KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الرحيم
Puji
syukur kami persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dalam menyusun makalah ini dapat
terselesaikan. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Tafsir Maudhu’i. Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi kita
semua.
Pada
kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam proses pembuatan makalah ini. Kami
menyadari walaupun makalah ini sudah dibuat secara maksimal, namun masih
terdapat kekurangan-kekurangan dalam hal yang perlu disempurnakan. Untuk itu
kami mohon maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahan dalam penulisan
makalah ini. Kami menerima kritik dan saran serta petunjuk dari semua pihak
untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.
Padang, April 2017
Pemakalah
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ajaran Islam menegaskan bahwa sebelum
mengerjakan beberapa ibadah tertentu, terutama shalat disyaratkan harus suci
terlebih dahulu, baik suci pada diri orang yang melakukan ibadah itu sendiri
(suci dari hadas) ataupun suci pada tempat dan pakaian yang dia kenakan saat
melaksanakan ibadah tersebut (suci dari hadas). Hal ini disyari’atkan karena
Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu suci senantiasa membersihkan diri
baik lahir dan batin.
Ketika kita akan melaksanakan ibadah khususnya
shalat yaitu dilakukannya adzan dan iqamah. Adzan adalah pemberitahuan masuknya
waktu shalat dengan lafadz-lafadz tertentu. Setelah adzan barulah kemudian
iqamah. Sejarah adzan itu sendiri sangat panjang, sewaktu Rasulullah SAW masih
berada di Makkah, adzan belum disyari’atkan. Rasulullah SAW menaruh perhatian
yang amat besar pada masalah adzan, hingga Allah memperlihatkannya dalam mimpi
kepada beberapa sahabatnya. Ketika bangun tidur, Zaid langsung menemui
Rasulullah untuk menceritakan mimpinya, kemudian Rasulullah memerintahkan Bilal
untuk mengumandamgkan adzan tersebut, dan Rasulullah sendiri menerima dan
mengakui adzan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan ayat-ayat tentang
thaharah?
2. Bagaimana penjelasan ayat-ayat tentang
azan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Thaharah
1. Qur’an Surat al-Maidah Ayat : 6
يأيهاالذين
أمنوا أذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءوسكم
وأرجلكم إلى الكعبين وإن كنتم جنبا فاطهروا وإنكنتم مرضى أوعلى سفر أوجاء أحد منكم
من الغائط أو لمستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم
وأيديكم منه مايريدالله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم
لعلكم تسكرون
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
a. Penjelasan al-Mufradad
إذا قمتم :
Pengertainnya, yaitu pabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka yang dimaksud
mendirikan dalam ayat ini bukanlah perbuatan mendirikan itu sendiri, melainkan
hendak melaksanakan perbuatan. فاغسلوا : Menuangkan air pada sesuatu untuk
menghilangkan kotoran dan lain sebagainya. وجوهكم :
Adalah bentuk jamak dari kata وجه, sedangkan
batasnya memanjang dari dahi paling atas sampai dagu paling bawah, dan melebar
dari anak telinga sebelah kanan sampai anak telinga sebelah kiri. وأيديكم :
Bentuk jamak dari kata يد yang artinya adalah tangan. الغائط :
Tempat yang rendah dan tenang di permukaan bumi. الكعبان :
Yaitu dua buah tulang yang menonjol pada kedua sisi mata kaki. Disebut كعب karena menonjol
dan mencuat. Dalam anggota
wudu’
ia dikenal dengan kedua mata kaki. من
حرخ :
kesempitan dalam masalah agama.
b. Sabab al-Nuzul dan al-Munasabah ayat
Diriwayat oleh Bukhari dari Amir bin
al-Harits bahwa suatu ketika dalam perjalanan, kalung Aisyah r.a. terjatuh dan
hilang di suatu lapangan dekat kota madinah. Kemudian Rasulullah SAW.
menghentikan untanya seraya turu guna mencari kalung tersebut. Kemudian beliau
beristirahat sehingga tertidur di pangkuan Aisyah. Tidak lama kemudian
datanglah Abu Bakar menghampiri Aisyah dan menamparnya sambil berkata, “kamulah
yang menyebabkan tertahannya orang banyak hanya karena sebuah kalung”. Nabi
Muhammad SAW. terbangun dari tidurnya dan waktu subuh pun tiba. Kemudian ketika
beliau mencari air, tetapi tidak mendapatkannya, maka turunlah ayat di atas.
