Saturday, November 3, 2018

Pembagian Ajaran Pokok dan Cabang Dalam Islam

0 comments
 KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur kami atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan limpahan rahmatNyalah maka kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul " Ajaran pokok dan Cabang Dalam Islam", yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajarinya.
Makalah ini disusun untuk memyelesaikan tugas pada mata kuliah Metodologi Studi Islam pada program strata satu di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang. Maka harapan penulis kiranya makalah ini, sesuai dengan harapan Dosen pada mata kuliah yang dimaksud.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan sehingga hanya yang demikian saja yang dapat penulis berikan. Penulis juga sangat mengaharapkan kritikan dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun, sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.


Padang,   Desember 2015


                Penulis


DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar ................................................................................................ i
Daftar Isi ........................................................................................................... ii
BAB  I  PENDAHULUAN
  A. Latar Belakang .............................................................................. 1
  B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1
  C. Tujuan............................................................................................. 1
BAB  II  PEMBAHASAN
A. Dasar-Dasar Pembagian ajaran pokok dan cabang dalam Islam .. 2
  B. Pembagian Ajaran Pokok dan Cabang .......................................... 3
C. Hukum sebab (kausalitas) dan mu’jizat ........................................ 9
BAB  III  PENUTUP
  A. Kesimpulan.................................................................................... 12
  B. Saran............................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam merupakan agama samawi yang memiliki ajaran yang sangat sempurna. Semua masalah diatur dalam Islam, sehingga tidak ada satu pun masalah yang tidak ada ketentuannya dalam Islam. Kesempurnaan Islam ini ditunjang oleh ketiga sumber ajarannya, yakni al-Quran dan Sunnah sebagai sumber ajaran pokoknya serta ijtihad sebagai sumber pelengkapnya. Untuk memahami ajaran Islam secara keseluruhan memang dibutuhkan Waktu yang tidak sebentar. Tidak banyak umat Islam yang mengetahui ajaran Islam secara menyeluruh, bahkan masih banyak umat Islam yang hanya menganut Islam secara formal saja dan sama sekali tidak mengetahui ajaran Islam.
Untuk mendasari pemahaman Islam yang lebih luas, perlu dipahami dulu dasar-dasar Islam atau yang sering disebut kerangka dasar ajaran Islam. Dengan memahami kerangka dasar ini, seseorang dapat memahami gambaran ajaran Islam secara keseluruhan.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa-apa yang dimaksud dasar-dasar pokok Islam ?
2.    Apa saja pembagian dari dasar-dasar pokok Islam ?
3.    Apa saja hukum sebab (kausalitas) dan Mu’jizat ?



C.      Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.    Dasar-dasar ajaran pokok dan cabang dalam  Islam.
2.    Bentuk ajaran pokok Islam.
3.    Hukum sebab (kausalitas) dan Mu’jizat.








BAB II
PEMBAHASAN

A.      Dasar-dasar Pembagian Ajaran Pokok dan Cabang Islam
Konsep yang pokok dalam Islam ialah bahwasanya seluruh alam ini, Tuhanlah yang telah menjadikan, menguasai dan mengawasinya, bahwasanya Dia adalah Maha Tunggal, tidak ada yang menyertai dalam kesucian-Nya. Dia telah menciptakan manusia dan menentukan ajalnya, dan bahwasanya Allah SWT. telah menyediakan untuk seluruh alam jalan hidup yang lurus, sekaligus memberikan kebebasan mutlak kepada hamba-Nya untuk mengikuti atau mengingkarinya.
Bagian ini memberikan konsep Tauhid (ke-Esaan Tuhan), dan kesaksian atas kerasulan Muhammad SAW. Tauhid adalah akidah revolusioner yang menjiwai seluruh ajaran Islam akidah yang meyakinkan bahwasanya seluruh alam ini kepunyaan Tuhan Yang Maha Esa dan seluruhnya berada dibawah kekuasaan-Nya, Dzat yang Azaly, tiada permulaan dalam wujudnya, tidak dibatasi tempat dan waktu, mengatur seluruh dunia dengan segenap manusia yang ada diatasnya. Semua itu memberikan kesimpulan bahwa dibalik alam ini ada satu Kekuatan yang terus menerus aktif menciptakan perkembangan alam tanpa pengumuman. Bintang-bintang yang memenuhi angkasa luas dan pemandangan alam yang memikat hati perputaran matahari dan bulan yang menakjubkan, pergantian musim, pergantian siang dan malam, sumber-sumber air yang tak kunjung kering,


bunga-bunga yang halus dan cahaya bintang bintang yang gemerlapan. Allah berfirman:
ياايهاالناس اعبدواربكم الذي خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون () الذي جعل لكم الارض فراشاوالسماء بناء وانزلمن السماءماء فاخرج به من الثمرت رزقلكم فلاتجعلوالله انداداونتم تعلمون()
“Hai sekalian manusia, Sembahlah Tuhan kamu yang telah menjadikan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu dapat menjaga diri. Tuhan yang telah menjadikan buat kamu, bumi yang menghampar dan langit yang memayung, dan Dia telah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia mengeluarkan buah-buahan sebagai rizqi buat kamu. Maka oleh karena itu, janganlah kamu menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”. (Al-Baqarah 21-22).

