Sunday, July 30, 2023

Tafsir Muqatil

0 comments

 “Tafsir Muqatil”

Oleh: Prof. Mun'im Sirry


Kali ini saya ingin memperkenalkan tafsir Muqatil bin Sulaiman. Dalam berbagai kesempatan diskusi tentang tafsir, saya kerap mengatakan bahwa Muqatil merupakan mufasir paling awal yang karya utuhnya terpelihara hingga sekarang. Kita tak punya karya tafsir lebih awal darinya.


Namun, biasanya saya tak menambahkan apa yang menjadi ciri-khas tafsir ini dan kenapa tidak dikenal di dunia Muslim saat ini, termasuk di Indonesia. Nah, saya akan menjawab dua pertanyaan apa dan kenapa tersebut, dan berharap status ini mendorong kita menjadi pembaca yang baik.


Muqatil hidup pada paruh pertama abad ke-2 H. Dia meninggal tahun 150 H/767 M, persis tahun yang sama dgn meninggalnya Ibnu Ishaq. Jika Ibnu Ishaq merupakan penulis sirah (biografi Nabi) paling awal yang karyanya sampai kepada kita sekarang, prestasi yang sama dipegang Muqail dalam bidang tafsir.


Bedanya, sirah Ibnu Ishaq berhasil menjadi riwayat hidup Nabi yang standar, bahkan bisa dikatakan resmi (official), dan mempengaruhi narasi hidup Nabi di kalangan Muslim hingga saat ini. Sebaliknya, tafsir Muqatil justru ditinggalkan dan diabaikan, kendati banyak hal yang sebenarnya dapat kita pelajari darinya.


Sebelum dilanjutkan dengan pertanyaan “kenapa,” baiknya diketahui apa yang unik dari tafsir Muqatil ini. Fakta bahwa ini adalah tafsir paling awal seharusnya sudah cukup untuk mendorong kita mempelajarinya secara serius.

Tafsir ini ditulis sebelum muncul mazhab-mazhab fikih dan sekte-sekte teologi resmi atau, lebih tepatnya, ketika berbagai mazhab dan sekte itu masih dalam periode formasi/pembentukan. Menarik untuk dilihat apa yang dikatakan seorang Muslim sebelum adanya (perdebatan) mazhab-mazhab teologis yang sengit dan/atau sebelum sekat-sekat identitas keberagamaan begitu meruncing.


Ketika suatu saat saya menulis soal siapa anak Nabi Ibrahim yang hendak disembelih, tafsir pertama yang saya lihat ialah Muqatil. (Silakan google tulisan saya tentang itu.) Menarik dicatat, ternyata Muqatil mengatakan secara eksplisit: Ishaq. Kalau kita tanya umat Muslim sejagad saat ini, pasti jawabannya ialah Isma’il.


Dari segi bentuk, tafsir Muqatil ini bisa dilihat sebagai model tafsir yang masih “primitif.” Tak ada penjelasan panjang-lebar. Yang dilakukan Muqatil hanya berupa “glossing” atau memberikan padanan kata. Dalam bahasa akademisnya disebut “paraphrastic exegesis,” yakni tafsir yang memberikan makna dalam bentuk kata lain.


Ada dua keunikan lain dari tafsir Muqatil. Pertama, jika kita membaca tafsir ini dalam bentuk manuskrip yang belum diedit, maka sulit untuk membedakan antara teks al-Quran dan tafsirnya. (Kalau dalam kitab yang sudah diedit kan diberi tanda utk membedakan antara ayat dan tafsirnya.) Muqatil punya keahlian merangkai kata sehingga teks al-Quran dan tafsirnya tampak mengalir seolah menjadi satu cerita yang berkesinambungan. Ciri unik ini pertama kali diobservasi oleh John Wansbrough dan disebutnya sebagai “haggadic,” yakni one continuous story.


Keunikan kedua ialah kebiasaan Muqatil mengomentari semua hal dalam al-Quran. Hampir tak ada yg luput dari perhatiannya. Ketika al-Quran mengatakan “wa-qala al-kafiruna” (orang2 kafir berkata), Muqatil akan menyebutkan nama-nama orang kafir yang dimaksud. Atau, “qala al-yahud” (orang2 Yahudi berkata), Muqatil menyebut nama-nama orang Yahudi dimaksud.


Bahkan, dia menyebut nama anjing yang tinggal di gua bersama para pemuda yang tertidur ratusan tahun dalam surat al-Kahfi. Ayat 18: “dan anjing mereka” (dikomentari Muqatil) namanya Qimthir.


Dari mana Muqatil tahu bahwa nama anjing itu “Qimthir”? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, Muqatil dituduh oleh lawan-lawannya sebagai pembohong. Dia suka mengatakan apa saja tanpa dasar.


Disebutkan oleh lawan-lawannya: suatu saat, ada orang datang kepadanya mengatakan bahwa dia ditanya orang tentang warna anjing yang menemani para pemuda di gua. Muqatil malah mengajarinya supaya bohong: “Kalau lo bilang “kuning” atau “putih,” kan ndak ada yang bisa membantah. Wong gak ada yang tahu juga.”


Dalam artikel “Muqatil b. Muqatil and anthropomorphism” yang terbit beberapa tahun lalu di Studia Islamica (jurnal ini terbit di Jerman, bukan “Studia Islamika” PPIM UIN-Jakarta), saya mendiskusikan banyak contoh tuduhan yang dilemparkan lawan-lawan Muqatil, terutama kalangan muhaddits yang hidup beberapa generasi setelah masa Muqatil.


Dia dituduh hendak memfabrikasi hadits-hadits untuk kepentingan penguasa, baik Umayyah maupun Abbasiyah. Tak dapat disangkal, Muqatil memang punya kedekatan dengan para penguasa, baik ketika masih di Kharasan pada masa dinasti Umayyah atau ketika pindah ke Basrah saat pemerintahan Abbasiyah.


Yang menjadi masalah ialah banyak ulama Muslim, termasuk di zaman modern, hanya bersandar pada apa yang dikatakan lawan-lawan Muqatil, dan tidak mempelajari karya-karya Muqatil sendiri. Padahal, dalam iklim sektarian yang panas, berbagai tuduhan dilemparkan untuk mendiskreditkan musuh/lawan. Dan kita tak tahu apakah tuduhan itu punya dasar.


Tak heran jika Muqatil begitu dibenci. Coba baca apa yang dikatakan “ahli tafsir” modern seperti Husain al-Dzahabi. Katanya, karya-karya Muqatil, termasuk tafsirnya, penuh dengan kemungkaran. Ini dikatakan oleh Dzahabi yang bukunya “al-tafsir wa’l-mufassirun” dijadikan diktat di Universitas al-Azhar!


Hingga saat ini kaum Muslim (termasuk di Indonesia) masih menjadi korban tuduhan-tuduhan terhadap Muqatil, yang sebenarnya dilancarkan oleh lawan-lawannya dalam iklim polemik dahulu, tanpa memahami konteksnya. Dalam suasana panas, seperti dapat dibayangkan, masing-masing kelompok gencar menuduh kelompok lain.


Sikap menjauhi tafsir Muqatil sungguh tidak masuk akal. Jika pun benar Muqatil pernah berbohong dalam suatu periwayatan, tidak berarti seluruh karyanya adalah sampah belaka. Yang saya tahu, ulama-ulama kita dahulu lebih fair dan adil dalam bersikap ketimbang kebanyakan ulama zaman modern.


Coba dengarkan pernyataan imam Ahmad bin Hanbal. Ketika ditanya tentang Muqatil, dia menjawab: “Beberapa karyanya dipersoalkan, namun saya sendiri melihat dia punya pengetahuan yang mendalam tentang al-Quran.” Dengarkan juga pujian imam Syafi’i: “Barangsiapa yang hendak belajar tafsir, dia perlu mengkaji Muqatil.” Syafi’i membandingkan pengetahuan tafsir Muqatil dengan pemahaman fikihnya Abu Hanifah.


Apakah imam Ahmad dan imam Syafi’i memuji tafsir Muqati tanpa membacanya? Pasti tidak! Keduanya membaca dgn lensa keilmuan untuk memahami. Bukan dengan semangat untuk menyebarkan kebencian. Jangan menjadi pembaca dgn katamata kebencian karena itu adalah ciri manusia berpikiran kerdil!

Read more...

Saturday, July 29, 2023

Versi Sejarah al-Quran yang Terlupakan

0 comments

 “Versi Sejarah al-Quran yang Terlupakan”

Review buku oleh Mun'im Sirry


Berikut review singkat buku “Jam’ul Quran: Bayna isykaliyyat al-nash wa-ru’yat al-istisyraq” (Pengumpulan al-Quran: Antara problem teks dan perspektif orientalisme) karya Dr. Abdul Jabbar Naji. Dibagi dalam 8 bab, buku ini menyorot tiga persoalan penting (1) problem sejarah teks al-Quran yang dinarasikan sumber-sumber Sunni; (2) keberadaan mushaf Ali sebelum proyek mushaf Abu Bakar dan Utsman, and (3) diversifikasi pandangan orientalis.

Jika ketiga persoalan itu diperas intinya mengarah pada pertanyaan: Kenapa para pengkaji al-Quran di Barat mengabaikan sejarah al-Quran versi Syi’ah, padahal sumber-sumber Sunni tidak menyajikan riwayat yang koheren tentang asal-muasal mushaf al-Quran?


Bagi saya, ini pertanyaan menarik dan menghentak karena para peneliti sejarah al-Quran, baik di Barat maupun di dunia Muslim, telah begitu lama mengabaikan kekayaan literatur Syi’ah. Terkecuali diskusi singkat yang dilakukan Friedrich Schwally, sarjana-sarjana Barat mendiskusikan sejarah al-Quran dengan sepenuhnya bersandar pada perspektif dan sumber-sumber Sunni.