Usaid bin Mudhair menyatakan “ Allah telah memberi berkah bagi manusia karena
keluarga Abu Bakar”. Ayat ini mewajibkan berwudhu’ atau betayamum sebelum
melaksanakan shalat.
Dalam ayat sebelumnya telah menjelaskan
tentang hal-hal yang dibolehkan untuk manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
syahwat dan keinginan tersebut, yaang sekaligus hak bagi manusia. Di samping
memiliki hak, manusia juga dibebani dengn kewajiban yang harus dipenuhinya
sebagai wujud dan rasa patuh kepada Allah SWT. perbutan taat atau patuh yang
paling agung dan paling mulia setelah iman, adalah shalat. Sedangkan shalat
tidak mungkin dapat dilakukan tanpa bersuci dan dan suci dari hadas. Oleh sebab
itu, pada ayat ini Allah SWT. menyari’atkan wudhu’ sebagai salah satu
persyaratan untuk dapat diterima shalat, dan merupakan manifestasi dari
perbuatan taat kepada Allah.[1]
c.
Penafsiran
Ayat ini
mengajak dan menuntun, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat”, yakni telah berniat dan membulatkan hati untuk
melaksanakan shalat, sedang saat itu kamu dalam keadaan tidak suci atau
berhadas kecil, maka berwudhulah, yakni basuhlah muka kamu
seluruhnya dan tangan kamu ke siku, yakni sampai dengan siku, dan
sapulah, sedikit sebagian atau seluruh kepala kamu dan basuhlah atau
sapulah kedua kaki-kaki kamu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub, yakni keluar mani dengan sebab apapun dan atau berhalangan
shalat bagi wanita maka mandilah, yakni basahilah seluruh bagian
badanmu.
Setelah menjelaskan cara bersuci wudhu dan mandi
dengan menggunakan air, lalu dijelaskan cara bersuci jika tidak mendapatkan air
atau tidak dapat menggunakannya. Penjelasan itu adalah jika kamu sakit,
yang menghalangi kamu menggunakan air, karena khawatir bertambah penyakit atau
memperlambat kesembuhan kamu atau dalam perjalanan yang dibenarkan agama dalam
jarak tertentu, atau kembali dari tempat buang air (kakus) setelah selesai
membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni terjadi pertemuan dua alat kelamin,
lalu kamu tidak memperoleh air, yakni tidak dapat menggunakan, baik karena
tidak ada atau tidak cukup, tau karena sakit, maka bertayamumlah dengan tanah
yang baik, yakni suci. Untuk melaksanakan tayamum sapulah muka kamu dan tangan
kamu dangan tanah itu. Allah Yang Maha Kaya dan Kuasa itu tidak menghendaki
untuk menjadikan atas kamu sedikitpun, karena itu disyari’atkanNya
kemudahan-kemudahan untuk kamu, karena Dia hendak membersihkan kamu lahir dan
batin denagan segala macam ketetapnNya, baik yang kamu ketahui hikmahnya maupun
tidak dan agar Dia menyempurnakan nikmatNya bagi kamu, dengan meringankan apa
yang kamu menyulitkan kamu, memberi izin dan atau mengganti kewajiban dengan
sesuatu yang lebih mudah supaya kamu bersyukur.
