Friday, October 19, 2018

Makalah Tafsir Pada Masa Tabi’in

0 comments
BAB I
PENDAHULUAN

  

      A. Latar Belakang

Kitab suci Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang diturunkan melalui malaikat Jibril. al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi yang Ummy (tidak bisa baca tulis), begitu juga dengan masyarakatnya. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan untuk memahaminya. Ketika wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW., beliau langsung menjelaskan isi kandungan wahyu tersebut mesti sulit untuk dipahami. Setelah wahyu diturunkan dengan sempurna maka muncullah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, as-Sunnah, sahabat, dan perkataan tabi’in. Karena yang ditafsirkan pada saat itu hanya yang sulit dipahami saja, ketika masa tabi’in sudah banyak permasalahan yang muncul dan membutuhkan penjelasan. Jadi karena tidak ada dalam penjelasan yang sebelumnya, maka muncullah tafsir al-Qur’an dengan perkataan sahabat.
Untuk itu kami selaku pemakalah akan membahas tentang tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in. Untuk lebih lanjutnya mari kita simak makalah berikut ini.

  

      B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tafsirf pada masa tabi’in?
2.      Bagaimana corak tafsir pada masa tabi’in?
3.      Apa kelebihan tafsir tabi’in?


 





BAB II
PEMBAHASAN

            A.   Tafsir Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana kita ketahui sahabat terkenal dengan ahli tafsir, karena generasi sahabat yang paling dekat dengan Nabi SAW., maka sebagian tabi’in terkenal dengan ahli tafsir dimana para tabi’in mengambil tafsir dari mereka (sahabat) yang sumber-sumbernya berpegang kepada sumber-sumber yang ada pada masa sebelumnya, disamping adanya ijtihad dan penalaran.

1.      Sumber-sumber tafsir pada masa tabi’in
Menurut Ustadz Muhammad Husain Adz-Dzahabi: para mufassir dalam memahami Kitabullah Ta’ala adalah berpegang kepada:
a.       Kitabullah
b.      Riwayat dari sahabat dari rasulullah saw.
c.       Riwayat dari sahabat dari penafsiran mereka sendiri
d.      Pengambilan dari ahlil kitab berdasar apa yang datang di dalam kitab mereka
e.       Ijtihad dan pemahaman yang diberikan  Allah kepada para Tabi’in untuk mengetahui makna Al-Qur’an.
Para tabi’in dalam mempelajari dan memahami isi-isi Al-Qur’an adalah melangsungkan tindakan-tindakan yang dipraktikkan para sahabat, yaitu mereka ada yang menerima dan ada yang menolak tafsir bil ijtihad. Diantara yang menerima dasar ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Mujahid, Ikrimah dan sahabat-sahabatnya. Mereka ini melarang bagi orang-orang yang tidak sempurna alat-alat tafsirnya untuk menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
a.       Orang yang kurang pengetahuan bahasa Arabnya
b.      Orang yang belum mampu mempelajari Al-Qur’an dalam segi hubungan mujmal dan mufashshalnya. [1]