Di dunia Muslim, karena diskusi sejarah al-Quran telah dianggap selesai, para penulis Muslim (Sunni) tidak lagi tertarik menelaah kompleksitas riwayat-riwayat seputar pengumpulan dan formasi mushaf al-Quran yang disajikan dalam sumber-sumber Sunni. Asumsi umum yang berkembang ialah bahwa riwayat pengumpulan al-Quran itu direkam dalam sumber-sumber otentik, seperti Shahih Bukhari.


Buku Abdul Jabbar ini perlu dibaca karena akan menyadarkan kita bahwa sejarah al-Quran “jauh dari selesai.” Tentu saja, seperti diduga, buku ini ditulis dari perspektif Syi’ah dan hendak menegaskan superioritas mushaf Ali dibanding mushaf-mushaf lain, termasuk yang dikenal dengan mushaf Utsmani. Sampai pada batas tertentu, Abdul Jabbar berhasil mendemonstrasikan bahwa sejarah al-Quran versi Sunni yang dimuat dalam sumber-sumber otoritatif, seperti shahih Bukhari, tidak sedemikian koheren sebagaimana umumnya diduga.


Seperti terlihat dalam SS, versi Bukhari sendiri sebenarnya tidaklah tunggal, melainkan beragam dan kontradiktif. Riwayat yang umum diketahui, ketika Zaid mulai menghimpun al-Quran, dia mengaku kehilangan 2 ayat di akhir surat al-Ahzab dan akhirnya menemukan (hanya) pada Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari. Ternyata Bukhari meriwayatkan kisah ini dengan berbagai versi. Abdul Jabbar mengidentifikasi enam versi dalam Bukhari.


Bahkan, tentang siapakah sahabat yang bernama “Khuzaiman” itu sulit ditemukan identitasnya di kalangan sahabat. Satu riwayat Bukhari menyebutkan namanya sebagai “Abu Khuzaimah,” bukan Khumaimah. Dalam versi lain, yang ditemukan itu satu ayat, bukan dua. Ada riwayat lain lagi memperlihatkan karaguan Zaid untuk mengambilnya atau tidak.


Ini baru tentang Khumaimah dalam satu kitab yang dianggap otoritatif! Bagaimana jika dibandingkan dengan sumber-sumber lain? Bagaimana juga dengan tugas besar yang dibebankan pada seorang anak muda, bernama Zaid bin Tsabit? Dia mengaku “kehilangan” ayat dan menemukan pada Khumaimah? Kehilangan? Kehilangan itu maksudnya kelupaan.


Bagaimana mungkin Zaid bersandar pada Khumaimah seorang diri, dan tidak dikuatkan dengan saksi-saksi lain? Memang, kemudian disebutkan suatu riwayat bahwa kesaksian seorang Khumaimah bernilai 2 orang. Pertanyaan yang diajukan Abdul Jabbar ialah: Kenapa Zaid tidak berkonsultasi dengan sahabat-sahabat senior yang dikenal memiliki mushaf sendiri, seperti Ubay, Ibn Mas’ud, atau imam Ali sendiri, tapi malah menerima transmisi seorang Khuzaimah?


(Juga kenyataan bahwa Zaid menemukan 2 ayat hanya pada satu orang (Khuzaimah) memunculkan pertanyaan serius soal klaim “seluruh al-Quran ditransmisikan secara mutawatir.” Bagaimana mungkin bisa dikatakan mutawatir jika hanya diriwayatkan oleh satu orang? Saya pernah bicara 3 pertemuan terkait “al-Quran bersifat mutawatir” itu. Kayaknya masing2 pertemuan berdurasi 2 jam. Jadi, bicara tema itu selama 6 jam, haha. Yang ikut acara itu, silakan ngacung tangan!)


Ini baru satu contoh. Episode-episode lain dalam sejarah pengumpulan al-Quran, baik pada masa Abu Bakar maupun Ustman bin Affan, sama sekali tidak steril dari pertanyaan kritis Abdul Jabbar. Jika dalam contoh di atas dikesankan peran sentral dari seorang Zaid, dalam riwayat Bukhari yang lain dikesankan sebagai kerja tim.

Disebutkan oleh Bukhari, Utsman memerintahkan Zaid untuk menuliskan apa yang didektikan oleh Sa’id bin al-Ash dan dihadiri oleh Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin al-Harits (baca buku Abdul Jabbar hal. 41 dan seterusnya). Melalui pengamatan yang jeli, Abdul Jabbar mempersoalkan akurasi riwayat ini karena mereka semua masih sangat muda. Sa’id bin al-Ash itu lahir pada tahun hijrah, artinya dia berumur 10 tahun ketika Nabi wafat. Demikian juga Abdurrahman yang berumur belasan tahun saat Nabi meninggal.


Pertanyaan retorisnya: Masak iya tugas maha besar menghimpun dan mengumpulkan al-Quran dibebankan kepada bocah-bocah, padahal banyak sahabat lain yang lama hidup bersama baginda Nabi dan lebih mengetahui seluk-beluk turunnya ayat-ayat al-Quran?


Ada sejumlah poin lain dalam buku ini yang perlu direnungkan serius. Misalnya, soal alasan Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Quran. Yakni, karena sejumlah sahabat penghafal al-Quran gugur pada perang Yamamah. Pertanyaan Abdul Jabbar, jika memang itu motivasinya, lalu di mana peran para penghafal al-Quran itu (mereka yang tidak gugur di Yamamah) dalam narasi pengumpulan al-Quran? Mereka tak disebutkan dalam riwayat pengumpulan al-Quran.


Terus terang, saya suka dengan sikap kritis Abdul Jabar, termasuk kritiknya terhadap kajian orang-orang Barat, yang disebutnya orientalis. Diakui atau tidak, para pengkaji al-Quran di Barat terlalu bersandar pada sumber-sumber Sunni, dan mengabaikan sumber Syi’ah. Dengan nada sedikit meledek, Abdul Jabbar berkata: “Pantesan kajian orientalis sampai pada kesimpulan beragam, karena mereka bersandar pada sumber-sumber yang penuh kontradiksi!”


Sayangnya, sikap kritis Abdul Jabbar tidak tampak ketika dia mendiskusikan sumber-sumber Syi’ah terkait superioritas mushaf Ali. Memang benar sumber-sumber Sunni pun sebenarnya menyebut mushaf Ali. Namun demikian, jika dia bersikap kritis pada koherensi sumber-sumber Sunni, seharusnya dia memperlihatkan sikap yang sama terhadap sumber-sumber Syi’ah.


Saya setuju bahwa sumber-sumber Syi’ah perlu mendapatkan tempat dalam kajian akademis. Sudah saatnya sejarah versi Syi’ah didiskusikan secara serius, bukan dilupakan. Saya juga setuju bahwa sumber-sumber Sunni perlu dilihat dengan kacamata kritis. Tapi, sangat disayangkan jika kritisisme Abdul Jabbar pada narasi Sunni semata dimotifasi oleh semangat sektarianisme, sehingga dia tak kuasa untuk bersikap kritis pada sumber Syi’ah.

Kenyataannya, problem-problem yang dihadapi sumber Sunni, sebagaimana saya tulis dalam “Rekonstruksi Islam Historis” dan “Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis”, juga ditemukan dalam sumber Syi’ah. Itu sebabnya penulis-penulis Syi’ah modern yang bersandar pada sumber-sumber Syi’ah, seperti al-Khu’i dan Hadi Ma’rifat, sampai kesimpulan berbeda soal sejarah al-Quran. Coba pelajari pandangan keduanya terkait apakah sudah ada kitab al-Quran pada zaman Nabi. Khu’i mengatakan ada, sementara Ma’rifat menolaknya.


Ala kulli hal, kajian akademis mensyaratkan sikap kritis tanpa memandang apakah itu terkait iman kita sendiri atau pihak lain. Jika hanya mau ngritik pihak lain sementara mengagung-agungkan keimanan sendiri sebagai satu-satunya kebenaran, jangan bermimpi jadi sarjana yang serius. Ada profesi lain yang lebih pas. Misalnya, da’i atau khatib. Syukur-syukur bisa masuk daftar penda’i yang dulu pernah diinisiasi Kemenag untuk diberikan sertifikat.

Semua profesi itu mulia. Cuma masing-masing punya karakteristik dan persyaratannya sendiri. Iyo orak? Eh ternyata review ini tidak singkat.

Read more...

Thursday, July 27, 2023

Mushaf 'Ali bin Abi Thalib

0 comments

 “Mushaf ‘Ali bin Abi Thalib”

Oleh: Prof. Mun’im Sirry


Ketika melihat beberapa komentar yang menanyakan tentang keberadaan mushaf ‘Ali bin Abi Thalib dan apakah Syi’ah mempunyai al-Quran berbeda, saya menulis status hendak menulis overview tentang mushaf imam ‘Ali. Namun, sebelum saya betul2 menulis overview itu, sudah ada yang menuduh saya akan menyebarkan keraguan terhadap mushafnya kaum Muslimin. Komentar itu saya hapus dari wall Fb karena orang seperti ini tidak bertujuan berdiskusi. Ya hanya suka nuduh!


Selama terlibat dalam berbagai kontroversi, saya melihat pola yang sama: Orang yang tak bisa berargumen secara solid biasanya suka melemparkan tuduhan, menyesat-sesatkan, bahkan menggunakan bahasa preman untuk menyebarkan kebencian. Reaksi pertama saya melihat tuduhan seperti komentar tadi ialah kenapa imannya begitu rapuh terancam dengan pembahasan tentang mushaf ‘Ali. Sebegitu lemahkah imannya sehingga merasa terancam bahkan sebelum saya menulis apapun?


Pola lain yang saya pelajari dari berbagai kontroversi ialah, biasanya, orang yang cepat merasa terancam ini berasal dari golongan yang merasa pemahaman Islamnya paling benar sendiri. Karena merasa memiliki kebenaran, maka mereka menyalahkan dan menyesatkan siapapun yang berbeda. Jangankan orang seperti saya, mereka yang merasa paling benar akan menyesatkan senior seperti Prof. Quraish Shihab atau Kiai Said Agil. Ini memang ironi! Merasa paling benar, tapi takut pada pandangan yang berbeda dengannya. Kalau betul merasa paling benar, ngapain takut.


