Tuesday, November 27, 2018

Laqab-laqab Ahli Hadis

0 comments
KATA PENGANTAR
 
            Alhamdulillah, segala puji milik Allah Subhanahu wa ta’ala yang selalu membimbing hamba-Nya dengan penuh kasih saying dan cinta, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah musthalah al-hadis tentang (laqab ahli hadis dan majelis hadis). Sahalawat dan salam kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mulia, pembawa risalah, serta keluarganya, sahabat dan siapa saja yang mengikuti sunnahnya dalam mengarungi bahtera alam.




Padang, 21 Maret 2017

Pemakalah 









BAB I
PENDAHULUAN
     A.  Latar Belakang
            Laqab merupakan suatu gelar yang diberikan kepada seseorang karena suatu hal yang berkenaan dengan dirinya.
            Banyak penulis yang membahas masalah ini. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kesalahan dan menempatkan suatu laqab kepada yang bukan pemiliknya.
            Kelompok-kelompok kajian ilmu telah dikenal sejak masa Nabi SAW. Dan bertambah banyak bersamaaan dengan bertambah banyaknya wilayah Islam, yang disertai dengan banyaknya mesjid, majelis-majelis dibuka dengan membaca beberapa ayat al-Qur’an. dengan adanya majelis-majelis itu maka akan bertambahnya wawasan seseorang, akan tetapi dalam majelis kita juga memiliki adab yang baik. Sehingga majelis dapat berjalan denganlancar.
            Untuk itu disini pemakalah akan membahas mengenai laqab-laqab ahli hadis, serta majelis-majelis hadis dan imla’.

     B. Rumusan Masalah
1.      Apa saja laqab-laqab ahli hadis ?
2.      Bagaimana majelis-majelis hadis?
3.      Bagaimana majelis-majelis imla’?









BAB II
PEMBAHASAN
           A.  Laqab-laqab Ahli Hadis
Ulama hadis telah memberikan beberapa laqab (gelar kemuliaan) kepada pemuka hadis. Menurut sebagian ulama, gelar yang tertinggi ialah Amir al-Mukminin fi al-Hadis. gelar ini sedikit sekali yang memilikinya, di antar Mutaqaddimin yang memperoleh gelar itu adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj, Sufyan  ast-Tsaury, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad Ibn Hanbal, al-Bukhariy, ad-Daruquthniy dan beberapa orang lainnya. Di antara para mutaakhirin yang memperoleh gelar ini adalah an-Nawawiy, al-Mizziy, adz-Dzahabiy, dan Ibnu Hajar al-Atsqalaniy.
Dibawah Amir al-Mukminin fi al-Hadis adalah gelar al-Hafiz. Dan di bawahnya adalah al-Muhaddits. Sebagian ulama menggolongkan ulama hadis dalam empat tingkatan:
1.      Al-hakim, yaitu orang yang mengetahui seluruh hadis yang pernah diriwayatkan, baik dari segi sanad maupun matan, jarh-nya, ta’dil-nya, dan sejarahnya.
2.      Al-hujjah, yaitu orang yang dapat menghafal 300 ribu hadis beserta sanadnya.
3.      Al-hafidz, yaitu orang yang memadukan sifat-sifat muhaddis, dan dapat menghafal 100 ribu hadis, baik dari segi matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalur yang beragam.
4.      Al-muhadis, yaitu mereka yang dapat menghafal sejumlah besar hadis, dan mahir dalam bidang hadis, baik dari segi dirayah maupun riwayahnya.
Ulama mutaakhirin telah memberikan bebeapa gelar untuk ulama hadis, menurut mereka, gelar-gelar itu dengan urutan sebagai berikut:
1.      Amir al-mukminin fi al-hadis
2.      Al-hakim
3.      Al-mustbit
4.      Al-hafizh
5.      Al-mufid
6.      Al-muhaddits
7.      Al-musnid
Kata al-Hafiz al-Mizzy, orang yang boleh di namai al-Hafiz adalah orang yang mengetahui sebagian besar keadaan-keadaan perawi hadis, yakni orang yang mengetahui yang banyak dari pada yang tidak.
Ibnu Sayyid Annas berkata,”orang yang di namakan muhaddis adalah orang yang membimbangkan diri dengan urusan riwayat dan dirayat, dan mengumpulkan perawi-perawi serta mempelajari keadaan-keadaan mereka. Maka apabila dia mengetahui lebih dari itu, di namailah dia al-Hafizh.
Menurut pendapat attaj ash-Shubki dalam muid an-Ni’am, yang di katakan muhaddis, hanyalah orang-orang yang mengetahui segala sanad hadis, ilat-ilatnya, nama perawi, ‘Ali dan Nazil, dan di samping itu dia hafal sejumlah besar dari matan serta mempelajari pula kitab-kitab enam, musnad ahmad, sunan baihaqi ,mu’jam ath-thabrani, serta seribu juz hadis. Kalau dia telah mendengar yang demikian dan mempelajari kitab thabaqot serta dapat mengetahui ilat hadis dari tarikh-tarikh wafat para perawi, dapatlah dia di namai permulaan muhaddis
Di bawah muhaddis dinamai musnid yaitu orang yang hanya mempelajari dan mengajar hadis dengan tidak mengetahui segala ilmu-ilmunya. Dia bersifat perawi saja.
      B.  Majelis-majelis Hadis
Kelompok-kelompok kajian ilmu telah dikenal sejak masa Nabi SAW. Dan bertambah banyak bersamaaan dengan bertambah banyaknya wilayah Islam, yang disertai dengan banyaknya mesjid, majelis-majelis dibuka dengan membaca beberapa ayat al-Qur’an. Kemudian, guru membaca basmalah, memuji kepada Allah Swt. Atas segal nikmat-Nya dan bersalawat kepada Rasulullah SAW. Baru memulai memberikan periwayatan hadis yang telah dipilihnya, di dengar oleh murid yang duduk di kejauhan seperti yang ada di dekat mendengarnya, menguraikannya, menjelaskan kata-kata ghoribnya, kandungan maknanya, perawi-peawinya, dan menghilangkan problematikanya. Kadang-kadang guru menjelaskannya dengan perbandingan dari hadis lainnya dengan menandai musykilnya, dan lain-lainya. Sehingga hadis itu benar-benar di mengerti dengan baik oleh semua peseta majelis. Kemudian guru mengulanginya sekali lagi, untuk pindah kepada hadis lainnya.
Imam-imam hadis tidak suka bila muhadis terlalu memperpanjang jangka waktu belajar, karena khawatir membosankan para pendengarnya, di samping mengikuti tuntunan nabi Muhammad SAW. Yang secara berkala dalam memberikan mau’idzhah kepada para sahabat karena khawatir mereka cepat bosan. Mereka juga suka memberikan hadis secara beragaam, dan menutup majelis dengan beberapa kisah atau hal-hal langka. Dalam hal ini, imam an-Nawawi mengatakan, yang terbaik adalah tentang kezuhudan dan pekerti-pekerti yang baik. Kemudian guru mengakhiri majelisnya dengan beristighfar dan memuji Allah ta’ala atas segala nikmat dan anugerahnya.
Ulama tidak suka bila muhadis berdiri karena seseorang. Mereka sangat antusias bila muhaddis memimpin majelis dengan khusuk dan tenang. Bila ada seseorang mengeraskan suara, maka guru akan melarangnya. Imam Malik melakukan hal itu, dan berkata, Allah SWT. Berfirmaan:
        يايها الذين امنوا لاترفعوا اصواتكم فوق صوت النبي  (الحجرات:02)
“ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara nabi “(qs al-hujurat:02)
Jadi barang siapa yang mengeraskan suaranya di hadapan hadis nabi shalallahu’alaihi wasallam. Maka seakan-akan ia telah meninggikan suaranya di atas suara nabi SAW.
      C.  Majelis-majelis imla’
Ulama salaf tidak cukup hanya memperbolehkan menulis hadis, tetapi bahkan menganjurkannya. Mereka mendirikan majlis-majlis hadis dan mengimla’kannya. Yang melakukannya hanyalah mereka yang mencapai tingkat tinggi dalam bidang keilmuan dan pengetahuan . Karena imla’ merupakan tingkat periwayatan tertinggi. Bagi yang telah memenuhi syarat untuk itu, mereka menganjurkan untuk membuat majlis-majlis imla’. Para guru juga menyediakan hari-hari khusus setiap minggunya untuk digunakan mengimla’kan hadis.
Dapatlah kita menganggap bahwa majlis-majlis imlak paling utama adalah yang ada pada masa rasulullah Saw, dimana dalam majlis-majlis itu beliau mengimlakkan ayat-ayat  yang turun dan sebagian majlis yang didirikan atas ijin dari beliau, seperti majlis Abdullah ibn Amr bin al-Ash dan Anas ibn Malik yang menulis hadis dihadapan beliau.
Kemudian ada sebagian sahabat yang mengimlakkan hadis kepada murid-murid khusus mereka, seperti halnya tidak sedikit tabi’in yang menulis dari sahabat terkemuka, Watsilah ibn al-Asqa (-85H) Mengimlakkan hadis kepada orang-orang, dan mereka menulisnya dihadapan beliau.
Kemudian banyak tabiin yang melakukan imla’, di susul oleh pengikut mereka dan ulama sesudahnya. Keberaian ulama untuk melakukan imla’ semakin bertambah, demikian pula dalam memberikan anjuran kepada para murid. Sampai ada yang mengatakan, sepatutya seorang murid tidak pernah lepas dari pena dan shohifahnya, agar ketika ada yang meriwayatkan kepadanya, tidak ada halangan baginya untuk menulisnya.
Dalam memberikan imla’ sepatutnya di pilih yang memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat dan menghindarkan yang mengandung keraguan dan kesimpang siuran. Oleh karena itu, ulama mengimlakkan hadis-hadis fiqhiyah yang memberikan manfaat bagi masyarakat dalam mengetahui hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah dan muamalah. Sebagian besar ulama menganjurkan agar guru memberikan penjelasan riwayat yang di imla’kan dari segi keshahihan dan kedhaifannya, serta mengenai pengertiannya. Dalam hal ini, Sufyan ibn Uyaynah berkata: orang alim adalah yang memberikan hak kepada segala sesuatunya.
Ulama juga menganjurkan agar guru mengangkat mustamlik (penyambung suara yang mengimlakan), yang akan menyampaikan ulang apa yang di riwayatkan dan di imlakannya. Tokoh  yang  mula-mula kita kenal mengangkat mustamlik adalah Syubah ibn al-Hajjaj (160 h) muhadis merasa sangat memerlukan mustamlik manakala murid berjumlah sangat banyak. Mereka berdesak-desakan karena datang dari seluruh penjuru. Majelis sebagian ulama bahkan tidak cukup bila hanya mengangkat satu atau dua mustamli’, bahkan ada yang mencapai tujuh mustamli’  atau lebih banyak lagi. Masing-masing akan menyampaikan hasil imla’ kepada kawannya. Ini tidaklah aneh, bila kita tahu bahwa mesjid bisa penuh oleh sebagian majelis imla’. Sehingga ulama perlu duduk di atas atau tempat yang luas. Sampai-sampai Ashim ibn Ali al-Washitiy (221 H) duduk di tempat lapang, dan orang-orang duduk di sekeliling beliau. Jumlah mereka sangat banyak. Sehingga untuk setiap hadisnya beliau perlu mengulang sebanyak empat belas kali. Sedangkan mustamli’-nya ada di atas batang pohon kurma, untuk menyampaikan kepada orang-orang dari beliau.
Yang menghadiri majelis ulama sangat banyak. Yang mendatangi majelis imla’ Abu Ishaq Ibrahim Ali al-Hujainiy mencapai 30.000 orang, dan majelis imla’ Abu Muslim al-Kijjiy mencapai 40.000 peserta yang menulis, belum termasuk yang menyaksikan saja.
Mustamli’ memohon para peserta diam pada awal majelis setelah mendengarkan sebagian ayat al-Quran, dalam mengumumkan bahwa imla’ segera di mulai dengan membaca basmalah, hamdalah dan sholawat kepada Rasulullah sholallahu alaihi wasallam. Kemudian ia berkata kepada guru: “Siapa yang saya sebutkan, semoga Allah memberikan rahmat kepadanya, atau semoga Allah memberikan ridha kepadamu“. Dan ungkapan sejenis, lalu muhadis mengimla’kan dan mustamli’ meneruskannya kepaa hadirin. Inilah metode yang di tempuh pada majelis-majelis imla’ sejak pertengahan abad kedua hijriyah.
Ulama menganjurkan agar mustamli’ merupakan orang yg cerdas, bersuara keras berbahasa jelas dan mengikuti suara muhadis dengan menghadap kepada hadirin dalam menyampaikanya.