Ahli tafsir kalangan tabi’in lainnya seperti Sa’id bin Jubair, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha bin Abu Rabbah, Al-Hasan Al-Basri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Al-Aliah, Ar-Rafi’ bin Anas, Qadatah, Adh-Dhahhak bin Muzahim, kalangan tabi’in lainnya, tabi’it tabi’in, dan generasi sesudahnya.
Pendapat mereka tentang tafsir ayat sering mengemuka, lalu memunculkan keberagaman redaksi, yang dianggap perbedaan (ikhtilaf) oleh orang yang tidak berilmu. Selanjutnya, ia meriwayatkan tafsir tersebut dalam beberapa pendapat. Sebenarnya tidak demikian. Sebab, di antara tabi’in ada yang mengungkapkan tafsir ayat berdassarkan kelaziman atau analognya, dan ada juga yang mengemukakan tafsir ayat apa adanya. Dalam banyak kasus, seluruh tafsir ini memiliki makna yang sama.
Al-Allamah Ibnu Utsaimin mengatakan:
Jika mereka berselisih pendapat, pernyataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan hujjah bagi yang lain. Melalui pendapat ini Ibn Taimiyah memberi isyarat bahwa, ulama berbeda pendapat megenai kehujjahan pernyataan tabi’in dalam bidang tafsir. Kalangan tabi’in sering berbeda pandangan dalam menanggapi suatu kasus. Tabi’in yang belajar tafsir Al-Qur’an secara langsung dari sahabat tentu berbeda dengan mereka yang tidak mengkaji Al-Qur’an. Bersamaan dengan itu, apabila tabi’in tidak menyandarkan pendapatnya pada sahabat, pendapat tersebut tidak dapat dijadikan hujjah bagi generasi sesudahnya, ketika tidak sependapat dengan mereka. Alasannya, tabi’in tidak selevel dengan sahabat, tetapi pendapatnya lebih mendekati kebenaran.
Semakin dekat satu generasi pada masa kenabian, ia semakin dekat pada kebenaran dibanding generasi sesudahnya. Generasi paska ulama generasi awal didominasi oleh hawa nafsu, di samping antara masa mereka dan masa Rasulullah terpisah oleh waktu yang cukup panjang. [2]
Metode tafsir Al-Qur’an ada empat, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, pendapat para sahabat, dan pendapat tabi’in. Namun, metode yang terakhir masih diperdebatkan. Ibn Taimiyah berpendapat, apabila tabi’in bersepakat atas suatu hal maka pendapatnya bisa dijadikan pedoman. Sebaliknya, jika tabi’in berselisi pendapat, hal itu belum bisa dijadikan pedoman.
Al-Allamah Ibnu Jibrin menyatakan:
Apabila anda tidak menemukan tafsir (penjelasan suatu ayat) dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, juga tidak ditemukan dalam pendapat sahabat, mayoritas imam dalam kasus ini merujuk pada pendapat tabi’in. Karena tabi’in adalah murid-murid sahabat. Tabi’in belajar langsung dari sahabat. Para sahabat menyampaikan apa yang telah mereka pelajari. Sementara itu, sahabat belajar kepada Rasulullah. Murid-murid mereka, kalangan tabi’in, belajar kepada sahabat. Jadi tafsir tabi’in lebih valid dibanding tafsir generasi sesudahnya yang mengkaji dan menafsirkan Al-Qur’an tanpa dalil.
Seperti Mujahid Bin Jubair. Ia seorang mantan budak, maula. Tetapi, Allah telah membuka pikiran dan mengaruniai ilham kepadanya. Ia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas. Ia mendapat julukan ayat fit tafsir, orang yang paling menguasai ilmu Al-Qur’an dan tafsir.
Asy-Syafi’i sering berpedoman pada tafsir Mujahid. Beliau menjadikan tafsir Mujahid sebagai rujukan dalam bidang hukum, sastra, akhlak, kisah, amtsal, dan sebagainya.[3]
Diantara tabi’in ada yang mengungkapkan tafsir ayat berdasarkan kelaziman atau analognya. Maksudnya, kata yang menyerupai, kata yang diserupakan, atau dengan kata yang sejenis, dan sebagainya.
Ketika Ibn Jarir menafsirkan firman Allah, yang artinya: “Harta benda yang bertumpuk” (Ali Imran: 14), beliau mencantumkan perbedaan para ahli tafsir tentang kata al-qinthar dalam surat Ali Imram ayat 75:
وَمِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مَنۡ إِن تَأۡمَنۡهُ بِقِنطَارٖ يُؤَدِّهِۦٓ ...