Firman-Nya: اذا قنتم الى الصلاة apabila kamu telah akan mengerjakan
shalat, menunjukkan perlunyan niat bersuci guna sahnya wudhu, karena kalimat
telah akan mengerjakan berarti adanya tujuan mengerjakan, dan tujuan itu adalah
niat, dan niat yang dimaksud adalah untuk melaksanakan shalat, bukan untuk
membersihkan diri atau semacamnya, baik diucapkan atau tidak
Firman-Nya: فا غسلوا basuhlah, berarti mengalirkan
air pada anggota badan yang dimaksud. Sementara ulama menambahkan keharusan
menggosok anggota badan saat mengalirkan air.
Firman-Nya : وايديكم الى
المرافق dan tangan kamu sampai dengan siku,
dapat dipahami dalam arti sempit dan luas. Para ulama berbeda pendapat tentang
kata ila, apakah itu berarti sampai, sehingga siku-siku termasuk yang
wajib dibasuh atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa siku-siku wajib
dibasuh. Karena itu terjemahan di atas menyatakan sampai dengan sunah Rasul SAW
pun menginformasikan beliau berwudhu dengan tangan bersama dengan siku beliau.
Firman-Nya:وامسحوا
برءوسكم sapulah kepala kamu.
Setelah disepakati ulama tentang wajibnya menggunakan air ke kepala, mereka
berbeda pendapat tentang batas minimal yang wajib.
Firma-Nya:برءوسكم dengan kepala kamu, dan
karena kepala disapu yakni tidak harus dibasuh dan dicuci, maka cukup disapu
dengan air walau hanya dengan sedikit air.
Firman-Nya:فامسحوا بوجو
هكم وايديكم منه maka sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah
itu, menunjukkan bahwa dalam bertayamum hanya wajah dan tangan ynag harus
disapu dengan tanah, apapun sebab bertayamum dan tujuannya apakah sebagai
pengganti wudhu atau mandi.[2]
2.
Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat: 43
يايهاالذين أمنوالاتقربوا الصلاة
وانتم سكارى حتى تعلمواماتقولون ولاجنباإلاعابري سبيل حتى تغتسلوا وإنكنتم مرضى أوعل
سفر أوخاء احدمنكم من الغائط اولمستم النساء فلم تجدوا ماء فتيممواصعيداطيبا
فامسحوا بوجوهكم وايديكم ان الله كان غفواغفورا
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.
a.
Penjelasan
al-mufradad
ولمستم : kata lamasa
semakna dengan massa. Kedua kata
ini mempunyai dua makna, yaitu menyentuh dan
mempergauli atau mencampuri. صعيد : kata
sha’ida berasal dari kata sha’ada. Makna dasar nya adalah terangkat. Menurut Asy-syafi’I,
kata itu bermakna tanah yang
mengandung debu. Menurut ishaq berarti permukaan bumi. عابري :
kata ini berasal
dari kata ‘abara yang berarti menyebrangi.
Jadi kata ‘abiri adalah orang-orang
yang menyebrangi jalan kemudian diartikan kepada orang-orang musafir karena mereka
telah banyak melewati perjalanan.[3]
b.
Asbabun
Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ‘Abdurrahman bin
‘Auf mengundang makan ‘Ali dan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minumam
khamar (arak/minuman keras), sehingga terganggulah otak mereka. Ketika tiba
waktu shalat, orang-orang menyuruh ‘Ali menjadi imam, dan pada waktu itu beliau
membaca dengan keliru, Qul ya ayyuhal kafirun; la a’budu ma ta’budun; wa
nahnu na’budu ma ta’budun (katakanlah: “Hai orang-orang kafir; Aku tidak
akan menyembah apa yang kamu sembah; dan kami akan menyembah apa yang kamu
sembah”). Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. An-Nisa’: 43) sebagai
larangan shalat dalam keadaan mabuk.(Diriwayatkan oleh
Abu Daud , at-Tirmidzi, an-Nasa’I, dan al-Hakim, yang bersumber dari ‘Ali).
c.