BAB III
PENUTUP
          A.  Kesimpulan
Ulama hadis telah memberikan beberapa laqab (gelar kemuliaan) kepada pemuka hadis. Menurut sebagian ulama, gelar yang tertinggi ialah Amir al-Mukminin fi al-Hadis. Ulama mutaakhirin memberikan beberapa gelar untuk ulama hadis, menurut mereka, gelar-gelar itu dengan urutan sebagai berikut: Amir al-mukminin fi al-hadis, Al-hakim, Al-mustbit, Al-hafizh, Al-mufid, Al-muhaddits, Al-musnid.
Kelompok-kelompok kajian ilmu telah dikenal sejak masa Nabi SAW. Dan bertambah banyak bersamaaan dengan bertambah banyaknya wilayah Islam, yang disertai dengan banyaknya mesjid, majelis-majelis dibuka dengan membaca beberapa ayat al-Qur’an. Kemudian, guru membaca basmalah, memuji kepada Allah Swt. Atas segala nikmat-Nya dan bersalawat kepada Rasulullah SAW. Baru memulai memberikan periwayatan hadis yang telah dipilihnya. Imam-imam hadis tidak suka bila muhadis terlalu memperpanjang jangka waktu belajar, karena khawatir membosankan para pendengarnya. Mereka juga suka memberikan hadis secara beragaam, dan menutup majelis dengan beberapa kisah atau hal-hal langka.
Ulama salaf tidak cukup hanya memperbolehkan menulis hadis, tetapi bahkan menganjurkannya. Yang melakukannya hanyalah mereka yang mencapai tingkat tinggi dalam bidang keilmuan dan pengetahuan . Karena imla’ merupakan tingkat periwayatan tertinggi. Bagi yang telah memenuhi syarat untuk itu, mereka menganjurkan untuk membuat majlis-majlis imla’. Para guru juga menyediakan hari-hari khusus setiap minggunya untuk digunakan mengimla’kan hadis.
        B.  Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah mengharapkan agar pembaca dapat mencari pembahasan ini dari sumber-sumber lain.







DAFTAR KEPUSTAKAAN

            Al-Khatib, M. ‘Ajjaj, penerjemah: M. Khodirun Nur, Ahmad Musyafiq, Ushul Al-Hadits, 1998, Jakarta:Gaya Media Pratama.

            Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi Teungku, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 2009, Semarang: Pustaka Rizki  Putra.




Read more...

Monday, November 26, 2018

BIOGRAFI IBNU THUFAIL

0 comments

KATA PENGANTAR
 
      Puji syukur hanya bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Salawat beserta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Allah SWT, karena dengan hidayah dan taufiq-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Filsafat Islam. Dengan ditulisnya makalah ini, pembaca diharapkan dapat memahami secara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan mata kuliah Filsafat Islam terutama mengenai Ibnu Thufail. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan dan kekhilafan.
Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan teman-teman mahasiswa pada umumnya.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin! 





 



Padang, Mei 2017

 
Penulis 








PENDAHULUAN
  
       Pada zaman pertengahan, Islam di Barat dan Timur telah mencapai puncaknya. Baik dalam pemerintahan maupun ilmu pengetahuan. Tapi Islam di Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika mampu mentranfer khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan mengembangkannya. Filosuf-filosuf yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia, lahir di kota ini. Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ibnu Thufail yang menjadi kajian dalam makalah ini, mampu menyihir para cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya, Hayy Ibnu Yaqzhan. Salah satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau novel alegori yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian. Hayy ibnu Yaqzhan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu Thufail. Dimana karya itu tidak lepas dari pembacaan ulang atau pengaruh dari pemikiran Ibnu Shina. Namun Ibnu Thufail di sini menghadirkan karya yang berbeda.
Melalui kisah “Hayy ibnu Yaqzhan” ini, Ibnu Thufail menunjukkan bahwa dalam mencapai kebenaran, media yang digunakan bukanlah tunggal, akan tetapi banyak dan beragam. Dalam kisah itu, dia menampilkan sebuah novel aligoris yang mengkisahkan seorang bayi yang tedampar di hutan dan di rawat oleh seekor rusa sampai bayi itu dewasa. Tanpa latar belakang sosial budaya, anak itu dapat tumbuh dewasa dengan intelegensi yang tinggi dan mampu mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia mampu menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai titik Musyahadah , akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati. 