Bukankah semua itu menunjukkan adanya Dzat Yang Maha Kuasa yang telah menjadikannya dan menguasai segala keadaan. Kalau kita perhatikan alam ini secara keseluruhan, ternyatalah kepada kita adanya tata-cara yang teratur

B.       Bentuk Ajaran Pokok dan Cabang dalam Islam
1.  Akidah
 Itulah akidah asasi (kepercayaan pokok) yang diserukan oleh Muhammad SAW. kepada seluruh ummat manusia, supaya menjadi pegangan hidupnya. Akidah ini logis dan menyeluruh, dapat memecahkan segala persoalan alam, dan menunjukkan bahwa alam ini tunduk dibawah satu hukum kekuasaan tertinggi. Akidah ini memberikan gambaran umum yang sesuai dengan kenyataan bahwa seluruh isi alam ini satu sama lain saling melengkapi; berbeda sepenuhnya dengan pandangan yang sepotong-potong dari ilmuwan dan para filsuf, dan dapat menyingkap tabir rahasia/hakikat yang sebenarnya.
Setelah berabad-abad lamanya manusia berada dalam kegelapan, mulailah sekarang manusia dapat menemukan hakikat itu sedikit demi sedikit berdasarkan konsep akidah ini, dan pikiran ilmiah modern pun terus bergerak kearah ini. Akidah ini bukan sekedar konsep metaphysic atau kumpulan kata-kata yang tidak berarti. Akidah ini adalah suatu kepercayaan yang dynamis dan doktrin yang revolusioner. Akidah ini mengandung pengertian bahwa semua manusia adalah ciptaan Allah dan semua mereka adalah sama.
Islam telah memberikan konsep revolusioner tentang kesatuan ummat manusia. Dan kebangkitan Rasulullah s.a.w. itu tidak lain hanya untuk mempersatukanseluruh alam di bawah kalimat Allah, dan untuk membangkitkan kehidupan baru didunia yang sudah mati.
Firman Allah SWT “Berpegang teguhlah kamu sekalian kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu, tatkala kamu bermusuhmusuhan,lalu Allah melembutkan hati kamu semua sehingga atas karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” (AliImran103)

a.    Berserah Diri Kepada Allah Dengan Merealisasikan Tauhid
Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Allah dengan tauhid, yakni mengesakan Allah dalam setiap peribadahan kita. Tidak boleh menujukan satu saja dari jenis ibadah kita kepada selain-Nya. Karena memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Dia lah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kita dan mengatur alam semesta ini. Semua yang disembah selain Allah tidak mampu memberikan pertolongan bahkan terhadap diri mereka sendiri sekali pun. Allah berfirman:
“Apakah mereka mempersekutukan dengan berhala-berhala yang tak dapat       menciptakan sesuatu pun? Sedang berhala-berhala itu sendiri yang diciptakan. Dan   berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada para penyembahnya,          bahkan kepada diri meraka sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi     pertolongan.” (Al -A’rof: 191-192)

Semua yang disembah selain Allah tidak memiliki sedikitpun kekuasaan di alam semesta ini.Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang kamu seru selain Alloh tiada mempunyai apa-apa walaupun    setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan           kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat             memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)

b.    Tunduk dan Patuh Kepada Allah Dengan Sepenuh Ketaatan
Pokok Islam adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang mutlak kepada Allah. Dan inilah sebenarnya yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya. Penyerahan dan perendahan semata tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan terhadap perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya karena taat kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut akan adzab-Nya.
Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian yang membuktikan kebenaran pengakuan tersebut. Allah berfirman,                   
ولقد فتنا الذين من قبلهم فليعلمن الله الذين صدقوا وليعلمن الكذبين ()  لم حسب الذين يعملون السيات  ان يسبقونا ساءما يحكمون ()
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”,sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhny Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-3)

Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan keputusan.
Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Konsekuensi dari benarnya keimanannya maka ia juga harus berlepas diri dan membenci perbuatan syirik dan pelakunya. Karena ia belum dikatakan beriman dengan sebenar-benarnya sebelum ia mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Padahal syirik adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Allah. Karena syirik adalah Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Allah dan Rasul-Nya akan tetapi mereka mentaatinya lahir maupun batin
c.    Memusuhi dan Membenci Syirik dan Pelakunya
Seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangan Allah, maka dosa yang paling besar, kedzaliman yang paling dzalim dan sikap kurang ajar yang paling bejat terhadap Allah, padahal Allahlah Rabb yang telah menciptakan, memelihara dan mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita semua. Allah telah memberikan teladan kepadai kita yakni pada diri Nabiyullah Ibrohim. Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:‘alaihis salam agar berlepas diri dan memusuhi para pelaku syirik dan   kesyirikan. Allah “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari pada apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari kamu dan telah nyata antarakami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya   sampai kamu beriman kepada            Allah         saja”. (Al-Mumtahanah: 4)

Jadi ajaran Nabi Ibrohim ‘alaihis salam bukan mengajak kepada persatuan agama-agama sebagaimana yang didakwakan oleh tokoh-tokoh Islam Liberal, akan tetapi dakwah beliau ialah memerangi syirik dan para pemujanya. Inilah millah Ibrohim yang lurus! Demikian pula Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengobarkan peperangan terhadap segala bentuk kesyirikan dan memusuhi para pemujanya. Inilah tiga pokok ajaran Islam yang harus kita ketahui dan pahami bersama untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang yakin dan pasti. Dan di atas ketiga pokok inilah aqidah dan syari’ah ini dibangun.
          2.  Syariah 
Secara etimologis, syariah berarti jalan ke sumber air atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Orang-orang Arab menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7). Adapun secara terminologis syariah berarti semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan al-Quran maupun Sunnah Rasul (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 131).
Mahmud Syaltut mendefinisikan syariah sebagai aturan-aturan yang disyariatkan oleh Allah atau disayariatkan pokok-pokoknya agar manusia itu sendiri menggunakannya dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dan alam semesta, serta dengan kehidupan (Syaltut, 1966: 12).
Syaltut menambahkan bahwa syariah merupakan cabang dari aqidah yang merupakan pokoknya. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak dapat dipisahkan. Aqidah merupakan fondasi yang dapat membentengi syariah, sementara syariah merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam beraqidah (Syaltut, 1966: 13).

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kajian syariah tertumpu pada masalah aturan Allah dan Rasul-Nya atau masalah hukum. Aturan atau hukum ini mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah) dan dalam berhubungan dengan sesamanya (hablun minannas). Kedua hubunganmanusia inilah yang merupakan ruang lingkup dari syariah Islam. Hubungan yang pertama itu kemudian disebut dengan ibadah, dan hubungan yang kedua disebut muamalah. Ibadah mengatur bagaimana manusia bisa berhubungan dengan Allah. Dalam arti yang khusus (ibadah mahdlah), ibadah terwujud dalam rukun Islam yang lima, yaitu mengucapkan dua kalimah syahadah (persaksian), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji bagi yang mampu. Sedangkan  muamalah bisa dilakukan dalam berbagai bentuk aktivitas manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Bentuk-bentuk hubungan itu bisa berupa hubungan perkawinan (munakahat), pembagian warisan (mawaris), ekonomi (muamalah), pidana (jinayah), politik (khilafah), hubungan internasional (siyar), dan peradilan (murafa’at). Dengan demikian, jelaslah bahwa kajian syariah lebih tertumpu pada pengamalan konsep dasar Islam yang termuat dalam aqidah.

       3.  Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menefenisikan akhlaq, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologik (peristilarihan). Dari sudut kebahasaan, akhlaq berasal dari bahasa arab yang bearti perangai, tabiat (kelakuan), kebiasaan atau kelaziman, dan peraban yang baik. Adapun pengertian akhlaq menurut istilah seperti yang diungkapkan oleh Al-Ghazali, adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan mudah tampa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.
Akhlak merupakan dimensi nilai dari syariat islam. Kualitas keberagamaan justru ditentukan oleh nilai akhlaq. Jika syariat berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, akhlak menekankan pada kualiatas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta dilihat dari aspek dari mana dan untuk apa, jabatan, dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan, bukan apa yang diterima.
Karena akhlak juga merupakan subsistem dari sistem ajaran islam, pembidangan akhlak . Ada akhlak manusia kepada Tuhan, akhlak manusia kepada sesama manusia, akhlak manusia kepada diri sendiri, dan akhlak manusia kepada alam hewan dan tumbuhan. Definisi akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dan perbuatan itu lahir secara spontan tanpa berpikir untung rugi. Kajian mendalam tentang akhlak dilakukan oleh ilmu yang disebut ilmu tasawuf.