Ketakutan atau merasa terancam dgn pembincangan tentang mushaf imam ‘Ali memperlihatkan miskinnya bacaan. Sebab, mushaf ini sudah dibicarakan oleh banyak ulama Muslim hingga sekarang. (Orang yang sinis, biasanya, juga bilang bahwa apa yang saya tulis tidak baru. Emang, siapa yang bilang baru?) Hampir bisa dipastikan, para ulama Muslim yang menulis tentang sejarah al-Quran atau mushaf akan menyinggung soal mushaf imam ‘Ali ini.

Prof. Abdul Shabur Syahin dalam bukunya “Tarikh al-Quran,” misalnya, merasa perlu berbicara panjang lebar tentang mushaf imam ‘Ali dibandingkan mushaf2 lain, seperti mushaf Ibnu Mas’ud atau Ubay bin Ka’ab. Prof. Syahin merupakan seorang ulama konservatif di Mesir, yang berkontribusi menggiring opini publik melawan pemikiran almarhum Nasr Hamid Abu Zayd, hingga yang disebut terakhir dibawa ke pengadilan.


Syahin menghabiskan 18 halaman membicarakan mushaf ‘Ali. Seperti diduga, yang dilakukannya ialah hendak meminimalkan signifikansi mushaf ini dan menegaskan keunggulan mushaf ‘Utsman. Saya akan kembali soal ini di bagian akhir nanti. Yakni, bagaimana pengaruh sektarianisme dalam wacana superioritas mushaf, terutama di kalangan Sunni dan Syi’ah.

Yang ingin ditegaskan di sini ialah bagaimana mushaf imam ‘Ali disebutkan dalam sumber-sumber Muslim, baik Syi’ah maupun Sunni. Riwayat-riwayat yang menyebutkan ‘Ali menulis mushaf setelah baginda Rasulullah wafat itu direkam dalam sumber Syi’ah dan Sunni dengan berbagai versi. Sekadar untuk menyebut beberapa: “Ushul al-Kafi” oleh Kulaini, “tafsir al-Qummi,” “Majma’ al-bayan” oleh Tabarsi (Syi’ah); “Kitab al-mashahif” oleh Ibn Abi Dawud, “al-Burhan” oleh Zarkasyi, “al-Iqthan” oleh Suyuti (Sunni). Riwayat paling detail dapat ditemukan dalam “Tarikh al-Ya’qubi.”


Dikisahkan, ketika Rasulullah meninggal, ‘Ali tidak terlibat dalam percekcokan soal kepemimpinan pasca-Nabi, yang akhirnya berakhir dengan pengangkatan Abu Bakar. ‘Ali sibuk mengurus jenazah Nabi, dan setelah itu fokus mengumpulkan al-Quran. Ada beragam riwayat tentang inisiatif ‘Ali mengumpulkan al-Quran ini, baik riwayat yang dituturkan sendiri atau dinarasikan orang lain.


Yang dituturkan sendiri, misalnya, ‘Ali mengatakan tidak akan melepaskan jubahnya hingga dia mengumpulkan al-Quran dalam sampul. Riwayat lain melibatkan Abu Bakar yang, karena tidak melihat ‘Ali, menyuruh orang supaya ‘Ali menghadap kepadanya. Abu Bakar menanyakan kenapa ‘Ali tidak memberikan bai’at. “Kamu tidak suka dengan kepeminpinan saya ya?” ‘Ali menceritakan bahwa dia disibukkan oleh aktivitas menghimpun al-Quran di rumah Nabi.

Dalam berbagai riwayatkan disebutkan, mushaf yang dihimpun oleh ‘Ali didasarkan pada urutan turunnya surat-surat al-Quran. Riwayat ini disebutkan oleh banyak ulama, seperti Ibn Sa’ad, Ibn Jizzi, atau Suyuti. Namun, melihat susunan mushaf ‘Ali yang dirangkum oleh Ya’qubi tidak tampak bahwa mushaf imam ‘Ali disusun berdasarkan urutan waktu.


Dicatat dalam Tarikh Ya’qubi, mushaf ‘Ali dibagi dalam 7 bagian dan masing-masing bagian terdiri beberapa surat. Misalnya, bagian pertama terdiri dari surat al-Baqarah, Yusuf, al-‘Ankabut,al- Rum, Luqman, dan seterusnya; bagian kedua terdiri dari Ali Imran, Hud, al-Hijr, al-Ahzab, dan seterusnya; bagian ketiga terdiri dari surat al-Nisa’, al-nahl, al-mu’minun, Yasin, dan seterusnya dan seterusnya.


Mereka yang mempelajari mushaf-mushaf non-Utsmani tidak akan kaget dengan ini. Sebab, urutan surat-surat dalam berbagai mushaf memang berbeda. Misalnya, dalam mushaf Ibnu Mas’ud tidak terdapat surat al-Fatihah dan 2 surat terakhir. Juga, urutan surat-suratnya berbeda dengan apa yang dikenal dgn “rasm ‘Utsmani.”


Reaksi para ulama pra-modern terhadap mushaf Ibn Mas’ud cukup beragam. Ada yang merangkainya dalam lingkup perbedaan pendapat apakah susunan surat dalam al-Quran itu berdasarkan ketentuan Ilahi atau hasil ijtihad. Ada juga yang bersikap dismisif. Misalnya, al-Razi mengatakan tak mungkin mushaf Ibn Mas’ud tidak mencakup surat al-Fatihah dan dua surat terakhir. Riwayat yang menyatakan demikian pasti batil (naqlun bathilun).

Terlepas dari semua itu, keberadaan mushaf ‘Ali juga menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ulama-ulama Sunni umumnya menganggap tidak ada karena ‘Ali sendiri mengakui mushaf ‘Utsman. Riwayat yang beredar luas di kalangan ulama Sunni ialah bahwa ‘Ali pernah meng-copy mushaf ‘Utsman ketika ia berada di pucuk pimpinan (menggantikan ‘Utsman yang terbunuh).


Yang menarik ialah kesaksian Ibnu Nadim, seorang bibliografer, yang mengaku pernah melihat penggalan mushaf imam ‘Ali. Dalam kitabnya, al-Fihrist, ia mengatakan melihatnya di kediaman Abu Ya’la Hamzah al-Hasani dengan tulisan tangan imam ‘Ali sendiri. Katanya, “Banu Hasan mewarisi penggalan mushaf ‘Ali tersebut.” Namun demikian, pengakuan Ibnu Nadim ini sulit diverifikasi karena dia hidup lebih dari dua abad setelah ‘Ali.


Perlu juga dicatat, di sebagian kalangan ulama Syi’ah ada keyakinan bahwa naskah imam ‘Ali, yang biasanya disebut “jami’ah,” masih tersimpun. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan imam Ja’far al-Shadiq yang direkam dalam berbagai sumber Syi’ah. “Jami’ah” (dan juga “Jifr”) diriwayatkan ditulis di atas kulit binatang paling bagus. Ini keyakinan yang faktanya tak ada orang yang bisa menunjukkan di mana keberadaannya sekarang. Buktinya, kaum Syi’ah sepanjang masa menggunakan mushaf ‘Utsmani.


Keyakinan umum lain di kalangan Syi’ah ialah bahwa mushaf imam ‘Ali ini bukan hanya mushaf pertama yang ditulis setelah Nabi wafat, melainkan juga memiliki sejumlah keunggulan. Misalnya, mushaf itu disertai catatan tentang “asbab nuzul” (sebab turunnya wahyu) dan penjelasan “nasikh mansukh” (ayat-ayat yang diabrogasi). Disebutkan pula, mushaf imam ‘Ali didasarkan pada bacaan asal yang diturunkan pada Nabi. Makanya, kata ulama-ulama Syi’ah, seandainya yang diterima adalah mushaf ‘Ali, niscaya tidak akan ada perbedaan bacaan. Perlu diketahui, ulama-ulama Syi’ah umumnya menolak perbedaan qira’at (bacaan) yang diakomodasi oleh kalangan Sunni.


Pertanyaan yang menarik dimunculkan ialah: Kenapa mushaf ‘Ali atau peran ‘Ali dalam pengumpulan al-Quran lenyap dalam narasi kaum Sunni? Walaupun, tentu saja, pertanyaan ini dapat dijawab dari berbagai perspektif (termasuk soal konflik kepemimpinan di awal sejarah Islam), salah satu jawabannya terkait dgn kepentingan ideologis atau sektarianisme. Sementara kalangan Syi’ah mengagung-agungkan mushaf imam ‘Ali, kalangan Sunni berusaha meminimalkannya.


Ini mengingatkan saya pada kontroversi besar di Mesir yang melibatkan penulis Sunni yang mempertanyakan kenapa nama ‘Ali tak terdengar dalam sejarah pengumpulan al-Quran pada masa Abu Bakar dan ‘Utsman. Penulis itu bernama Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya yang sangat kontroversial karena mempersoalkan hadits mutawatir (katanya, “ndak ada itu hadits mutawatir!), berjudul “Adhwa’ ‘ala al-sunnah al-muhammadiyah.” Menarik dicatat, buku ini diberi kata pengantar oleh Thaha Husain, yang juga tak sepi dari kontroversi (ide memang tak lepas dari kontroversi!).


Seperti terlihat dalam SS, Abu Rayyah mengaku gagal paham bagaimana mungkin peran imam ‘Ali tak terlihat dalam sumber-sumber Muslim awal. Justeru yang disebut-sebut ialah orang-orang yang derajat pengetahuannya di bawah level ‘Ali. Apa gerangan yang menyebabkan ‘Ali disingkirkan dari proses pengumpulan al-Quran? Padahal, ‘Ali merupakan penulis wahyu yang memiliki kedekatan khusus dengan Nabi.