PEMBAHASAN
 
A. Riwayat Hidup dan Karyanya
 
         Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Ibnu Thufail termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa Latin ia popular dengan sebutan Abu Bacer.
Sebagaimana filosof-filosof Muslim dimasanya (juga filosof-filosof Yunani), Ibnu Thufail juga memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang (all round). Selain sebagai seorang filosof, ia juga ahli dalam ilmu kedokteran, matematika, astronomi, dan penyair yang sangat terkenal dari Dinasti Al-Muwahhid Spanyol. Ia memulai karirnya sebagai dokter prakter di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi itu.kemudian, ia diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur Geuta dan Tangier oleh putra Al-Mu’min, penguasa Al-Muwahhid Spanyol.selanjutnya ia diangkat menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa Khalifah Abu Ya’cub Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, Khalifah sendiri pencinta ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahan sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R.Briffault, sebagai tempat kelahiran kembali kenegeri Eropa. Adapun posisi Ibnu Thufail disini adalah pakar pemikiran filosofis dan ilmiah (Sains) tersebut.
Ibnu Thufail meletakkan jabatan sebagai dokter pemerintah pada tahun 587 H/1182 M karena alasan usianya yang sudah lanjut. Ia menganjurkan kepada khalifah supaya Ibnu Ruysd, muridnya, menggantikan kedudukannya. Khalifah Abu Yusuf Al-Mansur meluluskan permintaannya dengan langsung menunjuk Ibnu Rusyd sebagai dokter istana. Semasa hidupnya Ibnu Thufail menerima penghargaan dari khalifah.ketika ia meninggal pundi Marokko pada tahun 580 H/1184 M khalifah ikut menghadiri upacara pemakamannya, juga sebagai penghargaan terhadapnya.
Karya tulis Ibnu Thufail yang dikenal orang sedikit sekali. Karyanya yang terpopuler dan masih dapat ditemukan sampai sekarang ialah Hayy ibn Yaqzhan (Roman Philosophique), yang judul lengkapnya Risalat Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat.
        Karya Ibnu Thufail inimerupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran filsafatnya. Sebelumnya, judul ini telah diberikan oleh Ibnu Sina kepada salah satu karya esoteriknya. Demikian juga, nama tokoh Absal dan Salman telah ada dalam buku Ibnu Sina, Salman wa Absal. Kendatipun kisah ini tidak orisinil, bahkan sebelum Ibnu Sina kisah ini sudah ada, seperti kisah Arab Kuno,Hunain ibnu Ishak, Salman dan Absal Ibnu Arabi dan lain-lain namun Ibnu Thufail berhasil menjadikan kisah ini menjadi kisah roman filosofis yang unik. Ketajaman filosofisnya yang menandai kebaruan kisah ini dan ia menjadikannya salah satu kisah yang paling asli dan paling indah pada abad pertengahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Ibrani, Latin,Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol, Jerman, dan Rusia. Bahkan pada ZAman Modern pun minat terhadap karya Ibnu Thufail ini tetap ada. Ahmad Amin (1952) menerbitkannya dalm edisi bahasa Arab, yang diikuti terjemahannya dalam bahasa Persi dan Urdu. [1]
 
