Monday, October 29, 2018

Orientasi Kedhaifan Hadis

0 comments
PENDAHULUAN 

            Hadis merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadis itu merupakan perkataan Nabi SAW, perbuatan, takrir dan sifat Nabi SAW.  Ketika Nabi SAW masih hidup, ketika sahabat mendapati sebuah persoalan baik itu merupakan masalah hadis, maka s sahabatpun langsung menemui Nabi dan mempertayakan langsung kepada Nabi SAW.
            Dalam hadis itu sendiri terdapat tingkatan-tingkatan hadis yaitu hadis yang shahih sampai hadis dha’if. Dalam menjadikan hadis sebagai sumber hukum islam kita harus mengetahui tentang tingkatan-tingkatan hadis itu sendiri. Besarnya peranan hadis itu harus disertai dengan cermat dalam memilah dan memilih hadis-hadis yang benar bersumber dari Rasul SAW. Sebab suatu hadis yang dikeragui maka itu bukan dinamakan hadis Rasul SAW.









PEMBAHASAN
Ktitik Matan Orientasi Kedhaifan Hadis
            Kritik matan orientasi hadis dha’if  maksudnya adalah mengkritik matan-matan hadis sehingga dapat dijelaskan kedhaifan berdasarkan hal-hal yang menyebabkan kedhaifan tersebut. Krtik matan orientasi hadits dha’if  yaitu sebagai berikut:
1.        Kritik matan orientasi hadis dha’if tentang hadis mudha’af
Hadis Mudha’af adalah hadis yang tidak disepakati kedha’ifannya. Sebagian ahli hadis menilainya mengandung kedha’ifan baik dalam sanad maupun dalam matannya, dan sebagian lain menilainya kuat. Akan tetapi penilaian dha’ifnya lebih kuat bukan lebih lemah. Atau tidaka ada yang lebih kuat antara penilaian dha’if dan penilaian kuat. Karena tidak ada istilah mudha’af untuk hadis penilaian kuatnya lebih kuat. Dengan demikian hadis mudha’af dianggap sebagai hadis dha’if yang paling tinggi tingkatannya (paling berat kedha’ifan)[1] yang tidak bisa naik tingkatannya menjadi hadis hasan lighairi.
Kritik matan orientasi hadis dha’if tentang hadis mudha’af maksudnya adalah mengkritik matan-matan hadis karena terdapatnya perbedaan ulama dalam menilai hadis tersebut, ada yang menilai dha’if dan ada yang menilainya tidak dha’if, namun penilaian dha’iflah yang paling kuat, kedua pendapat tersebut tidak bisa di tarjih, sehingga mengindikasikan hadis itu menjadi dhaif.
2.        Kritik matan orientasi hadis dha’if tentang hadis mudtharib
Hadis Mudtharib yaitu hadis yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling bertentangan, yang tidak mungkin ditarjihkan sebagian atas sebagian yang lain, baik periwayat yang satu atau lebih. Apabila ditarjih dengan salah satu bentuk tarjih, seperti periwayat lebih hafiz atau lebih sering berkecimbung dengan periwayat sebelumnya (gurunya), maka penilaian diberikan kepada yang rajih itu. Dalam keadaan seperti ini tidak digunakan istilah mudhtharib, baik itu yang rajih ataupun yang marjuh.[2]
Kritik matan orientasi hadis dha’ifan tentang hadits mudhtharib maksudnya adalah mengkritik matan-matan hadis karena saling bertentangan dengan hadis lainnya, dan tidak bisa di tarjih salah satu dari keduanya, sehingga mengindikasikan hadit tersebut menjadi dhaif.
Contoh Kritik matan orientasi hadis dha’ifan tentang hadits mudhtharib:
ما رواه الترمذي عن شريك عن ابي حمزة عن ابي الشبعى عن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت سىل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الزكاة فقال ان فى المال لحقا سوى الزكاة
“ Dari syariq dari abi hamzah dari shukbi dari fatimah bin thikois semoga allah swt meridhoinya ia bertanya kepada rasul saw tentang zakat maka rasul menjawab sesungguhnya dalam harta itu ada hak kecuali zakat.”[3]