Reaksi terhadap karya Abu Ruyyah luar biasa negatif. Sejumlah buku ditulis untuk mengutuknya. Serangan terhadapnya bersifat personal. Musthafa Siba’i, misalnya, menuduh Abu Rayyah dengan segala sifat tercela yang tak pantas dilancarkan oleh seorang ulama. Dia merasa tak cukup dengan membalas karya Abu Rayyah dengan karya tandingan, melainkan menghakiminya dengan berbagai cercaan. Anehnya, ternyata reaksi bergaya preman dicontoh banyak orang. Padahal, jika tidak setuju, ya cukup tunjukkan kelemahan pandangan Abu Rayyah secara argumentatif.


Saat menulis status ini, saya coba cari di Google tulisan tentang Abu Rayyah oleh kawan-kawan di Indonesia, ternyata saya temukan beberapa artikel yang menelitinya cukup serius. Sebagian besar menyorot soal pandangannya tentang hadits, termasuk peran Abu Harairah. Saya cukup gembira sebagian penulis di Indonesia melihat kontroversi Abu Rayyah secara tenang dan konstruktif. Sayang tak ada yang menyentuh pandangannya tentang wahyu dan pengumpulan al-Quran.


Hemat saya, pertanyaan Abu Rayyah soal tersembunyinya peran ‘Ali dlm proyek mushaf al-Quran layak direnungkan. Kita boleh tidak setuju dengan jawabannya. Merenungkan pertanyaan tak akan mengerus iman kita. Sebaliknya, saya yakin, mencari jawaban atas pertanyaan tersebut akan menyadarkan kita betapa persoalan2 ideologis dan sektarian tak bisa dinafikan untuk menjelaskan kenapa satu versi sejarah keluar sebagai pemenang di kemudian hari (won the day)! Kawan-kawan yang sudah membaca “Rekonstruksi Islam Historis” tak akan merasa asing dengan pernyataan ini. Insya Allah, poin ini saya elaborasi dalam status lain.


Nah, sekarang, apakah setelah membaca status ini iman Anda menjadi lemah? I don’t think so.

Read more...

Surah Quraisy

0 comments

 Surah Quraisy

Oleh: Prof. Dr. Abad Badruzaman


Sekurangnya ada tiga term yang bagi saya cukup manarik dalam surah Quraisy: ilaf, ju', dan khauf. Kata ilaf yang ada di awal surah ini biasa diterjemahkan "kebiasaan." Saya penasaran, apa iya "ilaf" cuma berarti "kebiasaan". Yang saya inginkan arti yang "lebih jauh", bukan sekadar arti kata perkata secara harfiah. Saya buka tafsir Ma'arij al-Tafakkur wa Daqa`iq al-Tadabbur karya Abdurrahman Hasan al-Midani. Tentang karya Tafsir ini, saya pernah sedikit mengulasnya di Fb ini pada 16 Mei 2022 dengan judul "Tadabbur pun Ada Kaidahnya." Tafsir ini, seperti Tafsir Bayan al-Ma'ani karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy, al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad 'Izzat Darwazah, dan Fahm al-Qur`an al-Hakim karya 'Abid al-Jabiri, adalah tafsir yang disajikan tidak dengan mengikuti urutan surah dalam mushaf melainkan sesuai dengan urutan kronologis turunnya surah.


Menurut al-Midani, ilaf merupakan term yang berlaku dalam dunia perdagangan di kalangan Arab kala itu. Para pemimpin mereka mengadakan perjanjian untuk memberi jaminan keamanan bagi keluar-masuknya barang-barang dagangan serta para pembawanya di sejumlah kawasan di mana mereka biasa melakukan aktifitas perdagangan.


Para pedagang Quraisy memiliki perjanjian dalam sekup yang luas dengan raja-raja Romawi, Persia, Habasyah dan Himyar di Yaman. Tuhan telah mengkaruniakan kepada kaum Quraisy perjanjian ini dan menggerakkan para raja itu untuk menyepakatinya. Karunia ini sebagai salah satu bentuk "penghormatan" Tuhan bagi Tanah Haram dan Rumah-Nya yang Suci serta pengabulan atas doa Nabi Ibrahim untuk menjadikan negeri ini (Mekkah) aman, penduduknya berlimpah buah-buahan (kemudahan rezeki).


Para pemimpin Quraisy yang membuat perjanjian itu adalah empat tokoh dari Bani Manaf: Hasyim, Abd Syams, Muthalib, dan Naufal. Para pedagang Quraisy, seperti telah dikatakan, biasa melakukan perjalanan dagang ke berbagai negeri dengan jaminan keamanan dari penguasa negeri-negeri itu. Mereka aman dari aneka gangguan.

Al-Midani mengatakan, memaknai kata "ilaf" yang ada di awal surah Quraisy dengan apa yang baru saja dipaparkan, jauh lebih menggambarkan apa yang benar-benar terjadi kala itu, dalam pada itu keterkaitan dengan makna harfiahnya tetap terpelihara. Sekaitan dengan ini, Ibnu Abbas pernah berkata, "Orang-orang Quraisy tahu bahwa yang pertama kali membuat perjanjian bagi mereka adalah Hasyim. Ilaf adalah perjanjian dan jaminan. Hasyim bin Abd Manaf membuat perjanjian dengan para raja untuk orang-orang Quraisy."


Menegaskan apa yang sudah cukup terang, bagi orang-orang Quraisy pra-Islam, ilaf merupakan "nomenklatur" tentang perjanjian dan jaminan keamanan bagi ekspedisi dagang mereka yang dengannya mereka beroleh keuntungan dan rezeki yang banyak. Mereka merasa tenang di perjalanan; keluar-masuk sebuah negeri, datang dan pergi, musim panas dan musim dingin. Ke selatan mereka sampai di Yaman, salah satu wilayah Habasyah; ke utara, timur, dan barat; ke Syam, Irak, Persia dan Mesir, dalam sebuah perjalanan dagang yang luas, bahkan terkadang mereka sampai ke India.


Ini menunjukkan bahwa penduduk Mekkah dulunya adalah para pedagang yang sudah terbiasa melakukan perjalanan ke banyak penjuru dengan aman. Mereka telah berhubungan dengan banyak negeri yang sudah maju kala itu. Kepada para pemimpin negeri yang didatangi, para pedagang Quraisy biasa mempersembahkan hadiah seraya menjalin perjanjian keamanan serta kesepakatan bisnis, antara lain terkait aktifitas ekspor dan impor. Mekkah waktu itu merupakan pusat perdagangan yang sibuk. Pasar-pasar Mekkah dipenuhi dengan para pedagang yang datang dari berbagai negeri dan kabilah-kabilah Arab.


Dalam pandangan al-Midani, keunggulan orang-orang Quraisy dalam dunia perdagangan kala itu dibanding suku-suku Arab lainnya, tak lepas dari kenyataan bahwa mereka adalah penduduk Tanah Haram di mana Baitullah berada di dalamnya. Tentang hal ini orang-orang Quraisy berkata, "Kami adalah keluarga Allah, anak-cucu Ibrahim, para penguasa Bait al-Haram, penduduk dan penghuni Tanah Haram-Nya. Tidak ada seorang pun memiliki hak seperti kami, tidak ada seorang pun memiliki kedudukan seperti kami. Bangsa Arab tidak pernah mengenal suku mana pun seperti yang kami miliki."


*^*

Surah ini mengandung taklif atau perintah yang merupakan inti yang hendak disampaikan. Surah dimulai dengan terlebih dahulu mengemukakan 'illat (alasan) bagi ditetapkannya taklif itu. Kata para ahli, model begini ini termasuk gaya bahasa yang indah. Tidak langsung memberi taklif, tapi dikemukakan dulu 'illat-nya agar lebih mengena. Disebutkan pula sebelum penetapan taklif itu pihak yang akan dikenai taklif dalam bentuk ghaib (pihak ketiga): mereka (orang-orang Quraisy).


Kalau dinarasikan, kurang-lebih seperti ini: "Karena kebiasaan berdagang orang Quraisy yang dilindungi dengan perjanjian dan jaminan keamanan dari pihak-pihak yang telah disebutkan, serta kemudahan yang Allah karuniakan kepada mereka demi kemuliaan Rumah-Nya dan Tanah Haram-Nya; sehingga mereka bisa melakukan perjalanan dagang di musim dingin dan musim panas, ke utara, selatan, timur dan barat, yang dengannya mereka meraup banyak rezeki dalam keadaan aman-damai, maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik Rumah ini seraya bersyukur atas semua karunia-Nya. Dia-lah yang telah membebaskan mereka dari lapar dan melindungi mereka dari rasa takut."


Dengan demikian, ayat 1 dan ayat 2 merupakan "alasan bagi terbitnya perintah", sedang ayat 3 merupakan "materi perintah"-nya. Seperti telah disinggung, di sini terlihat bahwa Tuhan mendahulukan penyebutan "alasan" bagi sebuah perintah, baru kemudian menyebutkan "perintah"-Nya. Ayat 4 kemudian menguatkan posisi perintah dengan menyebutkan "siapa" yang menerbitkan perintah, dan "apa" saja kebaikan yang telah dikaruniakan-Nya kepada pihak yang diperintah.


*^*

Dari surah ini dapat dipetik beberapa poin, antara lain:

Pertama: Al-Quran memanglah bukan kitab sejarah. Namun begitu, ia dapat dijadikan "pemandu awal" bagi para pembacanya tentang beberapa peristiwa penting yang terjadi di kawasan di mana ia turun, terutama yang terkait dengan Arab pra-Islam, turunnya Islam, dan kenabian Muhammad Saw. Penyebutan beberapa tempat dan peristiwa dalam al-Quran, selain karena tuntutan konteks dalam rangka menegaskan sebuah pesan, sebaiknya memantik kita untuk menelusur lebih jauh mengenai tempat dan peristiwa yang "di-mention" oleh al-Quran itu. Dari sana diharapkan kita menjadi paham mengapa al-Quran menyebutkannya, ada hal penting apa saja yang terdapat di dalamnya, dan pelajaran apa saja yang kiranya relevan dengan sejarah Islam dan kenabian Muhammad Saw. Pada hemat saya, surah Quraisy ada dalam frame pembicaraan ini. Yakni salah satu petunjuk atau gambaran awal dari al-Quran tentang masyarakat Quraisy waktu itu.