Munasabah
Ayat
Pada ayat-ayat yang lalu Allah melarang makhluk-Nya
berbuat musyrik, karena musyrik merupakan najis. Tetapi Allah SWT. justru
mendorong dan mencintai umatnya untuk berbuat kebaikan dan menjauhi hal-hal
yang dilarang-Nya. Kemudian pada ayat ini, Allah melarang hambanya untuk
melakukan shalat dalam keadaan mabuk, atau dalam keadaan junub.[4]
d.
Makna Hukum
Orang mslim mukmin dilarang mengerjakan shalat pada
waktu mereka sedang mabuk. Mereka tidak diperbolehkan shalat sehingga mereka
menyadari apa yang dibaca dan apa yang dilakukan dalam shalat. Pada waktu dalam
keadaan mabuk itu tidak memungkinkan beribadat dengan khusuk. Ayat ini belum
mengharamkan khamar secara tegas, namun telah memperingatkan kaum Muslim akan
bahaya minum khamar sebelum diharamkan sama sekali.
Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa orang mukmin
dilarang melaksanakan shalat pada waktu ia berhadats besar. Larangan ini akan
berakhir setelah ia mandi janabah, karena mandi akan membersihkan lahir dan
batin. Di antara hikmah mandi, apabila seseorang sedang lesu, lelah dan lemah
biasanya akan menjadi segar kembali, setelah ia mandi.[5]
Dapat dimaklumi bahwa orang yang shalat harus suci
dari hadats kecil, yaitu hadats yang timbul oleh misalnya: karena buang air
kecil atau suci dari hadats besar sesudah bersetubuh. Menyucikan hadats itu
adalah dengan wudhu’ atau mandi. Untuk berwudu’ atau mandi kadang-kadang
orang-orang tidak mendapatkan air, atau ia tidak boleh terkena air karena
penyakit tertentu, maka baginya dalam keadaaan serupa itu diperbolehkan
tayammum yaitu mengusap muka dan tangan dengan debu tanah yang suci.
Yang dimaksud dengan ) أولمستم النساءau lamastum
an-nisa’) ialah menyentuh perempuan yang bukan mahram. Maka
menyentuh perempuan mengakibatkan hadats kecil yang dapat dihilangkan dengan
wudhu’ atau tayamum. Apabila seseorang buang air kecil atau besar, maka kedua
hal itu menyebabkan hadats kecil yang dapat dihilangkan dengan wudhu’. Setiap
orang yang buang air kecil atau besar diwajibkan menyucikan dirinya dengan
membersihkan tempat najis itu dengan istinja’. Hal itu dapat dilakukan dengan
memakai air atau benda-benda suci yang bersih seperti batu, kertas kasar.
Diantara ulama’ ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “menyentuh
perempuan” dalam ayat ini adalah bersetubuh, sedang bersetubuh mengakibatkan
hadats besar yang dapat dihilangkan dengan mandi jinabah.[6]
Hukum-hukum yang tersebut di atas menunjukkan bahwa
Allah tidak memberati hamba-Nya di luar batas kemampuannya, karena Dia adalah
Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
3. Qur’an Surat al-Muddatstsir Ayat 4-6
وثيابك
فكبر والجزفاهجر ولاتمنن تستكسر
Artinya :“Dan
bersihkanlah pakaianmu , dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”.
a.
Makna Hukum
Dalam ayat ini,
Allah memerintahkan kita supaya membersihkan pakaian. Makna membersihkan
pakaian menurut sebagian ahli tafsir adalah:
Membersihkan
pakaian dari segala najis dan kotoran karena bersuci dengan maksud beribadah
hukumnya wajib, dan selain beribadah hukumnya sunah. Mebrsihkan di sini juga
termasuk cara memperolehnya yaitu pakaian yang digunakan harus diperoleh dengan
cara halal. Ketika ibnu Abbas ditanya orang tentang ayat ini, beliau menjawab
bahwa firman Allah tersebut berarti larangan memakai pakaian untuk perbuatan
dosa dan penipuan. Jadi menyucikan pakian adalah membersihkannya dari najis dan
kotoran. Pengertian yang lebih luas lagi, yakni membersikan tempat tinggal dan
lingkungan hidup dari segala bentuk bentuk kotoran, sampah, dal lain-lain.