C.      Hukum Sebab ( Kausalitas ) dan Mu’jizat
Menurut al-Ghazâlî, hukum kausalitas tidak merupakan hukum yang pasti, tetapi hukum kemungkinan belaka. Seseo­rang tidak dapat memastikan hukum kausalitas karena alam penuh dengan misteri. Hanya sebagian kecil saja yang baru terungkap, sedangkan yang lain belum.   Karena itu, al-Ghazâlî berprinsip bahwa peristiwa-peristiwa yang ada di alam ini hanya terjadi secara kebetulan dan berjalan berurutan karena kebiasaan, bukan atas dasar kemestian. Al-Ghazâlî mengungkapkan lebih lanjut,
فَإِنَّ اقْتِرَانَهَا لَمَّا سَبَقَ مِنْ تَقْدِيْرِ اللهِ سُبْحَانَهُ بِخَلْقِهَا عَلَى التَّسَاوُقِ لاَ لِكَوْنِهِ ضَرُوْرِيًّا فِي نَفْسـِهِ غَيْرُ قَابِلٍ لِلْفَوْتِ بَلْ فِي اْلمَقْدُوْرِ خَلْقُ الشَّبْعِ دُوْنَ اْلأَكْلِ وَأَنْكَرَ اْلفَلاَسِفَةُ إِمْكَانَهُ وَادَّعُوْا اسْتِحَالَتَهُ.
"Sesungguhnya hubungan terjadinya karena Allah swt. telah menentukan penciptaannya secara berurutan, bukan karena mesti pada dirinya, tanpa menerima pengecuali­an. Bahkan, Tuhan mampu menciptakan kenyang tanpa makan. Filosof mengingkari kemungkinan itu dan menya­takan kemustahilannya.

Menurut al-Ghazâlî, hubungan itu tidaklah menjadi suatu yang penting sebab hal itu bukan merupakan jaminan untuk terwujudnya suatu akibat. Dengan demikian, api itu tidak selalu membakar, begitu juga makan tidak selalu mengenyangkan dan potong leher belum tentu mengakibatkan kematian. Semuanya itu dianggap sebagai hukum kebiasaan saja, sebab Allah swt. berkuasa untuk mengubah semuanya itu.  "Wujud di sisi sesuatu bukan berarti diwujudkan karenanya."
Untuk mempertegas argumen ini, al-Ghazâlî memberikan sebuah contoh, "Jika orang buta yang tertutup plasma matanya dan dia belum pernah mendengar informasi tentang perbedaan siang dan malam. Ketika plasma matanya terbuka pada siang hari, sehingga dia dapat melihat berbagai warna, maka dia menganggap bahwa pelaku penglihatan adalah terbukanya plasma mata. Namun, ketika matahari tenggelam dan dia tidak mampu lagi melihat bermacam-macam warna, maka saat itu baru dia tahu bahwa cahaya matahari yang menjadi pelakunya untuk melihat beragam warna." Dari sini jelaslah, kata al-Ghazâlî, bahwa hubungan yang terjadi ketika adanya peristiwa-peristiwa datang dari Pemberi bentuk, baik langsung dari Tuhan maupun melalui malaikat. Adapun warna, terbitnya matahari, dan sebagainya adalah potensi-potensi yang siap setiap saat menerima bentuk-bentuk dari Pemberi bentuk. Atas dasar ini, kata al-Ghazâlî, batallah bahwa api adalah pelaku kebakaran, roti penyebab kenyang, dan obat sebagai sebab kesembuhan.  Dalam persoalan hukum kausalitas Ibn Rusyd sependa­pat dengan Ibn Sînâ, yakni peristiwa di alam memiliki hubungan sebab akibat yang pasti. Sebab, dengan adanya kepastian itu akal dapat menangkap esensi suatu benda dan memberikan definisi. Karena itu, Ibn Rusyd mengatakan bahwa barang siapa yang menolak adanya sebab, berarti dia menolak akal.