B. Latar belakang dan tujuan kisah Hayy ibn Yaqzhan
 
        Untuk memaparkannya pandangan-pandangan filsafatnya, Ibnu Thufail memilih metode khusus dalam bentuk filsafat, dalam bukunya yang terkenal hayy ibn yaqzhan. Kisah ini ditulis oleh Ibnu Thufail sebagai jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran (al-Hikmat al-Masyriqiyyat). Selain itu, berat dugaan tulisan Ibnu Thufail ini erat kaitannya dengan serangan Al-Ghazali terhadap dunia filsafat. Al-Ghazali, menurut Ibnu Thufail banyak menulis buku yang ditujukan bagi orang-orang awam. Akibatnya, ia mempunyai pendirian “dua muka” (munafik). Dalam buku Tahafut al-Falasifat, Al-Ghazali mengafirkan para filosof Muslim yang berpendapat bahwa di akhirat nanti yang akan menerima pembalasan kesenangan (surga) atau kesengsaraan (neraka) adalah rohani semata. Namun, dalam buku al-Mizan dan al-munqiz min al-Dhalal, ia membenarkan dan menerima pendapat para filosof Muslim yang ia kafirkan itu. Dengan demikian, berarti Al-Ghazali mengkafirkan dirinya sendiri. Dikala itu, orang-orang takut berfilsafat dan usaha-usaha para filosof Muslim yang telah mendamaikan filsafat dengan agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafat yang selama ini hanya untuk orang-orang tertentu, sekarang telah dapat pula dipahami oleh orang-orang awam. Karena itu, amat logis buku Ibnu Thufail ini ingin menetralisasi keadaan dan ingin mengembalikan filsafat ketempat semula, yakni filsafat bukanlah “barang” haram. Pada sisi lain, agar filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang awam, filsafat di komunikasikan lewat kisah yang amat menarik. Biasanya komunikasi melalui kisah (cerita), diminati, dan dapat diterima. Dengan demikian, bila hal ini dapat diterima, tujuan yang hendak dicapai Ibnu Thufail melebihi akibat serangan Al-Ghazali, yakni ingin memasyarakatkan filsafat. Dalam kisah tersebut dapat dilihat pendirian Ibnu Thufail tentang hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan berhubungan antara akal dan agama.
        Sebelum filsafat Ibnu Thufail dipaparkan lebih jauh, ada baiknya dikemukakan kisah Hayy ibn Yaqzhan sebagai berikut:
Di kepulauan India ada sebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia. Pulau itu sepi dan terpencil,beriklim sedang, dan terletak digaris khatulistiwa yang oleh Harun Nasution dikatakan kepulauan Indonesia. Pendapat ini ada benarnya karena kepulauan yang dilewati khatulistiwa memang Indonesia. Selain itu, kebiasaan masa lalu menyebut kepulauan Timur ini dengan kepulauan India. Di pulau ini lahir seorang bayi secara alamiah, tanpa ayah dan ibu. Berarti lewat tulisannya ini Ibnu Thufai lmendukung teori evolusi.
Riwayat lain menyebutkan, seorang perempuan telah kawin rahasia dengan seorang laki-laki dan memperoleh seorang bayi laki-laki. Karena takut kepada kakaknya yang menjadi Raja ditempat itu, perempuan ini memasukkan bayinya ke dalam peti dan melemparkannya ke laut. Dengan hempasan ombak, peti itu tersangkut di pulau terpencil yang tidak berpenghuni manusia. Baik yang dimaksud adalah Hayy. Seekor rusa yang anaknya baru saja mati segera mendekati peti. Bayi yang ada dalam peti itu ia kira anaknya.sebagai lazimnya seorang Ibu rusa menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu memandang rusa yang menyusuinya sebagai ibunya.
Hayy tumbuh dengan sehat. Sejalan dengan pertumbuhan jasmaninya, jiwa dan pemikirannya semakin berkembang. Ia memperhatikannya dan mulai berfikir tentang segala sesuatu yang ada disekitarnya. Ia menemukan cara memenuhi kebutuhan hidupnya. Perasaan dan fikirannya mendorongnya untuk mengambil keputusan bahwa alat kelaminnya perlu ditutup. Lebih dari pada itu, ia mampu mempergunakan akalnya sedemikian rupa sehingga dapat memahami hakikat alam empiris dan mampu berfikir hal-hal yang bersifat metafisis. Berkat rahmat Allah ia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Pemikirannya yang mendalam tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap panca indra, menimbulkan keyakinan adanya Allah, pencipta alam semesta. Keyakinan akan adanya Allah sebagai kebenaran yang hakiki, mendorong Hayy untuk berusaha berhubungan dan dekat dengan-Nya. Melalui pemikiran falsafi, ia mengetahui hakikat-hakikat alam. Ia pun memperoleh ma’rifah hakiki dan kebahagiaan yang sejati.untuk mencapai maksud tersebut, ia melatih diri dengan puasa selama 40 hari dalam sebuah gua. Dengan penuh kesungguhan (ber- mujahadat) dan keikhlasan, ia berusaha membebaskan dirinya dari dunia empiris melalui kontemplasi penuh kepada Allah. Akhirnya ia memperoleh apa yang ia kehendaki, yakni ittihad (menunggal dengan Allah) atau ittishal (berhubungan langsung) dengan Allah. Ittishal inilah kebahagiaan yang tertinggi karena dapat melihat Allah terus-menerus. Ibnu Thufail berusaha mendramatisasikan perkembangan nalar teoritis manusia dari persepsi rasa yang masih kasar menjadi visi indah tentang Allah.
Disaat ia berada dalam situasi dan pengalaman esoteris seperti itu, ia berjumpa dengan seorang laki-laki, namanya Absal. Absal datang dari suatu pulau yang tidak begitu jauh dari pulau tempat tinggal Hayy. Absal mengira bahwa pulau dimana Hayy berada, tidak berpengghuni manusia dan ia kira cocok untuk mengasingkan diri dari masyarakat. Di pulau ini ia berusaha untuk menjalankan ketakwaan dan keshalehan. Hayy tidak memahami bahasa manusia. Setelah Absal mengajarinya, keduanya berkomunikasi secara lancar, saling menceritakan pengalaman masing-masing, dan saling bertukar fikiran. Absal memberitahu Hayy tentang konsep-konsep Qur’ani, yang berkenaan dengan Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi, hari akhirat, dan lain-lain.
Melalui informasi yang diperoleh dari Absal, Hayy menyadari bahwa metode falsafi yang ia miliki telah membawa dirinya ketingkat pengetahuan dan ma’rifat yang sejalan dengan ajaran agama yang diceritakan Absal. Ia pun tahu bahwa orang yang membawa keterangan-keterangan dengan ucapan yang benar itu adalah rasul dan ia percaya kepadanya dan mengakui kerasulannya. Sebaliknya, Hayy juga menjelaskan pengalamannya dengan Allah kepada Absal. Keterangan Hayy ini memperkuat keyakinan Absal tentang ajaran agama yang diterimanya dan bertemulah akal dan wahyu (al-manqul wa ma’qul). Atas ajakan Hayy, Absal setuju pergi berdua kepulau dari mana Absal datang.Hayy bermaksud memberitahukan ma’rifah hakiki yang ia peroleh kepada penhuni pulau itu.
Pulau itu diperintah oleh seorang Raja yang bernama Salman, sahabat Absal. Salman menerima ajaran agama seperti yang disampaikan Nabi, dengan kata lain Salman lebih tertarik pada arti lahir (eksoteris) nash. Ia menyukai hidup ditengah masyarakat dan melarang orang lain untuk hidup menyepi, ‘uzlah.
Setelah Absal mengemukakan ilmu ma’rifat hakiki yang dialami Hayy, penduduk pulau itu menerima Hayy dengan penuh antusias. Namun, setelah Hayy menjelaskan pengetahuan dan pemikiran filsafatnya, ternyata penduduk pulau mencemoohkannya. Hayy mendapat pelajaran dari pengalamannya bahwa orang awam tidak memahami dan tidak mampu menerima ma’rifat sejati. Ma’rifat hanya dapat dipahami oleh orang-orang khusus, yang dalam agama telah mencapai martabat lebih tinggi dibandingkan dengan orang awam. Orang awam tidak mampu mencapai konsep-konsep murni. Hayy pun menyadari bahwa pergaulan membawa kerusakan-kerusakan bagi masyarakat dan untuk memperbaikinya sangat diperlukan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi. Karena Nabi lah yang paling mengenal jiwa manusia pada umumnya. Ia mohon maaf pada Salman dan warganya, dan mengakui kekeliruannya sendiri karena memaksa mereka mencari makna yang tersembunyi dalam kitab suci (Al-Qur’an). Pesan perpisahannya adalah mereka harus berpegang teguh kepada ketentuan hukum syari’at yang telah mereka yakini selama ini. Akhirnya, Hayy dan Absal kembali kepulau tempat Hayy berasal mereka mengisi sisa umur dengan beribadah sepenuhnya kepada Allah. [2]
 
C. Epistemologi
 
       Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Ma’rifat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal, seperti yang dilakukan para filosof Muslim, dan kasyf ruhani (tasawuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemologi Ibnu Thufail.
Ma’rifat dengan kasyf ruhani, menurut Ibnu Thufail dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi latihan ini, ma’rifat akan semakin jelas, dan berbagai hakikat akan tersingkap. Sinar terang yang akan menyenangkan, akan melingkup orang yang melakukannya. Jiwanya menjadi sadar sepenuhnya dan mengalami apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dirasa oleh hati. Kasyf ruhani merupakan ekstase yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata sebab kata-kata hanya merupakan simbol-simbol yang terbatas pada pengamatan indrawi.[3]
 
D. Rekonsiliasi (Tawfiq) antara Filsafat dan Agama
 
      Melalui roman filsafat Hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu.
Allah tidak hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari pengaruh ajaran Nabi, dapat sampai ketingkat tertinggi dari ma’rifat terhadap Allah, melalui akalnya dan melalui kasyf ruhani yang ia peroleh dengan jalan latihan kerohanian, seperti berpuasa, shalat, dan lainnya.
Ibnu Thufail menokohkan Hayy sebagai personifikasi dari spirit alamiah manusia yang disinari (illuminated) dari “atas”. Spirit tersebut mesti sesuai dengan ruh Nabi Muhammad, yang ucapan-ucapannya perlu ditafsirkan secara metaforis.
Ibnu Thufail menyadari, mengetahui, dan berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal murni, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus ( ahl al-ma’rifat). Orang awam tidak mampu melakukannya.justru itu, bagi orang awam sangat diperlukan adanyaajaran agama yang dibawa oleh Nabi.
Agama diturunkan untuk semua orang dalam segala tingkatannya. Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang benalar tinggi yang jumlahnya sedikit. Agama melambangkan “dunia atas” (divine world) dengan lambang-lambang eksoteris. Agama penuh dengan perbandingan, persamaan, dan persepsi-persepsi antropomorfis, sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang itu agar diperoleh pengertiam-pengertian yang hakiki.
       Kenyataannya, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan Absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara Salman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris, yang juga membawa kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan filsafat tidak bertentangan (sejalan) dengan kebenaran yang dikehendaki agama karena sumbernya sama, yakni Allah SWT. [4]







 
KESIMPULAN
 
         Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Ibnu Thufail termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa Latin ia popular dengan sebutan Abu Bacer.
Untuk memaparkannya pandangan-pandangan filsafatnya, Ibnu Thufail memilih metode khusus dalam bentuk filsafat, dalam bukunya yang terkenal hayy ibn yaqzhan.
Diantara filsafat Ibnu Thufail adalah:
1. Epistimologi
Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi.
2. Rekonsiliasi (Tawfiq) antara filsafat dan agama
Melalui roman filsafat Hayy ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu. 



















DAFTAR KEPUSTAKAAN

 
Zar, Sirajuddin. 2017. Filsafat Islam. Ed. 1-7. Jakarta: Rajawali Pers.



[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Ed. 1-7, (Jakarta: Rajawali Pers), 2017, h. 211-213.
[2] Ibid .,h. 213-218.
[3] Ibid ., 224-225.
[4] Ibid ., 225-226.
Read more...

Saturday, November 24, 2018

Ahmad Bin Hanbal

0 comments

KATA PENGANTAR
 
       Dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Segala puji dan syukur bagi Allah swt yang dengan ridho-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Sholawat dan salam tetap kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw dan untuk para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia mendampingi beliau. Terima kasih kepada keluarga teman-teman dan yang terlibat dalam pembuatan makalah ini yang dengan do'a dan bimbingannya makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar.
Dalam makalah ini, kami menguraikan tentang ”Musnad Ahmad bin Hanbal” yang kami ambil dari berbagai sumber, diantaranya buku dan internet. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang selama ini kita cari. Kami berharap bisa dimafaatkan semaksimal mugkin.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. 