Kedua: Khusus terkait surah Quraisy ini, saya rasa amat relevan apabila ia dijadikan pelajaran atau pun pedoman oleh para pemimpin atau mereka yang memiliki kekuasaan atas masyarakat. Yaitu, hendaknya mereka meneladani Tuhan ketika Dia memerintahkan manusia untuk menyembah-Nya. Dalam surah ini, seperti telah disitir, Tuhan mendahulukan penyebutan alasan turunnya perintah ketimbang mendahulukan penyebutan perintah-Nya itu sendiri. Ada "rasionalisasi" yang jelas mengapa ada perintah. Kemudian, setelah menyebutkan perintah-Nya pun, Dia mengukuhkannya dengan menyebut beberapa kebaikan yang telah Dia karuniakan kepada pihak yang diperintah. Pelajarannya: seorang pemimpin atau penguasa jangan hanya fasih menyuruh "ini-itu" kepada bawahan atau rakyatnya. Penuhi dulu hak-hak dasar mereka, baru setelah itu tuntut kewajiban mereka. Belajarlah dari Tuhan: Dia menyuruh orang-orang Quraisy untuk menyembah-Nya setelah dia memenuhi hak mereka atas kecukupan pangan dan rasa aman.

Read more...

Tuesday, July 25, 2023

NABI PEREMPUAN

0 comments

 Cara Kerja Para Peneliti


Penafsiran al-Qurtubi tentang Nabi Perempuan: Potret Bagaimana Kalangan ‘Alim dan Akademisi Berpikir dan Bekerja

Nabi perempuan? Memangnya ada? Bukankah 25 nabi yang diajarkan kepada kita sejak kecil semuanya adalah laki-laki?


Pandangan tentang sosok nabi perempuan barangkali terdengar asing dan aneh di telinga kita hari ini. Tetapi, 8 abad yang lalu, beberapa ulama besar Andalusia mendiskusikan kemungkinan adanya nabi dari kaum hawa. Imam al-Qurtubi (w. 1273), seorang penulis tafsir al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, berpendapat bahwa Maryam adalah seorang nabi dalam penafsirannya atas surah Ali Imran ayat 42. 


Ayat tersebut menginformasikan, lanjut al-Qurthubi, bahwa Allah memberikan wahyu kepada Maryam melalui perantara malaikat Jibril sebagaimana Allah menurunkan wahyu kepada para nabi sebelumnya.

Al-Qurthubi juga mengutip hadis yang menyebutkan bahwa Maryam adalah satu di antara empat perempuan yang mencapai ‘kesempurnaan’, dan kesempurnaan tertinggi bagi manusia adalah derajat kenabian. Bahkan, al-Qurthubi cenderung berpandangan bahwa Maryam lebih tinggi derajatnya daripada nabi Zakariya karena yang disebut terakhir ini meminta tanda (ayat) kepada Allah atas kabar gembira yang diberitakan kepadanya, sedangkan Maryam tidak memintanya. 


***

Saya akan menggunakan kasus penafsiran di atas untuk mendeskripsikan cara kerja seorang peneliti atau akademisi. Agar lebih mudah memahaminya, saya akan mengkontraskan cara berpikir dan bekerja seorang peneliti dengan cara seorang tokoh agama merespon tafsiran tersebut.


Saat di Qatar, saya menghadirkan tafsir al-Qurtubi yang tidak lazim tersebut kepada seorang ‘alim yang juga berprofesi sebagai dosen. Sebagai tokoh agama – yang memikul kewajiban menjaga aqidah umat, ia pun berusaha menjelaskan bahwa kata “nabi” yang dimaksud oleh al-Qurthubi adalah nabi dalam pengertian lughowi (etimologi), artinya orang yang mendapat kabar (naba’), bukan dalam pengertian isthilahi (terminologi). 

Begitu juga dengan kata “wahyu” dalam ayat tersebut, yang menurutnya, harus dipahami secara lughowi bukan isthilahi, sebagaimana dalam surah al-Nahl ayat 68 tentang Allah ‘mewahyukan’ kepada lebah. 


Menurut keyakinannya – dan ia juga ingin jamaah meyakininya – tidak ada nabi perempuan. Pendapat adanya nabi perempuan adalah pendapat keliru yang harus ditolak. Cara kerja seperti ini menghiasi karya-karya para mufassir kita. Sebagai contoh, untuk menolak argumen kenabian perempuan. para mufassir sering mengutip surah Yusuf ayat 109 “dan Kami tidak mengutus (wa mā arsalnā) sebelummu (Muhammad) melainkan laki-laki yang Kami berikan wahyu.” 


Singkat kata, para tokoh agama (dai, ustadz, syaikh, ‘alim) berpikir dan bekerja untuk ‘meyakinkan umat untuk mengikuti pandangan keagamaan yang ia yakini benar’ dan memang seperti itu peran yang mereka mainkan dari dahulu hingga sekarang.


Lalu, bagaimana cara berpikir dan bekerja seorang peneliti? Bagaimana ia menyikapi tafsiran al-Qurthubi di atas? 

Seorang peneliti tidak di-training untuk masuk ke wilayah pemberian ‘judgment’ untuk menilai mana tafsiran yang benar dan yang salah. Ia tidak berkepentingan untuk masuk ke wilayah teologis tersebut dan mungkin memang tidak punya otoritas untuk itu.


Cara kerja peneliti lebih didorong oleh ‘rasa keingin tahuannya’ (curiosity) terhadap fenomena yang ia kaji. Terhadap kasus tafsiran al-Qurthubi di atas, ia akan mencari tahu mengapa tafsiran tersebut bisa muncul? Dari mana al-Qurthubi mengambil pendapat tersebut? Dalam konteks sosial-budaya-politik-intelektual seperti apa pandangan ini bisa muncul di Andalusia? Siapa saja yang mendukung dan menentang? Lalu mengapa pandangan ini, meski dikampanyekan oleh tokoh sebesar al-Qurthubi, bisa meredup dan akhirnya menghilang dari ingatan umat Muslim hari ini? serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa dikembangkan.


Beberapa peneliti (Mirza, Fierro, Abboud, dll) telah menunjukkan bahwa al-Qurthubi bukan satu-satunya ulama yang berpandangan demikian. Dua abad sebelumnya di Andalusia, Ibn Hazm (w. 1064) lebih dahulu mendukung pendapat kenabian Maryam dan beberapa perempuan lainnya. 


Ia menuliskan tema ini secara khusus dalam bab nubuwwah al-nisā’ (kenabian perempuan) dalam kitabnya al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Di dalam bab ini, Ibn Hazm menceritakan bahwa para ulama Kordoba di abad ke-11 M terpecah menjadi tiga kelompok besar: yang mendukung kenabian perempuan, yang menolak, dan yang memilih tawaqquf. 


Bahkan, Ibn Hazm menolak penggunaan surah Yusuf ayat 109 di atas sebagai dalil tidak adanya nabi perempuan karena, menurut Ibn Hazm, ayat tersebut berbicara tentang risalah (kerasulan) bukan nubuwwah (kenabian).

Lalu, kenapa dan bagaimana pendapat ini bisa muncul di Andalusia dan tidak di dunia Islam bagian Timur?

Para peneliti berbeda pendapat. Abboud, akademisi dari American University in Beirut (AUB), mengajukan pandangan bahwa wacana ini bisa muncul disebabkan struktur masyarakat Andalusia yang memberikan status sosial yang lebih tinggi kepada perempuan dibandingkan di dunia Muslim belahan Timur. Iklim sosial seperti ini memungkinkan para ulamanya merumuskan wacana kenabian perempuan. 


Kelompok peneliti yang lain berpendapat bahwa wacana tersebut muncul dalam iklim polemik sektarianisme. Untuk menghalau gerakan Syiah yang kerap membawa nama Fatimah, sebagian ulama Andalusia berusaha menunjukkan posisi Maryam yang lebih tinggi daripada Fatimah. Sebagian sarjana mengajukan hipotesa bahwa kontak dengan Kristen lah yang membuat agamawan Andalusia memberikan penghormatan yang lebih tinggi kepada Maryam sampai-sampai menobatkannya sebagai nabi.


Pendapat lainnya dikemukakan oleh Maribel Fierro, peneliti asal Spanyol. Menurut hasil risetnya, wacana kenabian Maryam muncul dalam iklim perdebatan seputar karamat wali. Bagi para pendukung adanya karamat wali, ayat al-Qur’an yang mengisahkan bahwa Maryam mendapat rezeki (dari langit) adalah bukti gamblang adanya karamat wali. Bagi para penolaknya, ayat tersebut dijadikan dalil bahwa Maryam adalah nabi, dan rezeki yang diterimanya dari langit adalah mukjizatnya sebagaimana mukjizat para nabi lainnya.  


Sementara para peneliti masih berdebat mengenai asal-usul wacana kenabian Maryam, Younus Mirza, peneliti di Georgetown University, lebih tertarik mencari penjelasan mengapa tafsiran ini tidak populer bahkan cenderung terhapus dari memori kebanyakan umat Islam. Mirza mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan ‘kekalahan’ tafsir al-Qurthubi dari tafsir al-Baidhawi di abad pertengahan dan dari tafsir Ibn Katsir di era modern ini. Al-Baidhawi dan Ibn Katsir, keduanya mufassir dari dunia Islam bagian Timur, sepakat menolak kenabian perempuan. 

Mirza pun membayangkan jika seandainya tafsir al-Qurthubi lah yang memenangkan medan pertempuran tafsir dan menjadi karya yang paling populer, tentu kini wacana kenabian Maryam akan lebih masyhur.