Dalam riwayat ibnu majah dari bentuk lafaz ini yaitu:
ليس فى المال حق سوى الزكاة
“tidak ada dalam harta itu hak kecuali zakat”
Hadit ini dikatakan hadis Mudhtharib karena kedua hadis ini saling bertentangan dan tidak bisa ditarjih salah satu diantara keduanya dengan bentuk tarjih. 
3.        Kritik matan orientasi hadis dha’if tentang hadis maqlub
Hadis Maqlub adalah suatu hadis yang mengalami pemutar balikan dari diri periwayat mengenai matannya, nama salah satu periwayat dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan hadis lainya.[4]
Kritik matan orientasi kedhaifan hadis tentang hadis maqlub maksudnya adalah mengkritik matan-matan karena terjadinya maqlub karena terjadinya maqlub sehingga mengindikasikan hadits tersebut dhaif.
Contoh pemutarbalikan pada matan adalah hadits dari Abu Hurairah:
سبعة يظلهم الله يوم لا ظل إلا ظله
“ ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah padahari tiada naungan kecuali naungannya”

Di dalam lanjutan hadit itu terdapat:
رجل تصدق بصدقة أخفاها حتى لاتعلم يمينه ما تنفق شمله
”Dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sampai tangan kanannya tidak mengetahui apa yang yang di nafkahkan oleh tangan kerinya.”

Hadis yang menyatakan bersedekah dengan tangan kiri adalah hadis maqlub terdapat dalam shahih Muslim, sebenarnya hadisnya yang di bawah ini :
                                                            حتى لاتعلم ثماله ما تنفق يمينه
“sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan kanannya”.

Hadis ini merupakan hadis maqlub karena dapat kita ketahui bahwa tidak mungkin tangan kiri yang bersedekah sedangkan tangan kanan yang bersembunyi namun pada realita haditnya ialah tangan kanan yang bersedekah dan tangan kiri yang disembunyikan.
Kadang-kadang seorang periwayat segaja membalikkan dengan tujuan menunjukkan yang aneh dengan harapan orang-orang akan lebih tertarik meriwayatkan darinya. Ini jelas tidak boleh menurut kesepakan ahli hadis. Sama halnya ketika sebagian pemalsu hadis membalikkan sebagian hadis, dengan cara mengganti seseorang prawi yang masyhur dengan prawi yang lain yang masih dalam tingkatan yang sama atau menemukan sanad yang kuat dengan matan yang lemah sebagian ulama menyebut hal ini dengan sebutan “Al-Murakkab”. Semua yang memilki unsur kesegajaan dari jenis ini tidak diperbolehkan secara mutlak.
Kadang-kadang sebagian ulama segaja membalikkan beberapa hadis denag tujuan megetes orang lain seprti yang mereka lakukan terhadap Imam Bukhari di Bagdad. Yang akhirnya mereka dapat megetahui posisi dan kualitasnya sebab tidak ada yang megetahui hadis maqlub kecuali yang melebihi ilmu luas, hafalan yang kuat dan pemahaman yang mendalam. Jenis ini diperbolehkan, dengan syarat untuk tujuan menguji. Namu sebagian ulama, melarang murid-murid mereka membalikkan hadis dihadapan para guru.
Keterbalikan yang terjadi pada diri sesorang prawi karena lupa, bukan karena tujuan megetes menjadikannya dhaif karena kedhaifan hafalnnya, bila itu hal itu ketahui padanya atau keran seringnya hal itu terjadi pada dirinya. Oleh karena itu munculnya kedhaifan hadis maqlub adalah rendahnya daya hafal prawinya.[5]









PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, Kritik matan orientasi hadis dha’if tentang hadis mudha’af maksudnya adalah mengkritik matan-matan hadis karena terdapatnya perbedaan ulama dalam menilai hadis tersebut, ada yang menilai dha’if dan ada yang menilainya tidak dha’if, namun penilaian dha’iflah yang paling kuat, kedua pendapat tersebut tidak bisa di tarjih, sehingga mengindikasikan hadis itu menjadi dhaif.
Kritik matan orientasi hadis dha’ifan tentang hadits mudhtharib maksudnya adalah mengkritik matan-matan hadis karena saling bertentangan dengan hadis lainnya, dan tidak bisa di tarjih salah satu dari keduanya, sehingga mengindikasikan hadit tersebut menjadi dhaif.
Kritik matan orientasi kedhaifan hadis tentang hadis maqlub maksudnya adalah mengkritik matan-matan karena terjadinya maqlub karena terjadinya maqlub sehingga mengindikasikan hadits tersebut dhaif.
B.       Saran
Kami sebagai pemakalah menyarankan kepada pembaca agar mencari sumber dan referensi lagi agar pembaca dapat pengetahuan dan wawasan yang lebih luas lagi, karna yang kami tulis jauh dari yang terbaik dan banyak kekurangan.









DAFTAR PUSTAKA
Muhammad ‘ajaj Al-Khathib. 2006. Ushul Al-Hadis Ulumuhu Wa Mmuusthlahhahhu. libanon: Dar. Fikr.
Mahmud At-Thahan. 1985. Taisir musthalah Al-hadis. Jadda: Haramain.