Adapun pendapat yang mengingkari kepastian hubungan sebab akibat adalah pendapat sofistis.  Benda tidak dapat didefinisikan kalau tidak memiliki ciri khusus yang mele­kat pada benda tersebut. Api dinamakan api karena memiliki ciri membakar, sedangkan air dinamakan air karena memiliki ciri membasahi. Kalau api tidak memiliki ciri membakar atau api sama dengan air dalam cirinya, maka api tidak dapat didefinisikan. Adapun api tidak membakar pada benda tertentu atau pada keadaan tertentu, maka tidak menghi­langkan sifat membakar api. Sebab, api dinamakan api karena membakar. Kalau tidak ada satu ciri khusus bagi suatu benda, maka tentu tidak ada nama dan definisi yang dapat diberikan padanya.
Dalam hal persoalan kaitan hukum kausalitas dan mukjizat, seperti Nabi Ibrahim tidak terbakar oleh api, Ibn Rusyd secara tegas mengatakan bahwa hal itu adalah ajaran pokok agama, yang mesti diikuti dan diyakini. Lebih lanjut Ibn Rusyd mengatakan bahwa barang siapa yang menolak mukjizat adalah zindik dan wajib dibu­nuh Sebab, para filosof tidak pernah memperdebatkan persoalan pokok-pokok ajaran agama. Bahkan, mereka mengan­jurkan untuk selalu berpegang pada ajaran agama. Adapun pendapat sebagian filosof yang mengadakan takwil tentang persoalan ini, tidak perlu dibantah karena takwil mereka khusus untuk mereka dan tidak boleh disebarkan di kalangan awam.
Persoalan mukjizat ini muncul dalam filsafat Islam ketika dihadapkan dengan teori sebab akibat. Mukjizat pada dasarnya adalah salah satu prinsip agama, sedangkan sebab akibat adalah salah satu tonggak ilmu. Artinya, dari satu sisi mukjizat adalah memperkuat keimanan dan di sisi lain hukum kausalitas kelihatannya menentang mukjizat. Persoalan inilah yang dianalisis oleh para filosof muslim. Mukjizat berasal dari kata `ajaza yang berarti lemah, yakni para penentang nabi lemah untuk mendatangkan seumpama yang dibuat oleh nabi.
Al-Juwaynî memberikan syarat-syarat sebuah mukjizat yaitu:
1.    Mukjizat itu perbuatan bagi Allah swt. tidak boleh mukjizat bersifat kadim.
2.    Mukjizat itu menyalahi hukum alam (adat kebiasaan), tanpa ini tidak bisa dibedakan mana yang dikatakan nabi dan yang tidak nabi.
3.    Mukjizat itu sesuai dengan kebenaran dakwah yang diba­wanya.
Definisi yang diberikan oleh kaum Asy`ariyah juga tidak berbeda dengan hal di atas, bahwa mukjizat itu merupakan perbuatan Allah langsung, merupakan bukti kena­bian dan hal itu harus dibuktikan dengan sesuatu yang di luar hukum alam. Contohnya, api tidak membakar Nabi Ibra­him, tongkat jadi ular, dan menghidupkan orang mati.
Berdasarkan adanya peristiwâperistiwa yang keluar dari hukum alam itu, kaum Asy`ariyah, terutama al-Ghazâlî, menolak hukum keharusan dalam hubungan sebab dan akibat. Semuanya itu hanya kebetulan saja, bukan hukum akal yang pasti, tetapi hukum kebiasaan yang sewaktûwaktu bisa berubah Bukti perubahan itu telah jelas dalam diri para nabi yang mampu mengubah hukum alam yang ada.








BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Kerangka dasar ajaran Islam adalah cetak biru ajaran Allah SWT kepada utusan Allah. Dimana di dalam kerangka dasar ajaran terdapat tiga bagian utama yang saling berkaitan, yaitu: Akidah, Syariah, dan Akhlak. Akidah merupakan akar (dasar) dari setiap perbuatan manusia. Sedangkan Syariah adalah perbuatan- perbuatan yang merupakan wujud dari aqidah. Dari penetapan aqidah dan  perwujudannya berupa Syariah muncullah buah berupa kebermanfaatannya baik  bagi diri sendiri maupun orang lain yang disebut dengan akhlak.

B.   Saran
Saran dari penulis adalah marilah kita memahami pokok-pokok ajaran Islam untuk lebih memperkuat keimanan kita, serta dapat menuntun kita menjadi hamba yang lebih baik, dan membawa kita kepada kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak.








DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihin. 2009. Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Mahjuddin. 1991. Kuliah Akhlak Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.
Nasirudin. 2009. Tasawuf. Semarang: Rasail Media Group.


Read more...

Friday, November 2, 2018

Adab-Adab Wanita Pergi ke Mesjid untuk Shalat Jama’ah

1 comments
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Shalat menempati kedudukan tinggi dalam Islam. Adalah rukun kedua dan berfungsi sebagai tiang agama. Sholat adalah salah satu sendi dari ajaran Islam yang banyak disebut dalam Al-Qur’an dan juga Hadits Nabi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya arti dari ibadah sholat sebagai media untuk mewujudkan komunikasi antara seorang hamba dengan Sang Pencipta.
Keutamaan dan manfaat shalat ini sangat banyak, apalagi kalau shalat jama’ah karena shalat jama’ah ini mengandung banyak manfaat yang karenanya ia disyariatkan. shalat jama’ah ini sangat dianjurkan bagi kaum laki-laki, kenapa karena lelaki tidak banyak mendatangkan mudharat apabila dia keluar rumah. Berbeda dengan kaum wanita harus banyak pertimbangan apabila beliau keluar dari rumah untuk pergi ke mesjid.
Shalat jama’ah merupakan perkara yang lazim, namun sesungguhnya Islam telah mengatur hal-hal khusus bagi wanita. Shalat wanita di mesjid menjadi perselisihan di kalangan ulama, karena ada hadis tertentu yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Untuk itu dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Hadis shalat wanita di mesjid dan hal-hal yang menyangkut masalah itu.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa Hadis yang berkaitan tentang dengan wanita shalat di mesjid?
2.      Bagaimana adab-adab wanita shalat di mesjid
3.      Bagaimana hukum dan pendapat para ulama tentang Hadits-Hadits shalat wanita di mesjid?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hadis Tentang Shalat Wanita di Mesjid
Sejak zaman Nubuwah, kehadiran wanita shalat di mesjid, bukanlah sesuatu yang asing. Hal ini kita ketahui dari hadits Rasulullah SAW diantaranya adalah:
عَنْ زَيْنَبَ الثَّقَفِيَّةِ كَانَتْ تَحْدِثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم؛ أَنَّهُ قَالَ:
“إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْعِشَاءَ، فَلاَ تَطَيَّبْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ”.
Artinya: Dari Zainab Ats-Tsaqafiyyah Radiyallahu’anha, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda kepada kami,’Apabila salah seorang dari kamu (kaum wanita) turut berjama’ah ke masjid, janganlah memakai wangi-wangian. (HR Muslim 2/33).[1]
Dari ‘Aisyah Radiyallahu’anha, di berkata, “Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
Dari Ummu Salamah Radiyallahu’anha, menceritakan: “Di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka sekedar waktu yang diinginkan Allah. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, bangkit pula kaum laki-laki tersebut.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 866, 870)
Qatadah Al-Anshari Radiyallahu’anhu berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 868).
B.       Adab-Adab Wanita Pergi ke Mesjid untuk Shalat Jama’ah
Jika wanita keluar untuk shalat ke mesjid hendaknya ia melakukan hal-hal di bawah ini:
1.      Wanita hendaknya menutup diri dengan pakaian dan hijab.
Aisyah r.a. berkata: "Adalah wanita melakukan shalat bersama Rasulullah Saw., kemudian mereka pulang sambil menyelimuti diri mereka dengan kain lebar mereka. Mereka tidak dikenali karena Subuh itu sangat pagi sekali." 

2.      Jangan keluar dengan berdandan atau pakaian indah atau perhiasan.
Aisyah Ummul mu'minin berkata: "Seandainya Rasulullah Saw. melihat dari wanita kini apa yang kami lihat, pasti beliau melarang mereka pergi ke masjid, sebagaimana Bani Israil melarang wanita mereka menuju tempat ibadah mereka".
As-Syaukani, dalam Nailul Authar, mengomentari kata-kata 'Aisyah, "Seandainya beliau melihat dari wanita apa yang kami lihat" : Maksudnya ialah: pakaian-pakaian indah, aroma mewangi dan perhiasan yang mereka kenakan dan penampilan mereka dengan dandanan kecantikan mereka. Padahal wanita dahulu di zaman Nabi Saw., mereka keluar dengan mengenakan kain-kain lebar, busana-busana dan selimut-selimut tebal.

3.      Jangan keluar dengan memakai wewangian
Rasulullah bersabda: "Janganlah kamu melarang wanita menuju masjid-masjid Allah. Hendaklah mereka keluar tanpa mengenakan wangi-wangian".

Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Zainab, isteri Ibn Mas'ud ia berkata: "Jika salah seorang di antara kamu hadir berjama'ah di masjid, maka janganlah ia menyentuh (mengenakan) wangi-wangian". Hadits ini menunjukkan bahwa keluarnya wanita ke masjid, hanya dibolehkan jika tidak ada unsur fitnah (mengganggu hati) atau yang menggerakkan ke arah fitnah itu, seperti wangi-wangian dari asap kayu cendana atau semacamnya, selain itu bahwa izin dari suami untuk keluarnya para isteri ke masjid adalah jika keluarnya mereka tidak mengandung unsur yang berdampak adanya fitnah (gangguan hati), seperti minyak wangi atau perhiasan yang tampak lainnya.