BAB I
PENDAHULUAN

  
A. Latar Belakang
 
       Salah satu hal yang unik dalam penyusunan hadis adalah diantara para ulama hadis ada yang tidak menggunakan metode klasifikasi hadis, melainkan berdasarkan nama para sahabat Nabi SAW. yang meriwayatkan hadis itu.metode ini disebud musnad. Sehingga orang yang merujuk kepada kitab musnad dan ia mau mencari hadis yang berkaitan dengan bab shalat misalnya, ia tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sebab dalam kitab musnad tidak akan ditemukanbab shalat, zakat dan sebagainya, yang ada hanyalah bab tentang nama-nama sahabat Nabi berikut hadis-hadis yang diriwayatkan mereka.
Jumlah kitab musnad banyak sekali. Akan tetapi dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Musnad Ahmad bin Hanbal. Kitab ini adalah salah satu kodifikasi hadis yang sangat diperlukan, oleh umat islam. 

B. Rumusan Masalah
 
1. Bagaimana biografi dari Ahmad bin Hanbal?
2. Apa yang melatarbelakangi Ahmad bin Hanbal menulis kitab Musnad?
3. Bagaimana metode penyusunan kitab Ahmad bin Hanbal?
4. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari kitab Musnad itu?
5. Bagaimana penilaian ulama terhadap kitab Musnad Ahmad bin Hanbal? 

C. Tujuan Pembahasan
 
1. Untuk mengetahui biografi dari Ahmad bin Hanbal.
2. Untuk mengetahui latar belakang Ahmad bin Hanbal menulis kitab Musnad.
3. Untuk mengetahui bagaimana metode penyusunan kitab Musnad Ahmad bin Hanbal.
4. Untuk mengetahui apa saja kelebihan kekurangan kitab Musnad itu.
5. Untuk mengetahui penilaian ulama terhadap kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. 



BAB II
PEMBAHASAN
 
A. Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
 
      Nama lengkap Imam Ahmad bin Hanbal adalah Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah bin Ukabah Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wa’il, Imam Abu Abdillah Asy-Syaibani.[1] Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad, tepatnya di daerah Maru pada bulan Rabi’ul awal tahun 164 H atau November 780 M. [2]
Ahmad bin Hanbal adalah keturunan Syaiban bin Dzuhal bin Tsa’’labah. Dzuhal bi Tsa’labah ini adalah paman Dzuhal bin Syaiban.
Garis keturunan Ahmad ini bertemu dengan garis keturunan Rasulullah SAW pada Nizar, sebab Rasulullah SAW adalah keturunan Mudhar, yakni Mudhar bin Nizar, sedangkan Ahmad bin Hanbal adalah keturunan Rabi’ah, yakni Rabi’ah bin Nizar, saudara Mudhar bin Nizar.
Ibunya Ahmad adalah keturunan Syaiban juga, bernama Shafiah binti Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibani, dari Bani Amir. Bapak Ahmad tinggal bersama mereka (Bani Amir) dan menikah dengan putri mereka. Bapak Ahmad yang berasal dari Basrah adalah seorang tentara. Dia meninggal dunia pada umur tiga puluh tahun, saat Ahmad masih kecil.
Ahmad tumbuh dewasa di Baghdad dan sejak kecil dia sudah sangat antusias terhadap buku.[3] Di usianya yang masih kecil, ia sudah dapat menghafal Al-Qur’an. Ahmad belajar hadis pertama kalinya kepada Abu Yusuf, seorang ahli Ra’yi dan sahabat Abu Hanifah. Abu Yusuf adalah seorang hakim agung pada pemerintah Bani Abbasyiah.[4]
Pertama kali Ahmad bin Hanbal mencari riwayat hadis adalah pada tahun 179 H, saat ia berusia enam belas tahun. [5] Pada tahun 183 H Ahmad bin Hanbal mulai pergi ke beberapa kota untuk mencari ilmu. Pada mulanya, ia pergi ke Khuffah pada tahun 183 H, kemudian ke Bashrah pada tahun 186 H, ke Mekkah pada tahun 187 H, dilanjutkan ke Madinah dan Yaman pada tahun 197 H, dan terakhir ke Mesopotamia. Banyak hadis yang ia dapatkan, diantaranya dari Hasyim, Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad, Jarir bin Abdullah Hamid, Yahya al-Qatthan, dan Waqi.
Kecintaan pada ilmu begitu besar. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal disuatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari ulama tersebut. Karena itu pula Ahmad bin Hanbal tidak ingin menikah pada usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun. Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai ulama yang memberikan perhatian besar kepada ilmu Hadis. Kegigihan dan kesungguhan dalam mengajarkan hadis kepada murid- muridnya telah menjadikan mereka tumbuh sebagai ulama dan perawi hadis kenamaan, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Daud. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abu Daud. Merupakan kitab hadis yang dijadikan rujukan pokok oleh umat Islam diseluruh dunia. [6]
Di antaranya lagi adalah kedua putra Imam Ahmad, yaitu Shalih dan Abdullah.
Diantaranya lagi adalah teman-teman Imam Ahmad, yaitu Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Duhaim Asy-Syami, Ahmad bin Abil Hawari, Ahmad bin Shalih Al-Mishri.
Di antaranya lagi adalah para ulama angkatan terdahulu, seperti Muhammad bi Yahya adz-Dzuhali, Abbas ad-Dauri, Abu Hatim, Baqi’ bin Makhlad, Ibrahim al-Harbi, Abu Bakar al-Atsram, Abu Bakar al-Marruzi, Harb al-Kirmani, Musa bin Harun, Muthin, Abu al-Qasim al-Baghawi, dan masih banyak lagi. [7]
Keahlian Ahmad bin Hanbal dalam ilmu hadis tidak diragukan lagi. Menurut pengakuan putra sulungnya, Abdullah bin Hanbal, Imam Ahmad hafal hingga 700.000 hadis. Tidak hanya itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai ahli ibadah dan ahli dermawan. Imam Ahmad tergolong seorang ilmuwan yang produktif. Ia banyak menulis kitab, diantaranya adalah:
1. Kitab al-‘Ilal
2. At-Tafsir
3. An-Nasikh wa Mansukh
4. Kitab az-Zuhb
5. Al-Masail
6. Kitab Fada’il as-Sahabah
7. Kitab al-Fara’id
8. Al-Manasikh
9. Kitab al-Iman
10. Kitab al-Asyribah
11. Ta’at ar-Rasul
12. Kita bar-Rad ‘ala al-Jahmiyyah, dan
13. Musnad Ahmad.
Dari sejumlah karyanya, kitab terakhir inilah yang paling masyhur, sehingga membuat nama Imam Ahmad berkibar di jagad keilmuan Islam. [8]
Ahmad bin Hanbal meninggal dunia pada hari Jum’at, Rabi’ul Awal 241 H, dalam usia 77 tahun.[9]
 
