Saturday, October 20, 2018

Shalat Jama' dan Qashar

1 comments
BAB I
PENDAHULUAN

A.                           A. Latar Belakang
Melalui shalat seorang hamba mendapatkan ampunan dosa dan meraih kemenangan. Shalat juga dapat memperdalam rasa disiplin diri dan membuat seseorang bersikap jujur dan berpendirian, menampilkan pribadi yang berakhlak mulia, dan memberikan kekuatan lahir batin dan ketenangan jiwa di dalam menghadapi berbagai godaan dunia. Dan shalat dalam pelaksanaannya tidak dapat diganti oleh orang lain. Bagi orang yang bermukim atau menetap, tentu tidak ada penghalang dan wajib baginya untuk melaksanakan shalat dengan sempurna, lalu bagaimana dengan orang yang melakukan safar (perjalanan)? Untuk orang yang melakukan safar maka boleh dilakukan dengan menjama’ shalat atau mengqashrnya. Maka kami sebagai pemakalah akan membahas tentang jama’ dan qashr tersebut.

             B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian shalat jama’, apa dalilnya, apa saja yang membolehkan shalat jama’, dan apa syarat jama’ taqdim dan ta’khir?
2.      Apa pengertian shalat qashar, apa dalilnya, dan apa syarat-syarat sahnya qashar?









BAB II
PEMBAHASAN

              A. Shalat Jama’
1.      Pengertian Shalat jama’
Defenisi jama’ secara etimologi bahasa arab adalah kumpul, gabung, mengumpulkan, menggabungkan. Sedangkan defenisi shalat jama’ menurut istilah adalah menggabungkan dua Shalat fardhu dalam satu waktu dengan taqdim (pada waktu awal) atau ta’khir (pada waktu kedua/akhir). Oleh karena itu shalat jama’ ada dua macam. Pertama, jama’ taqdim yaitu menggabungkan shalat dzuhur dan asar yang dilakukan di waktu dzuhur atau menggabungkan shalat magrib dan isya yang dilakukan di waktu magrib. Kedua, jama’ ta’khir, yaitu menggabungkan shalat dzuhur dan asar yang dilakukan di waktu ashar atau menggabungkan shalat magrib dan isya yang dilakukan di waktu isya.[1]

2.      Dalil Shalat Jama’
Dasar hukum bagi dibolehkannya shalat jama’ adalah beberapa hadits fi’li (perbuatan Nabi saw) saat melaksanakan ibadah haji. Hadits shahih bahwa Rasulullah menjama’ shalat zuhur dan shalat ashar ketika di Arafah dengan satu adzan dan dua iqamah, dan ketika di Muzdalifa beliau menjama’ shalat magrib dan shalat isya’ dengan satu adzan dan dua iqamah. (HR. Muslim [1218]).
Dan dua Hadits Shahih Muslim di bawah ini memberikan bukti bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat jama’ saat sedang bepergian (musafir) dan tidak musafir:
عن ابن عمر قال : كان رسول الله اذا عجل به السير جميع بين المغرب والعشاء

Artinya: “Dari sahabat Ibn Umar RA. Berkata: bahwasanya Nabi saw jika tergesa dalam sebuah perjalanan,maka beliau menjama’ antara shalat magrib dan isya.”

عن ابن عباس قال:صلي رسول الله الظهر و العصر جميعا والمغرب والعشاء جميعا في غير خوف ولا سفر


Artinya:“Dari Ibn Abbas RA. Berkata: Bahwasanya Nabi saw pernah menjama’ shalat zuhur dan ashar juga menjama’ antara shalat magrib dan isya bukan karena takut (sedang kondisi perang) atau karena bepergian.”[2]