Artinya: “Dan diantara ahli kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak”.
Dan surat An-Nisa’ ayat 20:
...وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا ...
             Artinya:“Sedang kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak”.
                                             Pernyataan para ahli tafsir mengindikasikan bahwa Al-Qinthar adalah “harta yang banyak”, tanpa perlu memperkirakannya dengan bilangan tertentu, yang menunjukkan bolehnya mengungkapkan makna suatu kata dengan analognya, kelazimannya, atau bagiannya.
                                             Dan ada juga yang mengemukakan tafsir ayat apa adanya.  Maksudnya, di antara mufassair dari kalangan tabi’in ada yang mengungkapkan makna suatu kata dengan kelazimannya, ada pula dengan analognya,dan ada juga yang menjelaskan tafsir ayat apa adanya.[4]
Antar para ahli tafsir juga terkadang terjadi oerbedaan pendapat. Contohnya, tafsir kata nusuk yang tercantum dalam firman Allah Ta’ala, Q.S. al-Baqarah: 196
... فَفِدۡيَةٞ مِّن صِيَامٍ أَوۡ صَدَقَةٍ أَوۡ نُسُكٖۚ ...
          Artinya:“Dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban”.
Mayoritas ahli tafsir mengatakan, hewan yang diqurbankan cukup seekor kambing. Sebagian ahli tafsir lain menerangkan, qurbannya harus seekor sapi. Ahli tafsir lainnya menjelaskan nusuk adalah umrah atau ibadah, seperti tercantum dalam Q.S. al-Baqarah: 200:
فَإِذَا قَضَيۡتُم مَّنَٰسِكَكُمۡ ...
Artinyas: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu”.
Sementara ahli tafsir yang mengartikan nusuk dengan dam, berargumendengan firman Allah Ta’ala, Q.S. Al-An’am: 162
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Artinya: “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.
Maksudnya nusuk adalah ibadah. Menurut pendapat lain, nusuk adalah menyembelih hewan kurban.[5]
Pendapat tabi’in dalam masalah furu’ bukan hujjah. Furu’, atau berbagai cabang permasalahan hukum, seperti shalat, haji, jual beli, riba, nikah, dan sebagainya. kemungkinan besar ketentuan ini hanya berlaku jika ikhtilaf antara tabi’in dalam berbagai pendapat tersebut, maka ia tidak bisa dijadikan hujjah. Demikian ini karena ikhtilaf tabi’in merupakan indikator bahwa masalah tersebut bersifat ijtihadi.
Al-Allamah Shalih Alu Syaikh menyatakan: sumber tafsir kalangan tabi’in berasal dari sejumlah orientasi atau kajian berikut ini:
Pertama, kajian tafsir yang bersumber dari para sahabat. Ini yang paling banyak. Seorang tabi’in yang berguru pada  seorang tabi’in akan menafsirkan sesuai tafsirnya. Tabi’in yang belajar kepada Ibn Mas’ud akan menafsirkan Al-Qur’an sesuai tafsir Ibn Mas’ud. Tabi’in yang berguru pada Ubay bin Ka’ab menafsirkan sesuai karya Ubay. Dan seterusnya.
Kedua, ijtihad seorang tabi’in. Tabi’in berusaha keras menafsirkan Al-Qur’an, dan mengeluarkan produk tafsir berdasarkan ijtihadnya.
Ketiga, kondisi tabi’in dalam proses menafsirkan Al-Qur’an. Seorang tabi’in dalam satu kesempatan membatasi diri untuk menjelaskan satu kata saja, karena ia ditanya tentang kata itu.[6]
2.      Nilai tafsir para tabi’in
             Para ulam berbeda pendapat mengenai tafsir yang ditinggalkan dari tabi’in apabila hal itu tidak dinukil dari rasulullah atau sahabat.
a.       Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir mereka tidak diambil karena mereka tidak menyaksikan qarinah-qarinah dan keadaan-keadaanyang mana Al-Qur’an itu turun, maka dalam memahami maksudnya mereka mungkin salah.
b.      Sebagian besar mufassirin berpendapat bahwa tafsir mereka itu diambil karena mereka itu biasanya menerima dari sahabat.
c.       Pendapat yang rajih/ unggul adalah apabila tafsir itu merupakan ijma’/ kesepakatan para tabi’in terhadap suatu pendapat, maka wajib atas kita untuk mengambil (memeganginya) dan kita tidak mengambil pendapat lain.