Sebab pakaian, tubuh, dan lingkngan yang kotor banyak terdapt dosa. Sebaliknya
dengan membersihkan badan, tempat tinggal, dan lain-lain berarti berusaha
menjauhkan diri dari dosa. Demikian para ulama’ Syafi’iyah mewajibkan
membersihkan pakaian dari najis bagi orang yang hendak shalat. Begitulah Islam
mengharuskan para pengilutnya untuk selalu hidup bersih, karena kebersihan
jasmani mengangkat manusia kepada akhlak yang mulia.
Membersihkan pakaian berarti membersihkan rohani dari
segala watak dan sifat-sifat tercela. Khusus buat Nabi Muhammad, ayat ini
memerintahkan beliau menyucikan nilai-nilai nubuwwah (kenabian) yang
dipikulnya dari segala yang mengotorinya (dengki, dendam, pemarah, dan
lain-lain). Pengertian kedua ini bersifat kiasan (majazi), dan memang
dalam bahasa arab kadang-kadang menyindir orang yang tidak menepati janji dengan
memakai perkataan, “Dia suka mengotori (pakaian)-nya”. Sedangkan orang yang
suka menepati janji selalu dipuji dengan ucapan, “Dia suka membersihkan baju
(pakaian)-nya”.
Secara singkat, ayat ini memerintahkan agar
membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan dari segala najis, kotoran, sampah,
dan lain-lain. Disamping itu juga berarti perintah memelihara kesucian dan
kehormatan pribadi dari segala perangai yang tercela.
Seperti halnya benda-benda yang termasuk najis ialah
kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan, nanah, cairan luka yang membusuk, (
ma’ al- quruh ), ‘alaqah, bangkai , anjing, babi ,dan anak keduanya, susu
binaang yang tidak halal diamakan kecuali manusia, cairan kemaluan wanita. Jumhur
fuqaha juga berpendapat bahwa khamr adalah najis, meski dalam masalah ini
banyak sekali perbedaan pendapat dilingkungan ahli Hadits.
Berbagai tempat yang harus dibersihkan lantaran najis,
ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian dan masjid. Kewajiban membersihkan
pakaian didasarkan pada firman Allah pada surat al- Mudatsir ayat 4.
Benda yang dipakai untuk membersihkan najis yaitu air.
Umat Islam sudah mengambil kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa
dipakai untuk membersihkan najis untuk ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya
menyatakan bahwa najis tidk bisa dibersihkan (dihilangkan ) kecuali dengan air.
Selain itu bisa dengan batu, sesuai dengan kesepakatan ( imam malik dan asy-
syafi’I ).
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara
membersihkan najis adalah dengan membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan
air. Perihal menyipratkan air, sebagian fuqaha hanya mangkhususkan untuk
membersihkan kencing bayi yang belum menerima tambahan makanan apapun.
Cara membersihkan badan yang bernajis karena jilatan
anjing adalah dengan membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu
diantaranya dicampur dengan tanah. Hal ini berdasarkan Hadits Rasul SAW, yang
artinya “ menyucikan bejana seseorang kamu, apabila anjing minum di dalam
bejana itu , ialah dengan membasuhnya tujuh kali , yang pertama diantaranya
dengan tanah.
Selanjutnya Allah menyuruh supaya meninggalkan
perbuatan dosa seperti menyembah berhala atau patung. Kata ar-rujz yang
dimaksud adalah perintah menjauhkan segala sebab yang mendatangkan siksaan,
yakni perbuatan maksiat. Termasuk yang dilarang oleh ayat ini ialah mengerjakan
segala macam perbuatan yang menyebabkan perbuatan maksiat.
Membersihkan diri dari dosa apalagi bagi seorang dai
adalah suatu kewajiban. Sebab, kalau pada diri sang dai sendiri diketahui ada
cela dan aib oleh masyarakat, tentu perkataan dan nasihatnyasulit diterima
orang.
B.