B. Latar Belakang Menulis Kitab Musnad
 
        Sebuah kitab dinamakan musnad apabila penulis kitab tersebut memasukkan semua hadis yang pernah ia terima, tanpa berusaha menyaring dan menerangkan derajat hadis-hadisnya. [10]
Kitab Musnad Ahmad merupakan salah satu karya monumentalnya Imam Ahmad dibidang hadis yang masih menjadi rujukan dalam berbagai persoalan umat hingga saat ini. Kitab ini ditulis pada permulaan abad III H, sebagaimana disebutkan dalam sejarah, bahwa awal abad III H memang sudah dimulai adanya usaha untuk membersihkan hadis-hadis dan fatwa-fatwa ulama yang tidak termasuk hadis. [11]
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku berkata kepada Bapakku, ‘Kenapa Bapak tidak membuat beberapa buku lain, padahal Bapak sudah menyelesaikan penyusunan Al-Musnad’?
Dia menjawab, “Aku menyusun Al-Musnad agar Al-Musnad menjadi Imam. Apabila seseorang berbeda tentang sebuah sunnah dari Rasulullah SAW, maka dia dapat merujuk kepadanya.”
Perkataan ini menimbulkan kritikan dari sebagian orang. Mereka berkata, “bagaiman Imam Ahmad bisa mengatakan hal itu, padahal kami menemukan hadis-hadis shahih yang tidak terdapat dalam Al-Musnad.
Kritikan ini dijawab bahwa ketika mulai mengumpulkan Al-Musnad dan baru menulisnya di lembaran-lembaran yang masih terpisah-pisah, Imam Ahmad merasakan kematian akan menjemputnya sebelum terwujud cita-citanya. Diapun segera memperdengarkannya kepada anak-anak juga keluarganya, dan dia meninggal dunia sebelum sempat menyaring juga menyusunnya.
Kemudian putranya Abdullah meneruskan apa yang telah direncanakan bapaknya dan memasukkan riwayat-riwayat yang pernah didengarnya yang mirip atau serupa dengan apa yang diperdengarkan bapaknya.
Sedangkan al-Qathi’i hanya memasukkan apa yang didengarnya dari bacaan sebagian tulisan Ahmad bin Hanbal yang didapatnya dan masih banyak lagi hadis-hadis lain yang terdapat dalam tulisan yang tidak ia dapatkan. Oleh karena itu kenapa ada sebagian hadis shahih yang tidak terdapat dalam Al-Musnad.[12]
 
C. Metode Penyusunan Musnad Imam Ahmad
 
       Musnad Ahmad adalah salah satu kitab hadis, yang lebih banyak mengumpulkan hadis yang ditakdirkan Allah SWT. Terpelihara dengan baik, yang terbesar yang sudah terkenal dikalangan umat Islam dan sampai sekarang.
Metode penyusunan kitab Musnad Ahmad jelas berbeda dengan metode penusunan kitab lainnya. Kalau kitab sunan dan shahih misalnya, mengurutkan pembahasannya dengan mengacu pada sistematika fikih, yaitu dimulai dengan bab ibadah, pernikahan, muamalah, dan seterusnya, musnad tidak demikian. Hadis-hadis dalam kitab Musnad disusun berdasarkan riwayat para perawi. Artinya, seluruh hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi ditampilkan dalam satu bagian, sedangkan bagian selanjutnya memaparkan himpunan hadis yang diriwayatkan perawi lain.
Berdasarkan versi yang terhimpun dalam Maktabah al-Syamilah, kitab Musnad Ahmad, berisi 14 bagian, yaitu:
1. Musnad al-‘Asyrah al-Mubasyyirin bi al-Jannah (musnad sepuluh sahabat yang mendapatkan jaminan masuk surga).
2. Musnad as-Sahabah ba’da al-‘’Asyrah (musnad sahabat yang selain sepuluh sahabat diatas).
3. Musnad Ahli al-Bait (musnad sahabat yang tergolong Ahli Bait).
4. Musnad Bani Hasyim (musnad sahabat yang berasal dari Bani Hasyim).
5. Musnad al-Muksirin min as-Sahabah (musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadis).
6. Baqi Musnad al-Muksirin (musnad sahabat yang juga banyak meriwayatkan hadis).
7. Musnad al-Makkiyin (musnad sahabat yang berasal dari Mekah).
8. Musnad al-Madaniyyin (musnad sahabat yang berasal dari Madinah).
9. Musnad al-Kufiyyin (musnad sahabat yang berasal dari Kufah).
10. Musnad asy-Syamiyyin (musnad sahabat yang berasal dari Syam).
11. Musnad al-Basriyyin (musnad sahabat yang berasal dari Bashrah).
12. Musnad al-Ansar (musnad sahabat Ansar).
13. Baqi Musnad al-Ansar (musnad yang juga berasal dari sahabat Ansar).
14. Musnad al-Qabail (musnad dari berbagai kabilah atau suku). [13]
Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa salah satu hal yang unik dalam penyusunan kitab Musnad yaitu menyusun hadis berdasarkan nama para sahabat Nabi SAW. Yang meriwayatkan hadis itu. Untuk mempergunakan kitab ini seseorang harus menetapkan dulu hadis riwayat siapa yang ia kehendaki. [14]
 
D. Kelebihan dan Kekurangan Musnad Imam Ahmad
 
1. Kelebihan 

a. Hadis-hadis dalam Musnad Ahmad semuanya bisa dijadikan hujjah, hal tersebut dijelaskan sendiri oleh beliau dalam kitabnya.
b. Memudahkan bagi seseorang yang mencari hadis fikih seorang sahabat, maka ia cukup merujuk pada musnad sahabat tersebut. 

2. Kekurangan 

a. Menyulitkan bagi seseorang yang mencari sebuah hadis yang hanya mengetahui matannya, tanpa mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut.
b. Dalam kitab musnad tidak menyebutkan kualitas hadis tersebut shahih, hasan, atau dho’if.
c. Menyulitkan seseorang ketika mencari hadis-hadis yang menyangkut tentang hukum-hukum syara’. Sebab hadis tidak terkumpul dalam satu tema. [15]
 
E. Penilaian Ulama Terhadap Musnad Imam Ahmad
 
      Penilaian yang dilakukan oleh Ahmad ibn Syakir terhadap Musnad ini, bahwa banyak hadis shahih yang tidak ditemukan dalam kutub al-Sittah. Keshahihan hadisnya adalah menurut pernyataan Ahmad bin Hanbal, “kitab ini kuhimpun dan kupilih dari lebih 750.000 hadis, jika muslimin berselisih tentang sebuah hadis Nabi maka jadikanlah kitabku ini sebagai rujukan, jika kamu menemukan yang dicari disana, itu sudah cukup sebagai hujjah. Kalau tidak maka hadis yang diperselisihkan itu bukanlah hujjah.
Menurut penelitian as-Sa’ati, bahwa hadis-hadis yang termuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal tidak seluruhnya riwayat Ahmad bin Hanbal tapi merupakan tambahan dari anaknya yaitu Abdullah. Selain itu juga dilakukan oleh al-Qathi’i yang meriwayatkan musnad itu dari Abdullah. Terkait dengan terdapatnya tanbahan hadis selain riwayat Ahmad bin Hanbal, ulama berbeda pendapat dalam hal status dan kualitas hadis-hadis yang terdapat didalam kitab Musnad tersebut. Menurut Nawir Yuslem, setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam menentukan kualitas hadis-hadis itu:
Pertama, bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam musnad tersebut dapat dijadikan hujjah, pendapat ini didukung oleh Abu Musa al-Madani, ia menyatakan bahwa Ahmad bin Hanbal sangat hati-hati dalam menerima kebenaran sanad dan matan hadis.
Kedua, bahwa di dalam kitab Musnad tersebut terdapat hadis shahih, hasan, dan maudhu’. Di dalam al-Mawdhuat, ibn al-Jauwzi menyatakan terdapat 19 hadis maudhu’, sedangkan al-Hafidz al-Iraqi menambahkan 9 hadis maudhu’.
Ketiga, bahwa di dalam musnad tersebut terdapat hadis shahih dan hadis dhaif yang dekat pada derajat hadis hasan. Pendapat ini oleh Abu Abdullah al-Dzahabi, ibn Hajar al-Asqalani, ibn Taymiyah dan al-Suyuthi.
Namun demikian, kedudukan Musnad Ahmad bin Hanbal termasuk kedalam kelompok kitab hadis yang diakui kehujjahannya sebagai sumber ajaran Islam. Jika dilihat dari segi peringkatnya, Musnad ini menempati peringkat kedua, disederajatkan dengan kitab sunan yang empat. [16]