3.      Mengenai cerita israiliyat dan nasraniyat
             Pada periode ini tidak banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam. Para tabi’in senang sekali mendengarkan cerita-cerita Yahudiyah dan Nasraniyah. Mereka menerima berita-berita dari orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam, lalu memasukkannya ke dalam tafsir tanpa dikoreksi lebih dahulu. Mereka mempermudah dalam mengambil berita tersebut, berita-berita itu tidak ada hubungannya dengan hukum syara’, sehingga tidak akan mempengaruhi didalam istimbat hukum syara’, karena sangat gemarnya sebahagiaan tabi’in kepada israiliyat dan nasraniyat, maka bertambah padatlah tafsir dengan cerita israiliyat nasraniyat.[7]

      B.  Corak Tafsir Masa Tabi’in
            Dalam menafsirkan, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya. Di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
            Menurut Adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para mufasir dari kalangan tabi’in berpegang pada Al-Qur’an itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabatyang berasal dari Rasulullah, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.
            Ketika penakhlukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke daerah-daerah taklukan. Mereka membawa ilmu masing-masing. Dari tangn merekalah tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai mazhab dan perguruan tafsir.
            Di Makkah, misalnya, berdiri perguruan Ibnu Abbas. Diantara muridnya yang terkenal adalah Ikrimah. Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal dibanding tafsir dari orang lain. Di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas’ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab
Ahli ra’yi.
            Itulah para mufassir terkenal dari kalangan tabi’in yang ada di berbagai wilayah Islam, dan dari mereka pulalah generasi setelah tabi’in belajar. Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Tetapi setelah banyak ahli kitab masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita israiliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. Pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.[8] 

      C. Keistimewaan Tafsir Tabi’in
1.      Tafsir tabi’in tidak terkontaminasi oleh pemahaman akidah yang sesat.
2.      Kalimat yang digunakan cukup singkat namun maknanya padat, seperti gaya tafsir sahabat
3.      Tafsir tabi’in tidak bertentangan dengan bahasa
4.      Sebagian besar tafsir tabi’in dikodifikasi dan diriwayatkan melalui lembaran buku atau melalui jalur sanad yang kuat dan masyhur.[9]
                       






BAB III
PENUTUP
      A. Kesimpulan
Sebagaimana sebagian sahabat terkenal dengan ahli tafsir, maka sebagian tabi’in terkenal dengan ahli tafsir dimana para tabi’in mengambil tafsir dari mereka yang sumber-sumbernya berpegang kepada sumber-sumber yang ada pada masa sebelumnya, disamping adanya ijtihad dan penalaran.
Ahli tafsir kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Jubair, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha bin Abu Rabbah, Al-Hasan Al-Basri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Al-Aliah, Ar-Rafi’ bin Anas, Qadatah, Adh-Dhahhak bin Muzahim, kalangan tabi’in lainnya, tabi’it tabi’in, dan generasi sesudahnya. 
Al-Allamah Shalih Alu Syaikh menyatakan: sumber tafsir kalangan tabi’in berasal dari sejumlah orientasi atau kajian berikut ini: Pertama, kajian tafsir yang bersumber dari para sahabat. Kedua, ijtihad seorang tabi’in.  Ketiga, kondisi tabi’in dalam proses menafsirkan Al-Qur’an.
Keistimewaan tafsir tabi’in adalah: Tafsir tabi’in tidak terkontaminasi oleh pemahaman akidah yang sesat, kalimat yang digunakan cukup singkat namun maknanya padat, seperti gaya tafsir sahabat, tafsir tabi’in tidak bertentangan dengan bahasa, sebagian besar tafsir tabi’in dikodifikasi dan diriwayatkan melalui lembaran buku atau melalui jalur sanad yang kuat dan masyhur.
      B. Saran
            Dengan memaparkan makalah ini, kami selaku pemakalah menyarankan kepada para pembaca agar mempelajarinya lebih banyak lagi, dan mendapatkan sumber-sumber yang lain. Dan tidak puas dengan makalah yang kami buat ini. Supaya kita bisa lebih mengetahui tentang tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in dengan lebih dalam lagi.



DAFTAR KEPUSTAKAAN  

Amanah. 1993. Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang, CV. Asy-Syifa’.
Manna Al-Qaththan. 2005. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. jakarta, pustaka Al-Kautsar.
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, dkk. 2014. Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.







[1] Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang, CV. Asy-Syifa’, 1993), cet. I. Hlm. 294-195.
[2] Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, dkk, Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2014), hlm. 405-406.
[3] Ibid., hlm. 406-409.
[4] Ibid., hlm. 410-411.
[5] Ibid., hlm. 411-412.
[6] Ibid., 413-414.
[7] Amanah, op.cit. hlm. 296-297.
[8] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (jakarta, pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 425-428.
[9] Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, op.cit., hlm. 416-417.
Read more...

PERKAWINAN WANITA HAMIL

0 comments
Read more...

Thursday, October 18, 2018

Makalah Tafsir Ijmali

0 comments
 PEMBAHASAN

 A.    Pengertian Tafsir Ijmali
Secara bahasa, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan.[1] Dengan demikian maka yang dimaksud dengan  al-Tafsir al-Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara ringkas, rapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Namun al-Farmawiy merumuskannya sebagai berikut:

وهو بيان الايات القرانية بالتعرض لمعانيها اجمالا, و ذلك بان يعمد البحث الى الايات القرانية, على ترتيب التلاوة ونظم المصحف.