3.      Yang Membolehkan Shalat Jama’
Boleh menjama’ shalat bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut:
a.       Menjama’ Shalat di Arafah dan Muzdalifah
Para ulama sependapat bahwa di sunahkan menjama’ taqdim shalat dzuhur dan ashar di Arafah dan menjama’ ta’khir shalat magrib dan isya di Muzdalifah. Hal ini berdasarkan praktik Rasulullah saw.
b.      Menjama’ Shalat Ketika Safar
Mayoritas ulama berpendapat, musafir boleh menjama’ shalat baik saat berhenti maupun dalam perjalanan. Mu’adz meriwayatkan, “ Pada saat Nabi saw. berada dalam perang Tabuk, jika matahari bergeser ke barat (dari posisi atas) sebelum beliau berangkat, maka beliau menjama’ shalat zuhur dan ashar di waktu dzuhur. Jika keberangkatannya sebelum matahari bergeser, maka shalat dzuhur dan ashar di jama’ pada waktu ashar. Begitu juga dengan shalat magrib. Jika beliau berangkat sesudah matahari tenggelam, beliau menjama’ shalat magrib dengan shalat isya di waktu magrib. Akan tetapi, kalau keberangkatannya sebelum matahari tenggelam, beliau mengundurkan magrib itu sampai waktu isya dan di jama’ dengan shalat isya’.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadits ini hasan)
c.       Menjama’ Shalat di Waktu Hujan
Bukhari meriwayatkan bahwa nabi saw. menjamak shalat magrib dan isya di malam hujan lebat.
Para ulama Syafi’iyah membolehkan seseorang yang mu’min untuk menjama’ shalat zuhur dengan asar dan magrib dengan isya secara taqdim saja. Ia juga mensyaratkan adanya hujan ketika membaca takhbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
Menurut Maliki, boleh menjamak taqdim di mesjid antara shalat magrib dan isya disebabkan adanya hujan yang sudah turun, atau diperkirakan akan turun. Juga dibolehkan menjamak karena terdapat banyak lumpur di tengah jalan dan malam sangat gelap hingga menyulitkan kaum muslimin memakai sandal. Sedangkan menjamak shalat dzuhur dengan ashar karena hujan adalah makhruh.
d.      Menjamak Disebabkan Sakit atau Alasan lain yang Diperbolehkan
Imam Ahmad, Qadhi Husain, Khaththabi, dan Mutawalli dari kalangan ulama Syafi’iyyah membolehkan menjamak takdim atau ta’khir disebabkan sakit, karena kesulitan seawaktu sakit lebih besar daripada kesulitan turun hujan.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mazhab yang paling luas dalam masalah jamak ialah mazhab Ahmad karena ia membolehkan menjamak bagi seseorang yang sedang sibuk bekerja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam sebuah hadis marfu’ bersumber dari Nabi saw. sampai-sampai dibolehkan pula menjamak bagi juru masak atau pembuat roti dan orang-orang yang takut hartanya menjadi rusak.
e.       Menjamak Shalat Karena Ada Keperluan
Dalam Syarah Muslim, Nawawi mengatakan, “Sejumlah ulama berpendapat, orang mukim boleh menjamak shalat jika ada suatu keperluan asalkan tidak menjadi kebiasaan.
Kemudian diperkuat oleh Ibnu Abbas bahwa tujuan disyariatkan jamak shalat adalah untuk tidak menyulitkan umat, sehingga tidak dijelaskan karena sakit atau sebab lain.[3]

4.      Syarat Jamak Taqdim dan Jamak Ta’khir
Syarat jamak taqdim:
a.       Dikerjakan dengan tertib
b.      Niat jamak dilaksanakan (dilahirkan) pada shalat pertama
c.       Berurutan antara keduanya: yakni tidak boleh disela dengan shalat sunat atau lain-lain.
Syarat jamak ta’khir:
a.       Niat jamak ta’khir dilakukan pada shalat yang pertama
b.      Masih dalam perjalanan tempat datangnya waktu yang kedua.[4]

               B. Shalat Qashr
1.      Pengertian Shalat Qashr
Secara etimologi qashr adalah ringkas, meringkas, pangkas, memangkas. Secara terminologi syara’ adalah meringkas shalat fardhu yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Maka yang bisa diqashr hanya shalat dzuhur, ashar, dan isya saja. Shalat Qashr adalah shalat yang diringkas dari empat raka’at menjadi dua raka’at dengan tetap membaca al-Fatihah dan surat.[5]

2.      Dalil Shalat Qashr
Apabila seseorang dalam perjalanan menuju tempat yang jauh, maka ia dibolehkan memendekkan shalat atau qashr adalah boleh. Firman Allah swt. QS. An-Nisa’: 101

وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ إِنَّ ٱلۡكَٰفِرِينَ كَانُواْ لَكُمۡ عَدُوّٗا مُّبِينٗا ١٠١

Artinya: “Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang artinya: “Dari Ibn Abbas r.a., ia berkata: Allah mewajibkan shalat melalui Nabi Muhammad saw. empat raka’at bagi yang muqim dan dua raka’at bagi musafir dalam perjalanan”.(HR. Muslim).