Tetapi, kita juga menemukan bahwa wacana kenabian Maryam tidak benar-benar lenyap, hilang, dan terlupakan dari literatur tafsir. Seandainya Mirza bisa berbahasa Indonesia dan membaca tafsir al-Azhar karya alm. Hamka, ia akan mendapati bahwa wacana kenabian Maryam ini masih muncul dan ‘hidup’ dalam tafsir al-Azhar tersebut. 


Ketika suatu ide (dalam kasus ini ide kenabian Maryam yang dibawa oleh mufassir al-Qurthubi) sudah masuk dan menjadi bagian integral dari tradisi tafsir maka ide tersebut akan sulit untuk dihilangkan atau dilupakan dari tradisi penafsiran al-Qur’an. Hal ini karena tradisi tafsir yang bersifat ‘genealogis’ dan ‘ensiklopedis’, sebagaimana sering dijelaskan oleh peneliti tafsir tersohor era ini Prof. Walid Saleh dari University of Toronto.


Semoga satu contoh di atas sudah cukup untuk mengilustrasikan bagaimana seorang peneliti berpikir dan bekerja serta perbedaannya dengan cara bekerja para tokoh agama. Kami yang kuliah studi Islam di Barat di-training untuk menjadi peneliti seperti itu, jadi tidak perlu menyimpan kecurigaan yang berlebihan kepada kami.

Oh ya, jangan tanya pendapat saya tentang kampus yang ‘mengintegrasikan’ kurikulum pendidikan bagi ‘alim dan akademisi di bawah satu atap. 


Saya termasuk kalangan yang kurang sepakat. Untuk menjadi ‘alim, seseorang perlu dididik secara intensif dan dalam waktu yang panjang di lembaga khusus, seperti pesantren atau sebagian universitas di Timur Tengah. Begitu juga, untuk menjadi peneliti profesional, seseorang perlu di-training secara intensif dan dalam waktu yang panjang di universitas riset seperti kampus di Barat. 


Menggabungkan keduanya, padahal model berpikir dan bekerjanya saja sudah berbeda, akan mengaburkan identitas dan membuat goal masing-masing sulit tercapai. Pandangan ‘dikotomis’ ini tidak begitu disukai oleh sebagian akademisi dan ustadz di tanah air, tetapi tidak sedikit juga yang mendukungnya 😊

Katanya jangan tanya, kok malah berargumen. Baik, kita cukupkan saja sampai di sini, hehe 😃


Salam,


Oleh: Annas Rolli Muchlisin (Alumni Islamic Studies Toronto University dan Khalifa University Qatar)

Read more...

MUSHAF IBNU MAS'UD

0 comments

 “Mushaf Ibnu Mas’ud

Oleh: Munim Sirry 


Menyambung status sebelumnya tentang insiden ditemukannya mushaf Ibnu Mas’ud. Seperti dituturkan Ibnu al-Jauzi dalam al-Muntadham, peristiwa itu terjadi pada tgl 11 Rajab tahun 398 H. Tidak tanggung-tanggung, mushaf Ibnu Mas’ud disimpan oleh seorang tokoh Syi’ah dua belas (itsna asyariyyah) bernama Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad al-Nu’man, dikenal dgn Ibn al-Mu’allim.


Mereka yang belajar sejarah Syi’ah akan mengenal tokoh besar ini. Karya-karyanya dalam bidang fikih (Muqni’ah), kalam (awa’il al-maqalat) dan sejarah Syi’ah (al-Irsyad) menjadi rujukan ulama-ulama Syi’ah sesudahnya. Di kalangan Syi’ah, dia lebih dikenal dengan julukan “Syeikh al-Mufid.” Tak berlebihan jika dikatakan, Ibnu al-Mu’allim atau Syeikh al-Mufid termasuk tokoh ulama Syi’ah paling terkemuka pada abad ke-4 dan 5. Konon, nama syeikh al-Mufid” (artinya “yang memberikan faedah”) diberikan oleh al-Qadhi Abdul Jabbar karena kekagumannya.

Disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi (lihat SS), ternyata Ibnu al-Mu’allim ini menyimpang mushaf Ibnu Mas’ud yang (ini kutipan dari Ibnu Jauzi) “berbeda dengan mushaf-mushaf lain (yukhalif al-masahif).” Para tokoh, termasuk hakim-hakim dan fuqaha, berkumpul dan memerintahkan supaya mushaf tersebut dibakar. Ternyata pemusnahan mushaf Ibnu Mas’ud saat itu tidak menyelesaikan masalah, tapi malah berbuntut panjang hingga dilaporkan ke khalifah.


Situasinya menjadi begitu rumit karena seorang yang membakar mushaf itu harus bertanggungjawab dan dibunuh (?). Maka, terjadilah bunuh-bunuhan yang melibatkan kalangan Syi’ah dan ahlus Sunnah. Singkat cerita, di akhir tulisannya Ibnu al-Jauzi mengabarkan bahwa Ibnu al-Mu’allim diusir dari daerah Karkh. Saat itu, Karkh merupakan pusat kubu Syi’ah. Ada artikel bagus tentang ini, berjudul “Al-Karkh: the Development of an Imami-Shi’i Stronghold in Early Abbasid and Buyid Baghdad.”


Insiden itu menggambarkan betapa seriusnya konsekuensi yang harus dihadapi orang yang menyimpan mushaf Ibnu Mas’ud. Mengapa mushaf tersebut begitu “ditakuti”? Ini pertanyaan sentral yang tak mudah dijawab. Peristiwa yang diceritakan Ibnu al-Jauzi di atas terjadi sekitar 300 tahun setelah Hajjaj mengancam akan memenggal kepala siapapun yang masih menggunakan mushaf seorang sahabat agung itu.


Karena itu, bagian dari jawaban untuk pertanyaan di atas terkait keberhasilan kebijakan khalifah Abdul Malik dan gubernur Hajjaj dalam ancaman mereka terhadap siapapun yang menggunakan mushaf Ibnu Mas’ud. Kampanye Hajjaj dilakukan secara masif. Ada riwayat (saya kira saya sebutkan dalam buku “Rekonstruksi Islam Historis”) menyebutkan bahwa Hajjaj menggunakan mesjid untuk mengumumkan larangan mushaf Ibnu Mas’ud.


Lebih dari itu, Hajjaj juga mengkampanyekan agitasi anti Ibnu Mas’ud. Ada banyak riwayat yang menukil kebencian Hajjaj terhadap Ibnu Mas’ud. Salah satunya dia mengatakan seandainya Ibnu Mas’ud masih hidup, maka dialah yang akan mencabut nyawanya. Saya kira, agitasi semacam ini perlu dipahami dalam konteks pelarangan keras terhadap penggunaan mushafnya.


Bagian lain dari jawaban untuk pertanyaan sentral di atas berhubungan dengan “mushaf Utsmani” yang sudah diterima secara luas, sehingga tak ada lagi versi mushaf lain yang boleh digunakan. Bahkan kalangan Syi’ah yang menyebut-nyebut Ali bin Abi Thalib sebagai pengumpul mushaf pertama dan relatif kritis terhadap mushaf Utsmani tak (lagi) dikabarkan menolak mushaf Utsmani. Maka menarik ternyata ada seorang tokoh Syi’ah secara diam-diam masih menyimpan mushaf Ibnu Mas’ud, jika insiden yang melibatkan Ibnu al-Mu’allim itu benar adanya.


Analisis lain dapat diajukan terkait jawaban untuk pertanyaan di atas. Yakni, mushaf Ibnu Mas’ud memang berpotensi menjadi “pesaing kuat (strong contender)” dari mushaf Utsmani, karena beberapa alasan. Saya akan menyebut dua saja. Pertama, mushaf Ibnu Mas’ud itu punya pembaca riil. Sepeninggal si empunya, orang-orang Kufah masih setia menggunakan mushaf tersebut hingga dilarang keras oleh gubernur Hajjaj. 


Kedua, dari berbagai riwayat yang dicatat dalam literatur Arab tampak bahwa mushaf Ibnu Mas’ud mengandung elemen-elemen yang berbeda dari mushaf Utsmani. Perbedaan yang dimaksud di sini bukan soal qira’at (bacaan). Poin ini perlu dijelaskan, karena ada orang yang berasumsi perbedaannya (hanya) terkait bacaan. Perbincangan tentang mushaf Ibnu Mas’ud tak ada hubungannya dengan diskursus tentang qira’at, baik qira’at sab’ah (tujuh bacaan), qira’at asyarah (sepuluh bacaan) atau yang empat belas. Ndak ada nama “Ibnu Mas’ud” di situ.


Terkait perbedaan ini, para pengkaji tidak perlu membesar-besarkan atau sebaliknya mengabaikannya sama sekali seolah tak ada apa-apa. Keduanya bukankah sikap kesarjanaan yang baik. Tugas seorang sarjana ialah menelitinya sesuai data-data (bacaan) yang tersedia. Bukan menutup-nutupinya atau membesar-besarkannya dengan klaim-klaim propagandis.


Berbeda dengan mushaf-mushaf sahabat yang lain, melalui sumber-sumber yang tersedia kita mengetahui apa yang membedakan mushaf Ibnu Mas’ud dari mushaf Utsmani. Kalau mushaf Ali, kita hanya tahu bahwa mushafnya disusun sesuai urutan turunnya surat, bukan dari urutan surat-surat panjang ke urutan surat-surat pendek. Pengetahuan kita tentang mushaf Ali tak lebih dari itu.


Perbedaan mushaf Ibnu Mas’ud bukan hanya soal urutan surat, melainkan juga bahwa mushaf tersebut tidak mencakup surat pertama dan dua surat yang terakhir. Sudah banyak penjelasan apologetik diajukan ulama tentang masalah ini. Saya ingin menyebut perbedaan lebih signifikan dengan melihat susunan surat mushaf Ibnu Mas’ud sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam al-Fihrist dan Suyuti dalam al-Itqan.