Artinya: “Tafsir ijmali adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan makna-maknanya secara global, hal itu dengan cara dimana seorang mufasir membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tertib bacaan dan susunan yang ada dalam al-Quran.”

Dari defenisi di atas maka sistematika uraiannya, penafsir membahas ayat demi ayat  sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan  biasanya diletakkan dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yag diakui oleh jumhur ulama dan mudah dipahami oleh semua orang.[2]
Jadi tafsir ijmali ialah metde penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara global sesuai dengan tertib yang ada dalam mashab.dalam penafsiran ini para mufasir juga menggunakan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam al-Quran itu sendiri.
Dengan metode ini para mufasir menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an secara garis besar.  Sistematikanya mengikuti urutan surah-surah al-Qur’an, sehingga makna-maknanya dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna  ini mufasir mengungkapkan, ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat penghubung. Sehingga memberi kemudahan kepada pembaca untuk memahaminya. Dengan kata lain, makna yang diungkapkan itu biasanya diletakkan di dalam rangakaian ayat-ayat  menurut pola-pola yang diakui jumhur ulama dan mudah dipahami orang.
Karena mufasir menggunakan lafal-lafal bahasa yang mirip, bahkan sama dengan lafal al-Qur’an, pembaca akan merasakan bahwa uraian yang disajikan  mufasir tidak jauh dari bahasa dan lafal-lafal al-Qur’an sendiri.  Disamping itu, dengan gaya demikian, sangat terkesan bahwa al-   Qur’an itu sendiri yang berbicara, membuat makna-makna dan maksud ayat dengan jelas, sehingga lafal-lafal dan makna-makna al-Qur’an itu menjadi jelas dan mudah dipahami.
Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan metode ini, mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbab an-nuzul atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti hadis-hadis yang berhubungan dengannya.[3]

       B. Ciri-Ciri Tafsir Ijmali
Tafsir al-ijmali  cara kerja tersendiri yang  berbeda dengan metode-metode tafsir lainnya. Berikut ini cara kerja tafsir al-ijmali.
1)      Mengikuti aturan ayat sesuai dengan aturan ayat yang ada dalam mushaf.
2)      Lebih menyerupai terjemahan maknawi sehingga mufasir tidak berpegang  pada makna kosa kata.
3)      Mufasir lebih menekankan pada penjelasan makna umum.
4)      Apabila dibutuhkan, mufasir menggunakan alat bantu, seperti asbab an-nuzul.

      C. Contoh-Contoh Karyanya
Hal yang perlu diperhatikan dari metode ini adalah uraian yang ringkas sehingga tidak membutuhkan banyak halaman. Ada beberapa karya tafsir yang menggunakan metode global, di antaranya Tafsir al-jalalain karya dua imam Jalaluddin, Tafsir Tanwir al-Miqbas yang disandarkan kepada Abdullah bin Abbas (w. 68 H) dan dikumpulkan oleh Majuddin Abu Thahir  Muhammad bin Ya’kub al-Fairuzabadi (w 817 H), Tafsir Kalam karya Abdurrahman bin Sa’di, at-Tafsir karya Muhammad al-Makki an-Nashiri dan al-Ma’na al-Ijmali karya Abu Bakar al-Jazairi.[4]