4.      Pada saat dalam masjid
Saat di dalam masjid, jika wanita itu sendirian, maka hendaknya berbaris sendiri di belakang shaf lelaki, berdasarkan hadits Anas saat shalat bermakmum kepada Rasulullah Saw., Anas berkata: "Aku dan anak lelaki kecil (yatim) berdiri di belakang beliau. Sedang wanita tua (ibuku) berdiri di belakang kami". Selain itu dari hadits Anas, ia berkata: "Aku dan anak lelaki kecil (yatim) shalat di rumah kami bermakmum kepada Rasulullah Saw., Sedang-kan Ibuku Ummu Sulaim berdiri di belakang kami." Jika jama'ah wanita itu banyak, lebih dari satu, maka hendaknya mereka berbaris satu shaf, atau beberapa shaf di belakang shaf jama'ah lelaki. Hal ini berdasarkan hadits:
“Bahwasanya Rasulullah Saw., menata shaf lelaki dewasa di depan anak-anak lelaki, dan menata shaf anak-anak lelaki di belakang shaf lelaki dewasa. Sedangkan shaf wanita di belakang shaf anak- anak lelaki."

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: "Shaf terbaik bagi lelaki adalah yang paling depan, sedang yang terburuk adalah yang paling belakang. Shaf terbaik wanita adalah yang paling belakang, sedang yang terburuk adalah yang paling depan”.

 Dua hadits di atas menunjukkan, bahwa hendak-nya wanita berbaris beberapa shaf di belakang shaf lelaki. Janganlah mereka shalat terpencar-pencar, jika mereka shalat di belakang shaf lelaki, baik itu dalam shalat fardhu maupun dalam shalat tarawih.

5.      Dalam shalat jama’ah
Jika Imam lupa dalam shalatnya, maka wanita menegurnya dengan menepukkan telapak tangan kanannya ke telapak tangan kirinya , berdasarkan hadits:
Rasulullah bersabda: "Jika terjadi suatu hal (kelupaan) pada kamu dalam shalat, hendaklah makmum lelaki mengucap tasbih, dan hendaknya makmum wanita menepukkan tangan ".

Ini adalah izin pembolehan bagi wanita menepukkan telapak tangannya jika terjadi sesuatu hal dalam shalat, di antaranya lupanya imam. Hal itu karena suara halus wanita mengandung fitnah (gangguan di hati) bagi lelaki. Karenanya, ia diperintahkan menepukkan telapak tangannya tanpa berucap kata. 

6.      Dianjurkan wanita keluar ketika shalat Id
Dari Ummu 'Athiyyah ia berkata : "Rasulullah Saw., memerintah kami untuk membawa keluar wanita untuk shalat 'Idul Fitri dan shalat 'Idul Adha, yaitu gadis-gadis yang sudah atau hampir baligh, wanita-wanita yang sedang haid dan gadis-gadis yang dalam pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka mengambil tempat terpisah dari area shalat dan turut menghadiri keutamaan shalat dan seruan do'a ummat Islam."

Hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna memastikan disyari'atkannya wanita keluar untuk shalat id, tanpa membedakan antara perawan, janda, gadis, wanita tua, wanita haid dan lainnya, selagi ia tidak dalam masa 'iddah, atau sekiranya keluarnya menimbulkan fitnah (gangguan ke arah maksiat), atau ia mempunyai udzur. 
Dari nukilan-nukilan di atas, kiranya kita ketahui bahwa wanita keluar rumah untuk shalat 'id diizinkan syari'at dengan syarat-syarat. Yaitu: kesenantiasaan berpegang pada norma Islam, kuatnya rasa malu, bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, turut serta bersama ummat Islam dalam berdo'a, dan untuk meninggikan syi'ar Islam. Bukan tujuannya untuk memamerkan perhiasan dan menggulirkan diri dalam kancah fitnah dan kemadharatan yang lainnya.

7.      Apabila Imam telah selesai salam
Apabila imam telah salam maka hendaknya wanita bersegera keluar dari masjid, sedang jama'ah lelaki tetap duduk, agar wanita yang telah keluar itu tidak terkejar oleh lelaki. Ini berdasarkan hadits Salamah:
"Sesungguhnya wanita (dahulu), jika usai salam dari shalat fardhu, mereka bangkit, sedang Rasulullah Saw., dan jama'ah lelaki menetap beberapa saat, kemudian jika Rasulullah Saw., bangkit, jama'ah lelaki pun bangkit"
                       
Hadits ini menunjukkan, bahwasanya disunnahkan bagi Imam memberi perhatian penuh kepada para makmumnya dan berhati-hati untuk menghindari hal-hal yang boleh jadi menggiring kepada sesuatu yang dilarang Agama dan menghindari hal-hal yang dapat mengundang prasangka buruk.[2] 