[1] Muhammad ‘ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadis Ulumuhu Wa Mmuusthlahhahhu, (libanon:Dar. Fikr, 2006), hlm. 226
[2] Ibid, hlm. 227
[3]Mahmud At-Thahan, Taisir musthalah Al-hadis, (jadda: haramain,1985), hlm. 113
[4] Op.cit, ajaj Al-Khathib, hlm. 228
[5]Ibid, hlm. 228
Read more...

Friday, October 26, 2018

MAKALAH HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

0 comments

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

BAB I
PENDAHULUAN 

Satu keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu (suami dan istri) beserta anak-anaknya, semuanya mengharap dan merindukan keluarga yang aman dan damai, tentram dan bahagia atau sering disebut sebagai keluarga sakinah. Diantaranya ada yang berhasil meraih impian dan harapannya sedang yang lain gagal sebelum sampai di akhir perjalanan. Sebabnya ialah karena masing- masing anggota keluarga tidak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana yang telah diajarakan oleh Rasulullah SAW.
Dalam ajaran Islam, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam kitab suci-Nya Alquranul Karim dan telah diterangkan secara terperinci oleh Rasulullah SAW di dalam sunnahnya. Apabila hak dan kewajiban ini dilakukan sepenuhnya Insya Allah tercapailah apa yang menjadi impian dan harapan yaitu baiti jannati atau rumahku surgaku. Dari keluarga inilah akan lahir keturunan yang shalih dan shalihah, berguna bagi dirinya sendiri dan bagi umatnya.
Hak suami terhadap istri artinya kewajiban yang harus ditunaikan oleh istri kepada suaminya, sebaliknya hak istri kepada suami berarti kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami kepada istrinya.
Maka kami sebagai pemakalah akan membahas tentang hak dan kewajiban suami dan istri, baik berupa haditsnya, hak suami atas istri, atau sebaliknya atau hal-hal yang menyangkut pembahasan ini.







BAB II
PEMBAHASAN
     A. Pengertian Hak dan Kewajiban
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Membicarakan kewajiban dan hak suami istri, terlebih dahulu kita membicarakan apa yang dimaksud dengan kewajiban dan apa yang dimaksud dengan hak. Adalah Drs. H. Sidi Nazar Bakry dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang Sakinah mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik. Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus diterima. 
Lantas, pada pengertian diatas jelas membutuhkan subyek dan obyeknya. Maka disandingkan dengan kata kewajiban dan hak tersebut,dengan kata suami dan istri, memperjelas bahwa kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan kewajiban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanan dan lakukan untuk suaminya. Begitu juga dengan pengertian hak suami adalah,sesuatu yang harus diterima suami dari isterinya. Sedangkan hak isteri adalah sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya. Dengan demikian kewajiban yang dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri. Demikian juga kewajiban yang dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak suami, sebagaiman yang Rosulullah SAW jelasakan :

اﻻ إن ﻟﮝﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﮝﻢ ﺣﻗﺎ ﻮﻟﻨﺴﺎﺋﮝﻢﻋﻠﻴﮑﻢ ﺣﻗﺎ
: ‘’ Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib) ditunaikan oleh istri kalian,dan kalian pun memiliki hak yang harus (wajib) kalian tunaikan". (Hasan: Shahih ibnu Majah no.1501.Tirmidzi II:315 no:1173 dan ibnu Majah I:594 no:1851.[1]

