menyatakan: sumber tafsir kalangan tabi’in berasal dari sejumlah orientasi atau kajian berikut ini: Pertama, kajian tafsir yang bersumber dari para sahabat. Kedua, ijtihad seorang tabi’in. Ketiga, kondisi tabi’in dalam proses menafsirkan Al-Qur’an.
Keistimewaan tafsir tabi’in adalah: Tafsir tabi’in tidak terkontaminasi oleh pemahaman akidah yang sesat, kalimat yang digunakan cukup singkat namun maknanya padat, seperti gaya tafsir sahabat, tafsir tabi’in tidak bertentangan dengan bahasa, sebagian besar tafsir tabi’in dikodifikasi dan diriwayatkan melalui lembaran buku atau melalui jalur sanad yang kuat dan masyhur.
Ahli tafsir kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Jubair, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha bin Abu Rabbah, Al-Hasan Al-Basri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Al-Aliah, Ar-Rafi’ bin Anas, Qadatah, Adh-Dhahhak bin Muzahim, kalangan tabi’in lainnya, tabi’it tabi’in, dan generasi sesudahnya.
Al-Allamah Shalih Alu Syaikh menyatakan: sumber tafsir kalangan tabi’in berasal dari sejumlah orientasi atau kajian berikut ini: Pertama, kajian tafsir yang bersumber dari para sahabat. Kedua, ijtihad seorang tabi’in. Ketiga, kondisi tabi’in dalam proses menafsirkan Al-Qur’an.
Keistimewaan tafsir tabi’in adalah: Tafsir tabi’in tidak terkontaminasi oleh pemahaman akidah yang sesat, kalimat yang digunakan cukup singkat namun maknanya padat, seperti gaya tafsir sahabat, tafsir tabi’in tidak bertentangan dengan bahasa, sebagian besar tafsir tabi’in dikodifikasi dan diriwayatkan melalui lembaran buku atau melalui jalur sanad yang kuat dan masyhur.
B. Saran
Dengan
memaparkan makalah ini, kami selaku pemakalah menyarankan kepada para pembaca
agar mempelajarinya lebih banyak lagi, dan mendapatkan sumber-sumber yang lain.
Dan tidak puas dengan makalah yang kami buat ini. Supaya kita bisa lebih
mengetahui tentang tafsir
al-Qur’an dengan perkataan tabi’in dengan lebih dalam lagi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amanah. 1993. Pengantar Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir. Semarang, CV. Asy-Syifa’.
Manna Al-Qaththan. 2005. Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an. jakarta, pustaka Al-Kautsar.
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin,
dkk. 2014. Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah. Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar.
[1]
Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir, (Semarang, CV. Asy-Syifa’, 1993), cet. I. Hlm. 294-195.
[2] Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin,
dkk, Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah, (Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 2014), hlm. 405-406.
[3]
Ibid., hlm. 406-409.
[4]
Ibid., hlm. 410-411.
[5]
Ibid., hlm. 411-412.
[6]
Ibid., 413-414.
[7]
Amanah, op.cit. hlm. 296-297.
[8]
Manna Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, (jakarta, pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 425-428.
[9]
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, op.cit.,
hlm. 416-417.