3.      Syarat-Syarat Sahnya Shalat Qashr
a.       Karena dalam perjalanan
b.      Perjalanan yang ditempuh bukan perjalanan maksiat
c.       Jarak perjalanan yang membolehkan qashr yaitu 3 mil atau tiga farsakh
d.      Berniat mengqashrkan shalat.[6]
e.       Harus masih berstatus musafir mulai shalat qashr sampai selesai
f.       Harus tidak boleh bermakmum di belakang imam yang itmam (lengkap, tidak qashr) shalatnya, walau di sebagian kecil raka’at
g.      Harus tidak bermakmum di belakang imam yang diragukan status musafirnya
h.      Tujuan berpergiannya harus tujuan yang shahih (benar secara syariat), seperti haji, umrah, pendidikan, perdagangan, dan lain-lain, maka tidak sah qashr bagi niat perjalanan tamasya dan pelancong atau sejenisnya.
i.        Shalat qashrnya harus sudah melewati batas kota atau desa, maka tidak boleh shalat qashr saat masih di rumah, walaupun mau pergi/ safar.[7]

                





DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abbas Arfan. Fiqh Ibadah Praktis Perspektif Perbandingan Madzhab Fiqh. Malang: UIN Maliki Press. 2012.
Sayyid Sabiq. terjemahan fiqih sunah. Jakarta, Al-I’tishom. 2008.
Moh. Rifa’i.  Fiqih Islam Lengkap. PT. Karya Toha Putra Semarang.
Isni Bustami. Fiqh I Thaharah dan Shalat Menurut Ajaran Islam. Padang, IAIN IB Press. 2001. 







BAB III
PENUTUP

              A. Kesimpulan 
Defenisi jama’ secara etimologi bahasa arab adalah kumpul, gabung, mengumpulkan, menggabungkan. Sedangkan defenisi shalat jama’ menurut istilah adalah menggabungkan dua Shalat fardhu dalam satu waktu dengan taqdim (pada waktu awal) atau ta’khir (pada waktu kedua/akhir).
Dasar hukum bagi dibolehkannya shalat jama’ adalah beberapa hadits fi’li (perbuatan Nabi saw) saat melaksanakan ibadah haji. Yaitu HR. Muslim [1218].
Boleh menjama’ shalat bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut: menjama’ shalat di Arafah dan Muzdalifah, menjama’ shalat ketika safar, menjama’ shalat di waktu hujan, menjamak disebabkan sakit atau alasan lain yang diperbolehkan, menjamak shalat karena ada keperluan.
Secara etimologi qashr adalah ringkas, meringkas, pangkas, memangkas. Secara terminologi syara’ adalah meringkas shalat fardhu yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Dasarnya QS. An-Nisa’ ayat 101. Dan hadits Nabi saw.
            B.  Saran 
Kepada pembaca makalah ini supaya dapat memahami dan mencari sumber lain untuk memperluas wawasan kita tentang jamak dan qashar.








[1] Abbas Arfan, Fiqh Ibadah Praktis Perspektif Perbandingan Madzhab Fiqh, (Malang: UIN Maliki Press 2012), h. 95.
[2]Ibid. h. 96-97.
[3] Sayyid Sabiq, terjemahan fiqih sunah, (Jakarta, Al-I’tishom, 2008), jilid I, hlm. 424-428.
[4] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (PT. Karya Toha Putra Semarang), hlm. 165.
[5] Abbas Arfan, op,cit. Hlm. 95-96.
[6] Isni Bustami, Fiqh I Thaharah dan Shalat Menurut Ajaran Islam, (Padang, IAIN IB Press, 2001), cet. I, hlm. 194-195.


[7] Abbas Arfan, op.cit. hlm. 100-101.

1 comments:

Post a Comment

Translate

Sponsor

 
Dosen Blogger © 2018