      B.  Macam-Macam Hak dan Kewajiban Suami dan Istri
1.      Hak Bersama yang Dimiliki Suami-Istri
Berikut ini merupakan hak-hak bersama yang dimiliki oleh suami-istri.
a.       Adanya kehalalan untuk melakukan hubungan suami-istri dan menikmati pasangan. Kehalalan ini dimiliki bersama oleh keduanya. Halal bagi sang suami untuk menikmati dari istrinya apa yang halal dinikmati oleh sang istri dari suaminya. Kenikmatan ini merupakan hak suami-istri dan tidak didapatkan, kecuali dengan peran serta dari keduanya.
b.      Adanya keharaman ikatan perbesanan. Maksud dari itu, sang istri haram bagi ayah dari sang suami, kakek-kakeknya, anak-anak laki-lakinya, serta anak-anak laki-laki dari anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuannya, sebagaimana sang suami haram bagi ibu dari sang istri, nenek-neneknya, serta anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuannya.
c.       Tetapnya pewarisan antar keduanya setelah akad terlaksana. Apabila salah seorang dari keduanya meninggal setelah akad terlaksana, maka pasangannya menjadi pewaris baginya, meski mereka belum melakukan percampuran.
d.      Tetapnya nasab anak dari suami yang sah.
e.       Pergaulan suami istri dilakukan dengan cara yang patut agar keduanya diliputi oleh keharmonisan dan dinaungi oleh kedamaian.[2]
2.      Hak Suami Atas Istri
Hak istri atas suami berarti kewajiban yang wajib ditunaikan oleh istri kepada suaminya, dengan sebab itu Allah SWT telah memberikan janji dan harapan yang sangat indah dan mulia sebagai balasan daripada-Nya. Inilah di antara kewajiban-kewajiban tersebut.
a.       Taat Kepada Suami
Istri diwajibkan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang tidak berupa kedurhakaan(maksiat) terhadap Allah dan Rasul-Nya, karena keridhaaan Allah ada pada keridhaan suami dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaanya. Istri hendaklah tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan kebencian suaminya, tidak bermuka masam, tidak menampakkan seolah-seolah tidak menyukainya serta ikhlas dan jujur lahir-batin.
Kewajiban taat kepada suami merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan kewajiban ini merupakan kewajiban yang besar dan utama di antara kewajiban-kewajiban yang lain. Sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri.[3]

b.      Memenuhi Ajakan Suami
Apabila si suami mengajak istrinya tidur (yakni di ajak bersetubuh) janganlah dilambatkan atau menolak kecuali jika ada keuzuran syar’i; seperti haidh, nifas, sakit atau sedang berpuasa fardhu (puasa ramadhan). Hendaklah diketahui bahwa wajib taat kepada suami hanya pada soal-soal yang bersifat kebajikan. Dalam hal-hal yang bersifat kedurhakaan terhadap Allah SWT tidak ada manusia yang wajib ditaati. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).

c.       Tidak Berpuasa Sunnah Kecuali dengan Izin Suami
Hendaknya istri tidak berpuasa sunnah kecuali dengan izin suaminya, bila suaminya berada di sisinya. Sebab ada kemungkinan suami memerlukan layanan di siang hari. Terdapat sebuah hadits Nabi yang menerangkan, bahwa syethan bisa menyerupai perempuan. Jika ada lelaki yang melihat perempuan di jalan dan membangkitkan syahwatnya, hendaklah segera pulang ke rumah untuk memenuhi keperluannya, sebab apa yang ada pada istrinya sama dengan apa yang ada pada perempuan yang menggiurkannya itu. Rasulullah bersabda, yang artinya “ sesungguhnya wanita itu (bila) menghadap berupa syetan, dan bila membelakangi juga nampak seperti syetan. Jika seseorang di antaramu tertarik dengan (kecantikan) seorang wanita, hendaklah ia datangi istrinya, agar nafsu birahinya dapat tersalur”.
Adapun dalil yang menyatakan bahwa seorang istri tidak perkenankan berpuasa sunnah melainkan atas izin suaminya adalah sabda Rasulullah berikut:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)[4]

d.      Berdiam di Rumah dan Tidaklah Keluar Kecuali Dengan Izin Suami
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahzab-33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
e.       Menjaga Harta Benda Suami
Seorang istri hendaklah menjaga baik-baik harta milik suaminya, menggunakannya dengan hati-hati dan tidak melakukan pemborosan atau pembaziran. Jangan memberikannya kepada orang lain, walau sedikit, sebelum mendapat izin suaminya. Janganlah memberi makanan kepada sanak-saudaranya atau kepada orang yang memintanya kecuali jika ia yakin bahwa suaminya akan rela dan tidak keberatan. Sebagaimana Rasulullah Besabda yang artinya:
Hak suami atas istrinya ialah, tidak boleh menolak permintaannya terhadap dirinya meskipun ia di atas kendaraan, tidak boleh puasa sunnah walaupun sehari kecuali denagn izin suaminya, dan jika ia melanggar maka berdosa dan tidak diterima amalnya. Dan tidak boleh memberi sesuatu dari rumah suaminya kecuali izinnya, maka jika ia berbuat itu maka pahalanya untuk suaminya dan dosanya tetap pada istrinya. Dan tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya, maka jika melanggar dikutuk oleh Allah dan Malaikat, sehingga ia bertobat atau kembali meskipun suaminya zhalim.”