Azan
Qur’an Surat
al-Maidah Ayat : 58
وإذاناديتم الى الصلاة
اتخذوهاهزواواولعبا ذلك بأنهم قوم لايعقلون
Artinya:
“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka
menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka
benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal”.
1.
Penjelasan
Mufradad
ناديتم : Asal kata نداء
yang berarti panggilan, yakni panggilan (dapat didengar melalui telinga)
yang berisikan do’a yang dilakukan dengan mengeraskan suara kepada alam
(sekeliling) untuk melakukan shalat. هزوا : Asal kata هزاء yang berarti ejekan, cemoohan.
Dikatakan bahwa mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) mengejek dan mencemooh
panggilan shalat (adzan). لعبا : Asal kataلعب yang berarti putar. Yang dimaksud
putar ini yakni permainan. Mereka (orang-orang Yahudi & Nasrani)
mempermainkan agama Islam dengan mencemooh shalat.
2.
Asbab
an-Nuzul QS. Al-Maidah : 58
Al-Kalabi
menjelaskan : “Rasulullah SAW menyerukan, ketika ada panggilan bagi orang-orang
Muslim untuk mendirikan shalat, maka
dirikanlah shalat, lalu orang-orang Yahudi berkata “Berdirilah (orang-orang Muslim) melakukan
berdo’a dan berlutut (shalat)”, (mereka berkata) dengan cara mengejek dan
menertawakanmu (orang-orang Muslim). Maka turunlah ayat ini.
As-Sudi
menjelaskan mengenai ayat ini, bahwa : Dahulu ada seorang Nasrani Madinah (di
kota madinah). Jika ia mendengar mu’adzzin berkata : “Asyhadu anna Muhammad
Rasulullah”, maka ia berkata : “Semoga terbakar si pendusta itu.”. Lalu,
tiba-tiba pada suatu malam pelayannya masuk ke rumahnya membawa api ketika
majikannya itu (orang Nasrani) tidur, tiba-tiba percikan api itu jatuh di
tengah rumah sehingga terbakarlah seisi rumah itu bersama penghuninya. (Riwayat
Ibnu Jarir dan Ibn Abi Hatim).
3.
Munasabah
Ayat
Pada
ayat-ayat yang lalu, Allah SWT. melarang orang-orang yang beriman untuk
mengambil dan menjadikan orang-orang Yahudi, Nashara, orang-orang munafik dan,
musyrikin sebagai pemimpin, karena mereke termasuk orang-orang yang sering
mempermainkan dan memperolok-olok agama islam. Kemudian pada ayat ini Allah menjelaskan
bahwa ejekan dan olok-olokan mereka itu dilakukan pula apabila mereka mendengar
azan sebagai tanda panggilan shalat.[7]
4.
Pokok
Kandungan QS. Al-Maidah : 58
Dalam ayat
ini menyebutkan salah satu contoh pelecehan dan olok-olok yang dilakukan oleh
kaum Nasrani dan Yahudi terhadap panggilan shalat (adzan) yang dilakukan kaum
Muslimin. Mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan. Mereka mengejek dan
mengolok-olok dengan tujuan mengelabui orang-orang Muslim yang hendak
melaksanakan shalat. Mereka itu disebut kaum yang tidak mau mempergunakan akal
sehatnya, yakni mereka mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan
sesuatu yang baik yang sesuai dengan akal, sebagaimana dipahami dari kata
“qaum”, tetapi mereka pada hakikatnya adalah kelompok yang tidak mau
menggunakan akalnya. Begitulah sifat orang yahudi menjadikan adzan sebagai
senda gurau dan permainan hal itu di sebabkan karena mereka adalah kaum yang
tidak berfikir.
5.
Makna Hukum
Ayat ini menjelaskan sebagian dari ejekan dan
permainan orang-orang kafir tentang agama Islam, yaitu apabila umat Islam
mengajak mereka untuk untuk sholat maka orang-orang kafir itu menjadikan ajakan
itu bahan ejekan dan permainan sambil menertawakan mereka.
