Friday, November 23, 2018

KAJIAN HADIS MUHAMMADIYAH

1 comments

KATA PENGANTAR
 
بسم الله الر حمن الرحيم 

Puji syukur kami persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dalam menyusun makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Studi Hadis di Indonesia. Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam proses pembuatan makalah ini. Kami menyadari walaupun makalah ini sudah dibuat secara maksimal, namun masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam hal yang perlu disempurnakan. Untuk itu kami mohon maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kami menerima kritik dan saran serta petunjuk dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan. 


Padang, 02 Juni 2017 


Penulis 




PENDAHULUAN

 
Muhammadiyah merupakan objek penelitian yang strategis, memunculkan puluhan atau bahkan ratusan kajian keislaman tentang gerakan pembaharuan ( secara organisatoris ) islam di indonesia. Sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruj'û ilâ al-Qurân wa al-sunnah, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagi sumber rujukan). Di satu sisi sejarah selalu melahirkan berbagai persoalan, dan pada sisi yang lain Islam menyediakan referensi normatif atas berbagai persoalan tersebut. Orientasi pada dimensi ilahiah inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosio-kultural lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya maupun dalam menyusun kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi pemikiran keislamannnya. 







PEMBAHASAN

 
A. Kajian Hadis Muhammadiyah 
  
Muhammadiyah dalam memahami dan mengamalkan islam berdasarkan al-Qur’an dan sunah rasul dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan ajaran islam. Bagi muhammadiyah, memahami islam secara benar sangatlah menentukan untuk beragama secara benar pula.
Dalam menggunakan hadis, muhammadiyah menerapkan beberapa kaidah yang telah menjadi putusan majlis tarjih diantaranya sebagai berikut ;
  1. Hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, yang dimaksud dengan hadis mauquf ialah apa yang disandarkan kepada shahabat baik yang berupa ucapan, maupun perbuatan semacamnya, baik yang bersambung atau tidak.
  2. Hadis mauquf yang dihukum marfu’ dapat dijadikan sebagi hujjah. Dengan syarat apabila ada qarinah yang dapat dipahami dari padanya bahwa hadis itu marfu’.
  3. Hadis mursal shahabi dapat dijadikan hujjah, apabila ada qarianah yang menunjukkan persambungan sanadnya.
  4. Hadis mursal Tabi’i semata, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanad sampai kepada Nabi.
  5. Hadis – hadis dha’if yang kuat menguatkan tidak bisa menjadi hujjah. kecuali jika diriwayakan oleh banyaknya jalur periwayatan, ada qarinah yang dapat dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih.
  6. Dalam menilai perawi hadis, jarh didahulukan dari pada ta’dil setelah adanya keterangan yang mu’tabar berdasarkan alasan syara’.
  7. Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, jika ada petunjuk bahwa hadis itu muttashil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan. 


B. Metode Pemahaman Hadis Muhammadiyah
 
Apabila faham tentang islam itu tidak benar, maka tidak akan menangkap hakekat dan citra ajaran islam yang benar, sehingga berpengaruh pada benruk pengamalannya dalam kehidupan. Secara khusus, pemahaman islam dalam muhammadiyah, dapat dikaji dalam Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih ( disertai keterangan singkat ) yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan sebagai berikut :
  1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Kedua : Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dan lain-lain.
  2. Dalam memutuskan sesuatu keputusan , dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’I. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.
  3. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al – Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
  4. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat.
  5. Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ) , hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.
  6. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat )
  7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. ( Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil , Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq , yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.
  8. Menggunakan asas “ saddu al-daraI’ “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. .( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.
  9. Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil- dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah )
  10. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. ( Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan )
  11. Dalil –dalil umum al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah.
  12. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 raka’at )
  13. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. ( Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia ).
  14. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
  15. Dalam memahami nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. ( Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dan lain-lain.




PENUTUP
 
Demikian makalah kami paparkan semoga bisa memberi manfaat dan menambah wawasan kita tentang Materi dan Pendayagunaan Zakat, dan kami harapkan kepada pembaca untuk mencari sumber yang lain untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang pembahasan ini. Sebagai pemakalah, kami ucapkan terima kasih. 




KEPUSTAKAAN

 
Djamil, Fathurahman, Dr. H, Metode ijtihat majlis tarjih muhammadiyah, Jakarta : logos publishing house, 1995.
http://www.tongkronganislami.net/2015/11/penggunaan-hadis-dalam-majelis-tarjih-muhammadiyah.html

1 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018