Ternyata dalam kedua kitab terkenal ini mushaf Ibnu Mas’ud bukan hanya tidak memuat surat pertama dan dua surat terakhir, melainkan juga surat-surat lain. Dalam al-Itqan, tak disebutkan surat ke 50, 57 dan 69 (selaian surat ke 1, 113 dan 114). Dalam al-Fihrist, tak terdapat surat ke 15, 18, 20, 27, 42, dan 99.


Kitab-kitab tafsir juga merekam perbedaan mushaf Ibnu Mas’ud dari mushaf Utsmani yang beredar. Dalam tafsir “al-Bahr al-muhith,” misalnya, Ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat “inna al-dina ‘inda Allah al-Islam” (Q 3:19) tertulis/terbaca “inna al-dina ‘inda Allah al-hanifiyyah.” Hemat saya, mufasir yang paling banyak merekam perbedaan tulisan/bacaan antara mushaf Utsmani dan mushaf Ibnu Mas’ud ialah al-Qurtubi dalam “al-Jami’ li-ahkam al-Quran.” Yang menarik ialah Qurtubi kerapkali menggunakan kalimat “fi mushaf Ibn Mas’ud” (dalam mushaf Ibnu Mushaf), bukan “fi qira’at Ibn Mas’ud,” frase yang banyak digunakan mufassir lain.


Pertanyaan yang biasanya muncul: “Apakah perbedaan itu sampai mengubah makna ayat?” Ini pertanyaan cukup umum. Ya, perlu dipelajari satu-satu, tidak bisa digeneralisasi. Itulah pentingnya melakukan penelitian. Bukan mengabaikan atau menutup-tutupi, dan bukan juga membesar-besarkan. Berbagai status yang saya tulis dimaksudkan untuk mendorong supaya mereka yang punya perhatian pada al-Quran supaya mempelajari dan menelitinya. Jangan membuat kesimpulan sebelum meneliti. Apalagi menganggap kesimpulannya paling benar padahal tidak pernah mempelajarinya secara serius.


Saya berikan satu contoh: Surat Taha ayat 15: إِنَّ ٱلسَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَىٰ.

Qurtubi menulis: وفي مصحف ابن مسعود: أكاد أخفيها من نفسي فكيف يعلمها مخلوق. Dua versi ini jelas berbeda artinya. Tapi apakah signifikan atau tidak, kita dorong para mahasiswa jurusan tafsir untuk mengkajinya. Minimal, kita mendorong mereka menelaah kitab sucinya, bukan malah menghalang-halangi atau menakut-nakuti.

Read more...

Monday, July 24, 2023

ALIM DAN AKADEMISI

0 comments

 “Alim dan Akademisi”

Oleh: Annas Rolli Mukhlisin


Begitu Dr. Usaama al-Azami mendeskripsikan diri di akun twitternya. Belakangan kita membaca berita bahwa Dr. Usaama akan “segera merumput di Liga Akademik Indonesia, bergabung sebagai dosen UIII,” sebagaimana ditulis Prof. Noorhaidi di halaman facebooknya.


Dr. Usaama adalah dosen Studi Islam Kontemporer di University of Oxford yang meraih gelar PhD dan MA dari Princeton University dan BA dari University of Oxford. Tidak hanya menempuh pendidikan formal di dua universitas modern top tersebut, Dr. Usaama juga mendapat training keilmuan Islam tradisional secara intensif (Alimiyyah Programme) di Al-Salam Institute, yakni lembaga yang diasuh oleh Dr. Mohammad Akram Nadwi, seorang ulama Hanafi berpengaruh asal India.


Sebagai akademisi, Dr. Usaama memiliki minat riset di bidang pemikiran politik Islam modern. Buku pertamanya yang baru saja terbit, Islam and the Arab Revolutions: the Ulama Between Democracy and Autocracy (Oxford University Press, 2022), mengkaji bagaimana ulama-ulama Timur Tengah, seperti Ali Jum’ah, Yusuf al-Qaradawi, Ahmad al-Tayyib, ibn Bayyah, dan lain-lain, merespon peristiwa Revolusi Mesir tahun 2011.


Sebagai seorang ‘alim, Dr. Usaama juga aktif menulis di media online guna merespon persoalan-persoalan yang dihadapi oleh komunitas Muslim di Barat. Baru-baru ini, tulisannya yang berjudul “Why We Need ‘Ulama: Islamic Knowledge in a Secular Age” (kenapa kita membutuhkan ulama: keilmuan Islam di era sekuler) terbit di website yaqeeninstitute.org.


Jika kita perhatikan, nampaknya terjadi pergeseran yang cukup signifikan dalam kultur akademia Barat. Hingga setengah abad yang lalu, studi Islam di universitas Barat diajarkan oleh sarjana Barat non-Muslim dan diperuntukkan bagi audiens Barat non-Muslim pula. Dalam kata pengantar buku Hagarism the Making of the Islamic World yang terbit tahun 1977, Patricia Crone dan Michael Cook menulis, “this is a book written by infidels for infidels” (ini adalah buku yang ditulis oleh orang kafir untuk orang kafir).


Namun kini, beberapa posisi dosen di universitas top Barat diisi oleh Muslim(ah), yang memiliki komitmen keagamaan dan keumatan. Barangkali salah satu tokoh senior dalam hal ini adalah Khaled Abou el Fadl, profesor hukum UCLA yang kerap memberi tausiah melalui Usuli Institute-nya. Dari Indonesia, kita bisa sebut Prof. Nadirsyah Hosen, dosen hukum Monash University yang aktif menulis isu-isu keumatan di website pribadinya.

Dr. Usaama diundang ke Indonesia tentu karena posisinya sebagai akademisi dan peneliti politik Islam modern. Tapi, apakah komitmen keagamaannya juga akan turut memberikan warna pada “Liga Akademik Indonesia”? akan kita lihat nanti.


Sebelumnya, beberapa peneliti memberikan perhatian mendalam atas meningkatnya jumlah akademisi Muslim di universitas Barat. Aaron W. Hughes dan Majid Daneshgar, misalnya, melihat akademisi Muslim cenderung “bermain aman” dan menghindari topik-topik kontroversial yang bisa memicu kemarahan publik, seperti tentang origins (asal-usul) al-Qur’an atau tentang kesarjanaan revisionis yang di Indonesia sering ditulis Prof. Mun’im. Deskripsi ini mengilustrasikan bahwa studi Islam di Barat tidaklah tunggal dan final, tetapi penuh dinamika, pergeseran, negosiasi, dan perdebatan.


Apakah seorang akademisi bisa menjadi ‘alim sekaligus? 

Prof. Lena Salaymeh, dosen Oxford ketika mengisi perkuliahan di HBKU, mengatakan tidak bisa. Ia harus memilih salah satunya. Dr. Yasir Qadhi juga mengatakan sulit. Seorang ‘alim sering dianggap oleh pihak kampus mengkampanyekan pandangan subjektifnya. Begitu juga, seorang akademisi yang di-training di universitas Barat dicurigai oleh kelompok ‘alim memiliki pemahaman Islam yang tidak sesuai. “Karena itu, kita memerlukan instansi pendidikan ketiga,” tegas Dr. Yasir.


Di barisan yang lain, beberapa pihak memandang optimis bahwa seseorang bisa menjadi akademisi dan ‘alim sekaligus. Melakukan riset dengan metodologi ilmiah yang ketat ketika berada di kampus; membina masyarakat dan menanamkan paham keagamaan tertentu ketika berada di tengah masyarakat. 

Dalam artikel “Why we need ‘Ulama”, Dr. Usaama menulis, 


“Individual Islamic scholars can often be recognized by both systems if they have a combination of training in an Islamic institute and a doctorate in Islamic studies at a more secular institution” 

“Sarjana Islam bisa diakui oleh kedua sistem tersebut – sistem universitas dan sistem tradisional – jika memiliki kombinasi training dari lembaga Islam tradisional dan mendapat gelar doktor bidang studi Islam dari universitas sekuler.”


Kenapa kombinasi keilmuan ini penting? Dr. Usaama menjawab karena kedua sistem pendidikan tersebut (akademia Barat dan pendidikan Islam) memiliki kekurangan masing-masing.

Tentang akademia Barat, ia menulis:

“A doctorate in Islamic studies from a Western university is in no way an indication that an individual is an ʿālim, because Islamic studies at Western universities overwhelmingly continues to be taught in a secular register—it is usually approached from the perspective of intellectual history.”

“Mendapat gelar doktoral bidang studi Islam dari universitas Barat bukanlah jaminan bahwa seseorang yang meraihnya adalah seorang ‘alim (dalam pengertian sebagai ‘alim-‘ulama) karena studi Islam di Barat diajarkan dalam konteks sekuler. Studi Islam di Barat biasanya didekati dari perspektif sejarah intelektual.”

Adapun tentang pendidikan Islam, ia menyayangkan minimnya infrastruktur dan peluang riset sebagaimana yang dinikmati kampus-kampus modern Barat.


“When it comes to Islamic scholarship in the Muslim world, by contrast, the elaborate postgraduate teaching and research infrastructure that is widely available in the West, alongside the postdoctoral career opportunities that render feasible the emergence of tens of thousands of scholars on a regular basis in Western academia, are lacking in the Muslim world for reasons of economic limitation, but also social and governmental disinterest, if not negligence.”


“Sebaliknya, infrastruktur riset dan pengajaran pascasarjana yang dimiliki kampus Barat, beserta peluang karir posdoktoral yang telah melahirkan puluhan ribu sarjana, sangat minim di dunia Muslim bukan hanya karena alasan keterbatasan finansial, tetapi juga karena ketidaktertarikan, jika bukan pengabaian, masyarakat dan penguasa.”


Anda kelompok mana? Mendukung kombinasi antara kesarjanaan Barat dan pendidikan Islam atau membiarkannya berjalan masing-masing saja? 😊


Sumber: Fokah ala UIN IB Padang

Read more...