C.      Hukum dan Pendapat Ulama Tentang Wanita Shalat Di Mesjid
Shalat jama’ah tidaklah wajib bagi wanita berdasarkan kesepakatan mayoritas para ulama. Ada beberapa pendapat ulama di bawah ini:
a.       Makhruh bagi wanita muda shalat berjama’ah ke mesjid
Abu Hanifah dan dua orang sahabatnya mengatakan bahwa makruh bagi seorang wanita yang masih muda menghadiri shalat berjama’ah (di masjid) secara mutlak karena dikhawatirkan adanya fitnah. Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak mengapa bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk shalat shubuh, maghrib dan isya karena nafsu syahwat bisa menimbulkan fitnah di waktu-waktu selain itu. Orang-orang fasiq tidur pada waktu shubuh dan isya kemudian mereka disibukan dengan makanan pada waktu maghrib. Sedangkan kedua orang sahabatnya membolehkan bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk melakukan semua shalat karena tidak ada fitnah didalamnya dikarenakan kecilnya keinginan (syahwat) seseorang terhadapnya.
Dan madzhab dikalangan para ulama belakangan adalah memakruhkan wanita menghadiri shalat jama’ah walaupun shalat jum’at secara mutlak meskipun ia seorang wanita tua pada malam hari dikarenakan sudah rusaknya zaman dan tampaknya berbagai kefasikan.
b.      Di bolehkan bagi wanita shalat ke mesjid ketika shalat id
Para ulama Maliki mengatakan bahwa dibolehkan bagi seorang wanita dengan penuh kesucian dan tidak memikat kaum laki-laki untuk pergi ke masjid melakukan shalat berjama’ah, id, jenazah, istisqo (shalat meminta hujan), kusuf (shalat gerhana) sebagaimana dibolehkan bagi seorang wanita muda yang tidak menimbulkan fitnah pergi ke masjid (shalat berjama’ah) atau shalat jenazah kerabatnya. Adapun apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah maka tidak diperbolehkan baginya untuk pergi ke masjid secara mutlak.
c.       Makhruh bagi wanita cantik shalat di mesjid
Para ulama Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa makruh bagi para wanita yang cantik atau memiliki daya tarik baik ia adalah seorang wanita muda atau tua untuk pergi ke masjid shalat berjama’ah bersama kaum laki-laki karena hal itu merupakan sumber fitnah dan hendaklah ia shalat di rumahnya. Dan dibolehkan bagi para wanita yang tidak menarik untuk pergi ke masjid jika ia tidak mengenakan wangi-wangian dan atas izin suaminya meskipun sesungguhnya rumahnya lebih baik baginya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Janganlah engkau melarang para wanita itu pergi ke masjid meskipun rumah mereka lebih baik bagi mereka.” Didalam lafazh lainnya disebutkan,”Apabila para wanita kalian meminta izin kepada kalian pada waktu malam hari untuk ke masjid maka izinkanlah mereka.” (HR. Jama’ah kecuali Ibnu Majah) yaitu jika aman dari kerusakan (fitnah). Juga sabdanya saw,”Janganlah kamu melarang para wanita pergi ke masjid, hendaklah mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad, Abu daud dari Abu Hurairoh) dan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Sebaik-baik masjid bagi kaum wanita adalah didalam rumahnya.” (HR. Ahmad). Intinya adalah bahwa tidak dibolehkan bagi seorang wanita cantik (menarik) untuk pergi ke masjid dan dibolehkan bagi wanita yang sudah tua. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II hal 1172 – 1173).[3]









BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Shalat jama’ah merupakan perkara yang lazim, namun sesungguhnya Islam telah mengatur hal-hal khusus bagi wanita. Shalat wanita di mesjid menjadi perselisihan di kalangan ulama, karena ada hadis tertentu yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Sebagaimana dalam hadis Dari Ummu Salamah Radiyallahu’anha, menceritakan: “Di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka sekedar waktu yang diinginkan Allah. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, bangkit pula kaum laki-laki tersebut.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 866, 870).
Dalam masalah wanita shalat ke mesjid menjadi perbedaan, tapi shalat jama’ah bagi wanita ke mesjid itu tidak di wajibkan, namun ada hal-hal yang harus dilakukan oleh wanita jika pergi shalat berjama’ah ke mesjid.
B.       Saran
Kami sebagai pemakalah menyarankan kepada pembaca agar mencari sumber dan referensi lagi agar pembaca dapat pengetahuan dan wawasan yang lebih luas lagi, karna yang kami tulis jauh dari yang terbaik dan banyak kekurangan.



DAFTAR PUSTAKA
Nashiruddin Al-Albani, Muhammad, Ringkasan Shahih Muslim Jilid 1, penerjemah KMCP Imron Rosadi, Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2013






































[1] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim Jilid 1, penerjemah KMCP Imron Rosadi (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2013), cet ke-2, h. 197.
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018