f.       Menjaga Kehormatan Dirinya
Istri harus dapat menjaga kehormatan dirinya dan kehormatan anak-anak perempuannya. Janganlah memebenarkan orang lain masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Harus dijaga baik-baik supaya tidak ada laki-laki lain yang menginjak lantai kamarnya (yakni jangan ada laki-laki yang memasuki kamar suaminya), selain ia (suaminya) sendiri. Janganlah menerima laki-laki yang bukan mahramnya kecuali jika terpaksa (darurat) dan itu pun hendaklah mendapat izin suaminya dan hendaklah dilakukan dengan batas-batas tertentu.
g.      Wajib Mengatur Urusan Rumah Tangga
Seorang istri berkewajiban mengatur urusan rumah tangga dan mengasuh serta memelihara anak-anak, karena kewajiban itu sudah menjadi tugasnya. Demikian ketetapan Rasulullah SAW kepada putri beliau sendiri, Fatimah Az-Zahraa ra,
Pada suatu hari Fatimah ra menemui ayahnya mengeluh tapak tangannya menebal karena banyak bekerja di rumah dan sering memutar penggiling gandum. Ia meminta ayahnya mencarikan seorang pembantu rumah untuknya. Atas permintaan putrinya itu Rasulullah SAW menjawab, “Maukah engkau kutunjukkan sesuatu yang lebih baik bagimu dari pada seorang pembantu? Pada saat engkau hendak tidur bertasbihlah tiga pulu kali, bertahmid tiga puluh kali dan bertakbir tiga puluh empat kali. Itulah yang lebih baik bagimu daripada seorang pembantu. Rasulullah telah mengatakan kepada putrinya bahwa wanita wajib bekerja mengurus rumah tangga suaminya, padahal putri baginda itu adalah seorang wanita yang termulia di dunia.
h.      Wajib Berdandan dan Berhias Diri Hanya Untuk Suaminya
Seorang istri wajib berdandan dan berhias diri bagi suaminya dengan cara-cara yang di halalkan Allah. Hal itu penting diberi perhatian agar suaminya tidak melihat kepada perempuan lain. Janganlah menjadi istri yang bila di rumah memakai pakaian serba rapat tetapi keluar rumah ia memperlihatkan bagian-bagian badanya untuk menarik perhatian orang lain.
i.        Bersikap Lemah Lembut dan Halus Hanya Untuk Suami
Kelembutan dan kehalusan seorang istri hanyalah bagi suaminya. Karena itu, jika istri memilki sesuatu yang mendesak dalam keperluannya berbicara dengan lelaki lain bukan mahramnya, hendaklah ia selalu ingat akan adab dan peraturan yang di ajarkan Al-Qur’an terdapat dalan surat An-Nur ayat 31.
3.      Hak Istri Atas Suami
a.       Suami wajib memberi nafkah
b.      Wajib menyediakan rumah dan menempatkan keluarga di lingkungan yang baik.
c.       Wajib menyelesaikan mahar yang dijanjikan
d.      Wajib melayani dan mempergauli istrinya dengan baik
e.       Wajib melindungi istri-istri dari segala perkara yang membahayakannya
f.       Wajib mengajarkan ilmu agama kepada istrinya
g.      Wajib melayani keperluan batin istrinya[5]









BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dalam ajaran Islam, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam kitab suci-Nya Alquranul Karim dan telah diterangkan secara terperinci oleh Rasulullah SAW di dalam sunnahnya. Apabila hak dan kewajiban ini dilakukan sepenuhnya Insya Allah tercapailah apa yang menjadi impian dan harapan yaitu baiti jannati atau rumahku surgaku. Dari keluarga inilah akan lahir keturunan yang shalih dan shalihah, berguna bagi dirinya sendiri dan bagi umatnya.
Pelaksanaan kewajiban dan penunaian tanggung jawaboleh masing-masing suami-istri merupakan sesuatu yang dapat mewujudkan kedamaian dan ketenangan jiwa. Dari itu kebahagiaan suami- istri akan tercipta.

      B. Saran
Kami sebagai pemakalah menyarankan kepada pembaca agar mencari sumber dan referensi lagi agar pembaca dapat pengetahuan dan wawasan yang lebih luas lagi, karna yang kami tulis jauh dari yang terbaik dan banyak kekurangan.








DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir, 2007, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press.
Sabiq, Sayyid. 2007,  Fiqh Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara.
Jibriel, Abu Muhammad, 2006, Karakteristik Wanita Shalihah, Jawa Barat: Ar-Rahmah Media.









[1] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm.223
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 2, (Jakarta: PT Pena Pundi Aksara, 2009), cet 1, hlm.673-674.
[3] Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman, Karakteristik Wanita  Shalihah, (Jawa  Barat: Ar-Rahmah Media,2006), cet 1, hlm. 251.
[4] Ibid, hlm. 254.
[5] Op.cit, hlm 263.
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018