     D.  Kelebihan dan Kekurangn Metode Ijmali
Bagaimanapun bentuk suatu metodologi tetap merupakan produk ijtihadi, yakni hasil olah pikir manusia. Meski dikaruniai kepintaran yang luar biasa jauh melebihi kemampuan penalaran yang dimiliki oleh makhluk-makhluk yang lain, mereka tetap mempunyai kelemahan dan kekurangan yang tidak bisa dihindari seperti adanya sifat lupa, lalai, dan sebagainya. Dengan demikian, setiap produk manusia yang berbentuk fisik dan non-fisik termasuk metodologi tafsir tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan. Bahkan dapat disebutkan bahwa itu adalah produk manusia dan bukan produk Allah yang selalu benar dan tidak pernah salah.
1.      Kelebihan metode ijmali
Dalam kaitan ini metode  ijmali dalam penafsiran al-Quran memiliki kelebihan. Diantaranya ialah sebagai berikut:
a)      Praktis dan mudah dipahami
Tafsir yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan mudah dipahami Tanpa berbelit-belit. Pemahaman al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembaca sebagaimana yang dinukilkan dalam ayat di atas. Pola penafsiran seperti ini lebih cocok untuk para pemula seperti mereka yang berada dijenjang pendidikan SLTA ke bawah. Atau mereka yang baru belajar tafsir al-Quran dan yang setingkat dengan mereka.
b)      Bebas dari penafsiran israiliyat
Dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan, tafsir ijmali relatif lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyat. Dengan demikian pemahaman al-Qur’an yang akan dapat dijaga dari intervensi pemikiran-pemikiran israiliyat yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur’an sebagai kalam Allah Yang Maha Suci. Selain pemikiran-pemikiran isriiliyat, dengan metode ini  dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang  terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran yang spekulatif  yang di kembangkan oleh seorang teolog, sufi, dan lain-lain.
Berbeda halnya dengan tafsir yang menggunakan tiga metode lainnya. Di dalam metode-metode yang lain itu, mufasir mendapat peluang yang seluas-luasnya untuk dapat memasukkan berbagai pendapat dan pemikiran lain ke dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga kadang-kadang penafsiran yang diberikan terasa jauh sekali dari pemahaman ayat, sebagaimana akan terlihat nanti di dalam uraian tentang ketiga metode tersebut.
c)      Akrab dengan bahasa al-Qur’an
Uraian yang dimuat di dalam tafsir ijmali terasa amat singkat dan padat, sehingga pembaca tidak merasakan bahwa dia telah membaca kitab tafsir. Hal itu disebabkan karena tafsir dengan metode global ini menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa kitab suci tersebut. Kondisi serupa ini tidak akan dijumpai pada tafsir yang menggunakan metode tahlili, muqarin, atau maudhu’i. Dengan kondisi yang demikian, pemahaman kosakata dari ayat-ayat suci lebih mudah didapatkan dari pada penafsiran yang menggunakan tiga metode lainnya. Hal itu dikarenakan di dalam tafsir ijmali mufasir langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi.
2.         Kekurangan metode ijmali
Kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam metode ini antara lain sebagai berikut:
a.       Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial
Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah. Itu berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat itu, akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
b.      Tak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai
Tafsir yang memakai metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Oleh karenanya, jika menginginkan adanya analisis yang rinci, metode global tidak dapat digunakan. Ini boleh disebut suatu kelemahan yang perlu disadari oleh mufasir yang akan memakai metode ini. Namun tidak berarti kelemahan tersebut bersifat negatif, kondisi yang demikian amat positif sebagai ciri dari tafsir yang menggunakan metode global ini sebagaimana telah disebutkan. Artinya, jika seorang mufasir tidak mengikuti pola yang demikian, lalu dia menguraikan tafsirnya secara luas, maka ketika itu dia telah keluar dari metode ijmali dan masuk ke areal metode analitis atau metode yang lainnya.
Jadi dalam penerapan metode global ini para mufasir harus menyadari bahwa memang tidak ada ruangan bagi mereka untuk mengemukakan pembahasan-pembahasan yang memadai sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Jika menginginkan yang demikian itu, haruslah digunakan salah satu dari tiga metode lainnya yang cocok dengan kecenderungan mereka.

      E. Urgensi Metode Global
Manusia diciptakan Allah dalam berbagai tingkatan dan strata sosial. Perbedaan semacam itu juga terlihat pada tingkat-tingkat kecerdasan dan daya nalar mereka. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup perlu mereka ketahui dan mereka pahami dengan baik agar petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya berfungsi secara efektif untuk mengarahkan kehidupan mereka ke jalan yang benar. Untuk memahami al-Qur’an secara baik dan benar diperlukan penafsiran yang tepat. Untuk maksud ini perlu penguasanan metodologi tafsir secar baik pula.
Mengingat kondisi yang demikian, maka penafsiran al-Qur’an harus sesuai dengan kadar dan daya serap mereka serta kemampuan penalaran yang mereka miliki.
Dalam kaitan ini, bagi para pemula atau mereka yang tidak membutuhkan uraia yang detail tentang pemahaman suatu ayat, maka tafsir yang menggunakan metode global sangat membantu dan tepat sekali untuk digunakan. Hal itu disebabkan uraian di dalam tafsir yang menggunakan metode ini sangat ringkas dan tidak berbelit-belit, sehingga relatif lebih mudh dipahami oleh mereka yang berada pada tingkat ini. Sebaliknya, tafsir yang memberikan uraian panjang lebar seperti dalam metode tahfifi
akan membuat mereka bosan dan merasa tersiksa oleh uraian-uraian yang tidak menarik, bahkan dapat menyesatkan mereka karena uraiannya kadang-kadang tidak sejalan dengan kemampuan dan daya nalar mereka. Kondisi tafsir global yang ringkas dan sederhana ini juga lebih cocok bagi mereka yang disibukkan oleh pekerjean rutin sehari-hari. Dengan demkian, tafsir dengan metode ini sangat urgen bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir dan mereka yang sibuk dalam mencari kehidupan.
Dalam kondisi yang demikian akan dapat dirasakan betapa cocoknya tafsir ijmali ini bagi mereka dalam rangka membimbing mereka kejalan yang benar serta diridhai Allah.[5]