 
BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan
 
        Nama lengkap Imam Ahmad bin Hanbal adalah Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Ta’labah bin Ukabah Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wa’il, Imam Abu Abdillah Asy-Syaibani. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad, tepatnya di daerah Maru pada bulan Rabi’ul awal tahun 164 H atau November 780 M, dan meninggal dunia pada hari Jum’at, Rabi’ul Awal 241 H, dalam usia 77 tahun.
Kitab Musnad Ahmad merupakan salah satu karya monumentalnya Imam Ahmad dibidang hadis yang masih menjadi rujukan dalam berbagai persoalan umat hingga saat ini. Kitab ini ditulis pada permulaan abad III H, sebagaimana disebutkan dalam sejarah, bahwa awal abad III H memang sudah dimulai adanya usaha untuk membersihkan hadis-hadis dan fatwa-fatwa ulama yang tidak termasuk hadis.
Hadis-hadis dalam kitab Musnad disusun berdasarkan riwayat para perawi. Artinya, seluruh hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi ditampilkan dalam satu bagian, sedangkan bagian selanjutnya memaparkan himpunan hadis yang diriwayatkan perawi lain.
Kelebihan kitab ini, yaitu hadis-hadis dalam Musnad Ahmad semuanya bisa dijadikan hujjah, hal tersebut dijelaskan sendiri oleh beliau dalam kitabnya, dan Memudahkan bagi seseorang yang mencari hadis fikih seorang sahabat, maka ia cukup merujuk pada musnad sahabat tersebut. Sedangkan kekurangannya, yaitu Menyulitkan bagi seseorang yang mencari sebuah hadis yang hanya mengetahui matannya, tanpa mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, Dalam kitab musnad tidak menyebutkan kualitas hadis tersebut shahih, hasan, atau dho’if, dan Menyulitkan seseorang ketika mencari hadis-hadis yang menyangkut tentang hukum-hukum syara’. Sebab hadis tidak terkumpul dalam satu tema.
Menurut penilaian ulama kedudukan Musnad Ahmad bin Hanbal termasuk kedalam kelompok kitab hadis yang diakui kehujjahannya sebagai sumber ajaran Islam. Jika dilihat dari segi peringkatnya, Musnad ini menempati peringkat kedua, disederajatkan dengan kitab sunan yang empat.
B. Saran
 
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah mengharapkan agar pembaca dapat mencari pembahasan “Musnad Ahmad bin Hanbal” ini dari sumber-sumber lain. 




DAFTAR PUSTAKA
 
Abd Wahid, Khazanah kitab Hadis….,
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam. Musnad Imam Ahmad. 2006.
Syarah:Ahmad Muhammad Syakir.Jakarta: Pustaka Azzam.
Az-Zahrani, Muhammad bin Mathar. Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadis. 2012. Jakarta: Darul Haq.
Dzulmani. Mengenal kitab-kitab Hadis. 2008.Yogyakarta:Insan Madani.
Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis. 2006. Jakarta:Hijri Pustaka Utama.
Sa’id Mursi, Muhammad. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. 2007. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Syarah:Ahmad Muhammad Syakir. Jakarta: Pustaka Azzam.
http://blogspot . Co.id., Bahthul al-Kutub KitabMusnad Ahmad. html


[1] Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Syarah:Ahmad Muhammad Syakir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 70.
[2] Dzulmani, Mengenal kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta:Insan Madani, 2008), h. 140.
[3] Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, op. cit., h. 43-44.
[4] Dzulmani, loc.cit.
[5] Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Syarah:Ahmad Muhammad Syakir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 44.
[6] Dzulmani, Mengenal kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta:Insan Madani, 2008), h. 141.
[7] Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Syarah:Ahmad Muhammad Syakir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 72.
[8] Dzulmani, Mengenal kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta:Insan Madani, 2008), h. 141-143.
[9] Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, op.cit., h.45.
[10] Dzulmani, Mengenal kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta:Insan Madani, 2008), h. 143.
[11] Abd Wahid, Khazanah kitab Hadis…., h. 101.
[12] Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Syarah:Ahmad Muhammad Syakir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 35-36.
[13] Dzulmani, Mengenal kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta:Insan Madani, 2008), h. 146.
[14] Ibid.
[15] http://blogspot . Co.id., Bahthul al-Kutub KitabMusnad Ahmad. html
[16] Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis…., h. 41.
Read more...

Imam Muslim

0 comments

BAB I
PENDAHULUAN
 

        Sebagaimana yang diketahui bersama, kegiatan penghimpunan hadis Nabi saw. yang dilakukan oleh ulama-ulama hadis terdahulu merupakan sebuah usaha yang tidak mudah dilakukan dan membutuhkan perjalanan waktu yang panjang. Tidak mengherankan bila seorang ulama dapat menghabiskan waktu belasan atau berpuluh tahun untuk dapat menyusun sebuah kitab hadis.
Dalam kegiatan penghimpunan hadis tersebut, ulama hadis mengadakan perlawatan ke berbagai daerah untuk mengunjungi tempat tinggal para periwayat hadis. Masa hidup para penghimpun hadis itu ada yang sezaman dan ada yang tidak sezaman. Selain itu, bentuk susunan dan metode penelitian yang mereka gunakan untuk menghimpun hadis juga berbeda-beda berdasarkan hasil ijtihad mereka masing-masing. Dengan demikian tidak seluruh hadis Nabi saw. terhimpun dalam satu kitab. Sebab lainnya lagi sehingga tidak seluruh hadis terhimpun dalam suatu kitab tertentu ialah karena mungkin ada suatu riwayat hadis yang tidak sampai kepada penghimpun tertentu; atau mungkin riwayat hadis itu sampai juga kepadanya, namun menurut hasil penelitiannya riwayat dimaksud tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkannya. Jadi memang cukup beralasan, mengapa kitab himpunan hadis Nabi saw. tidak satu macam saja.
       Dalam makalah ini kami akan membahas tentang “ Al-Shahih susunan Muslim ibn al-Qusyairiy al-Naisaburiy dan Ma’rifat al-Muttashil min al-Hadits wa al-Mursal wa al-Munqathi’ karya Abu Bakar Ahmad ibn Harun ibn Ruj al-Bardijiy ” Semoga makalah ini dapat memberikan penjelasan yang memadai sesuai dengan tema yang disebutkan. 





BAB II
PEMBAHASAN
 
A. Al-Shahih susunan Muslim ibn al-Qusyairi al-Naisaburiy
1. Biografi Muslim ibn al-Qusyairi al-Naisaburiy
 
       Nama lengkapnya adalah Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kawisyadz Al-Qusyairi An-Naisaburi. Nama panggilannya adalah Abul Husain. Dia adalah imam besar, hafizh, menjadi hujjah dan shadiq (berlaku benar). [1] Lahir pada tahun 204 H/820 M, di Nisabur, sebuah kota besar ketika itu di provinsi Khurasan, Iran. Meninggal dikota kelahirannya pada hari Ahad 24 Rajab 261 H/875 M.
Semenjak usia anak-anak beliau telah rajin menuntut ilmu, didukung kecersdasan yang luar biasa. Ketika mudanya, dia berkelana di negeri-negeri Islam, terutama ke pusat ilmu seperti Iraq, Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya. Di Khurasan, antara lain dia belajar pada Yahya dan Ishaq bin rahawi, di Iraq antara lain kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Abdullah Ibn Masalamah, di Hijaz kepada Sa’id bin Manshur, serta masih banyak lagi. Bahkan ketika Imam Bukhari datang ke Nisabur pada akhir masa kegiatan beliau, Imam Muslim senantiasa mendampinginya.
Imam Muslim memikul nama besar sebagai ulama dan ahli hadis yang sangat mashur dan terkemuka. Sebagai seorang ahli hadis, dia berhasil mengumpulkan sejumlah 300.000 hadis. Kemudian sangat cermat dan teliti hadis sebanyak itu diperkirakannya satu persatu dengan suatu sistem yang yang amat ketat, yang sekarang dapat kita pelajari dalam “ Ilmu Masthalahah Hadis” .[2]
 
2. Tentang kitab
 
a. Nama kitab
 
       Kitab ini dikenal dikalangan para ulama dengan nama Shahih Muslim. Ibnu ash-Shalah berkata, ”Diriwayatkan kepada kami dari Muslim, dia berkata, ‘Saya menyusun kitab ini, Al-Musnad ash-Shahih dari 300 ribu hadis yang saya dengar.”
Ibnu ash-Shalah juga berkata, “Telah sampai kepada kami dari Makki bin Abdan, dia berkata, Saya mendengar Muslim bin al-Hajjaj berkata, ‘Seandainya para ahli hadis menulis hadis selama dua ratus tahun, maka poros mereka adalah pada Musnad ini adalah Musnad ash-Shahih.
 