Selanjutnya diterangkan bahwa perbuatan orang-orang
kafir yang demikian, disebabkan karena mereka adalah kaum yang tidak mau
mempergunakan akal dan tidak mau tahu tentang hakikat agama Allah yang
mewajibkan mereka mengagungkan dan memuja-Nya.
Andaikata mereka mempergunakan akal secara wajar,
tanpa dipengaruhi oleh rasa benci dan permusuhan, maka hati mereka akan khusu’,
apabila mereka mendengar adzan dengan suara yang merdu, apabila jika mereka
mengerti dan memahami adzan yang dimulai dengan kata-kata yang mengagungkan
Allah.
Imam syaf’i berkata bahwa dalam ayat tersebut Allah
swt. Menyebutkan adzan sebagai tanda waktu sholat. Rasulullah juga
mempraktikkan adzan untuk sholat fardhu, tidak seorang pun pernah tahu bahwa
beliau memerintahkan adzan untuk selain shalat fardhu. Akan tetapi, zuhri,
meriwayatkan dari Rasulullah swt. bahwa beliau memerintahkan adzan dalam shalat
dua hari raya. Dia kemudian berkata, ‘adzan hanya untuk shalat fardhu, demikian
pula dengan iqamat.[8]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, Thaharah
merupakan syarat shahnya shalat baik dengan air di kala ada serta mampu
menggunakannya ataupun dengan tanah dikala tidak ada.Thaharah tidak diwajibkan
secara terus-menerus kecuali bila mempunyai hadas, baik kecil maupun besar.
Haram hukumnya
bagi orang yang sedang mabuk untuk melakukan shalat sehingga ia sadar dan
kembali ingatannya. Bagi orang yang sedang junub diharamkan untuk memasuki
mesjid dan tinggal di dalam mesjid apa lgi shalat dan membaca al-quran sampai
ia mandi terlebih dahulu.Tanah atau debu merupakan sarana bersuci bagi kaum
muslimin dalam kondisi tidak ada air.
Orang yang
akan melakukan shalat disunnahkan untuk melakukan adzan dan ikamah lebih. Disunnahkan
bagi orang yang mendengar adzan untuk diam dan tenang serta mengikutinya dalam
hati apa yang diucapkan seorang muadzin
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara
membersihkan najis adalah dengan membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan
air. Perihal menyipratkan air, sebagian fuqaha hanya mangkhususkan untuk
membersihkan kencing bayi yang belum menerima tambahan makanan apapun.
B. Saran
Kepada pembaca makalah ini supaya dapat memahami dan
mencari sumber lain untuk memperluas wawasan kita tentang makalah yang
berhubungan dengan Ayat-ayat Thaharah dan Azan. Kami selaku pemekalah mengakui
banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna,
dan sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan.
Demikian
makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kami
pemakalah, kami mengucapkan terima kasih.
KEPUSTAKAAN
Dahlan, Q.Shaleh. Asbabun Nuzul. Bandung: cv Penerbit Ponogoro.
Al-farrhan, Ahmad Musthafa.
2008. Tafsir Imam Syafii, ter.ferdian
hasmad. Jakarta: Almahira.
M. Yusuf, Kadar. 2013. Tafsir Ayat Ahkam, Tafsir Tematik Ayat-Ayat
Hukum. Jakarta: Hamzah.
Syarja, Syibli. 2008. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo.
http://kumpulan-makalah-islami.blogspot.co.id/2010/03/ayat-taharah-dan-adzan.html
[1] Syibli
Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, (Jakarta : Raja Wali Pers), hlm. 54-56
[2]
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati), hal.34-39
[4] Syibli
Syarjaya, hlm. 90
[5]
http://kumpulan-makalah-islami.blogspot.co.id/2010/03/ayat-taharah-dan-adzan.html
[8] Ahmad
Musthafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’I, terj. Ferdian Hasmad, Fuad (Jakarta:
Almahira) cet. 1, hal. 381-382