PENUTUP
      A. Kesimpulan
Secara bahasa, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan.  Al-Tafsir al-Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara ringkas, rapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.
cara kerja tafsir al-ijmali adalah mengikuti aturan ayat sesuai dengan aturan ayat yang ada dalam mushaf, lebih menyerupai terjemahan maknawi sehingga mufasir tidak berpegang  pada makna kosa kata, mufasir lebih menekankan pada penjelasan makna umum, apabila dibutuhkan, mufasir menggunakan alat bantu, seperti asbab an-nuzul.
Kelebihan metode ijmali, yaitu praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran israiliyat, akrab dengan bahasa al-Qur’an. Sedangkan kekurangan metode ijmali, yaitu menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial, tak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai.

      B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan untuk itu pemakalah menyarankan kepada pembaca untuk mencari sumber lain untuk menambah wawasan tentang pembahasan Tafsir Ijmali ini.             






DAFTAR PUSTAKA

Baidan. Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000.
Rusydi. ‘Ulumul Al-Qur’an I. Padang: Azka. 2004.

Samsurrohman. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta:  Amzah. 2014.

Shihab. Quraish. dkk. Sejarah ulumul quran. Jakarta: Pustaka Firdaus Daus 2000.

Suma. M. Amin.  Ulumul Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo persada. 2013.





[1] M. Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta, RajaGrafindo persada 2013),H.381
[2] Rusydi, ‘Ulumul Al-Qur’an II, (padang, Azka 2004),H.124
[3] Quraish Shihab, dkk. Sejarah ulumul quran, (Jakarta, pustaka Firdaus Daus 2000), H. 185
[4] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir,(Jakarata, Amzah 2014),H.119-120
[5] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakar ta: Pustaka Pelajar), 2000, H. 22-29.
Read more...

Wednesday, October 17, 2018

MASA IDAH, ILA' DAN ZIHAR

0 comments
PENDAHULUAN
 
Konflik di dalam rumah tangga memang menimbulkan banyak permasalahan. Entah itu permasalahan di dalam keluarga, maupun yang berada di luar dari keluarga itu sendiri yakni gosip dari para tetangga. Selain itu permasalahan keluarga juga dapat berdampak pada keadaan anak-anak di dalam rumah tangga itu. Semua itu akibat dari konflik rumah tangga yang berujung pada putusnya tali pernikahan.
Maka dari itu, kita harus mengetahui bentuk-bentuk penyebab putusnya pernikahan. Sehingga dengan begitu kita akan tahu bentuk-bentuk putusnya tali pernikahan itu hingga berefek di dalam diri untuk menghindari hal-hal itu, demi langgengnya kehidupan berumah tangga. Yang di antaranya adalah Ila’, Dzhihar, dan iddah.
Read more...

Tuesday, October 16, 2018

Waktu Yang Sedikit

0 comments

AKHIR ZAMAN




Selama berjuta tahun lamanya manusia telah hidup di dunia zaman telah berlalu dan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan hidup manusia. Islam sendiri meyakini bahwa manusia saat ini tengah hidup di akhir zaman dan hari kiamat atau hari akhir dibangkitkannya manusia akan segera tiba.

Meskipun tidak ada yang dapat mengetahui kapan hari kiamat itu akan datang kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Setiap umat Islam tentunya harus mengimani hari akhir atau hari kiamat tersebut karena pada hari tersebut manusia yang sudah mati akan dibangkitkan kembali dan dihisab amal perbuatannya. Hari kiamat atau yaumul akhir adalah hari dimana umat manusia akan dibangkitkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan ditimbang amal perbuatannya.



Mari kita simak cuplikan video singkat ini: 

Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018