b. Faktor pendorong penyusunan
 
     Imam Muslim telah menjelaskan sebab-sebab penyusunan Musnad ash-Shahih ini dalam mukadimahnya. Dia menyebutkan bahwa faktor penyebab pendorongnya ada dua hal yaitu:
Pertama, sebagai jawaban terhadap permintaan salah satu muridnya. Dia berkata dalam mukadimahnya, “Kami insya Allah sedang memulai takhrij hadis-hadis yang kamu minta untuk disusun dengan ketentuan (syarat ) yang akan saya sebutkan kepadamu.
Kedua, banyaknya kitab-kitab hadis yang telah disusun dan diberikan kepada manusia yang penuh dengan hadis-hadis dhoif, munkar, dan wahm (salah praduga). 

c. Metode Imam Muslim dalam penyusunan ash-Shahih
 
        Imam Muslim sendiri telah menjelaskan dalam mikadimahnya, metode yang dia tempuh dalam menyusun kitabnya, seraya berkata, ‘Kami insya Allah sedang memulai mentakhrij hadis-hadis yang kamu minta, dan kami mulai menyusunnnya dengan ketentuan (syarat) yang akan saya sebutkan kepadamu, yaitu kami hanya berstandar kepada sejumlah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan membaginya menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Hadis-hadis yang selamat dari cacat atau cela dan perawinya dapat dipercaya, serta tidak didapati perbedaan yang mencolok dan kelemahan yang nyata.
2) Sebagian orang disifati hafalan dan kedalaman ilmu dalam bidang hadis , tetapi ada kekurangan dari yang pertama.
3) Orang-orang yang memiliki kelemahan dn persalahan yang sangat banyak. 

d. Syarat Imam Muslim dalam ash-Shahih
 
1) Imam Muslim menulis hadis dari perawi yang disepakati ketsiqahannya
2) Sanadnya bersambung tanpa terputus
3) Menghilangkan syubhat.
4) Imam muslim sangat memperhatikan periwayatan yang adil dari gurunya yang adil. 

e. Jumlah Hadis dalam Shahih Muslim
 
        Al-Hafiz al-Iraqi berkata, “Ibnu ash-Shalah tidak menyebut kan jumlah hadis Muslim. Imam an-Nawawi menyebutkan dalam tambahannya didalam kitab at-Tarqib, dia berkata, “Jumlah hadisnya sekitar 4000 hadis dengan membuang hadis tanpa diulang. Dia tidak menyebutkan jumlahnya dengan hadis yang diulang. Jumlahnya melebihi jumlah hadis dalam kitab Bukhari, karna banyaknya jalur riwayatannya. Dan saya meriwayatkan dari Abu al-Fadhl Ahmad bin Salamah bahwa jumlahnya 12.000 hadis. 

f. Pandangan Ulama terhadap Shahih Muslim 
 
      Para ulama tidak pernah memberikan perhatian kepada sebuah kitab setelah kitab Allah sebagaimana perhatian mereka kepada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Perhatian ulama terhadap dua kitab tersebut bermula pada abad ke-4 dan ke-5 ditulislah kitab-kitab tentang biografi para perawi kedua kitab tersebut, dan kitab-kitab yang menggabungkan keduanya, serta kitab-kitab mustakhraj dan lain-lain.
Ulama sangat memperhatikan Shahih Muslim dalam sisi periwayatan dan penyimakan, hanya saja pada kurun masa terakhir dikenal masyhur riwayat Shahih Muslim yang muttashil melalui riwayat Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan an-Naisaburi, seorang ahli fikh, mujtahid yang zuhud, perawi Shahih Muslim. Beliau wafat pada 308 H.
Diantara kitab Syarah Shahih Muslim yang terpenting adalah:
1) Al-Mufhim fi syarhi Muslim, karya Abdul Ghafar bin Ismail al-Farasi (W. 529)
2) Al-Mu’alim fi Syarhi Muslim, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Umar al-Maziri al-Maliki (W. 536 H)
3) Ikmal al-Mu’alim bi Fawa’id Syarhi Shahih Muslim, karya al-Qadhi Abu al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa al-Yahshubi (W. 5444 H)
4) Syarh Shahih Muslim, karya Abu Amr bin Utsman bin ash-Shalah (W. 643 H)
5) Al-Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim bin al-hajjaj, karya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi (W. 676 H)
6) Ikmal al-Ikmal, karya Abu ar-Rauh Isa bin Mas’ud az-Zawawi al-Maliki (W. 744 H).[3]
 
B. Ma’rifat al-Muttashil min al-Hadits wa al-Mursal wa al-Munqathi’ karya Abu Bakar Ahmad Ibn Harun Ibn Ruj al-Bardijiy 
 
1. Biografi penulis
 
      Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Harun Ibn Ruj Abu Bakar al-Barda’I al-Bardajiy al-Armaniy. Ia keturunana Baghdad. Ia adalah hafiz dan ia termasuk orang yang tsiqah. Beliau wafat pada tahun 301 H di Baghdad kota kelahirannya.
Diantara gurunya ialah: Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, Abbas bin Walid al-‘Azari, Abu Zar’ah Abdurahman bin ‘Amr Damasqi dan lain-lain. Muridnya adalah: Ahmad bin Ibnu Thohir al-Mayanajiy, Abu Muhammmad Hasan bin Muhammad al-Qadhi al-Ramahurmuzi, Abu Bakar Ahmad ibn Ibrahim Isma’il, dan lain sebagainya.
Diantara kitab-kitab karyanya ialah: Kitab Kabair, Kitab Thabaqat al-Asma’ Mufradat, Kitab Ushul al-Hadits, Kitab Ushul Qawa’id, dan lain-lain. 

2. Tentang Kitab
 
Kitab ini banyak membicarakan tentang hadis Mursal dan Munqathi’.
Pembagian kitabnya ada 2, yaitu:
a. Pengenalan riwayat hadis yang terputus dan bersambung dalam satu hadis.
b. Mengenal sanad-sanad yang shahih dan saqimah. 





BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan
 
        Nama lengkapnya adalah Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kawisyadz Al-Qusyairi An-Naisaburi. Nama panggilannya adalah Abul Husain. Lahir pada tahun 204 H/820 M, di Nisabur, sebuah kota besar ketika itu di provinsi Khurasan, Iran. Meninggal dikota kelahirannya pada hari Ahad 24 Rajab 261 H/875 M.
Imam Muslim menulis kitab ini dengan nama Al-Musnad As-Shahih, akan tetapi lebih dikenal dengan Shahih Muslim. Faktor pendorong beliaumenulis kitab ini ada dua hal yaitu: Pertama, sebagai jawaban terhadap permintaan salah satu muridnya. Kedua, banyaknya kitab-kitab hadis yang telah disusun dan diberikan kepada manusia yang penuh dengan hadis-hadis dhoif, munkar, dan wahm (salah praduga). Jumlah hadis dalam kitab ini adalah 12.000 hadis. 4000 hadis tanpa pengulangan.
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Harun Ibn Ruj Abu Bakar al-Barda’I al-Bardajiy al-Armaniy. Ia keturunana Baghdad. Ia adalah hafiz dan ia termasuk orang yang tsiqah. Beliau wafat pada tahun 301 H di Baghdad kota kelahirannya.
Kitab ini banyak membicarakan tentang hadis Mursal dan Munqathi’. 

B. Saran
 
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah mengharapkan agar pembaca dapat mencari pembahasan ini dari sumber-sumber lain. 




DAFTAR PUSTAKA

 
Az-Zahrani, Muhammad. terj. Muhammad Rum. 2012. Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits. Jakarta:Darul Haq.
Farid, Syaikh Ahmad. terj. Masturi Irham & Asmu’I Taman. 2006. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Muslim, Al-Imam, terj. Ma’mur Daud.. 2007. Terjemahan Hadits Shahih Muslim. Kuala Lumpur: Klang Book Centre.


[1] Syaikh Ahmad Farid, terj. Masturi Irham & Asmu’I Taman, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 2006, hml. 511.
[2] Al-Imam Muslim, terj. Ma’mur Daud, Terjemahan Hadits Shahih Muslim, (Kuala Lumpur: Klang Book Centre), 2007.
[3] Muhammad Az-Zahrani, terj. Muhammad Rum, Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, (Jakarta:Darul Haq), 2012, hml 134-140.
Read more...

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018