Saturday, July 22, 2023

SYAHADAT VERSI MUN'IN

0 comments
SYAHADAT VERSI MUN'IM


Oleh: Muhammad Nuruddin (Alumni Magister AFI Al-Azhar, penulis buku-buku ilmu logika, yang sejak 2 tahun terakhir vocal membantah pemikiran Mun'im Sirry) Salah satu tulisan Mun'im yang agak lucu, dan ngawurnya kelewatan, adalah pandangannya yang menyebutkan bahwa syahadat itu tidak berasal dari nabi. Tapi itu baru muncul belakangan. 

Pandangan ini dia ungkapkan di bukunya yang berjudul "Islam Revisionis" (h. 26-30). Bagi kaum Muslim yang berpikiran lurus, menyatakan syahadat berasal dari nabi itu tentu bukan perkara yang rumit. Nabi Muhammad Saw datang ke atas panggung sejarah dengan mengaku sebagai nabi (utusan Tuhan). Di samping datang dengan pengakuan, beliau juga datang dengan pembuktian, yaitu berupa mukjizat yang sampai detik ini tak tertandingi oleh manusia manapun. Ajaran pokoknya yang menyangkut ketuhanan adalah tauhid. Yakni ajaran tentang keesaan Tuhan. Sebagai konsekuensi dari kenyataan itu, kalau ada orang yang mau menjadi Muslim, dan ingin mengikuti Nabi Muhammad Saw, maka otomatis dia harus berikrar akan keesaan Tuhan, dan juga mengakuinya sebagai nabi. Dan itulah inti dari kalimat syahadat. Bersaksi atas keesaan Allah, dan mengakui Muhammad Saw sebagai utusan Allah. Sesederhana itu, bukan? Hanya karena tidak menemukan bukti materil yang bertuliskan dua kalimat syahadat, yang sezaman dengan masa kenabian, maka dia tariklah kesimpulan bahwa syahadat itu bukan berasal dari nabi. 

Bagi Mun'im, bukti historis itu harus bersifat materil. Atau, berupa dokumen tertulis. Sungguh pembacaan sejarah yang sangat naif. Karena kalimat syahadat itu tak tertulis secara harfiah di al-Quran, maka dia tariklah kesimpulan bahwa dua kalimat itu tidak ada di zaman nabi! Lalu bagaimana dengan hadits-hadits yang secara jelas memuat dua kalimat itu? Dia tidak akan peduli. Baginya, hadits bukan sumber sejarah. Tapi apa buktinya kalau dia bukan sumber sejarah? Sepanjang saya membaca bukunya, saya tak pernah menjumpai alasan itu. Berbagai istilah mentereng yang kerap dia tampilkan terlihat menjadikan kajiannya sbg kajian ilmiah. Sayangnya, kalau diinterogasi secara kritis, di balik klaim-klaim besarnya itu justru ada sejumlah problem epistemologis yang cukup serius. 

Pengakuan bahwa syahadat bukan berasal dari zaman nabi itu dimunculkan karena dia ingin memposisikan Islam sebagai agama yang sejajar dengan agama lain. Sama-sama memiliki masalah. Dan sama-sama berkembang secara bertahap. Jika konsep trinitas, sebagai kredo ajaran Kristen, misalnya, baru muncul belakangan (jauh setelah Yesus wafat), maka kredo ajaran Islam juga harus ditampilkan begitu. 


Pandangan yang melihat Islam sebagai agama yang sudah sempurna sejak zaman nabi, bagi Mun'im, adalah pandangan yang ahistoris. Baik ajaran fundamental maupun partikular, semuanya dipandang berkembang secara bertahap. 


Kenapa sih bisa begitu? Mun'im akan jawab: Ya karena agama lain juga begitu! Saya kira tidak perlu analisis yang rumit untuk menakar absurditas pandangan Mun'im itu. Di bukunya yang lain, baru-baru ini saya menemukan pernyataan dia tentang dua kalimat syahadat itu lagi. Ya, syahadat itu kredo ajaran Islam, kata Mun'im. Tapi, selama satu abad pertama, para ulama muslim masih berselisih tentang makna kalimat itu. Terus terang saya penasaran, perselisihan apa yang dia maksud terkait dua kalimat suci itu? Apakah perselisihan itu bersifat fundamental, atau berurusan dengan perkara rincian belaka? Apa iya ada ulama Muslim yang satu pandangan dengan dia, bahwa syahadat itu bukan berasal dari nabi? Beberapa pemikir liberal Arab yang karyanya pernah saya baca, perasaan tidak ada yang melampirkan pandangan sedangkal ini.


Kalau syahadat bukan berasal dari zaman nabi, lah terus orang-orang dulu kalau mau masuk Islam ngomongnya apa? Kalau ngaku percaya Tuhan doang, ya orang musyrik, kristen, dan yahudi juga ngaku percaya Tuhan. Yang mendistingfikasi seseorang itu Muslim atau bukan justru pengakuannya akan kenabian Muhammad Saw, dengan seluruh konsekuensinya. Dan itulah yang termaktub dalam syahadat. Memunculkan pendapat yang baru itu boleh. Bersikap kritis dalam menganalisa sejarah juga hal yang lumrah. Tapi jangan sampai memamerkan kehancuran nalar. 


Kesimpulan dan argumen harus berada dalam satu tarikan nafas. Sarjana yang baik mestinya lebih cermat lagi dalam memahat premis-premis itu. Baru itu namanya kajian ilmiah. Ngomong-ngomong, jika syahadat bukan berasal nabi, lantas selama ini dia beragama mengikuti siapa? Bukankah pengakuan dia sebagai seorang Muslim mengharuskan dia untuk mengakui penisbatan dua kalimat itu kepada nabinya sendiri? Saya sendiri tidak tahu. Cuma kita merasa aneh aja. Ada pengkaji Muslim bisa berpandangan sengawur itu.
Read more...

Surat Yang Hilang Dalam al-Qur'an

0 comments
Surat Yang Hilang? Oleh: Gus Abdul Wahab Ahmad (Ulama NU) Sebab SS Pak Prof ini terlanjur viral, saya jadi ingin membahas ini tipis-tipis dengan harapan para pembaca umum bisa menambah wawasan tentang ilmu al-Qur'an. 

Begini, dalam ilmu al-Qur'an dan ushul fiqh ada satu bab yang berjudul Nasakh. Nasakh ini artinya menghapus suatu ayat. Nasakh terbagi menjadi tiga jenis, yakni: 
1. Menghapus tulisan dan pemberlakuannya
2. Menghapus tulisan tapi tetap diberlakukan
3. Menghapus pemberlakuan tapi tulisannya masih ada Dari segi ada tidaknya ganti, nasakh ada yang dihapus lalu diganti dengan ayat lain. 

Ada pula yang dihapus tapi tidak ada gantinya, semisal dua ayat yang akan kita bahas ini. Nah, salah satu contoh ayat (surat) yang dihapus tulisannya dari mushaf adalah dua surat pendek berisi satu ayat doa, yakni surat al-Hafd (الحفد) yang isinya sebagai berikut: بسم الله الرحمن الرحيم اللهم إياك نعبد ولك نصلي ونسجد وإليك نسعى ونحفد نرجو رحمتك ونخشى عذابك إن عذابك بالكفار ملحق dan surat al-Khul' (الخلع) yang isinya sebagai berikut: بسم الله الرحمن الرحيم اللهم إنا نستعينك ونستغفرك ونثني عليك الخير كله ونشكرك ولا نكفرك ونخلع ونترك من يفجرك 

Kedua surat pendek itu memang sudah dihapus tulisannya sehingga kita tak dapat menjumpainya dalam mushaf standar yang ada saat ini. 

Imam Suyuthi dalam tafsirnya menyampaikan beberapa riwayat yang berbeda yang memuat sedikit perbedaan redaksi kedua surat tersebut. 
Namun demikian bukan berarti keduanya hilang tidak terpakai sebab seperti diterangkan dalam riwayat dari Umar, as-Sufyan, al-Hasan dan lain-lain, kedua surat yang dihapus tersebut justru tetap dibaca sebagai doa qunut. (as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur, VIII/297-298). 

Jadi, anda boleh membaca keduanya sebagai qunut. Meski sudah dihapus dari mushaf, Ubay bin Ka'ab dan Ibnu Mas'ud tetap menuliskannya di mushaf pribadi mereka. Keduanya diletakkan secara berurutan sebagai berikut: surat al-Ashr lalu al-Khul' lalu al-Hafd lalu al-Humazah dan seterusnya (as-Suyuthi, al-Itqan, I/223). Langkah ini wajar sebab koleksi pribadi para sahabat kadang memuat hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan di sana. Ada juga ayat yang tidak ditulis dalam koleksi pribadi sahabat tapi mereka hafal sebagai bagian dari al-Qur'an pada masa lalu sebelum dihapus, yakni ayat rajam sehingga anda tidak akan menemukannya di al-Qur'an sekarang. Hal seperti ini bukan temuan baru sebab catatan keberadannya diabadikan oleh para ulama dalam karya mereka. 

Jadi, apakah kedua surat ini hilang? Jawabannya adalah tidak hilang, hanya memang tidak ditulis sebab dinasakh. Kalau memang hilang, tentu tidak akan dijumpai di mana pun dan tidak akan dibaca saat qunut. Pernyataan dalam SS pak prof di potongan quote ceramah maupun di bukunya bahwa surat ini hilang dan mencoba direkonstruksi oleh kawannya adalah pernyataan aneh. Ini sama seperti orang yang masuk ke garasi mobil anda dan menemukan wiper di sana lalu bilang bahwa dia menemukan stiker yang hilang dari mobil anda dan mencoba merekonstruksinya kembali. 
Anda mungkin akan senyum-senyum berkata: "Mas, stiker itu gak hilang, memang sudah tidak saya pasang". Ohya, tulisan yang tepat adalah al-Hafd pakai huruf dal (د) dan dalam bentuk mashdar sehingga tidak tepat bila ditulis al-Hafidz atau al-Hafiz. Juga yang tepat adalah al-Khul' sehingga tidak tepat ditulis al-Khal' apalagi al-Halaq. Semoga bermanfaat.
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018